• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, DAN KERANGKA BERPIKIR. A. Tinjauan Pustaka

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, DAN KERANGKA BERPIKIR. A. Tinjauan Pustaka"

Copied!
54
0
0

Teks penuh

(1)

commit to user

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, DAN KERANGKA BERPIKIR

A. Tinjauan Pustaka

Hasil penelitian sebelumnya yang relevan dan dapat dijadikan acuan serta masukan untuk penelitian ini sebagai berikut.

Penelitian yang dilakukan oleh Marini (2010:149), simpulannya sebagai berikut: keunikan atau kekhasan pemakaian kosakata novel Laskar Pelangi tampak pada pemilihan dan pemakaian leksikon bahasa asing, pemilihan dan pemakaian leksikon bahasa Jawa, pemilihan dan pemakaian leksikon ilmu pengetahuan, pemilihan dan pemakaian kata sapaan, serta pemilihan dan pemakaian kata konotasi pada judul; kekhususan aspek morfologis dalam novel Laskar pelangi yaitu pada penggunaan afiksasi pada leksikon bahasa Jawa dan bahasa Inggris, dan reduplikasi dalam leksikon bahasa Jawa. Aspek sintaksis yaitu pemakaian repetisi, pemakaian kalimat majemuk, dan pemakaian kalimat inversi; dan penggunaan bahasa figuratif yang terdapat dalam pembahasan novel Laskar Pelangi di antaranya idiom, arti kiasan, konotasi, metafora, metonimia, simile, personifikasi, dan hiperbola. Persamaan penelitian ini dengan penelitian Marini adalah sama-sama genre sastra prosa yaitu novel sebagai bahan kajiannya, selain itu juga menggunakan pendekatan stilistika. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian Eko Marini, penelitian ini menganalisis tentang nilai-nilai pendidikan karakter dan relevansinya dengan pembelajaran, sedangkan dalam penelitian Eko Marini hanya mengkaji aspek stilistika. Selain itu, judul dan pengarang novel juga

(2)

berbeda, jika penelitian Marini adalah novel Laskar Pelangi karya Andrea Hirata, penelitian ini adalah novel Cinta Suci Zahrana Karya Habiburrahman El Shirazy.

Penelitian ini juga relevan dengan penelitian yang dilakukan oleh Zhang (2010:156). Dalam penelitian tersebut Zhang mengomentari karya-karya Hemingway melalui kajian stilistika. Dalam penelitian tersebut dijelaskan bahwa stilistika kesusastraan yang berbentuk novel sebenarnya merupakan disiplin ilmu antara linguistik dan kritik sastra yang menyelidiki estetika dan nilai-nilai yang dihasilkan oleh bentuk-bentuk linguistik, untuk menyampaikan tujuan, sikap, atau karakter pengarang guna meningkatkan kekuatan dan keefektifan dari pesan yang berkontribusi pada karakterisasi dan membuat fungsi realitas fiksi menjadi efektif dalam kesatuan tematik. Simpulannya, karya-karya Hemingway mampu menampilkan ciri khas kepenulisannya yang bersahaja dan berkarakter, selain itu beberapa cerpen dan novelnya bersifat kontroversial sehingga menimbulkan berbagai kritik. Pada akhir bagian, dijelaskan analisis dan komentar terkait dengan karyanya yang berjudul Death in The Afternoon. Persamaan penelitian ini dengan penelitian Zhang adalah sama-sama adanya telaah tentang stilistika pada suatu novel. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian Zhang, kalau penelitian Zang lebih ditekankan pada suatu kritik, kalau penelitian ini lebih ditekankan pada suatu analisis untuk pemerolehan analisis stilistika, nilai-nilai pendidikan karakter, dan relevansinya dengan pembelajaran sastra.

Penelitian selanjutnya adalah penelitian Reid (2009:530). The Lord of the Rings adalah teks yang kompleks serta beroperasi pada berbagai tingkatan wacana. Ketika pertama kali diterbitkan, pembaca, kritikus, dan sarjana tidak

(3)

paham akan apa yang disampaikan, tetapi pengarang memberikan petunjuk dalam berbagai cara, tidak hanya di prolog dan lampiran, tetapi dalam referensi yang lebih luas dibuat dengan beberapa karakter dan persona seluruh narasi utama. Analisis tentang bagaimana dua suara yang mewakili perspektif untuk mengetahui mitologi masa lampau dan sejarah dunia dengan cara yang sebagian besar karakter tidak diketahui (dan dengan cara yang tidak pertama kalinya pembaca dapat mengetahui) mendukung argumen yang dibuat oleh para sarjana yang oleh J. R. R. Tolkien gaya prosa telah diabaikan atau diberhentikan secara tidak adil, bahwa unsur-unsur metafisik yang jauh lebih dalam belum dipertimbangkan. Persamaaan penelitian ini dengan penelitian Reid sama-sama mengkaji novel dengan analisis stilistika. Perbedaannya, penelitian ini mengkaji stilistika, nilai-nilai pendidikan karakter, dan relevansinya dengan pembelajaran novel Cinta Suci Zahrana Karya Habiburrahman El Shirazy, sedangkan penelitian Reid berupa kritikal esai mengenai stilistika pada novel The Lord of The Rings karya J. R. R. Tolkien.

Penelitian lain yang relevan adalah penelitian Oikelome (2009:37). Pada bagian simpulan dijelaskan bahwa penelitian ini secara khusus menyelidiki elemen gaya yang digunakan oleh Fela selama era jazz highlife. Musik Fela termasuk ke dalam empat periode artistik dan analisis elemen struktur musik dalam 60's-menjadi periode pertama artistik. Sampel diambil dari periode jazz highlife dipilih dan mencetak gol dalam notasi staf dalam rangka membangun struktur, bentuk dan teknik komposisi komposer. Studi tersebut menunjukkan penelitian struktural dan gaya lebih lanjut tentang dokumentasi musisi populer

(4)

lainnya di Afrika untuk melestarikan karya-karya mereka untuk anak cucu. Persamaan penelitian ini dengan penelitian Oikelome adalah sama-sama mengkaji stilistika. Perbedaannya, penelitian ini mengkaji novel, sedangkan penelitian Oikelome mengkaji musik.

Pada penelitian Yeibo (2012:186) dikaji aspek-aspek latar belakang pemanfaatan bahasa figuratif untuk makna dan kebutuhan puisi J.P. Clark-Bekederemo. Hasil penelitian tersebut adalah, bahasa figuratif merupakan suatu hal yang signifikan digunakan dalam puisi, dan penulis sengaja bermaksud memanfaatkan bahasa figuratif dengan memberikan arti dengan menggunakan efek tanda di bawah teks pengajaran dan juga untuk memberikan nilai keindahan untuk menghubungkan situasi konteks dan fungsi teks. Implisitnya, analisis bahasa pada puisi J.P Clark Bekederemo dan puisi pada umunya adalah bahasa figuratif membantu memudahkan ketika akan menginterpretasi suatu teks. Persamaan penelitian ini dengan penelitian Yeibo adalah sama-sama mengkaji suatu keindahan bahasa dalam suatu karya sastra. Perbedaannya, penelitian ini mengkaji keindahan bahasa pada novel, penelitian Yeibo mengkaji puisi.

Sun (2011:1405) dalam analisis stilistika pada cerpen “Theft” diperoleh pemahaman yang jelas tentang bentrokan yang kuat antara keinginan batin protagonis dan realitas. Aktivitas mental batin tokoh kontras dengan penampilan, nampaknya perdamaian dan reaksi agak lambat itu lebih ditekan oleh kenyataan, yang menjadikan tokoh semakin keras. Kemalangan kehilangan dompet menyertai kemalangan di dunia cinta dan penderitaan yang kompleks. Tidak terdapat banyak reaksi kekerasan dari tokoh protagonis terhadap pencurian, cinta dan uang, bahkan

(5)

persahabatan. Persamaan penelitian ini dengan penelitian Sun adalah sama-sama karya sastra prosa yang dikaji dari sudut pandang stilistika. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian Sun, kalau penelitian ini bentuk sastra yang dikaji adalah novel, sedangkan penelitian Sun adalah cerpen. Perbedaan lain adalah kalau penelitian ini aspek yang dikaji lebih umum tentang pemanfaatan stilistika, nilai-nilai pendidikan karakter, dan relevansinya dengan pembelajaran, sedangkan penelitian Sun hanya ditekankan pemanfaatan stilistika untuk menentukan ketimpangan antara keinginan dan dunia kenyataan tokoh pada cerpen.

Berdasarkan penelitian yang relevan di atas, dapat disintesiskan bahwa karya apa pun itu (novel, cerpen, puisi, dan musik), memiliki style bahasa yang sangat bermanfaat dan menghibur. Melalui gaya yang digunakan pengarang, akan ditemukan keunikan bahasa yang menjadi identitas suatu karya tertentu. Oleh karena itu, analisis tentang keindahan kebahasaan (stilistika) sangat penting untuk dilakukan. Pada penelitian ini akan dikaji salah satu novel karya Habiburrahman El Shirazy yang berjudul Cinta Suci Zahrana dengan pendekatan stilistika. Supaya penelitian lebih bermanfaat, maka akan dikaji pula nilai-nilai pendidikan karakter dan relevansinya dengan pembelajaran sastra di perguruan tinggi.

