• Tidak ada hasil yang ditemukan

Majas Penegasan / Perulangan a. Aliterasi

Aliterasi adalah majas yang memanfaatkan kata–kata yang bunyi awalnya sama (Kosasih, 2008:166).

b. Asonansi

Asonansi adalah semacam gaya bahasa yang berwujud perulangan bunyi vokal yang sama. Biasanya dipergunakan dalam puisi, kadang-kadang juga dalam prosa untuk memperoleh efek penekanan atau sekadar keindahan (Keraf, 2007:130).

c. Kiasmus

Kiasmus (chiasmus) adalah semacam acuan atau gaya bahasa yang terdiri dari dua bagian, baik frasa atau klausa, yang sifatnya berimbang, dan dipertentangkan satu sama lain, tetapi susunan frasa atau klausanya itu terbalik bila dibandingkan dengan frasa atau klausa lainnya (Keraf, 2007:132).

d. Repetisi

Repetisi adalah perulangan bunyi, suku kata, kata atau bagian kalimat yang dianggap penting untuk memberi tekanan dalam sebuah konteks yang sesuai. Karena nilainya dalam oratori dianggap tinggi, maka para orator menciptakan bermacam-macam repetisi yang pada prinsipnya didasarkan pada tempat kata yang diulang dalam baris, klausa, atau kalimat (Keraf, 2007:127-129). Repetisi tersebut di antaranya adalah: epizeuksis: repetisi yang bersifat langsung, artinya kata yang dipentingkan diulang beberapa kali berturut-turut. Tautotes: repetisi atas sebuah kata berulang-ulang dalam sebuah konstruksi. Anafora: adalah repetisi yang berwujud perulangan kata pertama pada tiap baris atau kalimat berikutnya. Epistrofa: adalah repetisi yang berwujud perulangan kata atau frasa

pada akhir baris atau kalimat berurutan. Simploke (symploche): simploke adalah repetisi pada awal dan akhir beberapa baris atau kalimat berturut-turut.

Mesodiplosis: adalah repetisi di tengah baris-baris atau beberapa kalimat

berurutan. Epanalepsis: pengulangan yang berwujud kata terakhir dari baris, klausa atau kalimat, mengulang kata pertama. Anadiplosis: kata atau frasa terakhir dari suatu klausa atau kalimat menjadi kata atau frasa pertama dari klausa atau kalimat berikutnya.

e. Pleonasme dan Tautologi

Pada dasarnya pleonasme dan tautologi adalah acuan yang mempergunakan kata-kata lebih banyak daripada yang diperlukan untuk menyatakan satu pikiran atau gagasan. Walaupun secara praktis kedua istilah itu disamakan saja, namun ada yang ingin membedakan keduanya. Suatu acuan disebut pleonasme bila kata yang berlebihan itu dihilangkan, artinya tetap utuh. Sebaliknya, acuan itu disebut tautologi kalau kata yang berlebihan itu sebenarnya mengandung perulangan dari sebuah kata yang lain (Keraf, 2007:133-134).

f. Klimaks

Klimaks adalah majas yang menyatakan beberapa hal berturut–turut yang makin lama makin menghebat (Kosasih, 2008:166).

g. Antiklimaks

Antiklimaks adalah majas yang menyatakan beberapa hal berturut–turut yang makin lama makin menurun (melemah) (Kosasih, 2008:166).

h. Erotesis atau Pertanyaan Retoris

Erotesis atau pertanyaan retoris adalah semacam pertanyaan yang dipergunakan dalam pidato atau tulisan dengan tujuan untuk mencapai efek yang lebih mendalam dan penekanan yang wajar, dan sama sekali tidak menghendaki adanya suatu jawaban. Gaya ini biasanya dipergunakan sebagai salah satu alat yang efektif oleh para orator. Dalam pertanyaan retoris terdapat asumsi bahwa hanya ada satu jawaban yang mungkin (Keraf, 2007:134-135).

i. Retoris

Retoris adalah majas yang berupa kalimat tanya yang jawabannya itu sudah diketahui penanya (Kosasih, 2008:166).

j. Antanaklasis

Antanaklasis adalah majas yang mengandung ulangan kata yang sama dengan makna yang berbeda (Kosasih, 2008:166).

k. Paralelisme

Keraf (2007) menyatakan “Paralelisme adalah semacam gaya bahasa yang berusaha mencapi kesejajaran dalam pemakaian kata-kata atau frasa-frasa yang menduduki fungsi yang sama dalam bentuk gramatikal yang sama. Kesejajaran tersebut dapat pula berbentuk anak kalimat yang bergantung pada sebuah induk kalimat yang sama. Gaya ini lahir dari struktur kalimat yang berimbang” (hlm. 126).

