• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II. SAKRAMEN EKARISTI DEMI PENGEMBANGAN IMAN

B. Sakramen Ekaristi

2. Makna Sakramen Ekaristi

a. Ekaristi sebagai Ungkapan Cinta Kasih Yesus Sehabis-habisnya

Yesus mengorbankan diri di kayu salib demi memenuhi karya keselamatan dari Allah bagi umat-Nya. Ia mempersembahkan diri kepada Bapa untuk

pengampunan dosa dan juga mempersatukan manusia dengan Allah. Yesus sendiri yang mengorbankan tubuh dan darah-Nya demi cintanya kepada manusia. Dalam pengorbanan Yesus di kayu salib melambangkan bahwa semua dilakukan dengan penuh penyerahan diri kepada Allah sendiri atas segala ketakutan yang dialami Yesus sebelum disalib. Semua pengorbanan Yesus ini merupakan teladan cinta kasih yang sempurna melalui penyerahan tubuh dan darah Kristus sendiri demi menebus dosa manusia. Pengorbanan dan persembahan diri Yesus menjadi lebih dikenang dalam Gereja yakni dalam Ekaristi.

Ekaristi memperlihatkan cinta kasih dengan kurban persembahan diri Yesus pada Allah. Melalui kurban Yesus ini, Gereja menghayati-Nya dalam Ekaristi. Ekaristi menjadi salah satu tempat untuk kurban persembahan kepada Allah. Kurban dalam konteks kita di dunia adalah seluruh diri dan kegiatan duniawi yang kita lakukan akan dipersembahkan kepada Allah. Apa yang ada di dalam dunia itu milik Allah dan sepantasnya kita kembalikan kepada Allah untuk mengucapkan syukur atas pemberiannya. Berkat Yesus Kristuslah segala sesuatu menjadi gambar dan ungkapan kemuliaan Allah di dunia (Grün, 1998: 11-12).

Yesus memberikan anugerah cinta kasih akan selalu dikenang oleh umat- Nya. Karya penebusan Kristus terwujud dalam kurban Salib-Nya maka perayaan Ekaristi menjadi kenangan Kurban Salib Kristus secara sakramental dalam tindakan liturgis Gereja Yesus telah memberikan kemenangan sejati dan keselamatan bagi semua orang. Oleh sebab itu Gereja mengabadikan dan mengenangnya dalam sebuah Ekaristi suci. Ekaristi menjadi suatu kenangan akan anugerah cinta kasih yang mendalam dan memiliki kekuatan untuk hidup rohani. Selain itu dengan Ekaristi

menjadi kenangan, kita sebagai umat beriman diajak untuk mengingat tindakan Allah yang menyelamatkan dunia dari belenggu dosa yang terlaksana melalui karya Yesus (Martasudjita, 2005: 293-295).

Kurban Ekaristi ini ditetapkan untuk ”mengabadikan kurban salib untuk selamanya”(SC 47). Dengan demikian sangat jelas bahwa dengan perayaan Ekaristi maka akan mengabadikan cinta kasih Yesus Kristus dalam kurban salib yang pernah Yesus lakukan. Ada kesatuan antara kurban Ekaristi dan kurban salib Kristus yaitu Ekaristi merupakan suatu kurban dalam nama Yesus Kristus yang mengabadikan kurban salib-Nya yang sekali untuk selamanya di dalam, melalui, dan dengan Gereja (Martasudjita, 2005: 295).

