• Tidak ada hasil yang ditemukan

MADZHAB SHAHABI a. Definisi Madzhab Shahabi

Dalam dokumen BAB XIV SUMBER-SUMBER HUKUM ISLAM (Halaman 28-34)

Madzhab Shahabi berarti “pendapat para Sahabat Rasulullah saw”. Yang dimaksud ‘pendapat sahabat’ adalah pendapat para sahabat tentang suatu kasus yang dinukil para ulama, baik berupa fatwa maupun ketetapan hukum, sedangkan ayat dan hadis tidak menjelaskan hukum kasus yang dihadapi sahabat itu, di samping belum adanya ijma para sahabat yang menetapkan hukumnya.

b. Kehujjahan Mazhab Shahabi

Para ulama ushul fiqh sepakat menyatakan bahwa pendapat sahabat yang dikemukakan berdasarkan hasil ijtihad tidak dapat dijadikan hujjah, baik berupa fatwa maupun ketetapan hukum. Sebaliknya, mereka sepakat bahwa pendapat sahabat yang terkait dengan permasalahan yang tidak bisa dinalar logika atau ijtihad, dapat diterima sebagai hujjah.

[295]

Persoalan yang menimbulkan perbedaan pendapat adalah pendapat para sahabat yang berdasarkan ijtihad semata-mata, apakah menjadi hujjah bagi generasi sesudahnya?

Ulama Hanafiyyah, Imam Malik, qaul qadim asy-Syafi’i dan pendapat terkuat dari Imam Ahmad ibn Hanbal, menyatakan pendapat sahabat itu menjadi hujjah dan apabila pendapat sahabat itu bertentangan dengan qiyas, maka pendapat sahabat yang didahulukan. Alasan mereka:

• Ali Imran (3): 110: kamu akan mendapat petunjuk. HR. Abu Dawud.”

• Hadis:

Imam Malik dan Imam Ahmad ibn Hanbal mengatakan bahwa sangat mungkin apa yang dikatakan para sahabat itu, datangnya dari Rasulullah, bahkan tidak sedikit pendapat mereka yang didasarkan kepada petunjuk Rasulullah; para sahabat tidak akan mengeluarkan pendapatnya kecuali dalam hal-hal yang amat penting (ini menunjukkan sifat kehati-hatiannya). Di sisi lain, apabila orang awam dibolehkan mengikuti pendapat para mujtahid, maka mengikuti pendapat sahabat tentu akan lebih boleh, karena Rasulullah mengatakan bahwa generasi sahabat adalah generasi terbaik (HR. al-Bukhari)

Sedangkan sebagian Syafi’iyyah, Jumhur Asy’ariyyah, Mu’tazilah, dan Syi’ah mengatakan bahwa pendapat sahabat tidak dapat dijadikan hujjah, karena ijtihad mereka sama dengan ulama lainnya yang tidak wajib diikuti mujtahid lain. Alasannya:

[296]

1. Al-Hasyr (59): 2: ر ـلابش دوب بشبوردتف ـ

Implikasi dari perintah melakukan I’tibar (ijtihad) adalah larangan bertaqlid (mengikuti pendapat orang lain tanpa dalil), karena untuk menentukan suatu hukum diperlukan dalil, sedangkan taqlid dikecam syara’.

2. An-Nisa (4): 59: … ل سردبوش ش دبشهودرـشئ فش ـشمتفز ناشن ـ Rujukan yang diperintahkan—bila terjadi perdebatan– adalah al-Qur’an dan Sunnah. Apabila seseorang hanya mengambil pendapat sahabat, maka itu berarti meninggalkan kewajiban untuk merujuk kepada al-Qur’an dan Sunnah.