b) Simbol/Lambang 1) Pengertian Simbol

Simbol (symballein, Yunani) berarti memasukkan, mencampurkan, dan membandingkan secara bersama-sama, sehingga terjadi analogi antara benda dengan objeknya. Oleh karena itulah, menurut Wellek dan Warren (dalam Ratna, 2009:171) pada dasarnya simbol mengandung unsur kata kerja. Simbol bunga mawar, pakaian warna hitam, di samping berarti bunga mawar itu sendiri, dengan warnanya yang cerah dan baunya yang harum, juga menunjuk seorang gadis remaja, wanita cantik sebagai idaman banyak pemuda. Demikian juga pakaian hitam, di samping warnanya gelap, yang lebih penting adalah maknanya sebagai tanda berduka cita.

Kata simbol sering diidentikkan dengan tanda atau lambang, dan dapat berbentuk apapun, misalnya sebuah benda, benda tertentu yang dimunculkan secara berulang-ulang, suatu bentuk, suatu gerak, warna, bunyi, bau, bagian tubuh, dan sebagainya. Dalam fiksi, biasanya simbol dapat menimbulkan efek-efek tertentu: simbol yang muncul pada suatu saat yang penting dalam cerita mengedepankan atau menggarisbawahi pentingnya saat itu; simbol yang diulang-diulang sampai beberapa kali dalam keseluruhan karya memperlihatkan bahwa ada sesuatu (elemen) yang tetap dalam dunia fiksi, dan hal itu tidak boleh diabaikan oleh pembaca; simbol yang diulang dalam beberapa konteks peristiwa memberikan efek memperjelas tema cerita. Simbol dalam fiksi dapat mengacu pada elemen-elemen strukturalnya, misalnya mengacu kepada tema, tokoh, latar, dan elemen lainnya (Sayuti, 1996:111).

Berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa simbol/lambang adalah adalah hubungan antara penanda dengan petanda yang sudah menjadi konvensi masyarakat.

2) Macam-macam Lambang

Penyair merasa bahwa dengan simbolisasi itu makna akan lebih hidup, lebih jelas, lebih mudah dibayangkan oleh pembaca. Lambang dan kiasan ikut memberikan sugesti pada kata-kata tersebut. Macam-macam lambang ditentukan oleh keadaan atau peristiwa tertentu. Melalui pelambangan, kata-kata yang diciptakan menjadi lebih konkret sehingga mempermudah proses pengimajian. Berikut macam-macam lambang menurut Waluyo ( 2010:102-105):

(a) Lambang Warna

Warna mempunyai karakteristik watak tertentu. Banyak puisi yang menggunakan lambang warna untuk mengungkapkan perasaan penyair. Judul-judul puisi: “Sajak Putih”, “Serenada Biru”, “Serenada Merah Padam”, “Serenada Hitam”, “Ciliwung yang Coklat”, “Malam Kelabu”, dan sebagainya, menunjukkan digunakannya lambang warna di sini. Film “Kabut Sutra Ungu” menggunakan warna ungu untuk melambangkan kesedihan pelaku utamanya. (b) Lambang Benda

Pelambangan juga dapat dilakukan dengan menggunakan nama benda untuk menggantikan sesuatu yang ingin diucapkan oleh penyair. Dalam kehidupan sehari-hari, kita dapati gambar burung garuda yang digunakan sebagai lambang persatuan Indonesia. Bendera dengan warna merah putih melambangkan

keberanian dan kesucian. Sementara gambar-gambar yang ada dalam Garuda Pancasila itu juga melambangkan sila-sila dalam Pancasila itu.

(c) Lambang Bunyi

Bunyi yang diciptakan oleh penyair juga melambangkan perasaan tertentu. Perpaduan bunyi-bunyi akan menciptakan suasana ynag khusus dalam sebuah puisi. Penggunaan bunyi sebagai lambang ini erat hubungannya dengan rima. Disamping itu, penggunaan lambang bunyi juga erat hubungan dengan diksi. Waktu memilih kata-kata, salah satu faktor yang diperhatikan adalah faktor bunyi yang padu. Bunyi yang melambangkan sesuatu, oleh J. Elemisa disebut klanksymbolik (simbol bunyi).

(d) Lambang Suasana

Suatu suasana dapat dilambangkan pula dengan suasana lain yang dipandang lebih konkret. Lambang suasana ini biasanya dilukiskan dalam kalimat atau alinea. Dengan demikian yang diwakili adalah suatu suasana dan bukan hanya suatu peristiwa sepintas saja.