b. Ekaristi sebagai Perjamuan dan Persekutuan Umat dengan Allah

Pada zaman dahulu perjamuan adalah pengalaman kebersamaan yang paling mendalam dengan para peserta perjamuan dan sekaligus dengan Allah. Maka dari itu perjamuan akan menunjukkan sebagai suatu perwujudan diri yang hanya terjadi di dalam kebersamaan. Dalam hal ini Ekaristi merupakan kelanjutan dari perjamuan yang dirayakan Yesus semasa hidup-Nya. Ekaristi sebagai perjamuan hadir sebagai obat bagi mereka yang sakit, kasih dan pengampunan bagi orang berdosa. Melalui Ekaristi kita diundang dalam perjamuan bersama orang sakit dan menderita. Perjamuan juga merupakan ungkapan syukur atas panggilan Yesus kepada manusia dan sekaligus menjadi tanda bahwa manusia yang menerima panggilan Yesus siap untuk melepaskan segala sesuatunya untuk mengikuti Yesus. Di dalam Yesus Kristus kita memperoleh ketenangan, hadir sepenuhnya bersama dan di dalam Dia, dan

membiarkan diri dihantar menuju persekutuan dengan Allah. Dengan penyerahan diri ini juga memiliki makna bahwa kita melepaskan keterarahan pada yang lahiriah untuk dapat berhubungan lebih baik dengan dunia batin, dengan kenyataan kerajaan Allah dimana manusia menjalin persekutuan dengan Allah.

Ekaristi adalah perjamuan kegembiraan karena kita ditemukan kembali, karena Kristus telah mempertemukan kembali bagian-bagian diri kita yang terpisah sehingga kita menjadi utuh dan sehat, seperti dalam perumpamaan anak yang hilang. Si bungsu kembali kepada Bapa dengan penuh kegembiraan dan disambut dengan perjamuan pesta oleh Bapa. Manusia secara individu tidak layak untuk mengikuti perjamuan kegembiraan dengan Allah ini, namun Allah memberikan pakaian terindah dan Allah mengenakan kita dengan kemuliaan-Nya. Ekaristi juga hadir sebagai perjamuan pesta yang diselenggarakan Allah untuk kita, sebab kita yang sudah mati kini hidup kembali, kita yang sudah hilang kini ditemukan kembali.

Ekaristi juga berarti bahwa Yesus merayakan perjamuan dengan kita, sebab Dia menaruh kepercayaan kepada benih kebaikan dalam diri kita dan hendak membiarkan benih kebaikan itu tumbuh. Pada intinya perjamuan Ekaristi mempererat hubungan kita dengan Allah dan sesama. Maka dari itu perayaan Ekaristi sebagai perjamuan dapat pula diartikan sebagai tempat perwujudan diri, sebuah tempat dimana kita menemukan diri sendiri dan orang lain dan mengalami Allah sebagai pusat dan teladan hidup (Grün, 1998: 29-48).

Umat dalam mengikuti perjamuan Ekaristi diajak untuk bersatu membentuk suatu persekutuan sebagai tubuh Kristus dan umat Allah melalui terang Roh Kudus (Koinonia). Koinonia merupakan suatu persatuan antara umat Allah dengan Tubuh

Kristus. Di dalam Doa Syukur Agung tercantum suatu rumusan permohonan untuk Roh Kudus untuk koinonia secara lebih dekat seperti halnya apa yang dikatakan oleh Paulus: “Perkenankanlah agar semua yang ikut menyantap roti yang satu dan minum dari piala yang sama ini dihimpun oleh Roh Kudus menjadi satu tubuh”. Koinonia juga berarti partisipasi atau peran serta manusia untuk ambil bagian dalam karya keselamatan Allah yakni peran serta dalam Roh Kudus dalam hidup baru, dalam cinta kasih, dan terutama di dalam Ekaristi (Martasudjita, 2005: 358).

Menurut Konstitusi Dogmatis Lumen Gentium (LG), dokumen Konsili Vatikan II tentang Gereja, disebutkan bahwa dalam Ekaristi terlihat adanya koinonia, dalam dan dengan Kristus maupun dalam dan dengan Gereja. Umat beriman berkumpul karena pewartaan Injil Kristus dan dirayakan dalam misteri perjamuan Tuhan supaya dengan berlandaskan pada Tuhan akan membuat hubungan jemaat semakin erat. Dalam altar dengan pelayanan suci uskup sangatlah terlihat suatu lambang cinta kasih dan suatu ‘kesatuan Tubuh Mistik yang menjadi syarat untuk keselamatan’. Dengan lambang ini jemaat yang kecil, miskin, dan tersebar menjadi satu di dalam Kristus dan berkat kekuatan Tuhan terbentuk suatu Gereja yang satu, kudus, katolik, dan apostolik (LG 26).

