Menurut Pdt. Albert Yoku, makna memimpin diri sendiri bagi orang Papua sekarang ini adalah merupakan suara kenabian dari seorang zending yang datang dengan keyakinan imannya, untuk membentuk suatu peradaban baru bagi orang Papua. Dengan kata lain, makna ini adalah bagaimana dapat membuat orang Papua menjadi para pemimpin. Apa yang dikatakan oleh Kijne, sebenarnya harus dipahami dari makna tugas gereja sebagai bagian dari penyataan-penyataan kenabian33. Kata-kata ini ini merupakan bagian yang dapat diteologiskan. Dilihat kesungguhan hati dari Kijne bekerja di Tanah Papua, terlihat pola pembelajaran yang dibuat dibidang pendidikan dalam sistem berasrama. Dalam asrama yang dibuatnya orang Papua dikumpulkan tanpa memandang suku dalam kebersamaan, untuk menjadi pemimpin masa depan dengan visi dan misi bersama serta mental dan spiritual yang baik.
32
Ibid
33
Kebersamaan nurani kristiani yang kuat dan kebersamaan orang Papua telah diikat olehnya, agar nantinya orang Papua dapat menjadi pemimpin disemua kampung dimanapun ia berada. Di kemudian hari, kata-kata ini menjadi kenyataan. Banyak orang papua menjadi pemimpin disemua bidang, kecuali menjadi presiden. Mengapa demikian? Beliau menegaskan, semua warga GKI di Tanah Papua khususnya orang Papua sudah merasakan memimpin di segala bidang. Ada banyak orang Papua yang telah menjadi Walikota, Bupati, Gubernur, Duta Besar dan juga Menteri. Hanya saja menjadi Presiden yang sampai sekarang ini belum pernah ada. Beliau melandasi pemikirannya bahwa pemimpin yang memimpin diri sendiri pada saat itu mempunyai spiritualitas yang baik, tetapi juga pengetahuan yang baik pula34.
Menurut Pdt. Herman Awom, makna memimpin diri sendiri bagi orang Papua pada masa sekarang terjadi pergeseran makna. Dapat dilihat zending sebelumnya membangun Papua dengan hati dan kasih tanpa adanya politik terhadap makna ini. Tetapi sekarang ini kepentingan politik demikian besar. Tanah Papua tidak lagi dibangun dengan kasih, tetapi karena adanya kepentingan. Orang Papua dibuat untuk tidak bersatu pada saat ini, tetapi terjadi pengelompokan35.
Identitas Papua yang dulu ada telah hilang, dan mulailah ada penciptaan Papua dengan pemetaan atau pengelompokan. Ada orang gunung dan ada orang pantai. Kohesi yang dulu ada telah hilang karena hal tersebut. Dengan kata lain orang Papua tidak menampakkan kasih Kristus pada saat ini. Pengelompokan-pengelompokan ini ada karena kepentingan politik, dan makna dari Kijne ini tidak tersampaikan dengan baik, karena orang Papua sekarang mengalami kerapuhan dengan adanya pemetaan-pemetaan tersebut. Pembangunan yang sekarang terjadi di
34
Ibid
35
Wawancara dengan Pdt. Herman Awom (Mantan Wakil Ketua Sinode GKI di Tanah Papua), pada tanggal 16 Agustus 2012.
Tanah Papua karena adanya kepentingan politik. Semua ini jauh dari arti injil yang membuat peradaban baru dan yang mepersatukan orang Papua pada masa sekarang. Akibat dari pengelompokan ini membuat hilangnya persatuan dan kesatuan dalam diri orang Papua, dan sekarang makna ini tidak dimaknai dengan baik36.
Senada dengan apa yang dikatakan oleh Pdt. Herman Awom, menurut Pdt. Lukas Noriwari, sekarang terjadi pergesaran makna terhadap kata ini. Pergeseran ini disebabkan oleh karena panggilan yang bukan diutamakan, tetapi adanya kepentingan yang sedemikan rupa dibuat dan membuat makna tersebut telah dilupakan makna sebenarnya. Orang kebanyakan hanya mengejar jabatan dan uang, karena ingin hidup dalam persaingan modern pada masa sekarang. Orang Papua sekarang tidak memimpin seperti seorang pemimpin yang seharusnya memimpin dengan hati. Inilah yang tidak dimiliki orang Papua pada masa sekarang. Beliau menegaskan yang Kijne katakan itu sangat jauh dari aspek politik. Hanya saja pada masa sekarang, orang menggunakan kata ini karena adanya ketidakpuasan yang terjadi akibat kepentingan tersebut37.
