• Tidak ada hasil yang ditemukan

Manajemen Rehabilitasi

Dalam dokumen Referat Spinal Cord Injury (Halaman 24-38)

Rehabilitasi dimulai ketika kondisi medis pasien cukup stabil untuk menjalani terapi. Terapi dapat langsung dijalani sesegera mungkin sehari setelah cedera. Faktanya, semakin dini terapi dimulai, semakin besar kemungkinan terhindarnya komplikasi SCI seperti pembentukan kontraktur-kontraktur sendi. 2

Program rehabilitasi meliputi: (a) Penilaian dan evaluasi pasien (b) Identifikasi kondisi komorbid (c) Manajemen komplikasi (d) Terapi Fisik (e) Terapi okupasional (f) Ortosis (g) Pelatihan gaya berjalan (gait retraining).11

a. Penilaian dan evaluasi pasien: meliputi evaluasi stabilitas spinal, juga penilaian neurologis, muskuloskeletal, paru, kardiovaskular, pencernaan, genitourinary, dan sistem-sistem intergumen. 11

b. Identifikasi kondisi komorbid: meliputi hipertensi, diabetes mellitus, penyakit jantung iskemik, penyakit paru obstruktif kronik, dsb. 11

c. Manajemen komplikasi. pada rehabiliasi SCI komplikasi berikut harus diperhatikan: 11

(i) Bladder dysfunction. Pendekatan manajemen bladder yang paling sering meliputi intermittent catheterization (IC) dan indwelling catheterization. Indwelling catheterization digunakan pada cedera akut dan intermittent catheterization menjaga volume pengeluaran urin kurang dari 450 ml. Kateterisasi suprapubik digunakan pada

ulserasi penis. Mekanisme pencetus contohnya valsava, metode crede juga berguna dalam memperbaiki fungsi miksi (bladder). Obat-obatan digunakan dalam penanganan bladder meliputi: antikolinergik, antispasmodic, dll. Terapi lain adalah akupuntur, assistive devices, stimulasi elektrik atau surgical augmentation juga dapat digunakan untuk membantu fungsi miksi.

(ii) Bowel dysfunction: lebih dari 20% penderita SCI melaporkan kesulitan dalam mengevakuasi defekasi mereka. Penanganan defekasi harus dimulai selama fase akut untuk menghindari impaksi fekal. Penanganan defekasi meliputi:

 Diet serat: serat tidak terlarut dapat menyerap dan menahan air yang akan membentuk suatu bulk yang mendorong makanan melalui sistem pencernaan secara cepat. Serat terlarut akan mencetuskan regularitas dan menyembuhkan konstipasi.

Asupan cairan tinggi (high fluid) secara teratur mencegah konstipasi.

Irigasi pulse water (intermitten rapid pulse of warm water) ke dalam rektum, untuk memecah stool impaction dan merangsang peristalsis.

 Rangsangan: rangsangan elektrik pada dinding otot abdominal dan stimulasi magnetic fungsional dapat mengurangi waktu transit koloni.

 Agen farmakologis: agen prokinetik are presumed to promote transit melalui traktus pencernaan, dengan cara mengurangi jangka waktu dari stool saat melalui usus dan meningkatkan frekuensi stool untuk evakuasi, contohnya Cisapride.

 Penggunaan supositoria: gliserin suppositoria merupakan stimulant lokal yang ringan dan agen lubrikan.

(iii) Spastisitas: merupakan episode yang umum terjadi pada SCI. terjadi secara bertahap dan setelah spinal shock. Berikut penanganan yang tersedia saat ini: 11

1. Terapi fisik: pergerakan pasif yang ritmis,

2. Direct muscle electrical stimulation yang mengurangi spastisitas: patterned electrical stimulation (PES), patterned neuro muscular electrical stimulation (PNS), functional electrical stimulation, transcutaneous electrical nerve stimulation (TENS).

3. Terapi farmakologis: baclofen oral, obat yang bekerja secara sentral yang merupakan agonis gamma-aminobutaric acid. Obat lain: diazepam, tizanidine, klonidin, gabapentin. Agen penghambat: phenol atau toksin botulinum.