Selanjutnya ulama Syafi’iyyah mengatakan, dari penelusuran terhadap pendapat para sahabat, ditemukan bahwa sebagian pendapat mereka didasarkan kepada ijtihad, dan terjadinya kesalahan bukan hal yang mustahil, karena tidak ada jaminan mereka pasti benar. Adakalanya mereka juga berbeda pendapat dalam menetapkan hukum suatu kasus, seperti kasus pembagian warisan kakek dengan saudara laki-laki, sehingga sulit diketahui pendapat mana yang benar. Melalui induksi, para pakar UF menetapkan bahwa tidak wajib seorang mujtahid mengikuti hasil ijtihad orang lain. Oleh sebab itu, mengikuti pendapat sahabat pun menjadi tidak wajib.

Akan tetapi, Imam Syafi’i, menurut Mustafa Dib al-Bugha (pakar UF Universitas Damaskus, Syiria), banyak mengambil pendapat para sahabat, bahkan ijma yang ia terima sebagai dalil dalam menetapkan hukum adalah ijma para sahabat. Banyak hukum-hukum parsial (rinci) yang diambilnya dari pendapat para sahabat. Bila terjadi perbedaan pendapat di antara para sahabat, Imam Syafi’i mengambil pendapat yang lebih dekat kepada kandungan al-Qur’an dan Sunnah.

Ulama Hanafiyyah membedakan antara pendapat sahabat yang sama sekali bukan permasalahan ijtihadiyyah dengan pendapat sahabat yang popular (tersebar luas) dan tidak

[297]

diketahui ada sahabat lain yang menentangnya, serta pendapat sahabat yang didasarkan pada ijtihad tetapi tidak popular.

7. SADD AZ-ZARI’AH a. Pengertian Sadd az-Zari’ah

Secara etimologi, zari’ah berarti “jalan yang menuju kepada sesuatu” atau identik dengan wasilah (perantara). Ada juga yang mengkhususkan pengertian zari’ah dengan “sesuatu yang membawa kepada yang dilarang dan mengandung kemudaratan”. Tetapi menurut Ibn al-Qayyim al-Jauziyah (pakar fiqh Hanbali) zari’ah berarti umum; zari’ah mengandung dua pengertian, yaitu: yang dilarang, disebut dengan sadd az-zari’ah (أعبرذدبش س) dan yang dituntut untuk dilaksanakan, disebut fath az-zari’ah (أعبرذدبشحتـ).

Sadd az-zari’ah yang dimaksud oleh para ahli ushul fiqh, adalah:

“Mencegah sesuatu yang menjadi perantara pada kerusakan, baik untuk menolak kerusakan itu sendiri ataupun untuk menyumbat jalan/ sarana yang dapat menyampaikan seseorang kepada kerusakan”.

Misalnya dalam masalah zakat. Sebelum waktu haul (batas waktu perhitungan zakat sehingga wajib mengeluarkan zakatnya) datang, seorang yang memiliki sejumlah harta yang wajib dizakati, menghibahkan sebagian hartanya kepada anaknya, sehingga berkurang nishab harta itu dan ia terhindar dari kewajiban zakat. Perbuatan seperti ini dilarang dengan dasar pemikiran bahwa hibah yang hukumnya sunah menggugurkan zakat yang hukumnya wajib.

Atau contoh lain; shalat jumat itu wajib, maka meninggalkan jual beli pada waktu shalat jumat demi untuk melaksanakan shalat jumat hukumnya adalah wajib.

[298]

Tujuan penetapan hukum atas dasar Sadd az-zari’ah, adalah untuk menuju kemaslahatan, karena tujuan umum ditetapkannya hukum adalah untuk kemaslahatan manusia dan menjauhkan kerusakan. Untuk sampai pada tujuan ini, syara memerintahkan sesuatu dan adakalanya melarang sesuatu.

Dalam memenuhi perintah dan larangan ada yang dapat dipenuhi dengan langsung dan ada pula yang harus dipenuhi melalui sarana.

b. Kehujjahan Sadd Az-Dzari’ah

Terdapat perbedaan pendapat’. Ulama Malikiyyah dan Hanabilah menyatakan bahwa Sadd az-zari’ah dapat diterima sebagai salah satu dalil dalam menetapkan hukum syara.

Allah melarang untuk memaki sesembahan kaum musyrik, karena kaum musyrik itu pun akan memaki Allah dengan makian yang sama, bahkan lebih.