Akibat dari kesalahan pemahaman makna ini, orang Papua lebih mengutamakan Primodialisme. Seperti contohnya, ada banyak pemekaran Kabupaten yang terjadi di Papua. Orang Papua beralasan agar ingin menjadi tuan di negerinya sendiri. Disini terjadi perpecahan antara orang Papua sendiri dengan alasan, bahwa orang atau suku yang bukan berasal dari daerah pemekarannya ini tidak boleh memimpin daerah tersebut. Ini bertentangan dengan apa yang diajarkan zending tentang persatuan bagi orang Papua. Orang Papua pada saat ini tidak lagi satu dan terpecah. Adanya isu dan pernyataan bahwa Papua telah terpecah dengan adanya orang
36
Ibid
37
gunung dan pantai ini, dapat mengacaukan persatuan orang Papua. Visi dan misi dari Kijne melalui perkataan itu, tidak dapat berlaku pada masa sekarang bagi orang Papua. Menurut beliau orang Papua tidak memimpin dirinya pada masa sekarang, tetapi orang papua dipimpin oleh orang lain untuk memimpin dirinya sendiri38.
Menurut Pdt Willem Malowali, makna memimpin diri sendiri pada masa sekarang ini mengalami pergeseran makna sesuai dengan keadaan hidup manusia dan kepentingan pribadi. Orang Papua pada masa sekarang sudah banyak yang menjadi pemimpin dikarenakan sekarang ini mereka memiliki berbagai gelar kesarjanaan. Orang Papua yang dulu jauh berbeda dengan masa sekarang. Mereka yang dulu pada masa Zending ketika memimpin di bekali dengan 3 aspek penting yaitu, Teologis mengenai ketuhanan, mempunyai prinsip atau jati diri dan juga ilmu pengetahuan keterampilan hidup39.
Beliau berpendapat orang Papua sekarang tidak dilengkapi dengan 3 aspek ini. Pada masa sekarang, orang Papua dianggap belum dapat memimpin dirinya sendiri secara utuh, tetapi hanya sebagai simbol semata. Beliau juga mengatakan, aspek teologis yang sangat penting itu, sama sekali kurang dalam diri orang Papua sekarang, dan jati diri tidak ada dalam diri orang Papua dalam memimpin pada masa kini. Ketika ketiga hal ini kurang dimiliki, maka hal ini yang membantu untuk adanya pergeseran makna.
Beliau mengatakan pada masa sekarang orang bisa berbuat apa saja. Ketika semua hal bisa dibuat tanpa memiliki jati diri, maka akan menjadi kehancuran bagi dirinya sendiri dan bagi masyarakatnya. Yang menjadi masalah bagi orang Papua saat ini untuk memimpin adalah, bagaimana orang Papua dapat memposisikan diri kepada politik yang dualistis. Dalam hal ini
38
Ibid
39
Wawancara dengan Pdt. Willem Maloali (Mantan Ketua Sinode GKI di Tanah Papua), pada tanggal 18 Agustus 2012.
perlu memiliki jati diri yang kuat, sehingga orang tidak mudah untuk dibeli. Beliau menegaskan bahwa ada terjadi kepentingan yang khusus dalam makna ini. Ini dikarenakan orang Papua kurang Takut akan Tuhan, sehingga tidak lagi melihat orang yang membutuhkannya, tetapi melihat kepentingan pribadai dan golongan.
Unsur teologis yang kuat sangat dibutuhkan oleh orang Papua dan para pemimpin di Papua agar dapat menghadirkan tanda kerajaan Allah kepada semua orang, sehingga akan ada kesejahteraan bagi semua orang. Melalui hal ini juga nantinya tidak akan ada orang yang tertindas sehingga tidak perlu meminta untuk merdeka. Pergeseran makna menuju kepada merdeka sebenarnya menurut beliau, karena tidak tampaknya kerajaan Allah dalam diri orang Papua, dan ini yang harus diubah40.
