• Tidak ada hasil yang ditemukan

Manajemen Sebagai Sebuah Proses

Dalam dokumen Kepala Sekolah 16 Manajemen Sekolah Dasar (Halaman 21-34)

BAB II KONSEP DASAR MANAJEMEN SEKOLAH DASAR

D. Manajemen Sebagai Sebuah Proses

Manajemen pada dasarnya merupakan sebuah proses. Menurut Sergiovanni dan kawan-kawannya (1987) proses manajemen meliputi perencanaan (planning), pengorganisasian (organizing), pengerahan (leading), dan pengawasan (controlling). Menurut Gorton, manajemen itu pada hakikatnya merupakan proses pemecahan masalah, sehingga langkah-langkah manajemen tidak ubahnya sebagaimana langkah-langkah pemecahan masalah, yaitu: 1. identifikasi masalah 2. diagnosis masalah 3. penetapan tujuan 4. pembuatan keputusan 5. perencanaan 6. pengorganisasian 7. pengkoordinasian 8. pendelegasian 9. penginisian 10. pengkomunikasian

11. kerja dengan kelompok-kelompok 12. penilaian

Sekilas, secara kuantitatif apa yang dikemukakan oleh Sergiovanni dan kawan-kawannya tentang langkah-langkah manajemen berbeda dengan apa yang dikemukakan oleh Gorton. Namun apabila dikaji secara seksama, terutama apabila dikaji hakikat konsepnya, ternyata keduanya sama. Jadi walaupun Sergiovanni dan kawan-kawannya mengedepankan hanya empat langkah manajemen, namun secara konseptual keempat langkah manajemen perencanaan, pengorganisasian, pengerahan, dan pengawasan tersebut sama dengan kedua belas langkah manajemen yang dikemukakan oleh Gorton. Dengan demikian, kedua belas langkah manajemen yang dikedepankan Gorton di atas dapat disederhanakan menjadi empat langkah manajemen, yaitu perencanaan, pengorganisasian, kepemimpinan, dan pengawasan. Kegiatan tersebut merupakan fungsi-fungsi organik manajemen. Artinya kegiatan tersebut, seperti perencanaan, pengorganisasian, pengerahan atau kepemimpinan, dan pengawasan tidak boleh tidak harus dilakukan dalam setiap administrasi.

1.Perencanaan

Salah satu fungsi manajemen adalah perencanaan. Program kegiatan apa pun perlu direncanakan dengan baik, sehingga semua kegiatan terarah bagi tercapainya tujuan. Perencanaan harus dibuat dengan sebaik-baiknya. Rencana merupakan pedoman kerja bagi para pelaksana terkait, baik manajer maupun staf dalam melaksanakan fungsi dan tugas masing-masing. Selain itu rencana merupakan acuan dalam upaya mengendalikan kegiatan lembaga, sehingga tidak menyimpang dari pencapaian tujuan yang telah ditetapkan. Oleh karena begitu pentingnya perencanaan tersebut, maka seorang manajer harus memiliki kemampuan merencanakan program. Terkait dengan perencanaan, berikut dikemukakan: (1) definisi perencanaan; (2) ciri-ciri perencanaan yang baik; dan (3) proses perencanaan yang baik.

Perencanaan dapat didefinisikan sebagai keseluruhan proses pemikiran dan penentuan semua aktivitas yang akan dilakukan pada masa

yang akan datang dalam rangka mencapai tujuan. Perencanaan merupakan langkah pertama dalam proses manajemen yang harus dilakukan oleh orang-orang yang mengetahui semua unsur organisasi. Keberhasilan perencanaan sangat menunjang keberhasilan kegiatan manajemen secara keseluruhan. Oleh karena itu, perencanaan harus dilakukan dengan sebaik-baiknya.

