. . . . .
. . . . .
10958 27/02/2009 -0.829 -0.877 0.048
10959 28/02/2009 -0.366 -0.742 0.376
10960 01/03/2009 -0.216 -0.088 -0.128
MAD = 0.144
SSE = 3816.82
Gambar 18 Histogram nilai galat RMM1 (a) dan RMM2 (b) Gambar 18 memperlihatkan bahwa nilai
galat berdistribusi normal dengan mean di sekitar nol yaitu 0.000167 untuk galat RMM1 dan -0.000471 untuk galat RMM2. Tabel 7 dan 8 memperlihatkan SSE data RMM1 sebesar 3852.73 dan SSE data RMM2 sebesar 3816.82. Ini berarti semua asumsi dalam uji diagnostik sudah terpenuhi, sehingga persamaan model ARIMA (2,1,2) bisa digunakan dalam langkah selanjutnya yaitu memperkirakan besarnya nilai RMM1 dan RMM2 untuk hari berikutnya.
4.2.4 Peramalan
Setelah melalui tahap identifikasi, pembedaan, dan pengujian maka diperoleh suatu model terbaik untuk memprediksi nilai RMM1 dan RMM2, yaitu model ARIMA (2,1,2). Selanjutnya model ARIMA ini digunakan untuk memprakirakan nilai RMM1 dan RMM2 untuk hari berikutnya. Validasi dengan menggunakan model ARIMA (2,1,2) untuk data RMM dari tanggal 2 Maret 2009 sampai 2 Juni 2009 dapat dilihat pada Tabel 9 dan 10.
Tabel 9 Validasi data RMM1 dengan hasil prakiraan m odel ARIMA (2,1,2) periode 2 Maret 2009 – 2 Juni 2009
Tanggal RMM1 (data asli) Nilai Prediksi RMM1 Galat 02/03/2009 1,106 1,074 0,032 03/03/2009 0,974 1,138 -0,164 04/03/2009 0,842 0,883 -0,042 05/03/2009 0,680 0,766 -0,086 06/03/2009 0,731 0,579 0,151 07/03/2009 0,438 0,773 -0,335 . . . . . . . . . . . . 29/05/2009 0,264 0,095 0,169 30/05/2009 0,587 0,493 0,094 31/05/2009 0,521 0,781 -0,260 01/06/2009 0,435 0,463 -0,028 02/06/2009 0,582 0,393 0,189
Mean Absolute Deviation (MAD) = 0,178
Tabel 10 Validasi data RMM2 dengan hasil prakiraan model ARIMA (2,1,2) periode 2 Maret 2009 – 2 Juni 2009
Tanggal RMM2 (data asli) Nilai Prediksi RMM1 Galat 02/03/2009 -0,151 -0,136 -0,015 03/03/2009 0,125 -0,105 0,229 04/03/2009 0,112 0,294 -0,182 05/03/2009 0,007 0,098 -0,091 06/03/2009 -0,128 -0,049 -0,079 07/03/2009 0,168 -0,205 0,373 . . . . . . . . . . . . 29/05/2009 0,535 0,252 0,282 30/05/2009 0,814 0,648 0,166 31/05/2009 0,893 0,972 -0,079 01/06/2009 1,178 0,936 0,243 02/06/2009 1,248 1,356 -0,107
Mean Absolute Deviation (MAD) = 0,148
Gambar 19 Plot data asli RMM1 dan RMM2 dengan hasil prediksi ARIMA (2,1,2) p eriode 2 Maret 2009 - 2 Juni 2009
Berdasarkan Gambar 19 dapat dilihat bahwa plot data prakiraan mendekati data asli dengan korelasi sebesar 0.983 atau 98.3% untuk RMM1 dan 0.986 atau 98. 6% untuk RMM2. Hasl prediksi dengan model ARIMA (2,1,2) ini cukup baik karena menghasilkan nilai galat yang kecil. Prediksi RMM1 dan
RMM2 ini sangat penting mengingat bahwa RMM merupakan suatu indeks untuk memonitoring MJO. MJO dibangkitkan oleh awan-awan Cumulonimbus, sehingga MJO juga berpengaruh terhadap curah hujan di Indonesia.
