• Tidak ada hasil yang ditemukan

Makna dan Fungsi

Dalam dokumen DEPARTEMEN KEBUDAYAAN DAN PARIWISATA (Halaman 32-37)

Ery Soedewo

III. Makna dan Fungsi

Stempel atau cap dari bahan batuan mulia sering digunakan oleh raja maupun pejabat kerajaan. Selain berfungsi sebagai tanda keabsahan dokumen cap juga merupakan simbol prestise kedudukan seseorang, sehingga dibuatlah cap dalam bentuk cincin.

Sebab, cincin yang melingkar pada jari mudah terlihat hingga kedudukan pemakainya dapat dengan mudah diketahui bahwa dirinya adalah orang berkedudukan penting (Sudewo, 1989:54). Namun bila ditinjau dari segi kepraktisan, hanya dengan menekankan cincin maka tercetaklah meterai di atas permukaan kertas maupun lilin yang masih lembek.

Dalam hal ini meterai merupakan bentuk pengganti yang mewakili kehadiran seseorang, pejabat, raja, atau pihak dan lembaga tertentu. Karenanya materai menjadi unsur penting yang harus dimiliki, terutama dibutuhkan dalam kaitannya dengan pengadaan surat-surat penting seperti surat keputusan atau kontrak perjanjian. Pembubuhan meterai dimaksudkan untuk membuktikan keabsahan dokumen yang dikeluarkan, menjamin keamanan seperti mencegah dipalsukannya dokumen. Dalam perkembangan lebih lanjut meterai atau segel bahkan berfungsi mencegah dibukanya dokumen, amplop, dan pintu yang telah disegel.

Fungsi mengesahkan artinya menjadi tanda berlakunya isi dokumen. Dalam kontrak perjanjian, pihak-pihak yang telah membubuhkan meterai sepakat memberlakukan isi dokumen sesuai dengan konsesus. Tanpa kehadiran meterai, tentu saja dokumen tidak sah dan isinya tidak dapat diberlakukan. Jadi meterai mutlak dibutuhkan untuk mendukung dokumen.

Bentuk meterai sendiri merupakan acuan dari latar belakang mental si pemesan atau pembuatnya. Karakteristik atau watak pemiliknya dapat tercermin melalui tampilan nilai-nilai simbolis yang terkandung dalam bentuk-bentuk tertentu. Seperti digunakannya kaligrafi Arab merupakan wujud ketaatan religi dari si pemilik stempel untuk tidak menggambarkan bentuk-bentuk mahluk hidup (manusia dan hewan). Oleh karena itu tidak mengherankan ketika pola-pola geometris serta kaligrafi (Arab) mendominasi bentuk-bentuk yang digambarkan dalam stempel atau cap di Aceh dan Riau. Sebab daerah ini setidaknya sejak abad ke-15 merupakan daerah pengaruh dari Kesultanan Malaka yang juga menjadi pusat dakwah Islam di Kepulauan Nusantara. Hal menarik lain yang dapat diungkap dari cap/stempel serta meterai dari Aceh dan Riau ini adalah gambaran umum kondisi politik yang tersurat lewat penyebutan penguasa atau aparat birokrasi yang mengeluarkannya beserta angka tahun yang diterakannya. Seperti tampak pada meterai-meterai hasil teraan stempel pada lembaran kertas yang berada di tangan Lurah Mandah. Meterai berangka tahun 1305 H/1887 M, yang dikeluarkan oleh Amir Manda beraksara Arab serta berbahasa Melayu; meterai berangka tahun 1322 H/1904 M juga beraksara Arab serta berbahasa Melayu, menyebutkan Sultan Daik Lingga Reow (Riau); dan meterai berangka tahun 1329 H/1910 M, masih menggunakan aksara Arab dan berbahasa Melayu, yang di

BAS NO. 18 / 2006

menggunakan aksara Jawi (Arab Melayu). Namun, lihat pada meterai-meterai berangka tahun lebih muda yang juga berasal dari bekas Keamiran Mandah/Manda, tampak jelas perbedaannya, sebab telah menggunakan huruf latin dan bahasa Belanda. Nama jabatan untuk daerah Manda bukan lagi Amir tetapi Districthoofd

seperti tampak jelas pada surat berangka tahun 1926 dengan meterai menyebutkan

Districtshoofd Manda Gaoeng, serta pada surat berangka tahun 1919 yang meterainya menyebutkan Districtshoofd Lingga. Perbedaan tersebut muncul disebabkan oleh perubahan struktur birokrasi yang terjadi karena berpindahnya kekuasaan politik yang sebelumnya di bawah kontrol para penguasa pribumi (sultan-sultan Melayu) kepada pemerintah kolonial Hindia Belanda.