4. Pembedahan meliputi percutaneous radio frequency rhizotomy, myelotomy.

(iv) Kelemahan otot: paresis atau paraplegia merupakan gejala yang umum terjadi pada SCI. Penanganannya dengan cara: 11

1. Strengthening exercise: meningkatkan kekuatan otot dan mencegah kehilangan otot.

2. Electrical stimulation therapy: juga meningkatkan kekuatan otot dan mencegah kehilangan otot.

(v) Nyeri: nyeri merupakan komplikasi yang sering pada SCI traumatik. 30-40% pasien dengan SCI mengalami nyeri yang berat. 69% telah ditetapkan sebagai nyeri kronik. Usia yang tua berhubungan dengan prevalensi nyeri yang meningkat. Nyeri disebabkan karena neuropatik atau nyeri muskuloskeletal yang dapat dikurangi dengan cara: 10 1. Non farmakologis: pijat dan terapi panas, TENS dan modalitas

2. Farmakologis: berbagai obat tersedia untuk mengurangi nyeri, contoh: gabapentin dan antikonvulsan lain.

(vi) DVT: komplikasi yang umum terjadi pada SCI dan penyebab utama morbiditas dan mortalitas. Kejadian pada penderita SCI bervariasi dari 12.5-55% dan emboli paru dilaporkan sekitar 5% pada pasien SCI akut. Pengobatan berikut untuk mencegah dan mengobati DVT: 10 1. Non farmakologis: compression stocking, external pneumatic

compression, dan continuous rotation beads.

2. Agen farmakologis: antitrombotik atau antikoagulan digunakan sebagai profilaksis terhadap DVT. Penggunaan LMWH mempunyai efektivitas yang tinggi baik digunakan sendiri atau dengan kombinasi bersama modalitas mekanik lain.

(vii) Bed sore: ulkus karena tekanan atau bed sore dapat timbul kapanpun pada SCI. selama fase akut, ulkus di sakral dan tumit merupakan yang tersering, dan pada kasus kronik, ulkus ischial yang tersering. Bed sore dapat dicegah dengan cara: 11

1. Perubahan postur tiap 2 jam. 2. Penggunaan minimal air loss beds.

3. Penggunaan bantal dan foam wedges untuk mencegah tekanan pada penonjolan tulang.

4. Stimulasi elektrik digunakan untuk mengurangi ulkus ischial dan meningkatkan aliran darah.

(viii) Hipotensi postural: terjadi karena penyimpangan respons simpatik. Pengobatan: 11

1. Farmakologis: klonidin, flucordison

2. Non farmakologis: elastic stocking dan abdominal binders. d. Terapi fisik.

Tujuan Fisioterapi antara lain adalah: 2  Mengurangi nyeri

 Mencegah atrofi dan kontraktur pada otot-otot tungkai  Meningkatkan ROM tungkai

 Merangsang dan mengembalikan rasa sensasi  Mengembalikan ke ADL yang mandiri

Program Latihan Fisioterapi antara lain: 2

 Menjaga fungsi respirasi: breath exercise, glossopharyngeal breath, airshift manuever, strengthening, stretching, coughing, chest fisioterapi. Bertujuan untuk meningkatkan kondisi umum serta mengatasi komplikasi paru akibat tirah baring (bed rest). Perhatian pada: Trauma pada dada dan perut pada paraplegia (gangguan diafragma).

 Perubahan posisi (pencegahan pressure sores, kontraktur, inhibisi spastisitas, mengkoreksi kelurusan dari fraktur).

 Latihan ROM (pasif dan aktif) dan penguluran untuk mencegah kontraktur dan adanya keterbatasan lingkup gerak sendi pada bagian yang lesi.

Penguatan yang tersisa dan yang sehat (selective).

Bladder training yang dilakukan untuk menjaga kontraktilitas otot detrusor.