4.3 Model Program Penentuan Fase Pergerakan MJO
Pada pembahasan sebelumnya telah diperoleh model statistik untuk memprediksi nilai RMM1 dan RMM2, yaitu ARIMA (2,1,2). Pergerakan MJO dari Samudera Hindia ke arah timur dibagi menjadi 8 fase. Untuk mendukung model prediksi MJO, maka
perlu juga dibuat suatu program untuk mengetahui fase pergerakan dan kekuatan MJO yang diprediksi. Model ini dibuat dengan memanfaatkan software Microsoft Visual Basic. Tampilan dari model program penentuan fase pergerakan MJO adalah sebagai berikut:
Gambar 20 Interface program penentuan fase pergerakan MJO Input dari program ini yaitu data RMM1
dan RMM2 dengan format .csv, sedangkan outputnya berupa fase pergerakan dan power MJO (lemah dan kuat ). Model ini berguna sekali mengingat cukup sulitnya menentukan fase pergerakan dan kekuatan MJO secara langsung, apalagi jika datanya banyak. Model ini sangat sederhana dan dapat digunakan oleh
siapa saja yang ingin mengetahui fase MJO. Ada beberapa syarat dari pembagian 8 fase tersebut dimana diagram fase pergerakan MJO dapat dilihat pada Bab II. Coding program ini terdapat di Lamp iran 3.
4.4 Analisis Jangka Panjang
Tipe curah hujan di wilayah Sumatera bagian selatan dan Jawa merupakan tipe curah hujan jenis Monsun. Periode musim hujan dan musim kemarau memiliki perbedaan yang jelas. Musim hujan terjadi pada bulan Desember, Januari, dan Februari. Sedangkan musim kemarau terjadi pada bulan Juni, Juli, dan Agustus. Gambar 21 memperlihatkan distribusi curah hujan bulanan di wilayah Jakarta yang diwakili oleh Stasiun Tanjung Priok, Stasiun Halim Perdanakusuma, Stasiun Kemayoran, dan Stasiun Cengkareng dari tahun 1995 sampai tahun 2008. Pada gambar tersebut terlihat bahwa curah hujan dengan intensitas tinggi di wilayah Jakarta terjadi pada bulan Januari-Februari-Maret.
Pada bulan Februari dan Maret hujan lebat terjadi hampir setiap hari. Sebagian berpendapat, ini adalah gejala alam biasa yang hampir terjadi setiap musim hujan. Bahkan ada yang menyatakan ini terkait erat dengan siklus lima tahunan yang menyebabkan Jakarta dan sekitarnya ”tenggelam” akibat curah hujan dengan intensitas cukup tinggi. Hingga saat ini belum ada penjelasan ilmiah yang secara utuh, runut, terpadu, serta mudah dimengerti masyarakat awam mengapa terjadi hujan lebat dengan intensitas tinggi.
Prof. Manabu D. Yamanaka dari Universitas Kobe, Jepang pada acara
”Workshop on Toward the Establishment of Hydrological Array for Intraseasonal Variation Monsoon Automonitoring (HARIMAU) and Its Application pada tanggal
6 Februari 2007 di BPPT, Jakarta mengatakan bahwa akibat tertahannya massa udara dingin oleh gunung Salak yang ada di Bogor, menyebabkan massa udara dengan kandungan uap air tadi kembali jatuh di Jakarta dan sekitarnya. Kalaulah skenario ini benar, mestinya hanya Kota Jakarta dan sekitarnya yang akan menerima hujan lebat secara terus -menerus. Namun, kenyataannya tidaklah demikian, justru curah hujan dengan intensitas tinggi lambat laun bergerak ke arah timur yang ditandai dengan banjir hampir di sepanjang Pantai Utara P. Jawa seperti Bekasi, Cikampek, Karawang (hampir seluruh Pantai Utara Jawa Barat) hingga Jawa Tengah. Jika menggunakan teori cold surge , fenomena ini menjadi sulit dijelaskan.
Ada beberapa faktor lain yang menyebabkan intensitas curah hujan tinggi di daerah Jakarta. Secara geografis di utara Jakarta terbentang laut sebagai sumber uap air, sementara di bagian selatan Jakarta ada pegunungan di Bogor. Pengaruh lokal itulah
yang kemudian memberikan andil besar semakin besarnya intensitas curah hujan di Jakarta pada Januari dan Februari.
Menurut Dr. Fadli Syamsudin, koodinator program Hydrometeorological Array for
Intraseasonal Variation Monsoon Auto Monitoring (Harimau) Indonesia, salah satu
faktor yang menyebabkan hujan dengan intensitas tinggi adalah kiriman uap air jenuh dari Samudera Hindia akibat Madden Julian
Oscillation (MJO). Menurut Beliau MJO
dalam fase aktif memiliki korelasi terjadinya intensitas curah hujan yang tinggi terhadap wilayah yang dilaluinya. MJO merupakan osilasi dominan yang terjadi di hampir seluruh kawasan ekuator dengan nilai Power Spectral
Density (PSD) berkisar antara 30 hingga 60
harian. Sejak peristiwa El-Nino pada tahun 1982-1983, variasi frekuensi rendah di wilayah tropis, baik itu waktu intraannual (kurang dari setahun) dan inter-annual (lebih dari setahun), mendapatkan banyak perhatian dan hubungannya dengan MJO berkembang dengan cepat.
