• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.3 Manajemen Rantai Pasok

pihak yang berada di hilir sehingga sisa umur produk semakin pendek saat produk sampai di tangan retailer. Umur produk mulai dihitung pada saat proses produksi selesai dilakukan. Oleh karena itu, ketepatan dalam perencanaan inventori dibutuhkan agar tidak terjadi overstock ataupun lost sales pada retailer. Perencanaan inventori yang tepat membutuhkan koordinasi yang baik antara seluruh pihak pada rantai pasok. Pada penelitian ini akan dilakukan integrasi antara pemasok dan pembeli dengan permintaan stokastik.

2.3 Manajemen Rantai Pasok

Pada sistem tradisional, masing-masing pihak pada rantai pasok, seperti pemasok, produsen, distributor, retailer menentukan keputusan dalam merencanakan kebutuhan untuk memenuhi permintaan dilakukan secara independen. Hal ini dapat merugikan pihak lain yang berlaku sebagai partner bisnis dari masing-masing pihak tersebut. Penyebabnya adalah seluruh pihak tersebut saling membutuhkan, sehingga dibutuhkan suatu kerjasama yang baik agar seluruh pihak merasa diuntungkan. Persaingan bisnis yang berubah secara drastis menyebabkan individual bisnis tidak lagi bersaing sebagai autonomous

entities tetapi lebih ke arah kerjasama antar entitas yang ada pada rangkaian supply chain (Lee, 2004). Adanya kebutuhan untuk koordinasi antar pihak

tersebut memunculkan konsep supply chain management.

Menurut Pujawan (2004), rantai pasok adalah jaringan perusahaan-perusahaan yang saling bekerjasama untuk menciptakan dan menghantarkan produk hingga ke tangan konsumen. Dengan banyaknya pihak yang terlibat pada sistem rantai pasok ini, banyak peneliti yang memunculkan pemikiran dalam merancang manajemen rantai pasok, dimana hal ini merupakan suatu istilah yang menggambarkan adanya pengelolaan aliran material, uang, dan informasi dari

supplier, distribution centre, retailer, hingga produk sampai di tangan customer.

Tujuan utama dari sistem supply chain adalah memenuhi permintaan konsumen tepat waktu, kuantitas, dan kualitas.

Arshinder et al. (2008) melakukan review terhadap beberapa penelitian mengenai Supply Chain Coordination. Hasil dari review diklasifikasikan menjadi empat bagian, yaitu peran dari peran koordinasi pada supply chain, koordinasi

21

antar fungsi yang berbeda dan antara pihak yang menghubungkan suatu supply

chain, mekanisme koordinasi, dan studi kasus pada supply chain coordination.

Semua penelitian tersebut dipetakan dalam suatu skema pada gambar 2.3.

Gambar 2.3 Skema Klasifikasi Supply Chain Coordination

Fokus penelitian ini adalah integrasi antar pihak pada supply chain, dimana integrasi yang dilakukan terdapat pada area procurement-production dan

production-inventory. Pada dasarnya koordinasi dilakukan agar dapat memberikan

keuntungan secara keseluruhan sistem supply chain. Namun, dalam perjalanannya terdapat beberapa hambatan yang dialami. Pada permasalahan integrasi

procurement-production, masalah yang muncul adalah :

1. Pemasok menginginkan manufaktur untuk melakukan pembelian dalam jumlah besar dan stabil dengan pengiriman fleksibel

2. Manufaktur menginginkan pengiriman secara JIT (just-in-time) dalam

batch kecil terkait dengan perubahan permintaan dan meminimasi biaya

penyimpanan.

Lu (1995) mengembangkan model integrasi single-vendor multi-buyer dengan jumlah pengiriman sama. Dengan adanya koordinasi dalam replenishment, pemasok dapat mengurangi biaya tahunan sebesar 30%. Selain itu total biaya pada pembeli juga berkurang. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa koordinasi pada supply chain juga tidak mudah dilakukan, namun dapat membawa keuntungan pada seluruh pihak.

22

Kurangnya koordinasi pada aliran rantai pasok menyebabkan terjadinya distorsi permintaan yang lebih sering dikenal sebagai “bullwhip effect” (Chopra dan Meindl, 2007). Dampak lain yang muncul dari kurangnya koordinasi pada rantai pasok adalah sebagai berikut :

1. Biaya manufaktur meningkat 2. Biaya persediaan meningkat.

3. Replenishment lead timemeningkat.

4. Meningkatnya biaya transportasi.

5. Biaya tenaga kerja untuk pengiriman dan penerimaan meningkat. 6. Tingkat ketersediaan produk rendah.

7. Memburuknya hubungan di seluruh rantai pasokan. 8. Menurunnya profitabilitas.

Adapun hambatan-hambatan yang terjadi selama menjalankan koordinasi adalah:

1. Insentif obstacles

2. Information processing obstacles 3. Operational obstacles

4. Pricing obstacles 5. Behavioral obstacles

Agar koordinasi dalam rantai pasok berjalan dengan baik, maka diperlukan beberapa hal berikut:

1. Menyelaraskan tujuan dan insentif 2. Meningkatkan akurasi informasi 3. Meningkatkan kinerja operasional

4. Merancang strategi harga untuk kestabilan order 5. Membangun kemitraan strategis dan kepercayaan

Selain diperlukan strategi untuk memperlancar koordinasi dalam supply chain, Arshinder et al. (2008) mengemukakan bahwa terdapat beberapa mekanisme dalam koordinasi supply chain, antara lain :

Supply chain contract. Seluruh pihak pada supply chain membuat suatu

kontrak dengan persetujuan bersama untuk memperbaiki manajemen semua pihak. Biasanya faktor yang diatur pada kontrak adalah harga,

23

jumlah dan waktu pengiriman. Tujuan dari supply chain contract adalah meningkatkan total keuntungan seluruh supply chain, mengurangi jumlah

overstock/ understock dan risiko antara supply chain partner.

 Informasi dan teknologi. Informasi teknologi tentunya sangat membantu dalam koordinasi supply chain. Lokasi yang berjauhan antar pihak supply

chain dapat menyebabkan koordinasi terhambat. Namun dengan adanya

teknologi dan informasi, semua pihak dapat terhubung dan saling berinteraksi secara langsung. Selain itu, pada proses distribusi, informasi teknologi dapat membantu menelusuri lokasi pengirim secara real time.

Information sharing. Seluruh pihak dari supply chain saling membutuhkan

pertukaran informasi terkait dengan permintaan, pesanan, inventori,dan data point of sale. Penerapan information sharing yang baik dapat meningkatkan service level pada pemasok, mengurangi biaya penyimpanan, dan mengurangi panjang siklus pemesanan.

Joint decision making. Pengambilan keputusan bersama antar pihak di

supply chain saat ini banyak diterapkan untuk menjalin koordinasi yang

baik antar pihak tersebut. Penentuan keputusan antara lain mengenai

replenishment, biaya penyimpanan dengan permintaan yang dinamis,

perencanaan kolaboratif, jumlah pengiriman pesanan, ukuran batch, dan pengembangan produk untuk meningkatkan performansi supply chain. Contoh penerapan dari joint decision making adalah VMI (Vendor

Managed Inventory) dan CPFR (Collaborative, Planning, and Forecasting, Replenishment).

2.4 Model Ukuran Lot Ekonomis Gabungan (Joint Economic Lot Size)

Dokumen terkait