3) Citraan

a) Pengertian Citraan

Abrams (dalam Al-Ma’ruf:2009) mengungkapkan bahwa citraan atau imaji dalam karya sastra berperan penting untuk menimbulkan pembayangan imajinatif, membentuk gambaran mental, dan dapat membangkitkan pengalaman tertentu pada pembaca. Citraan kata (imagery) berasal dari bahasa Latin imago (image) dengan bentuk verbanya imitari (to imitate). Citraan merupakan kumpulan citra (the collection of images), yang digunakan untuk melukiskan objek dan kualitas

tanggapan indera yang digunakan dalam karya sastra, baik dengan deskripsi secara harfiah maupun secara kias (hlm.75).

Citraan merupakan penggambaran angan-angan dalam karya sastra. Gambaran-gambaran angan tersebut ada bermacam-macam, dihasilkan oleh indera penglihatan, pendengaran, perabaan, pengecapan, maupun penciuman (Pradopo, 2007:81). Citraan atau imaji dalam karya sastra berperan penting untuk menimbulkan pembayangan imajinatif, membentuk gambaran mental, dan dapat membangkitkan pengalaman tertentu pada pembaca. Citraan dalam karya sastra dapat mencerminkan kekhasan dan keunikan individual pengarangnya. Salah satu bentuk penciptaan kerangka seni adalah pemakaian bahasa yang khas melalui citraan (Wellek dan Warren, 1990:18).

Berdasarkan pendapat tersebut dapat disintesiskan bahwa citraan atau imagery adalah kata khas pengarang dalam karya sastra untuk membangkitkan tanggapan indera pembaca.

b) Jenis-jenis Citraan

Sutejo (2010:20) memaparkan jenis-jenis citraan mengikuti pemahaman citra sebagaimana diformulasikan Wellek dan Warren sebagai reproduksi mental, suatu ingatan masa lalu yang bersifat inderawi dan berdasarkan persepsi dan tidak selalu bersifat visual. Jenis-jenis citra meliputi: citra penglihatan (visual imagery), citra pendengaran (audio imagery), citra penciuman, citra perabaan (tactil imagery), dan citra gerak (movement imagery). Lebih lanjut, Pradopo (2007:81) dan Nurgiyantoro (2002:304) membagi citraan kata menjadi tujuh jenis, yaitu: 1) citraan penglihatan, 2) citraan pendengaran, 3) citraan penciuman, 4)

citraan pencecapan, 5) citraan gerak, 6) citraan intelektual, dan 7) citraan perabaan.

Berikut jenis-jenis citraan yang diduga produktif dimanfaatkan oleh sastrawan dalam karya sastranya.

1) Citraan Penglihatan (Visual Imagery)

Citraan yang timbul oleh penglihatan disebut citraan penglihatan. Pelukisan karakter tokoh, misalnya keramahan, kemarahan, kegembiraan dan fisik (kecantikan, keseksian, keluwesan, keterampilan, kejantanan, kekuatan, ketegapan), sering dikemukakan pengarang melalui citraan visual ini. Dalam karya sastra, selain pelukisan karakter tokoh cerita, citraan penglihatan ini juga sangat produktif dipakai oleh pengarang untuk melukiskan keadaan, tempat, pemandangan, atau bangunan. Citraan visual itu mengusik indera penglihatan pembaca sehingga akan membangkitkan imajinasinya untuk memahami karya sastra. Perasaan estetis akan lebih mudah terangsang melalui citraan visual itu (Al-Ma’ruf, 2009:79).

2) Citraan Pendengaran (Auditory Imagery)

Citraan pendengaran adalah citraan yang ditimbulkan oleh pendengaran. Di samping citraan penglihatan, citraan pendengaran juga produktif dipakai dalam karya sastra. Berbagai peristiwa dan pengalaman hidup yang berkaitan dengan pendengaran yang tersimpan dalam memori pembaca akan mudah bangkit dengan adanya citraan audio. Pelukisan keadaan dengan citraan pendengan akan mudah merangsang imaji pembaca yang kaya dalam pencapaian efek estetik (Al-Ma’ruf, 2009:80).

3) Citraan Gerakan (Movement Imagery/Kinaesthetic)

Al-Ma’ruf (2009) berpendapat bahwa citraan gerakan melukiskan sesuatu yang sesungguhnya tidak bergerak tetapi dilukiskan sebagai dapat bergerak ataupun gambaran gerak pada umumnya. Citraan gerak dapat membuat sesuatu menjadi terasa hidup dan terasa menjadi dinamis. Citraan gerak sangat produktif dipakai dalam karya sastra karena mampu membangkitkan imaji pembaca. Melalui pelukisan gerak (kinestetik) imaji pembaca mudah sekali dibangkitkan mengingat di dalam pikiran pembaca tersedia imaji gerakan itu (hlm. 82).