B. Landasan Teori 1. Hakikat Novel a. Pengertian Novel

Novel berasal dari bahasa latin novellus yang kemudian diturunkan menjadi novies, yang berarti baru. Perkataan baru ini dikaitkan dengan kenyataan bahwa novel merupakan jenis cerita fiksi (fiction) yang muncul belakangan

(6)

dibandingkan dengan cerita pendek (short story) dan roman. Novel termasuk fiksi (fiction) karena novel merupakan hasil khayalan atau sesuatu yang sebenarnya tidak ada (Waluyo, 2002:36). Ahli strukturalisme genetik dari Perancis, Lucien Goldmann (dalam Wardani, 2009:15) menyatakan bahwa novel adalah cerita mengenai pencarian nilai-nilai otentik dalam dunia yang terdegradasi dan dilakukan oleh tokoh hero yang problematik. Pendapat Goldman tersebut didukung oleh Rene Girard (dalam Wardani, 2009:15-16) yang menyatakan bahwa novel adalah cerita tentang pencarian nilai otentik dalam dunia yang terdegradasi oleh tokoh hero. Nilai otentik adalah nilai implisit yang terdapat dalam novel. Nilai itu bersifat spesifik dan berbeda untuk setiap novel. Nilai otentik juga bersifat abstrak dan konseptual yang muncul dari kesadaran pengarang.

Sementara itu, menurut Tarigan (1995:165), jika ditinjau dari segi jumlah kata, biasanya novel mengandung kata-kata yang berkisar antara 35.000 buah sampai tidak terbatas. Novel yang paling pendek itu harus terdiri minimal 100 halaman dan rata-rata waktu yang dipergunakan untuk membaca novel minimal 2 jam. Nurgiyantoro (2002:4), menyebutkan bahwa novel sebagai karya fiksi menawarkan sebuah dunia. Dunia yang berisi model kehidupan yang ideal. Dunia imajinatif yang dibangun melalui berbagai unsur intrinsiknya seperti peristiwa, plot, tokoh (dan penokohan), latar, sudut pandang, dan lain-lain yang kesemuanya tentu saja bersifat imajinatif. Dalam novel karya fiksi dibangun oleh beberapa unsur pembentukannya mulai dari penokohan, alur, tema, amanat, serta

(7)

bahasa. Jadi, dari segala unsur pembangun novel terjadi keterjalinan unsur intrinsiknya.

Berdasarkan pada beberapa definisi di atas, maka dapat disintesiskan bahwa novel adalah salah satu wujud cerita rekaan yang isinya lebih panjang daripada cerpen namun lebih pendek daripada roman, di dalamnya menceritakan kehidupan tokoh hero dengan segala problematika kehidupan yang kompleks, sehingga mengalihkan jalan nasib tokoh ke dunia kemungkinan yang bersifat imajinatif. b. Jenis-jenis Novel

Menurut Nurgiyantoro (1995) novel terdiri atas dua jenis, yaitu novel populer dan novel serius. Berikut pernyataannya: novel populer adalah novel yang populer pada masanya dan banyak penggemarnya, khususnya pembaca di kalangan remaja. Novel jenis ini menampilkan masalah-masalah yang aktual dan selalu menzaman, namun hanya sampai pada tingkat permukaan. Novel populer tidak menampilkan permasalahan kehidupan secara lebih intens, tidak berusaha meresapi hakikat kehidupan. Sebab, jika demikian halnya, novel populer akan menjadi berat, dan berubah menjadi novel serius, dan boleh jadi akan ditinggalkan oleh pembacanya. Oleh karena itu, novel populer pada umumnya bersifat artifisial, hanya bersifat sementara, cepat ketinggalan zaman, dan tidak memaksa orang untuk membacanya sekali lagi. Ia, biasanya, cepat dilupakan orang, apalagi dengan munculnya novel-novel baru yang lebih populer pada masa sesudahnya (hlm.16).

Novel serius biasanya berusaha mengungkapkan sesuatu yang baru dengan cara pengucapan yang baru pula. Singkatnya, unsur kebaruan diutamakan.

(8)

Tentang bagaimana suatu bahan diolah dengan cara yang khas, adalah hal yang penting dalam teks kesastraan. Justru karena adanya unsur pembaharuan itu yang sebenarnya merupakan tarik-menarik antara pemertahanan dan penolakan konvensi teks kesastraan menjadi mengesankan. Oleh karena itu, dalam novel serius tidak akan terjadi sesuatu yang bersifat stereotip, atau paling tidak, pengarang berusaha untuk menghindarinya. Jika sampai hal itu terjadi, biasanya, ia dianggap sebagai sesuatu yang mengurangi kadar literer karya yang bersangkutan, sebagai suatu cela. Novel serius mengambil realitas kehidupan ini sebagai model, kemudian menciptakan sebuah “dunia baru” lewat penampilan cerita dan tokoh-tokoh dalam situasi yang khusus (hlm.20).

Berdasarkan dua jenis novel tersebut, dapat ditarik suatu simpulan bahwa novel serius memiliki bobot literer yang tinggi dibandingkan novel populer. Hal tersebut karena novel literer berani mengangkat permasalahan besar dibandingkan novel populer yang bersifat artifisial. Contoh novel populer memiliki tema cinta, detektif, horor dan lain sebagainya yang dikemas secara ringan dan santai yang sudah umum terjadi dan biasa ditemui pada kehidupan sehari-hari, sedangkan novel serius lebih berani menyuarakan pemberontakan secara tegas terhadap suatu tatanan yang ada. Contoh novel serius bertemakan gender, politik, adat, agama, denga segala problematika yang serius.

c. Struktur Novel

(9)

1) Tema

Tema merupakan inti atau ide dasar sebuah cerita. Berdasarkan ide dasar itulah kemudian cerita dibangun oleh pengarangnya dengan memanfaatkan unsur-unsur intrinsik seperti plot, penokohan, dan latar. Tema merupakan pangkal otak pengarang dalam menceritakan dunia rekaan yang diciptakannya (Kosasih, 2008:223). Menurut Waluyo dan Wardani (2009) tema cerita dapat diklasifikasikan menjadi lima jenis, yaitu: (1) tema yang bersifat fisik; (2) tema organik; (3) tema sosial; (4) tema egoik (reaksi pribadi); dan (5) tema divine (Ketuhanan). Tema yang bersifat fisik menyangkut inti cerita yang bersangkut paut dengan kebutuhan fisik manusia, misalnya tentang cinta, perjuangan mencari nafkah, hubungan perdagangan, dan sebagainya. Tema yang bersifat organik atau moral, menyangkut soal hubungan antara manusia, misalnya penipuan, masalah keluarga, problem politik, ekonomi, adat, tatacara, dan sebagainya. Tema yang bersifat sosial berkaitan dengan problem kemasyarakatan. Tema egoik atau reaksi individual, berkaitan dengan protes pribadi kepada ketidakadilan, kekuasaan yang berlebihan, dan pertentangan individu. Tema divine (Ketuhanan) menyangkut renungan yang bersifat religius hubungan manusia dengan Sang Khalik (hlm. 12-13).

2) Alur

Alur (plot) merupakan sebagian dari unsur intrinsik suatu karya sastra. Alur merupakan pola pengembangan cerita yang terbentuk oleh hubungan sebab akibat. Pola pengembangan cerita suatu cerpen atau novel tidaklah seragam. Jalan cerita suatu novel kadang-kadang berbelit-belit dan penuh kejutan, juga kadang

(10)

sederhana. Hanya saja bagaimana pun sederhana alur suatu novel tidak akan sesederhana jalan cerita dalam cerpen. Novel akan memiliki jalan cerita yang lebih panjang. Hal ini karena tema cerita yang dikisahkannya lebih kompleks dengan persoalan para tokohnya yang juga lebih rumit (Kosasih, 2008:225-226). Berdasarkan pengembangannya, terdapat tiga macam alur, yaitu alur maju, alur mundur, dan alur campuran.

Secara umum jalan cerita terbagi ke dalam bagian-bagian berikut: (a) Pengenalan situasi cerita (exposition); dalam bagian ini, pengarang memperkenalkan para tokoh, menata adegan dan hubungan antartokoh. (b) Pengungkapan peristiwa (complication); dalam bagian ini disajikan peristiwa awal yang menimbulkan berbagai masalah, pertentangan, ataupun kesukaran-kesukaran bagi para tokoh-nya. (c) Menuju pada adanya konflik (rising action); terjadi peningkatan perhatian kegembiraan, kehebohan, ataupun keterlibatan berbagai situasi yang menyebabkan bertambahnya kesukaran tokoh. (d) Puncak konflik (turning point); bagian ini disebut pula sebagai klimaks. Inilah bagian cerita yang paling besar dan mendebarkan. Pada bagian ini pula, ditentukannya perubahan nasib beberapa tokohnya, misalnya apakah dia berhasil menyelesaikan masalahnya atau gagal. (e) Penyelesaian (ending); sebagai akhir cerita, pada bagian ini berisi penjelasan tentang nasib-nasib yang dialami tokohnya setelah mengalami peristiwa puncak itu. Namun ada pula, novel yang penyelesaian akhir ceritanya itu diserahkan kepada imaji pembaca. Jadi, akhir ceritanya itu dibiarkan menggantung, tanpa ada penyelesaian.

(11)

Konflik merupakan inti dari sebuah alur. Konflik dapat diartikan sebagai suatu pertentangan. Bentuk-bentuk pertentangan itu, sebagaimana yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari, sangatlah bermacam-macam. Misalnya: pertentangan manusia dengan dirinya sendiri (konflik batin); pertentangan manusia dengan sesamanya; pertentangan manusia dengan lingkungannya, baik itu lingkungan ekonomi, politik, sosial, dan budaya; dan pertentangan manusia dengan Tuhan dan keyakinannya.

3) Latar

Latar (setting) merupakan salah satu unsur intrinsik karya sastra. Terliput dalam latar, adalah keadaan tempat, waktu, dan budaya. Tempat dan waktu yang dirujuk dalam sebuah cerita bisa merupakan sesuatu yang faktual atau bisa pula yang imajiner (Kosasih, 2008:227). Jadi, latar adalah tempat, waktu, dan budaya yang terdapat di dalam karya sastra.

