• Tidak ada hasil yang ditemukan

Manejemen Birokrasi

Dalam dokumen Model Model Manajemen dalam Pendidikan (Halaman 27-36)

Teori Birokrasi dipelopori Max Weber (1864-1920) yang kemudian dikenal sebagai Bapak Birokrasi. Ia adalah juga dikenal sebagai peletak dasar sosiologi modern di Jerman. Ia mengenalkan teori Birokrasi ini setelah melihat adanya banyak pertentangan antar buruh setelah peristiwa Perang Dunia 1.

Istilah birokrasi berasal dari bahasa Prancis, bureau yang berarti meja. Dalam hal ini meja tidak sekedar dipahami sebagai sebuah perangkat perkantoran, tapi melebihi dari itu. Meja melambangkan sebuah kekuasaan dan kewenangan seseorang yang berada dibalik meja tersebut. Karena itu, dapat kita perhatikan bahwa seseorang yang memiliki kewenangan dan kekuasaan tertinggi pasti memiliki meja yang paling besar dan “terkesan” mewah.

Dalam KBBI istilah birokrasi memiliki dua pengertian, Pertama, sistem pemerintahan yang dijalankan oleh pegawai pemerintah karena berpegang pada hirarki kekuasaan dan jenjang jabatan. Kedua, cara bekerja atau susunan pekerjaan yang serba lamban dan menurut tata aturan (adat dan lainnya) yang ribet dan berliku.45

Pemaknaan terakhir dalam KBBI tersebut diatas, sepertinya merujuk pada sisitem birokrasi pemerintahan dalam sebuah negara yang memang seringkali “mengesankan” keruwetan dalam pelayanan kepemerintahan. Bahkan di Indonesia muncul anekdok “kalau bisa dipersulit kenapa harus dipermudah” untuk menunjjukkan betapa ribetnya birokratisasi dalam suatu negara.

Awalnya, sistem birokrasi yang dicetuskan Weber tidak bertujuan “meribetkan” sesuatu. Justru ia ingin memperbaiki sistem manajemen klasik yang masih belum memiliki kepastian pembagian kerja. Harapannya, melalui teori tersebut Weber berharap adanya pembagian kerja berdasarkan wewenangan dan kekuasaan seseorang sehingga kelak tercipta adanya pekerjaan yang efektif, efisien, kondusif dan konsisten.

Weber menegaskan bahwa, birokrasi merupakan ciri dari pola organisasi yang strukturnya dibuat sedemikian rupa sehingga mampu memanfaatkan tenaga ahli secara maksimal.46 Semua hal tersebut dimaksudkan agar tata kelola organisasi bisa berjalan baik dan terarah. Adanya pembagian tugas dengan berdasarkan kewenangan dalam struktur keorganisasian tentu akan meningkatkan kinerja orang-orang dalam organisasi tersebut, sehingga mereka bisa mewujudkan gambaran bersama mengenai tujuan masa depan yang hendak diciptakan.47

Untuk itu, Max Weber membagi enam pokok karakteristik Birokrasi, yaitu: 1. Pembagian kerja yang jelas

45 Kamus Besar Bahasa Indonesia (online) dapat dilacak pada http://ebsoft.web.id

46Lebih dalam silahkan telaah pada Prof. Dr. Husaini Usman, M.Pd.I., M.T., Manajemen: Teori, Praktik, dan Riset Pendidikan, (Jakarta: Bumi Aksara, 2008). Hal. 28.

47 Tentang tujuan, kepentingan, visi organisasi yang menjadi “impian” segenap anggota organisasi tersebut dapat ditemukan dalam Dr. Uhar Suharsaputera, M.Pd., Administrasi Pendidikan, (Bandung: Refika Aditama), hal 45-50.

Dalam sebuah organisasi harus ada kejelasan pembagian tugas dan spesialisasi yang berdasarkan pada posisi dan kedudukannya yang diatur dalam sebuah perundang-undangan dan berketetapan hukum.

2. Hierarki wewenang dirumuskan dengan baik

Ada kejelasan wewenang dan tugas pokok antara atasan dan bawahan, dimana seorang bahwan diharuskan senantiasa patuh pada perintah atasan yang memiliki kewenangan lebih tinggi.

3. Hubungan dalam organisasi bersifat Imporsonal

Birokrasi menghendaki adanya hubungan antar personal dalam organisasi tidak berdasarkan pada aspek pribadi maupun kedekatan. Dan mereka harus senantiasa bersikap bahwa kepentingan organisasi jauh lebih penting dari kebutuhan pribadi.

4. Administrasi selalu dilaksanakan dengan dokumen tertulis.

Dokumen tertulis selain berfungsi sebagai arsip untuk bahan evaluasi kinerja berikutnya, juga berfungsi sebagai dasar adanya sebuah “aktivitas” maupun pekerjaan yang dilakukan seseorang.