Menurut banyak pakar manajemen, perencanaan yang baik sebagai berikut.

a. Dibuat bersama-sama oleh orang-orang yang memahami organisasi dan perencanaan.

b. Disertai dengan rincian yang teliti;

c. Tidak terlepas dari pemikiran pelaksanaan; d. Terdapat tempat pengambilan resiko; e. Sederhana, luwes, dan praktis;

f. Didasarkan pada keadaan nyata masa kini dan masa depan; g. Direkomendasi oleh penguasa tertinggi.

Telah ditegaskan bahwa perencanaan merupakan sebuah proses yang memikirkan dan menetapkan kegiatan untuk masa yang akan datang. Oleh karena perencanaan merupakan sebuah proses, maka ada beberapa langkah yang harus ditempuh dalam membuat perencanaan, yaitu:

a. meramalkan masa depan; b. menganalisis kondisi lembaga;

c. merumuskan tujuan secara operasional; d. mengumpulkan data atau informasi;

e. menganalisis data atau informasi;

f. merumuskan dan menetapkan alternatif program; g. menetapkan perkiraan pelaksanaan program; h. menyusun jadwal pelaksanaan program.

2.Pengorganisasian

Pengorganisasian merupakan keseluruhan proses pengelompokan semua tugas, tanggung jawab, wewenang, dan komponen dalam proses kerjasama sehingga tercipta suatu sistem kerja yang baik dalam rangka mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Pengorganisasian dilakukan berdasarkan tujuan dan program kerja sebagaimana dihasilkan dalam perencanaan. Menurut Siagian (1981) pengorganisasian suatu program dapat dilakukan melalui prosedur sebagai berikut.

a. Mengidentifikasi pekerjaan atau tugas yang perlu dilakukan untuk mencapai tujuan.

b. Mengelompokkan pekerjaan atau tugas yang sama dan memi-liki fungsi yang sama.

c. Memberikan nama tertentu bagi setiap kelompok pekerjaan atau tugas dengan nama yang kurang lebih menggambarkan fungsinya masing-masing.

d. Menentukan orang-orang yang akan ditunjuk menyelesaikan setiap kelompok kerja atau tugas. Apabila ada kelompok kerja atau tugas tertentu harus dikerjakan oleh lebih dari satu orang, maka salah satu di antara mereka perlu ditunjuk sebagai penanggung jawabnya (pendistribusian tugas dan tanggung jawab).

e. Mendistribusikan fasilitas atau peralatan yang diperlukan untuk menyelesaikan pekerjaan

f. Menetapkan aturan kerja g. Menetapkan hubungan kerja

3.Komponen-komponen organisasi kepala sekolah

Berdasarkan hakikat dan tugas-tugas pengorganisasian di atas, maka seorang kepala sekolah dasar perlu memiliki kompetensi-kompetensi sebagai berikut.

a.Menguasai konsep dasar dan teori organisasi.

1) Memahami konsep dasar organisasi, yang menjadi landasan dalam penyusunan organisasi sekolah.

2) Mengidentifikasi unsur-unsur organisasi sekolah. 3) Menguasai kebijakan dan teori-teori dasar organisasi. 4) Memahami prinsip-prinsip dasar, fungsi, dan keuntungan

organisasi.

5) Memahami teori hubungan kerja dan batas kemampuan pengawasan dalam organisasi.

b. Menguasai teknik pengorganisasian.

1) Memahami teknik pengorganisasian sebagai proses. 2) Memahami dasar penyusunan struktur organisasi.

3) Menerapkan langkah-langkah pengorganisasian kegiatan sekolah baik melalui ragam organisasi formal maupun informal.

4) Memahami dan menerapkan bentuk-bentuk pengorganisasian secara proporsional.

5) Mengembangkan struktur organisasi formal kelembagaan sekolah berdasarkan model struktur organisasi yang relevan.

6) Mengembangkan deskripsi tugas pokok dan fungsi setiap unit kerja yang ada di sekolah sesuai dengan pendekatan, strategi, dan proses pengorganisasian yang baik.

7) Mengembangkan standar operasional prosedur pelaksanaan tugas berdasarkan langkah-langkah operasional pengorganisasian yang baik.