4) Tokoh dan perwatakan

Istilah “tokoh” menunjuk pada orangnya, pelaku cerita, misalnya sebagai jawaban terhadap pertanyaan: “Siapakah tokoh utama novel itu?”, atau “Ada berapa orang jumlah pelaku novel itu?”, dan sebagainya. Watak, perwatakan, dan karakter, menunjuk pada sifat dan sikap para tokoh seperti yang ditafsirkan oleh

Puncak konflik

Menuju pada konflik Penyelesaian Pengungkapan peristiwa

(12)

pembaca, lebih menunjuk pada kualitas pribadi seorang tokoh. Penokohan dan karakterisasi-karakterisasi sering juga disamakan artinya dengan karakter dan perwatakan menunjuk pada penempatan tokoh-tokoh tertentu dengan watak-watak tertentu dalam sebuah cerita. Seperti dikatakan oleh Jones (1968), penokohan adalah pelukisan gambaran yang jelas tentang seseorang yang ditampilkan dalam sebuah cerita (Nurgiyantoro, 1995:165). Tokoh dan perwatakan merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan, karena setiap tokoh memiliki watak, sementara watak pasti melekat dalam diri tokoh. Perwatakan bisa dilihat dari aktivitas tokoh dalam menjalani kehidupan, khususnya dalam menghadapi konflik yang dimunculkan.

5) Sudut Pandang atau Point of View

Sudut pandang atau point of view adalah posisi pengarang dalam membawakan cerita. Posisi pengarang ini terdiri atas dua macam berikut ini: pertama, berperan langsung sebagai orang pertama, sebagai tokoh yang terlihat dalam cerita yang bersangkutan; kedua, hanya sebagai orang ketiga yang berperan sebagai pengamat (Kosasih, 2008:229). Sudut pandang orang pertama biasanya ditandai dengan kata aku, saya, daku, dan sebagainya. Sudut pandang orang ketiga ditandai dengan kata dia, ia, mereka, atau nama orang.

6) Amanat

Amanat merupakan ajaran moral atau pesan didagtis yang hendak disampaikan pengarang kepada pembaca melalui karyanya. Untuk menemukan amanat dalam suatu karya sastra tidak cukup dengan membaca dua atau tiga

(13)

paragraf, melainkan harus menghabiskannya sampai tuntas. Amanat bisa didapat baik secara tersirat maupun tersurat.

7) Gaya Bahasa

Dalam cerita, penggunaan bahasa berfungsi untuk menciptakan suatu nada atau suasana persuasif serta merumuskan dialog yang mampu memperlihatkan hubungan dan interaksi antara sesama tokoh. Kemampuan sang penulis mempergunakan bahasa secara cermat dapat menjelmakan suatu suasana yang berterus terang atau satiris, simpatik atau menjengkelkan, objektif atau emosional. Bahasa dapat menimbulkan suasana yang tepat guna bagi adegan yang seram, adegan cinta, ataupun peperangan, keputusan, maupun harapan (Kosasih, 2008:230-231).

Berdasarkan pada beberapa definisi di atas, maka dapat disintesiskan bahwa novel sebagai karya fiksi dibangun oleh suatu struktur, yaitu: tema, alur, latar, penokohan, sudut pandang atau point of view, amanat, dan gaya bahasa.

2. Hakikat Stilistika a. Pengertian Stilistika

Secara etimologis stylistics berhubungan dengan kata style (gaya), sedangkan stilistics dapat diterjemahkan sebagai ilmu tentang gaya. Stilistika adalah ilmu pemanfaatan bahasa dalam karya sastra (Endraswara, 2003:72). Stilistika (stylistics) merujuk pada pengertian studi tentang stile, kajian terhadap wujud performansi kebahasaan, khususnya yang terdapat di dalam karya sastra (Lecch & Short dalam Nurgiyantoro, 2002:279). Sementara itu, (Chapman dalam Nurgiyantoro, 2002:279) menyatakan bahwa kajian stilistika itu sendiri

(14)

sebenarnya dapat ditujukan terhadap berbagai ragam penggunaan bahasa dan tidak terbatas dalam sastra saja, namun biasanya stilistika lebih sering dikaitkan dengan bahasa sastra. Jadi pada dasarnya, stilistika adalah ilmu yang mengkaji gaya atau style pada bahasa apapun itu, tidak hanya sastra, melainkan bahasa pada kehidupan sehari-hari. Hanya saja, praktik dalam kehidupan sehari-hari, stilistika selalu dikaitkan dengan ilmu yang mengkaji keindahan bahasa pada karya sastra, baik prosa, puisi, maupun drama.

Stilistika sebagai bahasa khas sastra, akan memiliki keunikan tersendiri dibandingkan bahasa komunikasi sehari-hari. Stilistika adalah bahasa yang telah diciptakan dan direkayasa untuk mewakili ide sastrawan. Hal tersebut sejalan dengan pendapat Wellek dan Warren (dalam Endraswara, 2003:75) bahwa stilistika adalah bagian ilmu sastra dan akan menjadi penting, karena melalui metode ini akan terjabarkan ciri-ciri khusus sebuah karya sastra. Metode yang dimaksud adalah analisis dengan menggunakan pendekatan stilistika.

Berdasarkan uraian di atas dapat disintesiskan bahwa stilistika dalam konteks sastra adalah ilmu yang mengkaji wujud pemakaian bahasa dalam sebuah karya sastra dengan mempertimbangkan aspek-aspek keindahan.

b. Aspek Stilistika dalam Kajian Karya Sastra 1) Diksi

Diksi disebut juga dengan pemilihan kata. Diksi digunakan oleh pengarang untuk memperindah bentuk dan memberikan ciri khas pada suatu karya yang dibuat. Dalam karya sastra, terdapat banyak diksi antara lain sebagai berikut (Al-Ma’ruf, 2009:53-57): kata konotatif adalah kata yang mengandung makna

(15)

komunikatif yang terlepas dari makna harfiahnya yang didasarkan atas perasaan dan pikiran pengarang atau persepsi pengarang tentang sesuatu yang dibahasakan; kata konkret mengandung makna yang merujuk kepada pengertian langsung atau memiliki makna harfiah, sesuai dengan konvensi tertentu; kata sapaan khas dan nama diri adalah kata yang berfungsi sebagai sebutan untuk menunjukkan orang atau sebagai penanda identitas seseorang; kata seru khas Jawa; kata serapan adalah kata yang diambil atau dipungut dari bahasa lain, baik bahasa asing maupun bahasa daerah, baik mengalami adaptasi struktur, tulisan, dan lafal, maupun tidak dan sudah dikategorikan sebagai kosakata bahasa Indonesia; kata asing; arkaik (kata yang sudah mati dihidupkan lagi); kata vulgar merupakan kata-kata yang tidak intelek, kurang beradab, dipandang tidak etis, dan melanggar sopan santun atau etika sosial yang berlaku dalam masyarakat intelek atau terpelajar; kata dengan objek realitas alam adalah kata yang memanfaatkan realitas alam sebagai bentukan kata tertentu yang memiliki arti; dan kosakata dari bahasa daerah Jawa, Sunda, Batak, dan sebagainya.

2) Bahasa Figuratif

Bahasa figuratif ialah bahasa yang digunakan penyair untuk mengatakan sesuatu dengan cara yang tidak biasa, yakni secara tidak langsung mengungkapkan makna. Kata atau bahasanya bermakna kias atau makna lambang (Waluyo, 2010:96). Berdasarkan pendapat Waluyo tersebut diperoleh pemahaman tentang bahasa figuratif yang terdiri atas pengiasan yang menimbulkan makna kias dan pelambangan yang menimbulkan makna lambang. Berdasarkan pendapat

(16)

tersebut, maka analisis stilistika pada bidang bahasa figuratif terdiri atas gaya bahasa (majas) dan lambang.

a) Gaya Bahasa

(1) Pengertian Gaya Bahasa

Gaya atau khususnya gaya bahasa dikenal dalam retorika dengan istilah style. Kata style diturunkan dari kata Latin stilus, yaitu semacam alat untuk menulis pada lempengan lilin. Keahlian menggunakan alat ini akan mempengaruhi jelas tidaknya tulisan pada lempengan tadi. Kelak pada waktu penekanan dititikberatkan pada keahlian untuk menulis indah, maka style lalu berubah menjadi kemampuan dan keahlian untuk menulis atau mempergunakan kata-kata secara indah (Keraf, 2007:112). Gaya dalam konteks berikut adalah bahasa yang indah.

Makna gaya atau style, menurut Lecch & Short (dalam Nurgiyantoro, 2002:276) merupakan cara penggunaan bahasa dalam konteks tertentu, untuk tujuan tertentu, dan sebagainya. Dengan demikian, style dapat bermacam-macam sifatnya, tergantung konteks dimana dipergunakan, selera pengarang, namun juga tergantung apa tujuan dari penuturan itu sendiri. Hal tersebut sejalan dengan pendapat Abrams (dalam Nurgiyantoro, 2002:276) yang menyatakan bahwa gaya atau style merupakan cara pengucapan bahasa dalam prosa, atau bagaimana seorang pengarang mengungkapkan sesuatu yang akan dikemukakan. Seseorang dapat menggunakan bahasa sebagai cara untuk mengekspresikan sesuatu. Sementara itu, Enkvist (dalam Endaswara, 2003:72) memberikan enam pengertian tentang gaya bahasa, yaitu: 1) bungkus yang membungkus inti pemikiran atau

(17)

pernyataan yang telah ada sebelumnya; 2) pilihan diantara banyak pernyataan yang mungkin; 3) sekumpulan ciri pribadi; 4) penyimpangan norma atau kaidah; 5) sekumpulan ciri kolektif; dan 6) hubungan antara satuan bahasa yang dinyatakan dalam teks lebih luas daripada sebuah kalimat. Terpenting yang harus dipahami bahwa gaya bahasa adalah style as choise, style as meaning, dan style as tension between meaning and form.