Pdt. Socorates Sofyan Yoman mengatakan, makna tersebut seharusnya dapat disikapi dengan baik oleh Orang Papua. Terlalu banyak kekejaman yang terjadi. Pembunuhan hak asasi orang asli Papua dalam bentuk teror intimidasi dengan stigma yang meliputi: Gerakan Pengacau Keamanan (GPK), Gerakan Pengacau Liar (GPL), Gerakan Papua Merdeka (OPM), Gerakan Separatis, gerakan membuat makar, Gerakan Separatis Bersenjata (GSB) adalah surat ijin Tentara dan Polisi Republik Indonesia untuk mengejar, menangkap, memenjarakan, menyiksa, memperkosa, menculik, dan membunuh orang-orang asli Papua. Labelisasi seperti ini sangat efektif dan efisien yang dipakai atau digunakan oleh aparat militer dalam menciptakan rasa ketakutan dan mempolarisasikan watak dan mental orang asli Papua41.
Ada istilah-istilah lain yang didengar lebih indah dan halus,. tetapi itu bagian integral yang tak tepisahkan dari pembunuhan karakter, mental dan kekayaan intelektual, potensi, karunia dan
40
Ibid
41
talenta yang diberikan Tuhan kepada orang-orang asli Papua. Istilah-istilah itu meliputi: terbodoh, terbelang, termiskin, tertinggal, primitif, kanibal, belum bisa, belum maju, dan pemabuk. Yang paling menyakitkan lagi adalah istilah primitif dan kanibal.
Pembunuhan dan penghancuran hak asasi manusia, karakter, martabat dan harapan hidup orang-orang asli Papua adalah berbagai proses pengadilan yang dilakukan oleh hakim-hakim dan penuntut hukum orang-orang Indonesia terhadap orang asli Papua. Orang-orang Papua selalu dikatakan bagian dari orang-orang Indonesia tetapi tidak pernah mendapat keadilan dalam hidup ini. Orang Papua ditangkap dan diadili tetapi tidak pernah dibuktikan kesalahan mereka. Mereka selalu dikatakan anggota separatis, makar dan OPM. Kata separatis, makar dan OPM adalah alat pembenaran untuk membungkam orang-orang Papua dalam perjuangan dan pembelaannya. Orang-orang Papua dipenjarakan bertahun-tahun tanpa peradilan dan pembuktian yang adil, benar dan jujur. Hukum Rimba berlaku di tanah Papua. Hukum Indonesia yang diterapkan di Tanah Papua memang amat diskriminatif. Hukum Indonesia yang berlaku terhadap umat di Tanah Papua benar-benar hukum yang menindas dan membunuh orang-orang asli Papua42.
Orang-orang Melanesia di Tanah Papua sudah kehilangan banyak tanah dan seluruh yang ada di atas dan di dalamnya' Orang Papua telah kehilangan identitas dan tidak memiliki apa-apa lagi. Di kemudian hari orang Papua sadar atau tidak sadar jika keadaan ini berlanjut maka 20 sampai 50 tahun ke depan bangsa Papua nasibnya tidak jauh berbeda atau lebih buruk dari pengemis-pengemis di emperan jalan dan di bawah kolong jembatan di Puiau lawa, Sulawesi dan kota besar lain di dunia. Jika orang Papua harus menjadi tuan di negeri mereka maka sepatutnya, atau selayaknya roda perekonomian tingkat menengah sampai ke tingkat tertinggi paling tidak 75% dikendalikan dan dikuasai oleh bangsa Papua, bukan saudara saudari kita dari pulau
42
Sumatera, Jawa dan Sulawesi di atas tanah Papua dari Sorong sampai dengan Merauke43. Ada dua hal yang dapat kita kritisi di sini yang seharusnya pengusaha dan pemerintah lakukan terhadap bangsa Papua, jika benar bahwa bangsa Papua bagian dari NKRI dan mereka mempunyai hak dan kedudukan yang sama di atas NKRI dan di atas yang diklaim NKRI sebagai wilayahnya dalam berbagai lapangan usaha yang dikelola oleh swasta atau pemerintah44.
Hai ini menyebabkan pemahaman tersebut perlu kembali diingat dan sebagai motivasi bagi orang papua untuk memipin diri sendiri. Tidak menjadi sebuah persoalan ketika memahami makna tersebut dengan berbagai cara. Tetapi yang perlu diingat, orang Papua harus terus melihat makna ini sebagai motivasi yang membangun dirinya, tanpa adanya tekanan dari siapapun, dari situ orang Papua dapat berkembang untuk memimpin dirinya sendiri ketika dalam situasi yang akan menghancurkan identitas dan karakter Papua yang ada45.
