• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II PERCERAIAN DAN RIDDAH

B. Macam-Macam dan Alasan Perceraian

a. Macam-Macam Perceraian

Di dalam hukum Islam maupun undang – undang nomor 1 tahun 1974 terdapat berbagai bentuk perceraian berdasarkan tata cara dan alasan pengajuannya. Undang-undang membedakan antara perceraian atas kehendak suami dan perceraian atas kehendak isteri. Hal ini karena karakteristik hukum islam dalam perceraian memang menghendaki demikian. Sehingga proses perceraian atas kehendak suami berbeda dengan proses perceraian atas kehendak isteri.

Dari ketentuan-ketentuan mengenai perceraian di dalam undang-undang perkawinan pasal 39 sampai dengan pasal 41 dan tentang tata cara perceraian dalam peraturan pelaksanaan pasal 14 sampai dengan pasal 36 menurut K. Wantjik Saleh, SH dalam bukunya Perkawinan Indonesia, dapat ditarik kesimpulannya ada 2 macam perceraian, yaitu :

1. Cerai talak

Istilah cerai talak disebut dalam penjelasan pasal 14 peraturan pelaksanaan. Dan tentang perceraian ini di atur dalam pasal 14 sampai dengan pasal 18 peraturan pelaksanaan yang merupakan penegasan dari pasal 39 undang-undang perkawinan.

Cerai talak ini hanya khusus untuk yang beragama Islam seperti yang dirumuskan oleh pasal 14 peraturan pelaksanaan sebagai

23

berikut “Seorang suami yang telah melangsungkan perkawinan menurut

Agama Islam, yang akan menceraikan isterinya, mengajukan surat kepada pengadilan ditempat tinggalnya, yang berisi pemberitahuan bahwa ia bermaksud menceraikan isterinya di sertai dengan alasan– alasan serta meminta kepada pengadilan agar diadakan sidang untuk keperluan itu”.15

Perlu juga di tegaskan bahwa yang diajukan oleh suami tersebut adalah suatu surat permohonan akan tetap merupakan surat pemberitahuan yang memberitahukan ia akan menceraikan isterinya dan untuk itu ia meminta kepada pengadilan agar mengadakan sidang untuk menyaksikan perceraian itu. Dan jika terjadi perceraian di muka pengadilan itu, maka ketua pengadilan membuat surat keterangan tentang terjadinya perceraian yaitu surat penetapan atau surat putusan. 2. Cerai gugat.

Sedangkan yang di maksud dengan cerai gugat adalah perceraian yang disebabkan oleh adanya suatu gugatan lebih dahulu oleh salah satu pihak kepada pengadilan dan dengan suatu putusan pengadilan. Menurut K. Wantjik Saleh, SH. Suatu perceraian yang di dahulukan oleh suatu gugatan dari salah satu pihak kepada pengadilan dinamakan cerai gugat. Dalam undang-undang perkawinan dan peraturan pelaksanaannya tidak

15

K.Wantjik Saleh,Hukum Perkawinan Indonesia, ( J a k a r t a : Ghalian Indonesia,1996) , h. 38.

menamakan hal ini cerai gugat, tetapi hanya menyatakan bahwa perceraian itu dengan suatu gugatan.

Peraturan pelaksanaan dalam penjelasan pasal 20 menegaskan

sebagai berikut “gugatan perceraian di maksud dapat dilakukan oleh

seorang isteri yang melangsungkan perkawinan menurut agama Islam dan oleh suami atau seorang isteri yang melangsungkan perkawinan menurut agamanya dan kepercayaannya itu selain Agama Islam.”

Gugat perceraian di ajukan oleh suami atau isteri atau kuasanya kepada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat tinggal tergugat. Dalam hal tempat kediaman tergugat tidak jelas atau tidak diketahui atau tidak mempunyai tempat kediaman yang tetap, gugatan diajukan kepada pengadilan di tempat kediaman penggugat. Undang-undang Perkawinan menyatakan bahwa gugatan perceraian diajukan kepada pengadilan dan tentang bagaimana tata cara gugatan perceraian diatur dalam peraturan pelaksanaan dari pasal 20 sampai dengan pasal 36.16

Suatu perceraian dianggap terjadi dalam cerai gugat bagi yang beragama Islam terhitung sejak jatuhnya putusan Pengadilan Agama yang mempunyai kekuatan hukum tetap, sedangkan yang tidak beragama islam sejak saat pendaftarannya pada daftar pencatatan di

16

Drs. H. Mukti Arto, SH, Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama ( Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1979), h. 224.