Pemajasan (figure of thought) merupakan teknik pengungkapan bahasa yang maknanya tidak menunjuk pada makna harfiah, melainkan pada makna yang ditambahkan atau makna tersirat. Jadi, pemajasan merupakan gaya bahasa yang sengaja mendayagunakan penuturan dengan memanfaatkan bahasa kias. Sebenarnya, makna harfiah dengan makna kias masih ada hubungan, tetapi hubungan tersebut bersifat tidak langsung yang membutuhkan penafsiran dari pembaca (Nurgiyantoro, 2002:297). Melalui gaya bahasa, dapat diperoleh makna tersirat maupun tersurat dari apa yang dimaksud oleh pengungkapnya.

(2) Jenis-jenis Gaya Bahasa

(a) Gaya Bahasa Berdasarkan Struktur Kalimat

Struktur sebuah kalimat dapat dijadikan landasan untuk menciptakan gaya bahasa, yang dimaksud dengan struktur kalimat di sini adalah kalimat bagaimana tempat sebuah unsur kalimat yang dipentingkan dalam kalimat tersebut. Ada kalimat yang bersifat periodik, bila bagian yang terpenting atau gagasan yang mendapat penekanan ditempatkan pada akhir kalimat. Ada kalimat yang bersifat kendur, yaitu bila bagian kalimat yang mendapat penekanan ditempatkan pada awal kalimat. Bagian-bagian yang kurang penting atau semakin kurang penting

(18)

dideretkan sesudah bagian yang dipentingkan tadi, dan jenis yang ketiga adalah kalimat berimbang, yaitu kalimat yang mengandung dua bagian kalimat atau lebih yang kedudukannya sama tinggi atau sederajat (Keraf, 2007:124). Berdasarkan ketiga macam struktur kalimat sebagai yang dikemukakan di atas, maka dapat diperoleh gaya-gaya bahasa yang meliputi: klimaks, antiklimaks, paralelisme, antitesis, repetisi (epizeuksis, tautotes, anafora, epistrofa, simploke, mesodiplosis, epanalepsis, anadiplosis),

(b) Gaya Bahasa Berdasarkan Langsung Tidaknya Makna

Gaya bahasa berdasarkan makna diukur dari langsung tidaknya makna, yaitu apakah acuan yang dipakai masih mempertahankan makna denotatifnya atau sudah ada penyimpangan. Bila acuan yang digunakan itu masih mempertahankan makna dasar, maka bahasa itu masih bersifat polos. Tetapi bila sudah ada perubahan makna, entah berupa makna konotatif atau sudah menyimpang jauh dari makna denotatifnya, maka acuan itu dianggap sudah memiliki gaya sebagai yang dimaksudkan di sini. Gaya bahasa berdasarkan ketidaklangsungan makna ini biasanya disebut sebagai trope atau figure of speech. Istilah trope sebenarnya berarti “pembalikan” atau “penyimpangan”. Kata trope lebih dulu populer sampai dengan abad XVIII. Karena ekses yang terjadi sebelumnya, trope dianggap sebagai penggunaan bahasa yang indah dan menyesatkan. Sebab itu, pada abad XVIII istilah itu mulai diganti dengan figure of speech. Gaya bahasa yang disebut trope atau figure of speech dalam uraian ini dibagi atas dua kelompok, yaitu gaya bahasa retoris, yang semata-mata merupakan penyimpangan dari konstruksi biasa untuk mencapai efek tertentu, dan gaya bahasa kiasan yang merupakan

(19)

penyimpangan yang lebih jauh, khususnya dalam bidang makna (Keraf, 2007:129). Jenis gaya bahasa retoris terdiri atas: aliterasi, asonansi, anastrof, apofasis atau preterisio, apostrof, asindeton, polisindeton, kiasmus, elipsis, eufemismus, litotes, histeron proteron, pleonasme dan tautologi, perifrasis, prolepsis atau antisipasi, erotesis atau pertanyaan retoris, silepsis dan zeugma, koreksio atau epanortosis, hiperbol, paradoks, dan oksimoron. Jenis gaya bahasa kiasan meliputi: persamaan atau simile, metafora, alegori, parabel, fabel, personifikasi atau prosopopoeia, alusi, eponim, epitet, sinekdoke, metonimia, antonomasia, hipalase, ironi, sinisme, sarkasme, satire, inuendo, antifrasis, dan pun atau paronomasia.

Menurut Kosasih, majas terbagi ke dalam empat jenis, yaitu: majas perbandingan, antara lain meliputi asosiasi (simile), metafora, personifikasi, dan alegori; majas pertentangan, antara lain meliputi hiperbola, litotes, ironi, sinisme, dan oksimoron; majas pertautan, antara lain meliputi metonimia, sinekdoke, alusi, eufimisme, elipsis, dan inversi; majas penegasan/perulangan, antara lain meliputi pleonasme, klimaks, antiklimaks, retoris, aliterasi, antanaklasis, repetisi, paralelisme, dan kiasmus (2008:163-167).

Berdasarkan pendapat Keraf dan Kosasih tersebut dapat disimpulkan bahwa bahasa figuratif yang berupa majas dapat dikelompokkan menjadi empat jenis, yaitu:

1. Majas perbandingan a. Asosiasi

(20)

Asosiasi (simile) adalah perbandingan dua hal yang pada hakikatnya berbeda, tetapi sengaja dianggap sama. Majas ini ditandai oleh penggunaan kata bagai, bagaikan, seumpama, seperti (Kosasih, 2008:163).

b. Metafora

Metafora adalah semacam analogi yang membandingkan dua hal secara langsung, tetapi dalam bentuk yang singkat. Metafora sebagai perbandingan langsung tidak mempergunakan kata: seperti, bak, bagai, bagaikan, dan sebagainya, sehingga pokok pertama langsung dihubungkan dengan pokok kedua (Keraf, 2007:139). Proses terjadinya sebenarnya sama dengan simile tetapi secara berangsur-angsur keterangan mengenai persamaan dan pokok pertama dihilangkan.

c. Personifikasi atau Prosopopoeia

Personifikasi atau prosopopoeia adalah semacam gaya bahasa kiasan yang menggambarkan benda-benda mati atau barang-barang yang tidak bernyawa seolah-olah memiliki sifat-sifat kemanusiaan. Personifikasi (penginsanan) merupakan suatu corak khusus dari metafora, yang mengiaskan benda-benda mati bertindak, berbuat, berbicara seperti manusia (Keraf, 2007:140).

d. Alegori

Alegori adalah majas perbandingan yang bertautan satu dengan yang lainnya dalam kesatuan yang utuh (Kosasih, 2008:164).

e. Antitesis

Definisi antitesis menurut Keraf adalah sebuah gaya bahasa yang mengandung gagasan-gagasan yang bertentangan dengan mempergunakan

(21)

kata-kata atau kelompok kata-kata yang berlawanan. Gaya ini timbul dari kalimat berimbang (2007:126-127).

f. Perifrasis

Sebenarnya perifrasis adalah gaya yang mirip dengan pleonasme, yaitu mempergunakan kata lebih banyak dari yang diperlukan. Perbedaannya terletak dalam hal bahwa kata-kata yang berlebihan itu sebenarnya dapat diganti dengan satu kata saja (Keraf, 2007:134).

g. Prolepsis atau antisipasi

Prolepsis atau antisipasi adalah semacam gaya bahasa di mana orang mempergunakan lebih dahulu kata-kata atau sebuah kata sebelum peristiwa atau gagasan yang sebenarnya terjadi. Misalnya dalam mendeskripsikan peristiwa kecelakaan dengan pesawat terbang, sebelum sampai kepada peristiwa kecelakaan itu sendiri, penulis sudah mempergunakan kata pesawat yang sial itu. Padahal kesialan baru terjadi kemudian. Perhatikan pula kalimat-kalimat berikut yang mengandung gaya prolepsis atau antisipasi itu (Keraf, 2007:134).

h. Koreksio atau epanortosis

Koreksio atau epanortosis adalah suatu gaya yang berwujud, mula-mula menegaskan sesuatu, tetapi kemudian memperbaikinya (Keraf, 2007:135). 2. Majas Pertentangan

a. Hiperbola

Hiperbola adalah majas yang mengandung pernyataan yang berlebih– lebihan dengan maksud untuk memperhebat, meningkatkan kesan, dan daya pengaruh (Kosasih, 2008:164).

