• Tidak ada hasil yang ditemukan

Manajemen Persediaan (Inventory Management)

BAB II LANDASAN TEORI

2.6 Manajemen Persediaan (Inventory Management)

Manajemen persediaan (inventory management) atau disebut juga dengan

inventory management atau pengendalian tingkat persediaaan adalah kegiatan yang berhubungan dengan perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan penentuan kebutuhan material sedemikian rupa sehingga di satu piihak kebutuhan operasi dapat dipenuhi pada waktunya dan di lain pihak investasi persediaan material dapat ditekan secara optimal (Eko & Djoko, 2003).

2.6.2 Prinsip Manajemen Persediaan

Seperti sudah disinggung di atas secara singkat, mengenai persediaan barang, ada jenis prinsip pengelolaan yang harus dianut, (Eko & Djoko, 2003) yakni:

“Penentuan jumlah dan jenis barang yang disimpan dalam persediaan haruslah

sedemikian rupa sehingga produksi dan operasi perusahaan tidak terganggu, tetapi di lain pihak sekaligus harus dijaga agar biaya investasi yang timbul dari

penyediaan barang tersebut seminimal mungkin”.

“Menghasilkan keluaran tertentu dengan biaya seminimal mungkin, atau dengan

biaya tertentu menghasilkan keluaran semaksimal mungkin”

Hal ini memang demikian karena pada hakikatnya, soal manajemen persediaan adalah soal keputusan atau manajamen ekonomi perusahaan.

Kalau melihat prinsip pengelolaan persediaan tadi, maka jelas bahwa diperlukan perpaduan antara dua hal yang sangat bertolak belakang. Cara yang paling mudah untuk menjaga agar operasi terjamin adalah dengan mengisi persediaan barang sebanyak-banyaknya (biasanya ini kemauan pemakai barang). Sedangkan yang paling mudah untuk menjaga agar biaya investasi seminimal mungkin adalah mengusahakan persediaan mencapai nol (biasanya ini dikehendaki oleh fungsi keuangan). Di sinilah letak fungsi manajemen persediaan, yaitu menjembatani dua kepentingan yang bertolak belakang tersebut.

Prinsip di atas menandakan pula bahwa pengelolaan persediaan haruslah berdaya guna (efisien) dan berhasil guna (efektif). Menjamin kelangsungan jalannya operasi perusahaan adalah sial efektivitas, sedangkan menekan persediaan sampai ke tingkat minimum adalah soal efisiensi. Dengan demikian, pertanyaan-pertanyaan yang harus dijawab yang menyangkut manajemen persediaan antara lain (Eko & Djoko, 2003) adalah:

1) Jenis barang apa saja yang perlu disimpan dalam persediaan?

2) Berapa jumlah barang tiap-tiap jenis yang perlu disimpan dalam persediaan?

3) Apa, berapa, dan kapan suatu barang yang harus dipesan lagi untuk mengisi

4) Bagaimana perbedaan antara manajemen persediaan barang umum dan suku cadang.

5) Bagaimana menentukan tingkat (nilai) persediaan yang ideal?

6) Bagaimana menentukan standardisasi material dan perlengkapan?

7) Hal-hal apa yang mempengaruhi manajemen persediaan?

8) Bagaimana mengendalikan dan mengelola persediaan berlebih dan persediaan

mati?

9) Biaya-biaya apa saja yang menyangkut manajemen persediaan dan bagaimana

mengendalikannya?

10)Bagaimana melakukan peramalan jumlah permintaan barang?

11)Bagaimana melakukan benchmarking?

12)Bagaimana mengukur tingkat kinerja manajemen persediaan?

13)Bagaimana akuntansi barang persediaan?

2.6.3 Pembagian Jenis Barang

Tadi sudah disebutkan bahwa barang persediaan dapat dibagi menjadi barang umum dan suku cadang. Ini adalah pembagian menurut jenisnya. Dalam manajemen persediaan, barang-barang dapat dibagi menurut beberapa sudut pandang/ pendekatan, yang antara lain dapat disampaikan sebagai berikut (Eko & Djoko, 2003).

1) Menurut Jenis

Barang jenis ini biasanya macamnya cukup banyak, pemakainya tidak tergantung dari perlatan, harganya relatif lebih kecil, dan kebutuhannya relatif lebih gampang.

b. Suku Cadang (spare parts)

Barang jenis ini macamnya sangat banyak, harganya biasanya lebih mahal, pemakaiannya tergantung dari peralatan, dan penentuan kebutuhannya lebih sulit.