8) Mengenal dan memahami bentuk struktur organisasi di lingkungan Depdiknas dan sekolah.

c.Menguasai kemampuan sebagai organisator.

1) Memahami kecenderungan dan kebijakan pendidikan nasional dalam pengorganisasian sekolah.

2) Memahami fungsi kepala sekolah sebagai pemimpin organisasi.

3) Memahami perilaku anggota dalam organisasi sekolah. 4) Menguasai kemampuan penempatan tenaga pendidik dan

tenaga kependidikan sesuai dengan prinsip-prinsip pembentukan kelompok kerja dan tim yang efektif dan tepat persebaran.

5) Menerapkan strategi peningkatan efektivitas kelompok. 6) Melaksanakan proses pengambilan keputusan secara

7) Menerapkan model-model pengambilan keputusan dalam proses pemecahan masalah.

8) Menerapkan ketrampilan-ketrampilan dasart berkomunikasi sebagai pemimpin organisasi di sekolah.

4.Kepemimpinan

Keberhasilan suatu institusi dalam menjalankan program yang telah direncanakan atau diorganisasikan perlu didukung dengan sebuah kepemimpinan yang efektif. Segenap sumber daya yang ada harus dikerahkan sedemikian rupa. Semua sumber daya manusia perlu dikerahkan secara efektif. Kehadiran kepemimpinan sangat esensial, mengingat kepemimpinan merupakan motor penggerak bagi sumber daya yang dimiliki lembaga. Karena itu, kepemimpinan disebut sebagai fungsi organik dalam proses manajemen. Terkait dengan kepemimpinan tersebut berikut dikemukakan: (1) definisi kepemimpinan; (2) jenis kepemimpinan; dan (3) syarat-syarat untuk menjadi pemimpin yang efektif.

Secara sederhana kepemimpinan dapat didefinisikan sebagai keseluruhan proses mempengaruhi, mendorong, mengajak, menggerakkan, dan menuntun orang lain dalam proses kerja agar berfikir, bersikap, dan bertindak sesuai dengan aturan yang berlaku dalam rangka mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Hakikat kepemimpinan adalah kegiatan seseorang menggerakkan orang lain, agar orang lain itu berkenan melaksanakan tugas-tugasnya. Dalam rangka memperoleh gambaran yang sederhana tentang kepemimpinan, perlu didistribusikan berikut ini dengan pengalaman praktis, yang pernah dirasakan di dalam proses kehidupan kelompok. Proses kepemimpinan seseorang dapat muncul dalam bentuk usaha mempengaruhi orang lain agar bertindak sesuai dengan apa yang diinginkannya. Marilah kita amati di lingkungan sekolah dasar, kepala sekolah berusaha mempengaruhi para guru kelas, guru mata Pendidikan Agama atau guru mata pelajaran Pendidikan

Jasmani dan Kesehatan, pesuruh sekolah. Agar mereka mau melakukan tugasnya masing-masing demi tercapainya tujuan yang telah ditetapkan. Berdasarkan definisi dan ilustrasi kepemimpinan tersebut, proses kepemimpinan pada hakikatnya dapat muncul kapan dan dimanapun, apabila ada unsur-unsur :

a) orang yang memimpin. b) orang-orang yang dipimpin.

c) kegiatan atau tindakan penggerakkan untuk mencapai tujuan. d) tujuan yang ingin dicapai bersama.

Sepanjang sejarah perkembangan teori kepemimpinan, ditemukan banyak jenis kepemimpinan, tergantung dari mana memandangnya. Pertama, bilamana ditinjau dari status hukum, maka dua jenis kemimpinan, yaitu kepemimpinan formal dan kepemimpinan informal. Seseorang yang secara resmi diberi tugas dan tanggung jawab sebagai pemimpin disebut pemimpin formal atau pemimpin resmi (formal leader atau structural leader). Seseorang yang secara resmi tidak ditunjuk sebagai pemimpin, namun dalam kesehariannya ia selalu mampu mendorong, memotivasi, atau menggerakkan orang lain, maka orang tersebut dinamakan pemimpin tidak resmi atau pemimpin informal (informal leader atau

functional leader). Orang-orang yang digerakkan atau didorong berarti orang-orang yang dipimpin.