(22)

b. Litotes

Litotes adalah majas yang ditujukan untuk mengurangi atau mengecil– ngecilkan kenyataan sebenarnya. Tujuannya antara lain untuk merendahkan diri (Kosasih, 2008:164).

c. Ironi, Sinisme, dan Sarkasme

Keraf (2007:143-144) mengungkapkan ironi, sinisme, dan sarkasme sebagai berikut :

Ironi diturunkan dari kata eironeia yang berarti penipuan atau pura-pura. Sebagai bahasa kiasan, ironi atau sindiran adalah suatu acuan yang ingin mengatakan sesuatu dengan makna atau maksud berlainan dari apa yang terkandung dalam rangkaian kata-katanya. Ironi merupakan suatu upaya literer yang efektif karena ia menyampaikan impresi yang mengandung pengekangan yang besar. Entah dengan sengaja atau tidak, rangkaian kata-kata yang dipergunakan itu mengingkari maksud yang sebenarnya. Sebab itu, ironi akan berhasil kalau pendengar juga sadar akan maksud yang disembunyikan di balik rangkaian kata-katanya. Sinisme diturunkan dari nama suatu aliran filsafat Yunani yang mula-mula mengajarkan bahwa kebajikan adalah satu-satunya kebaikan, serta hakikatnya terletak dalam pengendalian diri dan kebebasan, tetapi kemudian mereka menjadi kritikus yang keras atas kebiasaan-kebiasaan sosial dan filsafat-filsafat lainnya. Walaupun sinisme dianggap lebih keras dari ironi, namun kadang-kadang masih sukar diadakan perbedaan antara keduanya. Bila contoh mengenai ironi di atas diubah, maka akan dijumpai gaya yang lebih bersifat sinis. Sarkasme merupakan suatu acuan yang lebih kasar dari ironi dan sinisme. Ia adalah suatu

(23)

acuan yang mengandung kepahitan dan celaan yang getir. Sarkasme dapat saja bersifat ironis, dapat juga tidak, tetapi yang jelas adalah bahwa gaya ini selalu akan menyakiti hati dan kurang enak didengar. Kata sarkasme diturunkan dari kata Yunani sarkasmos, yang lebih jauh diturunkan dari kata kerja sakasein yang berarti “merobek-robek daging seperti anjing”, menggigit bibir karena marah, atau “berbicara dengan kepahitan”.

d. Oksimoron

Oksimoron adalah majas yang antarbagian–bagiannya menyatakan sesuatu yang bertentangan (Kosasih, 2008:164).

e. Pun atau Paronomasia

Pun atau paranomasi adalah kiasan dengan mempergunakan kemiripan bunyi. Ia merupakan permainan kata yang didasarkan pada kemiripan bunyi, tetapi terdapat perbedaan besar dalam maknanya (Keraf, 2007:145).

f. Silepsis dan Zeugma

Silepsis dan zeugma adalah gaya di mana orang mempergunakan dua konstruksi rapatan dengan menghubungkan sebuah kata dengan dua kata lain yang sebenarnya hanya salah satunya mempunyai hubungan dengan kata pertama. Dalam silepsis, konstruksi yang dipergunakan itu secara gramatikal benar, tetapi secara semantik tidak benar (Keraf, 2007:135). Dalam zeugma kata yang dipakai untuk membawahi kedua kata berikutnya, sebenarnya hanya cocok untuk salah satu daripadanya (baik secara logis maupun secara gramatikal).

(24)

g. Satire

Uraian yang harus ditafsirkan lain dari makna permukaannya disebut satire. Kata satire diturunkan dari kata satura yang berarti talam yang penuh berisi macam-macam buah-buahan. Satire adalah ungkapan yang menertawakan atau menolak sesuatu. Bentuk ini tidak perlu harus bersifat ironis. Satire mengandung kritik tentang kelemahan manusia. Tujuan utamanya adalah agar diadakan perbaikan secara etis maupun estetis (Keraf, 2007:144).

h. Inuendo

Inuendo adalah semacam sindiran dengan mengecilkan kenyataan yang sebenarnya. Ia menyatakan kritik dengan sugesti yang tidak langsung, dan sering tampaknya tidak menyakitkan hati kalau dilihat sambil lalu (Keraf, 2007:144). i. Antifrasis

Antifrasis adalah semacam ironi yang berwujud penggunaan sebuah kata dengan makna kebalikannya, yang bisa saja dianggap sebagai ironi sendiri, atau kata-kata yang dipakai untuk menangkal kejahatan, roh jahat, dan sebagainya. Antifrasis akan diketahui dengan jelas, bila pembaca atau pendengar mengetahui atau dihadapkan pada kenyataan bahwa yang dikatakan itu adalah sebaliknya. Bila diketahui bahwa yang datang adalah seorang yang cebol, bahwa yang dihadapi adalah seorang koruptor atau penjahat, maka kedua contoh itu jelas disebut antifrasis. Kalau tidak diketahui secara pasti, maka ia disebut saja sebagai ironi (Keraf, 2007:144-145).

(25)

j. Paradoks

Paradoks adalah semacam gaya bahasa yang mengandung pertentangan yang nyata dengan fakta-fakta yang ada. Paradoks dapat juga berarti semua hal yang menarik perhatian karena kebenarannya (Keraf, 2007:136).

k. Apostrof

Apostrof adalah semacam gaya yang berbentuk pengalihan amanat dari para hadirin kepada sesuatu yang tidak hadir. Cara ini biasanya dipergunakan oleh orator klasik. Dalam pidato yang disampaikan kepada suatu massa, sang orator secara tiba-tiba mengarahkan pembicaraannya langsung kepada sesuatu yang tidak hadir: kepada mereka yang sudah meninggal, atau kepada barang atau objek khayalan atau sesuatu yang abstrak, sehingga tampaknya ia tidak berbicara kepada hadirin (Keraf, 2007:131).

l. Apofasis atau Preterisio

Apofasis atau disebut juga preterisio merupakan sebuah gaya di mana penulis atau pengarang menegaskan sesuatu, tetapi tampaknya menyangkal. Berpura-pura membiarkan sesuatu berlalu, tetapi sebenarnya ia menekankan hal itu. Berpura-pura melindungi atau menyembunyikan sesuatu, tetapi sebenarnya memamerkannya (Keraf, 2007:130).

m. Hipalase

Hipalase adalah semacam gaya bahasa di mana sebuah kata tertentu dipergunakan untuk menerangkan sebuah kata, yang seharusnya dikenakan pada sebuah kata yang lain. Secara singkat dapat dikatakan bahwa hipalase adalah

(26)

suatu kebalikan dari suatu relasi alamiah antara dua komponen gagasan (Keraf, 2007:142).

n. Histeron Proteron

Histeron Proteron adalah semacam gaya bahasa yang merupakan kebalikan dari sesuatu yang logis atau kebalikan dari sesuatu yang wajar, misalnya menempatkan sesuatu yang terjadi kemudian pada awal peristiwa. Juga disebut hiperbaton (Keraf, 2007:133).

3. Majas Pertautan a. Metonomia

Metonimia adalah majas yang memakai nama ciri atau nama hal yang ditautkan dengan nama orang, barang, atau hal lainnya sebagai pengganti (Kosasih, 2008:165).

b. Sinekdok

Sinekdoke adalah majas yang menyebutkan nama bagian sebagai pengganti nama keseluruhan atau sebaliknya. Majas ini terbagi ke dalam dua jenis (Kosasih, 2008:165).

Pars pro toto, sebagian untuk seluruhnya.

Maksudnya, kalau yang disebutkan sebagian dari suatu benda, maka yang dimaksudkan adalah benda itu secara keseluruhan.

Totem pro parte, seluruhnya untuk sebagian

Maksudnya, dengan menyebutkan keseluruhan maka yang dimaksud hanya sebagiannya saja.

(27)

c. Alusi

Alusi adalah majas yang menunjuk secara tidak langsung pada suatu tokoh atau peristiwa yang sudah diketahui bersama (Kosasih, 2008:165).

d. Eufemismus

Kata eufemisme atau eufemismus diturunkan dari kata Yunani euphemizein yang berarti” mempergunakan kata-kata dengan arti yang baik atau dengan tujuan yang baik”. Sebagai gaya bahasa, eufemisme adalah semacam acuan berupa ungkapan yang tidak menyinggung perasaan orang, atau ungkapan-ungkapan yang halus untuk menggantikan acuan-acuan yang mungkin dirasakan menghina, menyinggung perasaan atau mensugestikan sesuatu yang tidak menyenangkan (Keraf, 2007:132).

e. Eponim

Eponim adalah suatu gaya di mana seseorang yang namanya begitu sering dihubungkan dengan sifat tertentu, sehingga nama itu dipakai untuk menyatakan sifat itu.

f. Epitet

Epitet (epiteta) adalah semacam acuan yang menyatakan suatu sifat atau ciri yang khusus dari seseorang atau sesuatu hal. Keterangan itu adalah suatu frasa deskriptif yang menjelaskan atau menggantikan nama seseorang atau suatu barang.

(28)

g. Antonomasia

Antonomasia juga merupakan sebuah bentuk khusus dari sinekdoke yang berwujud penggunaan sebuah epiteta untuk menggantikan nama diri, atau gelar resmi, atau jabatan untuk menggantikan nama diri (Keraf, 2007:142).

h. Elipsis

Elipsis adalah majas yang di dalamnya terdapat penghilangan kata atau bagian kalimat (Kosasih, 2008:165).

i. Asindenton

Asindenton adalah suatu gaya yang berupa acuan, yang bersifat padat dan mampat di mana beberapa kata, frasa, atau klausa yang sederajat tidak dihubungkan dengan kata sambung. Bentuk-bentuk itu biasanya dipisahkan saja dengan koma, seperti ucapan terkenal dari Julius Caesar: Veni, vidi, vici, “saya datang, saya lihat, saya menang” (Keraf, 2007:131).

j. Polisindenton

Polisindeton adalah suatu gaya yang merupakan kebalikan dari asidenton. Beberapa kata, frasa, atau klausa yang berurutan dihubungkan satu sama lain dengan kata-kata sambung (Keraf, 2007:131).

k. Anastrof atau inversi

Anastrof atau inversi adalah semacam gaya retoris yang diperoleh dengan pembalikan susunan kata yang biasa dalam kalimat (Keraf, 2007:130).