Dalam penelitian ini, analisis jangka panjang dilakukan dengan melihat bagaimana pengaruh MJO terhadap curah hujan di Indonesia, yaitu berdasarkan analisis data
Real Time Multivariate MJO (RMM1 dan
RMM2). Sebagaimana yang telah dijelaskan pada Bab II bahwa MJO dikatakan dalam
fase aktif jika .
Analisis jangka panjang ini hanya difokuskan pada wilayah Indonesia bagian barat (studi kasus:Jakarta), sehingga fase pergerakan MJO juga hanya difokuskan pada fase 4 dan 5 (dapat dilihat pada diagram fase pergerakan MJO di Bab II). Data RMM yang dianalisis yaitu periode Januari 1995 - Desember 2008. Plot data RMM1 dan RMM2 (data asli) dengan nilai prediksi ARIMA (2,1,2) pada periode tersebut dapat dilihat pada Lampiran 5. Berikut ini plot RMM yang ditampilkan yaitu pada tahun 1996, 2002, dan 2007.
(a)
(b)
(c)
Gambar 22 Plot data RMM1/2 dengan nilai prediksi periode 1 Januari - 31 Desember 1996 (a), 2002 (b), dan 2007 (c)
Gambar 22(a) terlihat bahwa pada awal bulan Februari dan Juni 1996 MJO berada dalam fase aktif. MJO aktif yang terjadi pada bulan Februari tersebut menyebabkan hujan dengan intensitas tinggi, namun tida k sama halnya dengan MJO aktif pada bulan Juni. Pada bulan Juni 1996, curah hujan di wilayah
Jakarta khususnya sangat rendah. Begitu juga pada bulan kering lainnya (Juli-Agustus), MJO yang aktif tidak menyebabkan curah hujan tinggi pada saat itu.
MJO aktif yang terjadi pada bulan basah (Desember-Januari-Februari) berpeluang meningkatkan curah hujan. Hal itu dikarenakan posisi matahari pada ketiga bulan tersebut yaitu berada di sebelah selatan yang meny ebabkan penguapan tinggi. Sedangkan MJO aktif pada bulan kering (Juni-Juli-Agustus) tidak menyebabkan curah hujan tinggi. Sehingga salah jika dikatakan bahwa MJO selalu menyebabkan intensitas curah hujan tinggi, karena hal itu tidak selalu, kecuali ketika matahari berada di sebelah selatan khatulistiwa.
4.5 Analisis J angka Pendek
Analisis jangka pendek difokuskan pada curah hujan bulan basah (Desember -Januari-Februari-Maret) tahun 1996, 2002, dan 2007. Curah hujan yang tinggi pada saat itu akan dianalisis apakah ada pegaruh dari fenomena
Madden Julian Oscillation (MJO).
Setiap Januari hingga Februari, intensitas curah hujan di wilayah Jakarta m encapai puncaknya. Hujan dengan intensitas sangat tinggi di Jakarta pada tahun 1996 terjadi pada awal Februari, mencapai 200 mm/hari. Pada tahun 2002 curah hujan tinggi terjadi pada akhir Januari (15-30 Januari), mencapai 200 mm/hari sedangkan pada tahun 2007 curah hujan tinggi mencapai 250 mm/hari terjadi pada 1-5 Februari (Lampiran 6) . Tahun 1996, 2002, dan 2007 terjadi banjir besar di Jakarta. Definisi banjir dalam tulisan ini adalah banjir besar yang hampir melumpuhkan kota Jakarta. Di luar tahun tersebut, Jakarta tentu saja mengalami banjir tetapi dengan skala, dampak, dan peningkatan kerugian yang jauh lebih kecil.
Penyebab banjir di Jakarta menurut Dr. Armi Susandi, MT (Program Studi Meteorologi Institut Teknologi Bandung) yaitu curah hujan tinggi, topografi Jakarta, dan Gelombang Pasang (ROB) . Dalam tulisan ini hanya akan dibahas penyebab banjir dari pengaruh curah hujan tinggi.
Banjir akibat hujan lebat di daerah Jakarta berpotensi terjadi pada bulan Januari dan Februari. Perlu dianalisis apa penyebab dari hujan sangat lebat pada tiga tahun itu. Diduga ada pengaruh dari fenomena MJO yang menyebabkan curah hujan lebat tersebut. Berikut ini adalah plot dari RMM1 dan RMM2 untuk mengetahui fase aktif dan lemah MJO.