 Orientasi pada posisi vertikal sedini mungkin setelah cedera stabil.  Perhatian terhadap gerak yang boleh/tidak boleh pada cedera yang

Physical agents. 11

1). Thermotherapy: digunakan untuk mengurangi nyeri dan spastisitas. Meliputi superficial heat (IRR, Wax bath) dan deep heat (SWD, MWD, UST).

Aplikasi panas adalah tindakan sederhana sebagai metode yang efektif untuk mengurangi nyeri kronik atau kejang otot. Diberikan untuk mengurangi atau menghilangkan rasa sakit, kekakuan otot dan kekakuan sendi.

Terdapat 2 macam pemanasan:

 Pemanasan dangkal

Karena daya tembusnya hanya beberapa milimeter saja. Misalnya sinar infrared, bantal hidrokolataor atau botol berisi air panas  Pemanasan dalam (diatermi)

- Diatermi gelombang pendek: menggunakan arus listrik frekuensi tinggi yang diubah menjadi panas sewaktu melintasi jaringan

- Diatermi gelombang mikro: menggunakan radiasi elektromagnet dengan efek pemanasan jaringan

- Diatermi ultrasonik: mengunakan gelombang suara dengan frekuensi diatas 17.000 Hz

Ultrasound dan short wave diathermy. Membantu terutama pada kontraktur sendi, dan perlengketan. Hal ini meningkatkan fleksibilitas dari serat kolagen dan sirkulasi jaringan ikat yang membantu restorasi fungsional

2). Electrical therapy: digunakan untuk meningkatkan kekuatan otot dan mengurangi nyeri, contohnya TENS, EST.

 Stimulasi saraf dengan listrik melalui kulit (TENS) terdiri dari suatu alat yang digerakkan oleh batre yang mengirim impuls listrik lemah melalui elektroda yang diletakkan di tubuh. Elektroda pada umumnya diletakkan diatas atau dekat dengan bagian yang nyeri.

 TENS mengaktifkan mekanisme sentral untuk memberikan analgesia. TENS frekuensi rendah mengaktifkan reseptor μ-opioid pada saraf tulang belakang dan batang otak sementara TENS frekuensi tinggi menghasilkan efeknya melalui δ-opioid reseptor. Efektivitas TENS tergantung pada intensitas, frekuensi, durasi dan jumlah sesi.

3). Teknik neurostimulation termasuk transcranial magnetic stimulation (TMS) dan cortical electric stimulation (CES), spinal cord stimulation (SCS) dan deep brain stimulation (DBS) juga telah telah ditemukan efektif dalam pengobatan nyeri neuropatik.

4). Akupuntur. Akupuntur berupa insersi jarum halus ke dalam berbagai titik akupuntur di seluruh tubuh untuk meredakan nyeri. Metode noninvasif lain untuk merangsang titik-titik pemicu adalah memberi tekanan dengan ibu jari, suatu teknik yang disebut akupresur.

Terapi latihan: mat exercise, PNF exercise, active & passive ROM exercise, strengthening exercise, stretching exercise, endurance exercise, co-ordination exercise.11

Range of motion (ROM) exercise (pasif, dibantu, atau aktif) dapat digunakan untuk melemaskan otot, memperbaiki sirkulasi dan mencegah nyeri yang berkaitan dengan kekakuan dan imobilitas.11

e. Terapi Okupasi. Merupakan bagian dari program rehabilitasi dan dilakukan oleh terapis okupasi. Tujuan dari terapi ini adalah latihan untuk aktivitas sehari-hari (activity daily life). 11

Terapi pada penderita paraplegia:

 Cara duduk tegak. Pada awalnya penderita paraplegia akan ditegakkan perlahan-lahan membentuk sudut 45o selama kurang lebih 10 menit, kemudian hingga 90o atau duduk tegak selama 30 menit. Setelah penderita paraplegia siap maka terapis akan membantu duduk di atas kursi untuk beberapa menit dan sedikit demi sedikit untuk waktu yang lebih lama.