4. Majas Penegasan / Perulangan a. Aliterasi

(29)

Aliterasi adalah majas yang memanfaatkan kata–kata yang bunyi awalnya sama (Kosasih, 2008:166).

b. Asonansi

Asonansi adalah semacam gaya bahasa yang berwujud perulangan bunyi vokal yang sama. Biasanya dipergunakan dalam puisi, kadang-kadang juga dalam prosa untuk memperoleh efek penekanan atau sekadar keindahan (Keraf, 2007:130).

c. Kiasmus

Kiasmus (chiasmus) adalah semacam acuan atau gaya bahasa yang terdiri dari dua bagian, baik frasa atau klausa, yang sifatnya berimbang, dan dipertentangkan satu sama lain, tetapi susunan frasa atau klausanya itu terbalik bila dibandingkan dengan frasa atau klausa lainnya (Keraf, 2007:132).

d. Repetisi

Repetisi adalah perulangan bunyi, suku kata, kata atau bagian kalimat yang dianggap penting untuk memberi tekanan dalam sebuah konteks yang sesuai. Karena nilainya dalam oratori dianggap tinggi, maka para orator menciptakan bermacam-macam repetisi yang pada prinsipnya didasarkan pada tempat kata yang diulang dalam baris, klausa, atau kalimat (Keraf, 2007:127-129). Repetisi tersebut di antaranya adalah: epizeuksis: repetisi yang bersifat langsung, artinya kata yang dipentingkan diulang beberapa kali berturut-turut. Tautotes: repetisi atas sebuah kata berulang-ulang dalam sebuah konstruksi. Anafora: adalah repetisi yang berwujud perulangan kata pertama pada tiap baris atau kalimat berikutnya. Epistrofa: adalah repetisi yang berwujud perulangan kata atau frasa

(30)

pada akhir baris atau kalimat berurutan. Simploke (symploche): simploke adalah repetisi pada awal dan akhir beberapa baris atau kalimat berturut-turut.

Mesodiplosis: adalah repetisi di tengah baris-baris atau beberapa kalimat

berurutan. Epanalepsis: pengulangan yang berwujud kata terakhir dari baris, klausa atau kalimat, mengulang kata pertama. Anadiplosis: kata atau frasa terakhir dari suatu klausa atau kalimat menjadi kata atau frasa pertama dari klausa atau kalimat berikutnya.

e. Pleonasme dan Tautologi

Pada dasarnya pleonasme dan tautologi adalah acuan yang mempergunakan kata-kata lebih banyak daripada yang diperlukan untuk menyatakan satu pikiran atau gagasan. Walaupun secara praktis kedua istilah itu disamakan saja, namun ada yang ingin membedakan keduanya. Suatu acuan disebut pleonasme bila kata yang berlebihan itu dihilangkan, artinya tetap utuh. Sebaliknya, acuan itu disebut tautologi kalau kata yang berlebihan itu sebenarnya mengandung perulangan dari sebuah kata yang lain (Keraf, 2007:133-134).

f. Klimaks

Klimaks adalah majas yang menyatakan beberapa hal berturut–turut yang makin lama makin menghebat (Kosasih, 2008:166).

g. Antiklimaks

Antiklimaks adalah majas yang menyatakan beberapa hal berturut–turut yang makin lama makin menurun (melemah) (Kosasih, 2008:166).

(31)

h. Erotesis atau Pertanyaan Retoris

Erotesis atau pertanyaan retoris adalah semacam pertanyaan yang dipergunakan dalam pidato atau tulisan dengan tujuan untuk mencapai efek yang lebih mendalam dan penekanan yang wajar, dan sama sekali tidak menghendaki adanya suatu jawaban. Gaya ini biasanya dipergunakan sebagai salah satu alat yang efektif oleh para orator. Dalam pertanyaan retoris terdapat asumsi bahwa hanya ada satu jawaban yang mungkin (Keraf, 2007:134-135).

i. Retoris

Retoris adalah majas yang berupa kalimat tanya yang jawabannya itu sudah diketahui penanya (Kosasih, 2008:166).

j. Antanaklasis

Antanaklasis adalah majas yang mengandung ulangan kata yang sama dengan makna yang berbeda (Kosasih, 2008:166).

k. Paralelisme

Keraf (2007) menyatakan “Paralelisme adalah semacam gaya bahasa yang berusaha mencapi kesejajaran dalam pemakaian kata-kata atau frasa-frasa yang menduduki fungsi yang sama dalam bentuk gramatikal yang sama. Kesejajaran tersebut dapat pula berbentuk anak kalimat yang bergantung pada sebuah induk kalimat yang sama. Gaya ini lahir dari struktur kalimat yang berimbang” (hlm. 126).

b) Simbol/Lambang 1) Pengertian Simbol

(32)

Simbol (symballein, Yunani) berarti memasukkan, mencampurkan, dan membandingkan secara bersama-sama, sehingga terjadi analogi antara benda dengan objeknya. Oleh karena itulah, menurut Wellek dan Warren (dalam Ratna, 2009:171) pada dasarnya simbol mengandung unsur kata kerja. Simbol bunga mawar, pakaian warna hitam, di samping berarti bunga mawar itu sendiri, dengan warnanya yang cerah dan baunya yang harum, juga menunjuk seorang gadis remaja, wanita cantik sebagai idaman banyak pemuda. Demikian juga pakaian hitam, di samping warnanya gelap, yang lebih penting adalah maknanya sebagai tanda berduka cita.

Kata simbol sering diidentikkan dengan tanda atau lambang, dan dapat berbentuk apapun, misalnya sebuah benda, benda tertentu yang dimunculkan secara berulang-ulang, suatu bentuk, suatu gerak, warna, bunyi, bau, bagian tubuh, dan sebagainya. Dalam fiksi, biasanya simbol dapat menimbulkan efek-efek tertentu: simbol yang muncul pada suatu saat yang penting dalam cerita mengedepankan atau menggarisbawahi pentingnya saat itu; simbol yang diulang-diulang sampai beberapa kali dalam keseluruhan karya memperlihatkan bahwa ada sesuatu (elemen) yang tetap dalam dunia fiksi, dan hal itu tidak boleh diabaikan oleh pembaca; simbol yang diulang dalam beberapa konteks peristiwa memberikan efek memperjelas tema cerita. Simbol dalam fiksi dapat mengacu pada elemen-elemen strukturalnya, misalnya mengacu kepada tema, tokoh, latar, dan elemen lainnya (Sayuti, 1996:111).

(33)

Berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa simbol/lambang adalah adalah hubungan antara penanda dengan petanda yang sudah menjadi konvensi masyarakat.

2) Macam-macam Lambang

Penyair merasa bahwa dengan simbolisasi itu makna akan lebih hidup, lebih jelas, lebih mudah dibayangkan oleh pembaca. Lambang dan kiasan ikut memberikan sugesti pada kata-kata tersebut. Macam-macam lambang ditentukan oleh keadaan atau peristiwa tertentu. Melalui pelambangan, kata-kata yang diciptakan menjadi lebih konkret sehingga mempermudah proses pengimajian. Berikut macam-macam lambang menurut Waluyo ( 2010:102-105):

(a) Lambang Warna

Warna mempunyai karakteristik watak tertentu. Banyak puisi yang menggunakan lambang warna untuk mengungkapkan perasaan penyair. Judul-judul puisi: “Sajak Putih”, “Serenada Biru”, “Serenada Merah Padam”, “Serenada Hitam”, “Ciliwung yang Coklat”, “Malam Kelabu”, dan sebagainya, menunjukkan digunakannya lambang warna di sini. Film “Kabut Sutra Ungu” menggunakan warna ungu untuk melambangkan kesedihan pelaku utamanya. (b) Lambang Benda

Pelambangan juga dapat dilakukan dengan menggunakan nama benda untuk menggantikan sesuatu yang ingin diucapkan oleh penyair. Dalam kehidupan sehari-hari, kita dapati gambar burung garuda yang digunakan sebagai lambang persatuan Indonesia. Bendera dengan warna merah putih melambangkan

(34)

keberanian dan kesucian. Sementara gambar-gambar yang ada dalam Garuda Pancasila itu juga melambangkan sila-sila dalam Pancasila itu.

(c) Lambang Bunyi

Bunyi yang diciptakan oleh penyair juga melambangkan perasaan tertentu. Perpaduan bunyi-bunyi akan menciptakan suasana ynag khusus dalam sebuah puisi. Penggunaan bunyi sebagai lambang ini erat hubungannya dengan rima. Disamping itu, penggunaan lambang bunyi juga erat hubungan dengan diksi. Waktu memilih kata-kata, salah satu faktor yang diperhatikan adalah faktor bunyi yang padu. Bunyi yang melambangkan sesuatu, oleh J. Elemisa disebut klanksymbolik (simbol bunyi).

(d) Lambang Suasana

Suatu suasana dapat dilambangkan pula dengan suasana lain yang dipandang lebih konkret. Lambang suasana ini biasanya dilukiskan dalam kalimat atau alinea. Dengan demikian yang diwakili adalah suatu suasana dan bukan hanya suatu peristiwa sepintas saja.

3) Citraan

a) Pengertian Citraan

Abrams (dalam Al-Ma’ruf:2009) mengungkapkan bahwa citraan atau imaji dalam karya sastra berperan penting untuk menimbulkan pembayangan imajinatif, membentuk gambaran mental, dan dapat membangkitkan pengalaman tertentu pada pembaca. Citraan kata (imagery) berasal dari bahasa Latin imago (image) dengan bentuk verbanya imitari (to imitate). Citraan merupakan kumpulan citra (the collection of images), yang digunakan untuk melukiskan objek dan kualitas

(35)

tanggapan indera yang digunakan dalam karya sastra, baik dengan deskripsi secara harfiah maupun secara kias (hlm.75).

Citraan merupakan penggambaran angan-angan dalam karya sastra. Gambaran-gambaran angan tersebut ada bermacam-macam, dihasilkan oleh indera penglihatan, pendengaran, perabaan, pengecapan, maupun penciuman (Pradopo, 2007:81). Citraan atau imaji dalam karya sastra berperan penting untuk menimbulkan pembayangan imajinatif, membentuk gambaran mental, dan dapat membangkitkan pengalaman tertentu pada pembaca. Citraan dalam karya sastra dapat mencerminkan kekhasan dan keunikan individual pengarangnya. Salah satu bentuk penciptaan kerangka seni adalah pemakaian bahasa yang khas melalui citraan (Wellek dan Warren, 1990:18).