5. Orientasi pengembangan karier dengan berdasar pada keahlian

Diterima atau ditolaknya seorang karyawan tidak berdasar pada kedekatan semata, tapi tergantung pada keahlian dan kompetensi yang dimiiki oleh seseorang. Hal ini juga berlaku ntuk promosi atau kenaikan jabatan dalam sebuah organisasi tesebut.

6. Memusatkan program pada kemampuan dan tujuan organisasi

Agar kinerja organisasi semakin terarah, maka Weber menyarankan agar setiap tindakan yang diambil selalu dikaitkan dengan besarnya sumbangan terhadap tujuan organisasi.

Teori birokrasi oleh Weber, pada masa itu dirasa memberikan terobosan yang sangat luar biasa dalam perkembangan teori manajemen klasik yang awalnya hanya menfokuskan kajiannya pada kegiatan atau hal-hal yang bersifat operasional (teknis) suatu perusahaan, dan belum mencakup tata pengelola atau bagaima seharusnya orang-orang dalam perusahaan mesti bersikap secara struktual. Teori birokrasi oleh Weber telah menyadarkan banyak kalangan bahwa pembagian tugas dalam sebuah organisasi itu sangat penting.

Namun, pada perkembangan selanjutnya teori birokrasi juga mengalami kefakuman. Bahkan, sebuah perusahaan tampak berjalan tidak efektif karena ketatnya arutan birokrat yang kaku dan berbelit-belit, bahkan teori birokrasi justru menyebabkan

penundaan pekerjaan dan ketidakefienan kinerja. Karena itu, Weber mengingatkan bahwa spesialisasi pekerjaan jangan membuat kita terjebak untuk bekerja sendiri-sendiri sehingga tidak mau lagi bekerjasama.48 Prinsip dasar organisasi yang mengamanatkan adanya kerjasama intens, harus tetap menjadi pegagan utama.

Spesialisasi dalam birokrasi hanya bertujuan agar kinerja organisasi bisa lebih terkontrol dan terarah. Karenanya, Weber tetap bersikap teguh bahwa birokrasi merupakan sistem organisasi terbaik. Menurutnya, suatu organisasi yang terdiri dari ribuan anggota membutuhkan aturan jelas untuk anggota organisasi tersebut.49 Bahkan ia menjamin, teori birokrasinya akan mampu menjalankan tata organisasi tertata baik, semua personalia akan mampu bekerja sesuai fungsinya dan tingkat kontrol akan lebih maksimal.

Pada dasarnya, Birokrasi harus dicerna sebagai satu fenomena sosiologis. Dan birokrasi sebaiknya dipandang sebagai buah dari proses rasionalisasi. Konotasi atau anggapan negatif terhadap birokrasi sebenarnya tidak mencerminkan birokrasi dalam sosoknya yang utuh. Birokrasi adalah salah satu bentuk dari organisasi, yang diangkat atas dasar alasan keunggulan teknis, di mana organisasi tersebut memerlukan koordinasi yang ketat, karena melibatkan begitu banyak orang dengan keahlian-keahlian yang sangat bercorak ragam.

Hanya saja, praktek yang terjadi justru sebaliknya. Penerapan birokratisasi yang kaku jusru membuat kinerja tersebut malah terbelit-belit dan terkotak-kotak. Bahkan, kenaikan dan promosi jabatan yang seharusnya berorientasi pada keahlian dan potensi seseorang justru beralih pada unsur kedekatan. Sehingga aturan “bawahan harus tunduk patuh pada pimpinan” justru dipahami bahwa semakin tunduk seorang bawahan maka ia akan semakin mudah untuk naik jabatan.

Realitas itulah yang pernah melanda negeri kita, sehingga banyak investor asing yang mengeluh kinerja pemerintah kita yang lamban dan berbelit, sehingga mereka enggan untuk mengivestasikan kekayaannya di Indonesia. Berbelitnya birokrasi itu pulalah yang oleh beberapa kalangan disinyalir menjadi akar munculnya “tradisi” korupsi, kolusi dan nepotisme.

48 Ibid., hal. 29.

49 Tuntaskan pada http://prima-k-u-fisip08.web.unair.ac.id/artikel_detail-35156-Umum-Asasasas %20Manajemen,%20Kritik%20Birokrasi%20Webber.html

Birokrasi di Indonesia, baik di tingkat Pusat maupun di tingkat Daerah, sepanjang Orde Baru kerap mendapat sorotan dan kritik yang tajam karena perilakunya yang tidak sesuai dengan tugas yang diembannya sebagai pelayan masyarakat. Sehingga apabila orang berbicara tentang birokrasi selalu berkonotasi negatif. Birokrasi adalah lamban, berbelit-belit, menghalangi kemajuan, cenderung memperhatikan prosedur dibandingkan substansi, dan tidak efisien.