c. Ekaristi sebagai Perayaan Seruan Karunia Roh Kudus (Epiklese)

Epiklese berkaitan dengan kenangan akan karya penyelamatan Allah melalui Kristus. Keselamatan yang datang tidaklah datang dengan begitu saja tetapi ada yang membawa atau mengaruniakannya yaitu melalui Roh Kudus. Roh Kuduslah yang membuat keselamatan itu dapat sampai pada semua orang beriman. Pada dasarnya

orang di dalam perayaan Ekaristi pastinya berdoa memohon kepada Allah supaya menurunkan Roh Kudus untuk mengkuduskan roti dan anggur supaya menjadi Tubuh dan Darah Kristus. Di sinilah karunia Roh Kudus sungguh bekerja dan memberikan hidup bagi umatnya yang telah dikasihi oleh Allah. Tanpa kehadiran Roh Kudus keselamatan yang telah dipercayakan di dalam Gereja tak akan terjadi dan rencana keselamatan Allah pastinya hanya terlihat abstrak saja tanpa ada perwujudan yang nyata. Berkat karya Roh Kudus rencana Keselamatan Allah sungguh-sungguh terjadi dalam diri Kristus dan di dalam Gereja. Itulah sebabnya umat beriman memohon agar Allah mengutus Roh Kudus untuk hadir dan menguduskan persembahan dan umat beriman sendiri. Berkat Roh Kudus menjadi tindakan penyelamatan Allah dalam Kristus disampaikan dan diperluas kepada umat beriman dalam perayaan Ekaristi (Martasudjita, 2005: 357-358).

Seruan karunia Roh Kudus juga diserukan kepada semua umat Allah yang sungguh beriman. Umat Allah yang beriman akan sungguh dikasihi dan akan menjadi satu daging dengan Tubuh dan Darah Kristus. Ini menunjukkan karya ilahi yang sungguh menyelamatkan. Umat sering jatuh ke dalam dosa namun Allah tetap merangkul dan mengajak umat untuk bersatu dengan-Nya. Dengan adanya persatuan ini terbentuk suatu persekutuan berkat pengudusan dari Roh Kudus (Martasudjita, 2005: 358).

d. Ekaristi sebagai Sumber Kekuatan Hidup Umat

Pada zaman sekarang, Gereja menghadapi situasi kemiskinan dan pemiskinan yang semakin meluas serta keberagaman agama dan budaya (Martasudjita, 2005:

341-342). Maka dari itu Ekaristi tampil sebagai kekuatan baru untuk mengatasi permasalahan ini. Ekaristi merupakan sumber kekuatan bagi umat beriman dan salah satu caranya adalah dengan refleksi teologis mengenai Ekaristi yang berpangkal tolak dari praksis di sekitar umat beriman. Dengan demikian sungguh Ekaristi mampu menjadi sumber kekuatan hidup umat di tengah segala permasalahan hidupnya.

Umat dalam kehidupan sehari-hari tidak lepas dari permasalahan- permasalahan hidup. Dengan adanya permasalahan hidup, umat memiliki daya untuk dapat keluar dari permasalahan dan ingin memecahkan permasalahan yang dihadapi. Untuk itulah umat Kristiani selalu merayakan Ekaristi untuk menimba kekuatan dari Allah untuk menghadapi segala rintangan yang ada. Umat Kristiani tidak dapat berjalan sendiri tanpa adanya campur tangan Allah. Maka dari itu Ekaristi merupakan sumber kekuatan orang Kristiani. Dengan berkumpul merayakan Ekaristi umat Kristiani memperoleh kekuatan untuk menghadapi masalah hidup sehari-hari (Martasudjita, 2012: 57).

Dokumen terkait