2) Menurut Harga

a. Barang berharga tinggi (high value items)

Barang ini biasanya berjumlahh sekitar hanya 10 % dari jumlah item

persediaan, namun jumlah nilainya mewakili sekitar 70% dari seluruh nilai persediaan, dan oleh sebab itu memerlukan tingkat pengawasan yang sangat tinggi.

b. Barang berharga menengah (medium value items)

Barang ini biasanya berjumlah kira-kira 20% dari jumlah item persediaan, dan

jumlah nilainya juga sekitar 20% jumlah nilai persediaan, sehingga memerlukan tingkat pengawasan cukup saja.

c. Barang berharga rendah (low value items)

Berlawanan dengan barang berharga tinggi, jenis barang ini biasanya berjumlah kira-kira 70% dari keseluruhan pos persediaan, namun nilai harganya hanya mewakili 10% saja dari seluruh nilai barang persediaan, sehingga hanya memerlukan tingkat pengawasan rendah.

a. Barang yang cepat pemakaiannya atau pergerakannya (fast moving items) Barang jenis ini frekuensi penggunaannya dalam 1 tahun lebih dari sekian bulan tertentu, misalnya lebih dari 4 bulan, sehingga barang jenis ini memerlukan frekuensi perhitungan pemesanan kembali yang lebih sering.

b. Barang lambar pemakaian atau pergerakannya (slow moving items)

Barang yang frekuensi penggunaannya dalam 1 tahun kurang dari sekian bulan tertentu, misalnya dibawah 4 bulan, sehingga barang jenis ini memerlukan frekuensi perhitungan pemesanan kembali yang tidak sering.

4) Menurut Tujuan Penggunaan

a. Barang pemeliharaan, perbaikan, dan operasi (MRO Materials)

Barang jenis ini sifatnya habis pakai, digunakan untuk keperluan pemeliharaan, perbaikan, atau reparasi dan operasi, dan kalau pada suatu saat perediaan habis, operasi masih dapat berjalan sementara.

b. Barang program (program materials)

Barang yang sifatnya juga habis pakai, jumlah kebutuhannya sesuai dengan tingkat produksi/ kegiatan yang bersangkutan, dan kalau pada suatu saat persediaan habis, kegiatan perusahaan akan langsung berhenti.

5) Menurut Jenis Anggaran

a. Barang Operasi (operation materials)

Barang yang digunakan untuk keperluan operasi biasa, yang dianggarkan dalam anggaran operasi, dan apabila digunakan, akan dibukukan sebagai biaya, dan proses persetujuan anggarannya biasanya lebih cepat dan sederhana.

b. Barang investasi (capital materials)

Barang yang biasanya berbentuk peralatan dan digunakan untuk penambahan, perluasan atau pembangunan proyekm atau sebagai asset perusahaan, dianggarkan dalam anggaran investasi, bukan dalam anggaran operasi, dan dibukukan dalam akun asset perusahaan, sedangkan biayanya dihitung dengan metode penyusutan sesuai dengan metode perhitungan yang telah ditentukan, dan proses persetujuan anggarannya biasanya lebih sulit dan lama.

6) Menurut Cara Pembukuan Perusahaan

a. Barang persediaan (stock items)

Jenis barang yang setibanya barang tersebut dari proses pembelian, dibukukan

dalam akun “persediaan barang perusahaan” dan barangnya sendiri disimpan

di gudang persedian. Setelah barang tersebut digunakan oleh suatu bagian, baru dibebankan pada akun bagian yang bersangkutan. Penggunaan barang ini berulang-ulang sehingga memang perlu disediakan di gudang.

b. Barang dibebankan langsung (direct charged materials)

Jenis barang yang setelah dibeli langsung dikirimkan dan dibebankan ke bagian yang akan menggunakan. Barang jenis ini memang biasanya tidak disediakan dalam persediaan, karena jarang sekali digunakan.