25

Kantor Pencatatan oleh Pegawai Pencatat.

Dengan berlakunya undang-undang No. 7 tahun 1989 tentang Pengadilan Agama terhitung mulai tanggal 29 Desember 1989 maka tata cara perceraian yang diatur dalam PP. No. 9 tahun 1975 pasal 14 sampai dengan pasal 18 dan ketentuan tentang gugatan cerai pasal 20 sampai dengan pasal 36 hanya berlaku bagi orang-orang yang melakukan perkawinan tidak menurut Agama Islam sepanjang telah diatur dalam undang-undang No. 7 tahun 1989.

b. Alasan Perceraian

Atas dasar Firman Allah SWT dan sabda Nabi Muhammad SAW tersebut dapat disimpulkan bahwa perceraian antara suami isteri diperbolehkan dalam ketentuan hukum Islam. Namun demikian perceraian tersebut meskipun diperbolehkan oleh hukum Islam, dianjurkan untuk dihindari dan bahkan diberi kesempatan bagi keduanya untuk ruju` atau kembali sebagai pasangan suami isteri. Dalam hal ini, perceraian hanya dapat dilakukan dihadapan sidang pengadilan setelah meneliti alasan-alasan perceraian yang telah diajukan oleh pihak yang bersangkutan.

Alasan-alasan perceraian menurut Hukum Islam antara lain meliputi: 1. Karena suami miskin

2. Karena salah satu pihak gila

4. Karena pelanggaran terhadap taklik talak. 5. Karena cacat dan ketidakpuasan seksual.17

Sesuai ketentuan Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, pada Pasal 113 ditetapkan bahwa perkawinan dapat putus karena kematian, perceraian atau keputusan Pengadilan. Sedangkan dalam Pasal 114 diatur bahwa putusnya perkawinan yang disebabkan karena perceraian dapat terjadi karena talak atau berdasarkan gugatan perceraian.

Dalam Pasal 116 juga diatur mengenai alasan-alasan terjadinya perceraian yang meliputi:

a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi, dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan.

b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemampuannya.

c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 tahun atau lebih setelah perkawinan berlangsung.

d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak yang lain.

e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai suami.

17

Kamal Muchtar, Asas-Asas Hukum Islam tentang Perkawinan (Jakarta: Bulan Bintang, 1984), h.150.

27

f. Antara suami dan isteri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.

g. Suami melanggar taklik talak.

h. Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidak rukunan dalam rumah tangga.

Sedangkan didalam Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan yaitu pada Pasal 38 diatur mengenai putusnya perkawinan dapat disebabkan karena kematian, perceraian, atau atas putusan pengadilan. Lebih lanjut dalam Pasal 39 Undang-Undang No. 1 tahun 1974 disebutkan bahwa perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak. Untuk melakukan perceraian tersebut harus ada cukup alasan, bahwa antara kedua belah pihak tidak akan hidup rukun sebagai suami isteri.18

Adapun alasan-alasan yang dapat dijadikan dasar untuk melakukan tersebut, lebih lanjut diatur dalam Pasal 19 Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975 yang meliputi:

a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi, dan lain sebagainya yang sifatnya sukar disembuhkan.

18

b. Salah satu pihak meninggalkan yang lain selama 2 tahun berturut-turut tanpa izin pihak yang lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya.

c. Salah satu pihak mendapat hukuman 5 tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung.

d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan terhadap pihak yang lain.

e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit yang mengakibatkan tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai suami atau isteri.

f. Antara suami dan isteri secara terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran serta tidak ada harapan akan hidup rukun dalam rumah tangga.19

Mengenai alasan salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit tersebut bagi Pegawai Negeri Sipil tidak dapat diterapkan sebagai alasan perceraian. Hal ini sesuai dengan penjelasan Pasal 7 ayat ( 2 ) Peraturan Pemerintah No.1 tahun 1983 tentang izin perkawinan dan perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil yaitu :

“Namun demikian, seorang Pegawai Negeri Sipil yang melakukan perceraian karena alasan isteri tertimpa musibah tersebut tidaklah

19

H. Kilman Hadi Kusuma, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundangan Hukum Adat Hukum Agama, Mandar, (Bandung, 1990), h. 171.

29

memberikan keteladanan yang baik, meskipun ketentuan peraturan perundang-undangan memungkinkannya. Oleh karena itu izin untuk bercerai dengan alasan tersebut tidak diberikan.”

Dokumen terkait