Ditinjau dari karakteristik pemimpin, lahir tiga jenis kepemimpinan, yaitu kepemimpinan simbolik, kepemimpinan formal, dan kepemimpinan fungsional. Pemimpin simbolik adalah pemimpin yang ramah, jujur, bersemangat, kreatif, tabah, bijaksana, cerdas, humoris, lemah-lembut. Pemimpin formal adalah pemimpin yang memiliki posisi, gelar, jabatan, puncak hierarki, kuasa. Sedangkan pemimpin fungsional adalah pemimpin yang lahir dari peranan, fungsi dan kemanfaatannya bagi kelompok.

Sedangkan ditinjau dari tipenya, kepemimpinan dapat dibagi menjadi empat tipe, yaitu kepemimpinan otoriter, kepemimpin laizess-fire, kepemimpinan demokratis; dan kepemimpinan pseudo-demokratis. Kepemimpinan otoriter diwarnai dengan serba tergantungan kepada pemimpin. Kepemimpinan leizess-faire adalah kepemimpinan yang semuanya bergantung bawahan; kepemimpinan demokratis diwarnai dengan tindakan kerjasama pemimpin dan bawahan. Sedangkan kepemimpinan pseudodemokratis merupakan kepemimpinan yang secara supervisial tampak, namun sebenarnya otoriter atau demi kepentingan kelompok kecil/klik; semu, manipulatif.

Telah ditegaskan di muka bahwa kepemimpinan merupakan fungsi organik dalam proses manajemen. Konsekuensinya, siapapun yang menjadi pemimpin harus memenuhi syarat-syarat kepemimpinan, baik kepribadian, pengetahuan, dan ketrampilan, sebagaimana diuraikan berikut ini.

a) Seorang pemimpin harus dapat memiliki sifat-sifat pribadi yang terpuji, antara lain ramah, periang, antusias, berani, murah hati, spontan, percaya diri, dan memiliki kepekaan sosial yang tinggi, menerima pendapat orang lain.

b) Seorang pemimpin harus dapat memikirkan, merumuskan tujuan visi, misi, kondisi, dan aksi yang ingin dicapai, dan menginformasikannya kepada staf agar mereka sepenuhnya memahami yang ingin dicapai bersama.

c) Seorang pemimpin harus memiliki keterampilan dalam bidang yang dipimpinnya. Pemimpin pendidikan harus terampil dalam bidang pendidikan. Dengan keterampilan tersebut diharapkan pemimpin dapat membantu stafnya dalam mengatasi masalah-masalah yang sedang dihadapi.

5.Pengawasan

Pengawasan merupakan istilah yang cukup populer. Pengawasan merupakan salah satu fungsi manajemen. Fungsi tersebut mutlak harus dilakukan dalam setiap organisasi atau lembaga. Ketidakmampuan atau kelalaian melakukan fungsi tersebut sangat mempengaruhi pencapaian tujuan lembaga. Dalam hubungannya dengan pengawasan dalam manajemen, berikut dikemukakan: (1) definisi pengawasan; (2) perspektif pengawasan; (3) pentingnya pengawasan; (4) prinsip-prinsip pengawasan yang baik; dan (5) proses pengawasan yang baik.

Kimbrough dan Nunnery (1983) mengartikan pengawasan sebagai proses memonitor kegiatan-kegiatan. Tujuannya untuk menentukan harapan-harapan yang secara nyata dicapai dan melakukan perbaikan-perbaikan terhadap penyimpangan-penyimpangan yang terjadi. Harapan-harapan yang dimaksud tersebut adalah tujuan-tujuan yang telah ditetapkan untuk dicapai dan program-program yang telah direncanakan untuk dilakukan dalam periode tertentu. Dengan demikian, pengawasan dalam konteks pendidikan itu merupakan proses memonitor kegiatan-kegiatan untuk mengetahui program-program lembaga pendidikan yang telah diselesaikan dan tujuan-tujuannya yang telah dicapai.