Menurut Pdt. Herman Saud, makna perkataan ini menurut orang Papua pada saat ini terdapat dua makna, yaitu dari sisi positif, bagaimana orang Papua dapat berkembang kapanpun dan di manapun, dan dari sisi negatif terlihat secara politis atau harapan untuk mencapai suatu tujuan tertentu46. Dikatakan negatif demikian seakan-akan Kijne mengatakan agar Papua akan merdeka. Beliau menegaskan, Kijne tidak mengatakan demikian. Dapat disimpulkan bahwa makna tersebut ada dikarenakan konteks kepentingan yang ada pada masa sekarang, dan dilihat juga situasi yang dulu dan sekarang sangat berbeda sehingga menyebabkan pergeseran makna dapat terjadi. 43 Ibid 182 44 ibid 45
Wawancara dengan Pdt. Socorates Sofyan Yoman(Ketua BPP-PGBP), pada tanggal 20 Agustus 2012.
46
Wawancara dengan Pdt. Herman Saud (Mantan Ketua Sinode GKI di Tanah Papua), pada tanggal 16 Agustus 2012.
Pdt. Albert Yoku mengatakan bahwa sudah sangat jelas ada terjadi kepentingan makna dalam memahami hal ini. Pada waktu zending bekerja mereka mempersiapkan orang Papua untuk menjadi pemimpin bagi gereja, adat dan juga bagi masyarakat. Apa yang dikatakan Kijne ini dapat dimaknai dalam banyak cara. Dalam nuansa gerejawi, dalam nuansa agamawi, dalam publik, dalam masyarakat, tetapi juga dalam unsur politik. Memimpin dalam hal ini berarti, ketika ada orang yang datang untuk memimpin kelompok suku tertentu dengan cara penindasan, maka akan bangkit seseorang pemimpin dari dalam sukunya tersebut untuk mebicarakan kebebasan bagi sukunya.
Perkataaan menurut Kijne ini bermakna motivasi positif dalam pendidikan bagi orang Papua untuk menjadi pemimpin pada saat itu tanpa adanya tendensi politik47. Ternyata dimensi waktu dan situasional menentukan sebuah perubahan makna. Apa yang dikatakan Kijne itu adalah suara kenabian yang positif, yang memberikan sugesti bagi orang pada saat itu untuk dapat menjadi pemimpin dalam segala bidang. Dimaksudkan juga orang Papua akan mendapatkan pendidikan yang baik dalam bidang asrama, dan mendapatkan semua hal yang baik dengan dilatih secara khusus dengan semua kelengkapan yang ada di Miei pada saat itu48.
Menurut beliau, Sinode GKI di Tanah Papua harus kembali mengarahkan kepada maksud awal kata-kata ini diucapkan. Kijne memiliki tujuan untuk menghadirkan orang asli Papua menjadi pemimpin di atas tanah Papua. Setiap pemimpin pada dirinya mempunyai pilihan yang bisa dilakukan secara pribadi, bukan atas dasar kata yang Kijne ucapkan, tetapi semua itu bukanlah tujuan dari gereja untuk mempersiapkan para pemimpin. Gereja mempunyai tugas untuk mempersiapkan pemimpin orang-orang asli papua untuk memimpin di Tanah Papua.
47
Wawancara dengan Pdt. Albert Yoku (Ketua Sinode GKI di Tanah Papua), pada tanggal 29 Agustus 2012.
48
Ketika makna tersebut sudah sampai masuk kearah politik, orang tersebut pasti mempunyai kiat yang dibuat sendiri sesuai dengan kekuasaannya yang dimilikinya.
Disamping itu juga, Otonomi Khusus yang ada ketika disalahgunakan, akan menjadi senjata kafir bagi orang Papua yang masih mengandalkan sukuisme dan kedaerahannya. Dahulu kijne membangun kesatuan orang Papua di dalam kebersamaan. Hal yang menyimpang ini bertentangan dengan apa yang diajarkan oleh zending. Menurut beliau, orang Papua tidak boleh masuk dan terjerumus ke dalam pandangan Otonomi Khusus yang sempit tersebut, tetapi harus kembali melihat kepada kebersamaan orang Papua yang dulu telah diwariskan oleh zending, untuk saling mendukung dalam memimpin. Beliau juga menegaskan bahwa, Sinode GKI di Tanah Papua tetap utuh dan satu di Tanah Papua. Sinode tetap mempertahankan nilai zending yang ada dan yang telah menetapkan dasar pendidikan dan peradaban di Tanah Papua49.