Bahkan pandangan para pengamat lebih jauh lagi tentang model birokrasi di Indonesia. Karl D Jackson menilai bahwa birokrasi di Indonesia adalah model bureaucratic polity di mana terjadi akumulasi kekuasaan pada negara dan menyingkirkan peran masyarakat dari ruang politik dan Pemerintahan. Richard Robinson dan King menyebut birokrasi di Indonesia sebagai bureaucratic capitalism.

Sementara Hans Dieter Evers melihat bahwa proses birokrasi di Indonesia berkembang model birokrasi ala Parkinson dan ala Orwel. Birokrasi ala Parkinson adalah pola dimana terjadi proses pertumbuhan jumlah personil dan pemekaran struktural dalam birokrasi secara tidak terkendali. Sedang birokrasi ala Orwel adalah pola birokratisasi sebagai proses perluasan kekuasaan Pemerintah dengan maksud mengontrol kegiatan ekonomi, politik dan sosial dengan peraturan, regulasi dan bila perlu melalui paksaan.

Dengan demikian birokrasi di Indonesia tidak berkembang menjadi lebih efisien, tetapi justru sebaliknya inefisiensi, berbelit-belit dan banyak aturan formal yang tidak ditaati. Birokrasi di Indonesia ditandai pula dengan tingginya pertumbuhan pegawai dan pemekaran struktur organisasi dan menjadikan birokrasi semakin besar dan membesar. Birokrasi juga semakin mengendalikan dan mengontrol masyarakat dalam bidang politik, ekonomi dan sosial.

Cap birokrasi Indonesia seperti itu ternyata bukan sampai di situ saja, tetapi melalui pendekatan budaya birokrasi Indonesia masuk dalam kategori birokrasi patrimonial. Ciri-ciri dari birokrasi patrimonial adalah (1) para pejabat disaring atas dasar kriteria pribadi; (2) jabatan dipandang sebagai sumber kekayaan dan keuntungan; (3) para pejabat mengontrol baik fungsi politik maupun fungsi administrasi; dan (4) setiap tindakan diarahkan oleh hubungan pribadi dan politik.50

50 Lili Romli. Masalah Reformasi Birokrasi. Jurnal Kebijakan dan Manajemen PNS Vol 2. (Pusat Pengkajian dan Penelitian Kepegawaian BKN. 2008). Hal. 1

Namun meski begitu, apa yang disampaikan oleh Max Weber tetap merupakan satu trobosan luar biasa. Buktinya, sistem birokrasi dalam sebuah organisasi merupakan kebutuhan pokok dalam peradaban modern. Karena itu, organisasi tanpa birokrasi tidak akan berjalan dengan maksimal.

Untuk membenahi beberapa hal dalam teori birokrasi tersebut, Weber juga meberikan tiga jenis praktik birokrasi dalam bentuk tiga otoritas yang terdiri dari: otoritas tradisional, kharismatik dan legal rasional.51 Otoritas tradisional mendasarkan diri pada pola pengawasan di mana legitimasi diletakkan pada loyalitas bawahan kepada atasan. Dalam hal ini pengawasan mutlak milik “pimpinan utama”. Secara teoritis tingkat kontrol tanpak akan lebih stabil dilakukan. Hanya saja persoalan yang muncul kemudian, siapa yang berani memberikan pengawasan dan kontrol pada pimpinan tertinggi itu?

Sedang otoritas kharismatik menunjukkan legitimasi yang didasarkan atas sifat-sifat pribadi yang luar biasa. Artiya, meski pemimpin memberikan “petunjuk” diluar kebiasaan atau aturan yang berlaku dalam organisasi tersebut, intruksinya akan tetap diikuti dan ditindak lanjuti oleh bawahannya. Biasanya, hal ini terkadang terjadi di pondok pesantren yang memang “mengedapankan” aspek karisma seorang pempimpinan daripada nalar rasionalitas maupun aturan.

Sementara otoritas legal rasional menyebutkan bahwa kepatuhan bawahan pada atasan didasarkan atas legalitas formal dan aturan resmi yang telah disepakati bersama dalam organisasi tersebut. Dalam hal ini, pempimpin tidak boleh keliru dalam proses kepemimpinannya. Karena bahawan juga “berhak” memberikan kontrol pada kinerja pimpinan dengan berdasarkan pada tata aturan yang memiliki legalitas dalam organisasi tersebut.