Pengertian di atas menyisyaratkan, bahwa sebelum dilakukan pengawasan pada sebuah lembaga tertentu perlu terlebih dahulu ditetapkan tujuan-tujuan lembaga yang ingin dicapai dan program-program lembaga yang akan dilakukan. Tiada seorang pimpinan lembaga tertentu dapat mengadakan pengawasan dengan sebaik-baiknya tanpa adanya tujuan-tujuan lembaga yang ditetapkan dan program-program lembaga yang direncanakan dengan sebaik-baiknya. Dengan kata lain, tidak ada seorangpun di antara kepala sekolah dasar yang bisa melakukan pengawasan terhadap sekolahnya tanpa terlebih dahulu memahami tujuan-tujuan dan program-program kerja sekolahnya. Kimbrough dan Nunnery (1983) menegaskan, bahwa perencanaan program dan

pengawasan organisasi merupakan dua kegiatan manajemen yang saling berkaitan dan mempengaruhi satu sama lainnya. Adanya perencanaan yang baik memungkinkan ditetapkannya standar keberhasilan yang baik. Semakin baik perencanaan yang dibuat maka kemungkinannya semakin baik pula standar keberhasilan yang dapat ditetapkan. Adanya standar yang baik memungkinkan dilakukannya pengawasan yang baik. Pengawasan yang baik mampu memonitor pelaksanaan program-program organisasi, sehingga apabila terjadi beberapa penyimpangan yang berarti, dapat segera dilakukan perbaikan seperlunya dan sekaligus masukan bagi perencanaan berikutnya (Robbins, 1984).

Pengertian pengawasan sebagaimana diajukan oleh Kombrough dan Nunnery tersebut di atas sesuai dengan pengertian pengawasan yang dikemukakan oleh Mockler (1972). Pengertian yang dikemukakan oleh Mockler lebih operasional yang menunjukkan langkah-langkah pengawasan sebagai suatu proses yang sistematis. Menurut Mockler, pengawasan merupakan usaha sistematis untuk menetapkan standar berdasarkan tujuan dan perencanaan, merancang sistem umpan balik, membandingkan performansi nyata dengan standar yang telah ditetapkan sebelumnya, menetapkan ada atau tidaknya perbedaan antara performansi nyata dan standar, dan melakukan perbaikan-perbaikan tertentu untuk menjamin bahwa semua sumber daya digunakan secara efisien dalam mencapai tujuan bersama.

Dengan demikian, berdasarkan konsepsi yang dikemukakan oleh para ahli tersebut di atas, dapat dikemukakan bahwa pengawasan itu pada dasarnya merupakan pengendalian performansi sebuah lembaga. Tujuan agar performansi lembaga tersebut tidak menyimpang dari tujuan, program, prosedur-prosedur, aturan-aturan, dan prinsip-prinsip kelembagaan. Namun tidak berarti bahwa dalam pengawasan itu pimpinan dan atau stafnya tidak memperhatikan kepentingan-kepentingan perorangan anggota lembaganya. Sebab perlu disadari bahwa sebuah

lembaga sebagai suatu sistem sosial itu tidak hanya menyangkut aturan-aturan dan harapan lembaga sebagai unsur institusional, melainkan juga terdiri dari personalitas dan kepentingan perorangan staf lembaga sebagai unsur individu untuk dikembangkan dan dicapai melalui kerjanya. Pengawasan yang baik itu adalah pengawasan yang mampu mengendalikan performansi organisasi menuju pencapaian tujuan organisasi, dengan tidak mengenyampingkan kepentingan-kepentingan individual anggota organisasi (Pidarta, 1988).