2. Hadis:

-Hadis ini, menurut Ibn Taimiyyah, menunjukkan bahwa sadd az-zari’ah termasuk salah satu alasan untuk menetapkan hukum syara, karena sabda Rasul tersebut masih bersifat dugaan, namun atas dasar dugaan itu Rasul melarangnya. Dalam kasus lain Rasul melarang memberi pembagian harta warisan kepada anak yang membunuh ayahnya (HR. al-Bukhari dan Muslim), untuk menghambat terjadinya pembunuhan orang tua oleh anak-anak yang ingin segera mendapat harta warisan.

Sedangkan ulama Hanafiyyah, Syafi’iyyah dan Syi’ah dapat menerima Sadd az-Zari’ah apabila

[299]

kemafsadatan yang akan muncul itu dapat dipastikan akan terjadi, atau sekurang-kurangnya diduga keras (gilbah az-zan) akan terjadi; Artinya ada zari’ah yang diterima dan ada yang ditolak.

Terjadinya perbedaan pendapat antara Malikiyyah dengan Hanabilah di satu pihak serta Hanafiyyah dengan Syafi’iyyah di pihak lain dalam berhujjah dengan sadd az-zari’ah, adalah disebabkan perbedaaan pandangan tentang niat dan lafal dalam masalah transaksi. Ulama Hanafiyyah dan Syafi’iyyah mengatakan bahwa dalam suatu transaksi yang dilihat dan diukur adalah akadnya, bukan niat dari orang yang melakukan akad. Jika akad itu telah memenuhi syarat dan rukun, maka sah. Adapun masalah niat yang tersembunyi dalam akad, diserahkan sepenuhnya kepada Allah. Mereka mengatakan bahwa selama tidak ada indikasi yang menunjukkan niat dari pelaku, maka berlaku kaidah:

برتعلما

“Patokan dasar dalam hal-hal yang berkaitan dengan hak Allah adalah niat, sedangkan yang berkaitan dengan hak-hak hamba (manusia) adalah lafalnya.”

Akan tetapi, jika tujuan orang yang berakad itu dapat ditangkap dengan jelas atau diketahui melalui beberapa indikator yang ada, maka ketika itu berlaku kaidah:

ةبرعلا bukan lafal dan bentuk”.

Ulama Malikiyyah dan Hanabilah mengatakan bahwa untuk mengukur sah atau tidaknya suatu pekerjaan adalah: niat, tujuan dan akibat dari pekerjaan itu. Ibn Qayyim al-Jauziyyah mengatakan apabila niat sejalan dengan perilaku, maka akad itu sah. Apabila tujuan orang itu tidak sesuai dengan semestinya, tetapi tidak ada indikasi yang menunjukkan bahwa niatnya sesuai dengan tujuan tersebut, maka dianggap sah, tetapi antara pelaku dengan Allah tetap ada perhitungan. Apabila ada

[300]

indikator yang dapat menunjukkan niatnya, dan niat itu tidak bertentangan dengan tujuan syara, maka akadnya sah. Namun jika bertentangan, maka perbuatannya itu fasid (rusak) dan tidak ada efek hukumnya.

Dengan demikain, menurut Wahbah az-Zuhaili, Ulama Malikiyyah dan Hanabilah dalam menilai perbuatan seseorang berpegang kepada tujuan dan akibat hukum dari perbuatan itu, sedangkan Hanafiyyah dan Syafi’iyyah berpegang kepada bentuk akad dan perbuatan yang dilakukuan.

Sedangkan ulama Zahiriyyah tidak menerima sadd az-zari’ah sebagai salah satu dalil dalam menetapkan hukum syara.

Penolakan ini sesuai dengan prinsip mereka yang hanya beramal berdasarkan nas secara harfiyyah dan tidak menerima campur tangan logika dalam masalah hukum.

Dalam dokumen BAB XIV SUMBER-SUMBER HUKUM ISLAM (Halaman 28-34)

Dokumen terkait