Berdasarkan pendapat tersebut dapat disintesiskan bahwa citraan atau imagery adalah kata khas pengarang dalam karya sastra untuk membangkitkan tanggapan indera pembaca.

b) Jenis-jenis Citraan

Sutejo (2010:20) memaparkan jenis-jenis citraan mengikuti pemahaman citra sebagaimana diformulasikan Wellek dan Warren sebagai reproduksi mental, suatu ingatan masa lalu yang bersifat inderawi dan berdasarkan persepsi dan tidak selalu bersifat visual. Jenis-jenis citra meliputi: citra penglihatan (visual imagery), citra pendengaran (audio imagery), citra penciuman, citra perabaan (tactil imagery), dan citra gerak (movement imagery). Lebih lanjut, Pradopo (2007:81) dan Nurgiyantoro (2002:304) membagi citraan kata menjadi tujuh jenis, yaitu: 1) citraan penglihatan, 2) citraan pendengaran, 3) citraan penciuman, 4)

(36)

citraan pencecapan, 5) citraan gerak, 6) citraan intelektual, dan 7) citraan perabaan.

Berikut jenis-jenis citraan yang diduga produktif dimanfaatkan oleh sastrawan dalam karya sastranya.

1) Citraan Penglihatan (Visual Imagery)

Citraan yang timbul oleh penglihatan disebut citraan penglihatan. Pelukisan karakter tokoh, misalnya keramahan, kemarahan, kegembiraan dan fisik (kecantikan, keseksian, keluwesan, keterampilan, kejantanan, kekuatan, ketegapan), sering dikemukakan pengarang melalui citraan visual ini. Dalam karya sastra, selain pelukisan karakter tokoh cerita, citraan penglihatan ini juga sangat produktif dipakai oleh pengarang untuk melukiskan keadaan, tempat, pemandangan, atau bangunan. Citraan visual itu mengusik indera penglihatan pembaca sehingga akan membangkitkan imajinasinya untuk memahami karya sastra. Perasaan estetis akan lebih mudah terangsang melalui citraan visual itu (Al-Ma’ruf, 2009:79).

2) Citraan Pendengaran (Auditory Imagery)

Citraan pendengaran adalah citraan yang ditimbulkan oleh pendengaran. Di samping citraan penglihatan, citraan pendengaran juga produktif dipakai dalam karya sastra. Berbagai peristiwa dan pengalaman hidup yang berkaitan dengan pendengaran yang tersimpan dalam memori pembaca akan mudah bangkit dengan adanya citraan audio. Pelukisan keadaan dengan citraan pendengan akan mudah merangsang imaji pembaca yang kaya dalam pencapaian efek estetik (Al-Ma’ruf, 2009:80).

(37)

3) Citraan Gerakan (Movement Imagery/Kinaesthetic)

Al-Ma’ruf (2009) berpendapat bahwa citraan gerakan melukiskan sesuatu yang sesungguhnya tidak bergerak tetapi dilukiskan sebagai dapat bergerak ataupun gambaran gerak pada umumnya. Citraan gerak dapat membuat sesuatu menjadi terasa hidup dan terasa menjadi dinamis. Citraan gerak sangat produktif dipakai dalam karya sastra karena mampu membangkitkan imaji pembaca. Melalui pelukisan gerak (kinestetik) imaji pembaca mudah sekali dibangkitkan mengingat di dalam pikiran pembaca tersedia imaji gerakan itu (hlm. 82).

4) Citraan Perabaan (Tactile/Thermal Imagery)

Al-Ma’ruf mengungkapkan “Citraan yang ditimbulkan melalui perabaan disebut citraan perabaan. Berbeda dengan citraan penglihatan dan pendengaran yang produktif, citraan perabaan agak sedikit dipakai oleh pengarang dalam karya sastra. Dalam fiksi citra perabaan terkadang dipakai untuk melukiskan keadaan emosional tokoh” (2009:83).

5) Citraan Penciuman (Smell Imagery)

Jenis citraan penciuman jarang digunakan dibanding citraan gerak, visual atau pendengaran. Namun demikian, citraan penciuman memiliki fungsi penting dalam menghidupkan imajinasi pembaca khususnya indera penciuman. Pelukisan imajinasi yang diperoleh melalui pengalaman indera penciuman disebut citraan penciuman. Citraan penciuman dipakai pengarang untuk membangkitkan imaji pembaca dalam hal memperoleh pemahaman yang utuh atas teks sastra yang dibacanya melalui indera penciumannya. Dalam menangkap gagasan pengarang

(38)

dalam karya sastra, citraan penciuman membantu pembaca dalam menghidupkan emosi dan imajinasinya (Al-Ma’ruf, 2009:84).

6) Citraan Pencecapan (Taste Imagery)

Jenis citraan yang juga jarang digunakan seperti halnya citraan penciuman adalah citraan pencecapan. Citraan ini adalah pelukisan imajinasi yang ditimbulkan oleh pengalaman indera pencecapan dalam hal ini lidah. Jenis citraan pencecapan dalam karya sastra dipergunakan untuk menghidupkan imajinasi pembaca dalam hal–hal yang berkaitan dengan rasa di lidah atau membangkitkan selera makan. Melalui citraan ini pembaca akan lebih mudah membayangkan bagaimana rasa sesuatu, makanan atau minuman misalnya yang diperoleh melalui lidah (Al-Ma’ruf, 2009:85).

7) Citraan Intelektual (Intellectual Imagery)

Citraan yang dihasilkan melalui asosiasi-asosiasi intelektual disebut citraan intelektual. Guna menghidupkan imajinasi pembaca, pengarang memanfaatkan citraan intelektual. Dengan jenis citraan ini pengarang dapat membangkitkan imajinasi pembaca melalui asosiasi-asosiasi logika dan pemikiran. Membaca citraan jenis ini, maka intelektualitas pembaca menjadi terangsang sehingga timbul asosiasi-asosiasi pemikiran dalam dirinya. Berbagai pengalaman intelektual yang pernah dirasakannya dalam dihidupkan kembali dengan citraan intelektual. Jenis citraan ini termasuk sering digunakan dalam karya sastra guna merangsang intelektualitas pembaca (Al-Ma’ruf, 2009:85).

Analisis stilistika pada penelitian ini mencakup tiga aspek: pertama, pemanfaatan diksi terdiri atas (kata konotatif, kata konkret, kata sapaan dan nama

(39)

diri, kata seru khas Jawa, kata serapan, kata asing, arkaik, kata vulgar, kata dengan objek realitas alam, dan kosakata dari bahasa daerah); kedua, pemanfaatan bahasa figuratif terdiri atas majas {perbandingan (asosiasi, metafora, personifikasi atau prosopopoeia, alegori, antitesis, perifrasis, prolepsis atau antisipasi, koreksio atau epanortosis), pertentangan (hiperbola, litotes, ironi, sinisme, sarkasme, oksimoron, pun atau paronomasia, silepsis, zeugma, satire, inuendo, antifrasis, paradoks, apostrof, apofasis atau preterisio, hipalase, histeron proteron), pertautan (metonomia, sinekdok pars pro toto, sinekdok totem pro parte, alusi, eufemismus, eponim, epitet antonomasia, elipsis, asindenton, polisindenton, dan anastrof atau inverse), dan penegasan (aliterasi, asonansi, kiasmus, repetis epizeuksis, tautotes, anafora, epistrofa, simploke (symploche), mesodiplosis, epanalepsis, anadiplosis, pleonasme, tautologi, klimaks, antiklimaks, erotesis atau pertanyaan retoris, antanaklasis, dan paralelisme)}; simbol/lambang (lambang warna, lambang benda, lambang bunyi, dan lambang suasana); ketiga, citraaan/imagery terdiri atas (penglihatan, pendengaran, penciuman, pencecapan, gerak, intelektual, dan perabaan).

3. Hakikat Nilai-nilai Pendidikan Karakter a. Pengertian Nilai Pendidikan Karakter

Menurut Megawangi (dalam Nurchaili, 2010:235) karakter berasal dari bahasa Yunani yaitu charassein, yang artinya mengukir hingga berbentuk suatu pola. Jadi untuk mendidik anak agar memiliki karakter diperlukan proses ‘mengukir’ yakni pengasuhan dan pendidikan yang tepat. Karakter sendiri berasal dari suatu nilai, nilai yang diwujudkan dalam bentuk perilaku itulah yang disebut

(40)

karakter. Lickona (dalam Wibowo, 2013:12-13) berpendapat bahwa pendidikan karakter mengandung tiga unsur pokok, yaitu mengetahui kebaikan (knowing the good), mencintai kebaikan (desiring the good), dan melakukan kebaikan (doing the good).

Menurut Kemendiknas (dalam Wibowo, 2013:13) pendidikan karakter adalah pendidikan yang menanamkan dan mengembangkan karakter-karakter luhur kepada peserta didik, sehingga mereka memiliki karakter luhur itu, menerapkan dan mempraktikkan dalam kehidupannya, entah dalam keluarga, sebagai anggota masyarakat, dan warga negara. Pendidikan karakter adalah upaya yang dilakukan dengan sengaja untuk mengembangkan karakter yang baik (good character) berlandaskan kebajikan-kebajikan inti (core virtues) yang secara objektif baik bagi individu maupun masyarakat (Saptono, 2011:23). Pendididkan karakter menurut Ki Hajar Dewantara adalah Ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani.