4) Citraan Perabaan (Tactile/Thermal Imagery)

Al-Ma’ruf mengungkapkan “Citraan yang ditimbulkan melalui perabaan disebut citraan perabaan. Berbeda dengan citraan penglihatan dan pendengaran yang produktif, citraan perabaan agak sedikit dipakai oleh pengarang dalam karya sastra. Dalam fiksi citra perabaan terkadang dipakai untuk melukiskan keadaan emosional tokoh” (2009:83).

5) Citraan Penciuman (Smell Imagery)

Jenis citraan penciuman jarang digunakan dibanding citraan gerak, visual atau pendengaran. Namun demikian, citraan penciuman memiliki fungsi penting dalam menghidupkan imajinasi pembaca khususnya indera penciuman. Pelukisan imajinasi yang diperoleh melalui pengalaman indera penciuman disebut citraan penciuman. Citraan penciuman dipakai pengarang untuk membangkitkan imaji pembaca dalam hal memperoleh pemahaman yang utuh atas teks sastra yang dibacanya melalui indera penciumannya. Dalam menangkap gagasan pengarang

dalam karya sastra, citraan penciuman membantu pembaca dalam menghidupkan emosi dan imajinasinya (Al-Ma’ruf, 2009:84).

6) Citraan Pencecapan (Taste Imagery)

Jenis citraan yang juga jarang digunakan seperti halnya citraan penciuman adalah citraan pencecapan. Citraan ini adalah pelukisan imajinasi yang ditimbulkan oleh pengalaman indera pencecapan dalam hal ini lidah. Jenis citraan pencecapan dalam karya sastra dipergunakan untuk menghidupkan imajinasi pembaca dalam hal–hal yang berkaitan dengan rasa di lidah atau membangkitkan selera makan. Melalui citraan ini pembaca akan lebih mudah membayangkan bagaimana rasa sesuatu, makanan atau minuman misalnya yang diperoleh melalui lidah (Al-Ma’ruf, 2009:85).

7) Citraan Intelektual (Intellectual Imagery)

Citraan yang dihasilkan melalui asosiasi-asosiasi intelektual disebut citraan intelektual. Guna menghidupkan imajinasi pembaca, pengarang memanfaatkan citraan intelektual. Dengan jenis citraan ini pengarang dapat membangkitkan imajinasi pembaca melalui asosiasi-asosiasi logika dan pemikiran. Membaca citraan jenis ini, maka intelektualitas pembaca menjadi terangsang sehingga timbul asosiasi-asosiasi pemikiran dalam dirinya. Berbagai pengalaman intelektual yang pernah dirasakannya dalam dihidupkan kembali dengan citraan intelektual. Jenis citraan ini termasuk sering digunakan dalam karya sastra guna merangsang intelektualitas pembaca (Al-Ma’ruf, 2009:85).

Analisis stilistika pada penelitian ini mencakup tiga aspek: pertama, pemanfaatan diksi terdiri atas (kata konotatif, kata konkret, kata sapaan dan nama

diri, kata seru khas Jawa, kata serapan, kata asing, arkaik, kata vulgar, kata dengan objek realitas alam, dan kosakata dari bahasa daerah); kedua, pemanfaatan bahasa figuratif terdiri atas majas {perbandingan (asosiasi, metafora, personifikasi atau prosopopoeia, alegori, antitesis, perifrasis, prolepsis atau antisipasi, koreksio atau epanortosis), pertentangan (hiperbola, litotes, ironi, sinisme, sarkasme, oksimoron, pun atau paronomasia, silepsis, zeugma, satire, inuendo, antifrasis, paradoks, apostrof, apofasis atau preterisio, hipalase, histeron proteron), pertautan (metonomia, sinekdok pars pro toto, sinekdok totem pro parte, alusi, eufemismus, eponim, epitet antonomasia, elipsis, asindenton, polisindenton, dan anastrof atau inverse), dan penegasan (aliterasi, asonansi, kiasmus, repetis epizeuksis, tautotes, anafora, epistrofa, simploke (symploche), mesodiplosis, epanalepsis, anadiplosis, pleonasme, tautologi, klimaks, antiklimaks, erotesis atau pertanyaan retoris, antanaklasis, dan paralelisme)}; simbol/lambang (lambang warna, lambang benda, lambang bunyi, dan lambang suasana); ketiga, citraaan/imagery terdiri atas (penglihatan, pendengaran, penciuman, pencecapan, gerak, intelektual, dan perabaan).

3. Hakikat Nilai-nilai Pendidikan Karakter

Dokumen terkait