7) Menurut Hubungannya dengan Produksi

a. Barang Langsung (direct materials)

Jenis barang yang langsung digunakan dalam produksi yang akan menjadi bagian dari produksi akhir. Jadi, bahan mentah, bahan penolong, barang setengah jadi, barang jadi, dan barang komoditas termasuk dalam kategori ini.

b. Jenis barang yang tidak ada hubungannya dengan proses produksi, namun diperlukan untuk memelihara mesin dan fasilitas yang digunakan untuk produksi. Yang masuk dalam kategori ini adalah MRO (suku cadang dan barang umum) dan barang proyek.

2.6.4 Beberapa Hambatan dalam Manajemen Persediaan

Banyak hal yang mengakibatkan sistem persediaan supply chain tidak efektif.

Sebab-sebab tersebut sangat bervariasi, ada yang teknis dan ada juga yang terkait dengan perilaku individu maupun organisasi. Lee dan Billington dalam tulisannya di Sloan Management Review tahun 1992 mengemukakan 14 jebakan yang bisa muncul

dalam mengelola persediaan pada supply chan. Beberapa diantaranya adalah

(Nyiman, 2005):

1) Tidak ada metrik kinerja yang jelas

Kinerja supply chain banyak terkait dengan persediaan. Misalnya tingkat

perputaran persediaan (inventory turnover rate), rata-rata lama permintaan atau kebutuhan bisa dipenuhi oleh persediaan (inventory days of supply), banyaknya persediaan yang kadarluwarsa, dan sebagainya. Walaupun ukuran-ukuran tersebut relatif jelas, definisi dan cara pengukurannya dilapangan, memilih ukuran mana yang pas dan berapa target yang harus dicapai bukanlah hal yang simpel.

2) Status pesanan tidak akurat

Ketika pelanggan memesan suatu produk ke pemasok, mereka berharap bisa mendapatkan informasi kapan pesanan tersebut bisa dipenuhi. Walaupun pada awalnya pelanggan sudah mendapatkan informasi tersebut, mereka tetap

mengharapkan informasi yang mutakhir tentang perkembangan pesanan mereka

dari waktu ke waktu. Namun sangat sering terjadi supplier tidak mampu

memberikan informasi tentang status pengiriman yang akurat. Akibatnya, pesanan ketidakpastian tinggi dan mendorong pelanggan untuk menyimpan cadangan persediaan yang lebih layak.

3) Sistem informasi tidak handal

Perusahaan tidak akan bisa memberikan status pesanan kalau sistem informasi antar bagian di dalam perusahaan maupun sistem yang bisa menghubungkan perusahaan dengan pelangga tidak handal. Sering kali tiap bagian dalam perusahaan tidak memiliki informasi yang sama tentang persediaan. Catatan di gudang berbedda dengan catatan yang dimiliki oleh bagian perencanaan produksi.

4) Kebijakan persediaan terlalu sederhana dan mengabaikan ketidakpastian.

Di literature kita banyak menjumpai model-model persediaan. Model-model tersebut biasanya sederhana dan menggunakan berbagai asumsi yang sering tidak berlaku di lapangan. Dasar-dasar tersebut memang sangat penting sebagai landasan, namun dalam kenyataannya staf dan manajer perlu pemahaman situasi lapangan dengan banyak melakukan analisis data seperti lead time, permintaan,

akurasi catatan persediaan, persentaasi kerusakan (reject/ defect rate), dan

sebagainya.

5) Biaya-biaya persediaan tidak ditaksir dengan benar.

Ketika perusahaan mencari solusi terhadap lead time, pengiriman yang panjang

dan tidak pasti, transportasi udara biasanya tidak masuk sebagai pertimbangan. Banyak orang sejak awal mengambil keputusan tanpa analisis bahwa pengiriman

lewat udara pasti tidak layak. Tentu ini tidak selalu benar. Ada perusahaan yang telah melakukan analisis transportasi ternyata bisa merealisasikan penghematan luar biasa karena pindah dari transportasi laut ke transportasi udara.

6) Keputusan supply chain yang tidak terintegrasi.

Implikasi dan keputusan suatu supply chain terhadap persediaan sering tidak

dipahami dengan baik. Sebelum dilakukan perubahan pada proses perakitan dan distribusi, sebuah perusahaan printer di Amerika menerima pesanan dari pusat-pusat penjualan merek di seluruh dunia. Tiap Negara biasanya memiliki kebutuhan yang berbeda terutama karen perbedaan bahasa yang akan digunakan

pada buku petunjuk serta perbedaan sistem sumber daya listrik (power supply).

Dokumen terkait