 Keseimbangan. Pertama kali penderita paraplegia akan belajar menyesuaikan perasaan mengenai keseimbangan yang hilang dengan menggunakan matanya dan menggunakan otot-otot yang masih berfungsi setelah penderita paraplegia ini akan mampu menarik tubuhnya ke belakang dalam posisi tegak lurus. Hal ini membutuhkan waktu yang cukup hingga pada akhirnya penderita paraplegia akan mampu melakukan hal tersebut dengan sendirinya tanpa bantuan dari orang lain.

 Berpakaian. Sementara penderita paraplegia belajar akan keseimbangan, mereka juga belajar bagaimana cara memakai baju sendiri. Umumnya hal ini tidak terlalu sulit untuk penderita paraplegia karena bagian atas tubuh mereka tidak mengalami kerusakan atau kelumpuhan, hanya saja waktu yang mereka gunakan untuk memakai baju menjadi agak lama terutama saat mereka memakai celana dan ini butuh latihan yang intensif.

 Latihan berdiri dan berjalan. Berfungsi untuk menjaga agar lutut-lutut penderita paraplegia tetap lurus dan kaki-kaki tidak terseret ke lantai. Penderita paraplegia ini akan belajar dengan menggunakan palang sejajar yang terdapat pada rumah sakit rehabilitasi pada umumnya, setelah menjalani latihan yang cukup, penderita paraplegia akan mulai belajar dengan menggunakan kruk untuk berjalan sedikit demi sedikit. Hal ini hanya dapat dilakukan pada penderita paraplegia yang mengalami tingkat cedera di bawah L3 sedangkan pada penderita paraplegia yang mengalami tingkat cedera pada T12 kemungkinan ini sangat kecil, namun latihan harus tetap dilakukan untuk menjaga terjadinya kontraktur atau pemendekan otot tetap, memperbaiki sirkulasi darah, dan membantu ginjal agar dapat bekerja secara semestinya.

 Makanan. Penderita paraplegia juga akan kehilangan kontrol buang air kecil dan besar sehingga pada tahap awal kelumpuhan, mereka membutuhkan makanan khusus yang menghindarkan penderita mengalami komplikasi. Setelah lewat masa perawatan dan setelah mendapat ijin dari dokter, penderita diperbolehkan memakan

makanan pada umumnya. Penderita paraplegia diharuskan memakan makanan yang banyak mengandung serat dan mineral guna menghindarkan sembelit.

 Naik turun dari kloset. Penderita paraplegia membutuhkan beberapa peralatan seperti tali atau rantai yang digantung di langit-langit kamar mandi. Hal ini berfungsi untuk membantu penderita paraplegia naik dan turun dari kloset.

f. Ortosis11

Pada pasien cedera medula spinalis penetapan alat bantu ambulasi : kursi roda, crutches, walker bisa digunakan. Setelah berbaring lurus untuk beberapa waktu selama periode awal pasien harus berkembang oleh fisioterapis untuk duduk tegak di kursi roda. Ini adalah proses bertahap yang bergerak pasien ke posisi tegak terlalu cepat dapat menyebabkan penurunan tekanan darah yang parah. Sebuah kursi roda dengan kaki terletak mengangkat dan kembali miring digunakan pada awalnya sampai pasien mampu mentoleransi kursi tegak. Latihan teratur keseimbangan duduk adalah penting dibawah pengawasan yang ketat dari fisioterapis sebagai kontrol batang diperlukan untuk hidup mandiri. Setelah transfer duduk dikuasai ke kursi roda dan penguatan dapat bekerja. Tahap pertama pembelajaran keseimbangan duduk yang baik, memperkuat otot dan transfer kursi roda kini telah dikuasai dan itu adalah waktu untuk rehabilitasi tersisa untuk mengambil tempat di Unit Luka Spinal.

g. Gait retraining. Gait retraining dapat dilakukan dengan cara: 11

- Program pre ambulation MAT: rolling, prone on elbow, prone on hand, quadruped, pelvic tilting, setting and standing balance.