Sementara ini ada dua perspektif teoretik mengenai pengawasan sebagai upaya pemodifikasian performansi seseorang (Wren & Voich, 1984), tetapi dari teori-teori tersebut banyak memberikan dukungan yang tidak ajek mengenai pengawasan. Pertama adalah perspektif "teori" X. Menurut "teori" X, kebanyakan manusia itu kurang memiliki motivasi dan pasif. Mereka kurang memiliki tanggung jawab. Tanpa intervensi dari pimpinan, mereka akan pasif, sehingga mereka harus dipimpin, diarahkan dan diawasi. Kedua adalah perspektif "teori" Y. Menurut "teori" Y, pada umumnya manusia itu memiliki motivasi dan tidak pasif. Mereka menyukai tanggungjawab, produktif dan kurang suka diawasi. Tanpa melalui intervensi dari atasannya, mereka tetap masih bisa melakukan dan menghasilkan sesuatu yang produktif. Dalam perkataan lain, "teori" X lebih mendukung dan mempercayai pengawasan eksternal sebagai upaya memodifikasi performasi seseorang, sedangkan "teori" Y lebih mendukung pengawasan internal dalam memodifikasi performansi seseorang (Carver & Sergiovanni, 1969).

Paling tidak ada tiga faktor yang menyebabkan pengawasan dalam sebuah lembaga itu penting dan merupakan fungsi esensial dalam pengelolaan pada lembaga yang bersangkutan. Faktor pertama, terletak pada accountability. Agar semua tenaga atau karyawan pada sebuah lembaga mengemban tugas dan tanggung-jawabnya masing-masing, mereka perlu mengetahui secara pasti apa tugas dan tanggung-jawabnya,

bagaimana performansi mereka akan diukur, dan standar keberhasilan performansi yang digunakan sebagai kriteria di dalam pengukurannya. Pertanggung-jawaban tersebut tidak mungkin terlaksana dengan sungguh-sungguh tanpa adanya suatu sistem pengawasan yang baik.

Faktor kedua, terletak pada rapidity of change. Setiap lembaga merupakan institusi sosial yang tidak bisa terlepas dari lingkungannya. Seringkali lingkungan tersebut mengalami perubahan-perubahan dengan cepat sekali. Perubahan-perubahan tersebut menghendaki penyesuaian taktik dan strategi dari lembaga. Agar perubahan-perubahan lingkungan bisa dipantau dan penyesuaian taktik dan strategi terhadap perubahan-perubahan itu bisa dilakukan maka perlu adanya sistem pengawasan.

Sebagai faktor ketiga terletak pada complexity today's organization. Setiap lembaga yang besar dan maju mempunyai program-program yang bermacam-macam untuk mencapai tujuan yang juga besar dan kompleks. Bahkan banyak lembaga yang membuka cabang-cabangnya di beberapa tempat yang secara geografis terpencar dari pusatnya. Lembaga yang demikian itu menghendaki adanya sebuah sistem pengawasan yang tepat dan mantap.

Pengawasan harus dilakukan dengan sebaik-baiknya, sehingga pengawasan yang pada dasarnya dilakukan untuk memantau, mengarahkan, dan membina kinerja, serta tidak dipandang sebagai satu kegiatan yang menakutkan. Karena itu ada prinsip-prinsip yang sebaiknya dipegang teguh, yaitu sebagai berikut: (1) prinsip manajerial; (2) prinsip organisasional; (3) prinsip obyektif dan keterbukaan; (4) prinsip pencegahan dan perbaikan; dan (5) prinsip efisiensi dan fleksibilitas

Walaupun antara ahli-ahli di atas berbeda-beda di dalam mendeskripsikan langkah-langkah pengawasan, namun kesemuanya memiliki kesamaan makna, bahwa ada empat langkah di dalam melakukan pengawasan, yaitu : (1) menetapkan standar performansi, (2) mengukur

performansi aktual, (3) membandingkan performansi aktual dengan standar performansi yang telah ditetapkan, dan (4) melakukan perbaikan performansi apabila ternyata performansi aktual tidak sesuai dengan standar.

Dalam dokumen Kepala Sekolah 16 Manajemen Sekolah Dasar (Halaman 21-34)

Dokumen terkait