Nilai pendidikan dalam karya sastra tidak akan terlepas dari karya sastra itu sendiri. “Karya sastra dapat memberikan pengalaman yang tidak diberikan media lain” (Suyitno, 2002:3). Bertolak dari pendapat Suyitno tersebut, nilai pendidikan dalam karya sastra tidak selalu berupa nasihat atau petuah bagi pembaca, namun juga dapat berupa kritikan pedas bagi seseorang, kelompok atau sebuah struktur sosial yang sesuai dengan harapan pengarang dalam kehidupan nyata. Semi (1993:20) mengungkapkan bahwa nilai didik dalam karya sastra memang banyak diharapkan dapat memberi solusi atas sebagian masalah dalam kehidupan bermasyarakat. Sastra merupakan alat penting bagi pemikir-pemikir untuk

(41)

menggerakkan pembaca pada kenyataan dan menolong mengambil suatu keputusan apabila menghadapi masalah.

Berdasarkan beberapa definisi di atas dapat disintesiskan bahwa nilai pendidikan karakter adalah segala sesuatu yang baik sehingga digunakan untuk menumbuhkan karakter-karakter yang luhur kepada peserta didik untuk diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari. Nilai-nilai pendidikan karakter dapat ditangkap manusia melalui berbagai hal diantaranya melalui pemahaman dan penikmatan sebuah karya sastra. Karya sastra digunakan sebagai media dalam mentransformasi sebuah nilai termasuk nilai pendidikan karakter.

b. Macam–macam Nilai Pendidikan Karakter

Karakter yang baik terdiri atas mengetahui kebaikan, menginginkan kebaikan, dan melakukan kebaikan. Karakter selalu berkaitan dengan moral. Lickona (2013:72) berpendapat bahwa karakter melibatkan pengetahuan, perasaan, dan perbuatan moral. Ketiganya saling memengaruhi melalui beragam cara. Berikut komponen-komponen karakter yang baik menurut Lickona.

(42)

Gambar 3. Komponen-komponen karakter yang baik (Sumber: Lickona, 2013:74)

Kemendiknas (dalam Wibowo, 2012:43-44), nilai-nilai luhur sebagai pondasi karakter bangsa yang dimiliki oleh setiap suku di Indonesia ini, diantaranya sebagai berikut:

1) Religius adalah sikap dan perilaku yang patuh dalam melaksanakan ajaran agama yang dianutnya, toleran terhadap pelaksanaan ibadah agama lain, dan hidup rukun dengan pemeluk agama lain.

PENGETAHUAN MORAL 1. Kesadaran moral 2. Mengetahui nilai-nilai moral 3. Pengambilan perspektif 4. Penalaran moral 5. Pengambilan keputusan 6. Pengetahuan diri PERASAAN MORAL 1. Hati nurani 2. Penghargaan diri 3. Empati 4. Menyukai kebaikan 5. Kontrol diri 6. Kerendahan hati AKSI MORAL 1. Kompetensi 2. Kemauan 3. Kebiasaan

(43)

2) Jujur adalah perilaku yang didasarkan pada upaya menjadikan dirinya sebagai orang yang selalu dapat dipercaya dalam perkataan, tindakan, dan pekerjaan. 3) Toleransi adalah sikap dan tindakan yang menghargai perbedaan agama, suku,

etnis, pendapat, sikap, dan tindakan orang lain yang berbeda dari dirinya. 4) Disiplin adalah tindakan yang menunjukkan perilaku tertib dan patuh pada

berbagai ketentuan dan peraturan.

5) Kerja Keras adalah perilaku yang menunjukkan upaya sungguh-sungguh dalam mengatasi berbagai hambatan belajar dan tugas, serta menyelesaikan tugas dengan sebaik-baiknya.

6) Kreatif adalah berpikir dan melakukan sesuatu untuk menghasilkan cara atau hasil baru dari sesuatu yang telah dimiliki.

7) Mandiri adalah sikap dan perilaku yang tidak mudah tergantung pada orang lain dalam menyelesaikan tugas-tugas.

8) Demokratis adalah cara berpikir, bersikap, dan bertindak yang menilai sama hak dan kewajiban dirinya dan orang lain.

9) Rasa Ingin Tahu adalah sikap dan tindakan yang selalu berupaya untuk mengetahui lebih mendalam dan meluas dari sesuatu yang dipelajarinya, dilihat, dan didengar.

10) Semangat Kebangsaan adalah cara berpikir, bertindak, dan berwawasan yang menempatkan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan diri dan kelompoknya.

(44)

11) Cinta Tanah Air adalah cara berpikir, bersikap, dan berbuat yang menunjukkan kesetiaan, kepedulian, dan penghargaan yang tinggi terhadap bahasa, lingkungan fisik, sosial, budaya, ekonomi, dan politik bangsa.

12) Menghargai Prestasi adalah sikap dan tindakan yang mendorong dirinya untuk menghasilkan sesuatu yang berguna bagi masyarakat, dan mengakui, serta menghormati keberhasilan orang lain.

13) Bersahabat/Komunikatif adalah tindakan yang memperlihatkan rasa senang berbicara, bergaul, dan bekerja sama dengan orang lain.

14) Cinta Damai adalah sikap, perkataan, dan tindakan yang menyebabkan orang lain merasa senang dan aman atas kehadiran dirinya.

15) Gemar Membaca adalah kebiasaan menyediakan waktu untuk membaca berbagai bacaan yang memberikan kebajikan bagi dirinya.

16) Peduli Lingkungan adalah sikap dan tindakan yang selalu berupaya mencegah kerusakan pada lingkungan alam di sekitarnya, dan mengembangkan upaya-upaya untuk memperbaiki kerusakan alam yang sudah terjadi.

17) Peduli Sosial adalah sikap dan tindakan yang selalu ingin memberi bantuan pada orang lain dan masyarakat yang membutuhkan.

18) Tanggung Jawab adalah sikap dan perilaku seseorang untuk melaksanakan tugas dan kewajibannya, yang seharusnya dia lakukan, terhadap diri sendiri, masyarakat, lingkungan (alam, sosial, dan budaya), negara dan Tuhan Yang Maha Esa.

“Awal mulanya segala sastra adalah religius” (Hardiningtyas, 2008:126). Keberadaan agama dalam karya-karya sastra digantikan dengan unsur religius

(45)

yang lebih luas maknanya dan sifatnya berbeda dengan agama. Agama adalah tata hubungan manusia dengan Tuhan. Religius lebih bergerak dalam tata paguyuban (gemeinchaft) yang cirinya lebih pribadi. Karya sastra merupakan salah satu wujud budaya manusia, di dalamnya terkandung berbagai ajaran dan nilai luhur yang sangat bermanfaat bagi kehidupan manusia (Prabawa). Selain itu, secara objektif Purnomo mengungkapkan sebuah karya sastra merupakan hasil ciptaan manusia yang memuat penghargaan sebagai hasil karya mandiri, dalam bahasa tertentu memiliki kebebasan tertentu pula (Susilantini, 2010:728). Marwoto dan Mujiyanto (2000:79) menyatakan bahwa karya sastra yang berhasil, apapun genrenya, mampu memadukan secara harmonis faktor internal dan eksternal kepengarangannya, rasa dan rasio, kandungan ide dan imajinasi, nilai-nilai etik dan estetik, nilai–nilai sosial dan individual. Ia mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan dalam pengungkapannya yang intens dan sublim, sehingga jadilah nilai-nilai kemanusiaan itu bahan perenungan hidup.

Berdasarkan definisi di atas, maka nilai-nilai pendidikan karakter yang akan dianalisis dalam novel yaitu: religius, jujur, toleransi, disiplin, kerja keras, kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin tau, semangat kebangsaan, cinta tanah air, menghargai prestasi, bersahabat/komunikatif, cinta damai, gemar membaca, peduli lingkungan, peduli sosial, dan tanggung jawab.

4. Pembelajaran Stilistika di Perguruan Tinggi

Stilistika tidak terbatas dalam bahasa dan sastra. Dalam pengertian yang lebih luas, gaya juga dibicarakan dalam karya seni yang lain, termasuk bentuk-bentuk karangan bebas pada umumnya, seperti: sosial, politik, ekonomi, media

Gambar

Gambar 3. Komponen-komponen karakter yang baik  (Sumber: Lickona, 2013:74)

Referensi

Dokumen terkait

Koordinasi program dilakukan antar ruangan, kepala ruang dan Tim RSSIB melalui rapat setiap bulan, dipantau oleh beberapa manajer keperawatan dan disupervisi oleh

Sesuai dengan kriteria diterima atau ditolaknya hipotesis maka dalam hal ini dapat disimpulkan bahwa menerima hipotesis yang diajukan terbukti atau dengan kata lain variabel

Adapun hasil penelitiannya menunjukkan bahwa untuk emiten BEI, rasio lancar dan profit margin berpengaruh signifikan, sedangkan perputaran total aktiva, total hutang terhadap

(2006), “Analisis faktor psikologis konsumen yang mempengaruhi keputusan pembelian roti merek Citarasa di Surabaya”, skripsi S1 di jurusan Manajemen Perhotelan, Universitas

Puji Syukur Kehadirat Allah SWT yang maha Esa karena atas nikmat-Nya penyusunan Laporan Kuliah Kerja Magang (KKM) STIE PGRI Dewantara Jombang dapat diselesaikan tepat

Semoga buku ini memberi manfaat yang besar bagi para mahasiswa, sejarawan dan pemerhati yang sedang mendalami sejarah bangsa Cina, terutama periode Klasik.. Konsep

mendapatkan gaya impak, tegangan impak, serta energi impak akibat beban impak jatuh bebas pada helmet sepeda

Ledakan penduduk juga terjadi karena rumah tangga tidak direncanakan secara baik dan tidak melihat faktor sebab akibat, banyak rumah tangga yang berdiri tapi tidak