- Parallel bar progression

- Advanced parallel bar activities

BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Cedera medulla spinalis adalah suatu kerusakan pada medulla spinalis akibat trauma atau non trauma yang akan menimbulkan gangguan pada sistem motorik, sistem sensorik dan vegetatif. Apabila medula spinalis cedera secara komplit dengan tiba-tiba, maka tiga fungsi yang terganggu antara lain seluruh gerak, seluruh sensasi dan seluruh refleks pada bagian tubuh di bawah lesi. Keadaan yang seluruh refleks hilang baik refleks tendon, refleks autonomik disebut spinal shock.

Pada lesi yang menyebabkan cedera medula spinalis tidak komplit, spinal shock dapat juga terjadi dalam keadaan yang lebih ringan atau bahkan tidak melalui shock sama sekali. Selain itu gangguan yang timbul pada cedera medula spinalis sesuai dengan letak lesinya, dimana pada UMN lesi akan timbul gangguan berupa spastisitas, hiperefleksia, dan disertai hipertonus, biasanya lesi ini terjadi jika cidera mengenai C1 hingga L1. Dan pada LMN lesi akan timbul gangguan berupa flaksid, hiporefleks, yang disertai hipotonus dan biasanya lesi ini terjadi jika cidera mengenai L2 sampai cauda equina, di samping itu juga masih ada gangguan lain seperti gangguan bladder dan bowel, gangguan fungsi seksual, dan gangguan fungsi pernapasan.

Rehabilitasi medik adalah suatu proses pemulihan dan pengembangan bagi penyandang cacat agar dapat melaksanakan fungsinya secara wajar. Hasil yang di harapkan pada penderita cedera medula spinalis adalah mencapai penampilan fungsional semaksimal mungkin sesuai dengan sisa-sisa kemampuan yang masih ada untuk meningkatkan kualitas hidup pasien, dan mencegah komplikasi.

Daftar Pustaka

1. Prayudi S. Perbedaan pengaruh penambahan latihan kekuatan otot lengan dengan Metode Oxford pada latihan transfer dari tidur ke duduk terhadap kecepatan transfer dari tidur ke duduk pada penderita paraplegia akibat spinal cord injury. Diunduh dari: http://eprints.uns.ac.id/1979/2/1582-3512-1-SM.pdf 2. Thuret, Sandrine; Moon, Lawrence D.F; Gage, Fred H. Therapeutic

intervention after spinal cord injury. Nature Publishing Group; 2006.p.7, 628-640.

3. Rohkamm R. Color atlas of neurology. New York: Thieme; 2004.p.31-3. 4. Evans, Mardjono M, Sidharta P. Neurologi klinis dasar. Jakarta: Dian Rakyat;

2003.h. 35-36.

5. deGroot J, Chusid JG. Corelative neuroanatomy. Jakarta: EGC; 1997.h.30-42. 6. Snell RS. Neuroanatomi klinik: pendahuluan dan susunan saraf pusat. Edisi

ke-5. Jakarta : EGC; 2007.h.1-16.

7. Sherwood L. Human physiology from cells to system. 6th ed. Canada: Thomson Brooks/ Cole; 2007.p.77-102.

8. ASIA. Spinal cord injury. 13 Januari 2008. Diunduh dari : http://sci.rutgers.edu, 4 Juli 2014.

9. Consortium Member Organizations and Steering Committee Representatives. Early Acute Management in Adults with Spinal Cord Injury: A Clinical Practice Guideline for Health-Care Professionals. The Journal Of Spinal Cord Medicine. Vol. 31. 2006.

10. Dewanto G, Suwono WJ, Riyanto B, Turana Y. Panduan praktis diagnosis dan tatalaksana penyakit saraf. Jakarta: EGC; 2007.h.19-23.

11. Hasan SA, Alam Z, Hakim M, Shakoor MA, Salek AKM, Khan MM, et al. Rehabilitation of patients with paraplegia from spinal cord injury: a review. JCMCTA 2008; 20 (1): 53-57.

Dalam dokumen Referat Spinal Cord Injury (Halaman 24-38)

Dokumen terkait