Stempel atau cap juga berfungsi sebagai alat legitimasi penguasa yang mengeluarkannya. Hal demikian terlihat pada pertulisan yang diterakan pada cap

Sikureung dari kesultanan Aceh Darussalam. Untuk menunjukkan bahwa yang mengeluarkan cap tersebut adalah penguasa sah dari kesultanan tersebut, diterakannya juga delapan nama sultan-sultan pendahulunya, yang memiliki kaitan langsung dengannya.

Selain itu, stempel atau cap juga bermakna sebagai bentuk penghormatan terhadap para duta maupun pedagang asing yang dianggap turut berjasa bagi kemajuan kerajaan, sekaligus menunjukkan kedekatan hubungan antara si pemberi dengan si penerima. Hal demikian terlihat pada dianugerahkannya cap sebagai perwujudan dari gelar kebangsawanan yang diterima oleh Kapten Thomas Forrest serta dua orang Inggris lainnya yakni Kapten Douglass Richardson dan Kapten Robert Smart dari Sultan Alauddin Muhammad Syah saat berkunjung ke kesultanan Aceh Darussalam.

IV. Penutup

Cap dan meterai merupakan merupakan alat atau benda yang digunakan untuk menerakan bentuk-bentuk atau tulisan tertentu di atas permukaan suatu benda yang berfungsi sebagai penentu validitas yang dikeluarkan oleh kerajaan, lembaga, kongsi dagang, maupun perorangan. Selain itu cap dan segel juga merupakan alat legitimasi kekuasaan bagi penguasa yang mengeluarkannya, sebagaimana terlihat pada cap

sikureung (cap sembilan) dari Aceh. Fungsi lain yang dapat diungkap dari keberadaan cap adalah sebagai simbol dari dianugerahkannya gelar kebangsawanan pada orang asing, sebagaimana terjadi di kesultanan Aceh Darussalam. Keberadaannya dapat juga dijadikan sebagai bukti terjadinya perubahan struktur birokrasi yang terjadi karena berpindahnya kekuasaan politik dari penguasa sebelumnya ke bentuk kekuasaan politik yang lain sebagaimana terlihat pada cap serta meterai dari Riau.

BAS NO. 18 / 2006

Kepustakaan

Sudewo, Eri, 1989. Refleksi Meterai Dalam Hubungan Antarnegara dalam Pertemuan Ilmiah Arkeologi V. Jakarta: Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia

Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah, 1977/1978. Sejarah Daerah Riau. Jakarta: Pusat Penelitian Sejarah dan Budaya Departemen Pendidikan dan Kebudayaan

Koestoro, Lucas Partanda & Ketut Wiradnyana, 2000. Laporan Penelitian Arkeologi: Penelitian Arkeologi di Kabupaten Indragiri Hilir Provinsi Riau. Medan Balai Arkeologi Medan

Lombard, Denys, 2006. Kerajaan Aceh Zaman Sultan Iskandar Muda (1607--1636). Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, Forum Jakarta Paris, École

française d‘Extrême-Orient

Robson, J. 1792. Thomas Forrest, A Voyage from Calcutta to The Mergui Archipelago. London: J. Robson

Reid, Anthony, 1995. Witnesses to Sumatra A Travellers Anthology. Kuala Lumpur: Oxford University Press

Susilowati, Nenggih, 2005. Laporan Penelitian Arkeologi: Penelitian Arkeologi di Kabupaten Natuna Provinsi Kepulauan Riau. Medan Balai Arkeologi Medan

Tim, 1995: Buku Objek Peninggalan Sejarah dan Kepurbakalaan Aceh: Cab Sikureueng Segel Sultan Aceh. Banda Aceh: Perkumpulan Pecinta Peninggalan Sejarah dan Kepurbakalaan Aceh (P3SKA)

GUA TOGI BOGI, HUNIAN BERCIRI MESOLITIK DI NIAS

Dalam dokumen DEPARTEMEN KEBUDAYAAN DAN PARIWISATA (Halaman 32-37)