Tipologi yang diajukan oleh Weber, selanjutnya dikembangkan oleh para sarjana lain, seperti oleh Fritz Morztein Marx, Eugene Litwak dan Textor dan Banks. Menurut Dennis H. Wrong ciri struktural utama dari birokrasi adalah: pembagian tugas, hierarki otorita, peraturan dan ketentuan yang terperinci dan hubungan impersonal di antara para pekerja.

51 Pembagian tiga otoritas oleh weber tersebut penulis dapatkan dari website http://sheilaanggita.blogspot.com/2010/11/teori-organisasi-administrasi-dan.html (online) diakses pada tanggal diakses pada 09 November 2013. Dari itu kemudian penulis berupaya melakukan analisa dengan mencoba mengamati penerapan tiga otoritas tersebut dalam kehidupan nyata.

Pentingnya peranan birokrasi amat menonjol dalam negara-negara sedang berkembang di mana mereka semuanya telah memberikan prioritas kegiatannya pada penyelenggaraan pembangunan nasional. Di negara-negara ini birokrasi berperan sebagai motor dan penggerak pembangunan. Secara khusus peranan dan pentingnya arti birokrasi tertampilkan dalam fungsinya sebagai pemrakarsa usul pembuatan kebijakan, penasihat dalam kebijakan dan sebagai inovator dan penyedia sumber.

Dalam hal pendidikan di Indonesia, secara nasional birokrasi pendidikan dipegang oleh Departemen Pendidikan Nasional (Sekaran Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan) yang kemudian dilanjutkan ke tingkatan provensi hingga kabupaten atau kota. Beberapa hirarki sistem birokrasi pendidikan itu dilandaskan pada UU No 22 tahun 1999 pasal 62 yang menyatakan bahwa dinas pendidikan di daerah kabupaten/kota bertugas sebagai unsur pelaksana program pemerintahan pusat.52

Birokrasi dalam pendidikan sebagai organisasi penyelenggaran pendidikan dari semua tingakatan dapat diklasisifikasikan sebagaimana berikut:53

1. Adanya spesialisasi dan pembagian tugas, kewenangan yang jelas 2. Hirarki kekuasaan di setiap tingkatan

3. Menitikberatkan pada penggunaan peraturan umum untuk mengontrol perilaku anggotanya

4. Adanya impersonalitas dalam hubungan organisasi

5. Pembagian pekerjaan dibagikan berdasarkan kompetensi dan keahlian.

Melalui pembagian kerja yang jelas sesuai dengan jabatan dan kewenangananya diharapkan adanya efektifitas dan efisiensi dalam mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Sehingga kualitas pendidikan di negeri bisa terus mengalami perkembangan signifikan.

Hanya saja, diakui atau tidak sistem birokrasi pendidikan kita masih “carut-marut” dan tidak terkelola secara profesional54 sehingga banyak sekali persoalan kependidikan

52 Lebih jauh telaah pada Dr. H. Syaiful Sagala, Administrasi Pendidikan Kontemporer, (Bandung: Alfabeta, 2008). Hal. 61. Dalam buku ini dibahas panjang lebar mengenai birokrasi (kewenangan, tugas pokok, dan peran strategis) sistem pendidikan di Indonesia mulai dari tingkatan pusat, provensi, kabupaten/kota, hingga satuan pendidikan ditingkatan sekolah. Misalnya kewenangan pemerintah provensi dalam pengelolaan pendidikan yang tetuang dalam PP No. 25 tahun 2000 tentang penetapan kebiakan penerimaa siswa dari kalangan minoritas, terbelakang, dan tidak mampu dan juga tentang penyediaan bantuan penggandaan buku, pertimbangan pembukaan dan pembubaran perguran tinggi, dan juga tetang penyelenggaraan pendidikan luar biasa.

53 Ibid., 62.

54 Salah satu penyebabnya adalah kacaunya sistem politik dan terlalu cepatnya pergantian aparat. Kondisi ini menyebabkan perjalanan program yang dicanangkan kurang maksimal. Sebab baru setengah

yang sampai saat ini masih belum terselesaikan.55 Sehingga sulit sekali melakukan terobosan-terbosan penting terkait dengan pengembangan sistem pembelajaran bagi anak didik kita.

jalan pejabat berwenang sudah diganti. Lebih jauh periksa, Prof. Dr. Winarto Surakhmad, MSc., Ed., Pendidikan Nasional: Strategi dan Tragedi, (Jakarta; PT Kompas Media Nusantara, 2009). Hal. 192.

55 Untuk mendapatkan kajian lebih detail mengenai berbagai persoalan dalam pendidikan indonesia silahkan telaah pada Prof. Dr. Jusuf Amir Feisal, Reorentasi Pendidikan Islam, (Jakarta: Gema Insani Press, 1995) hal. 39-42. Salah satu masalah yang disinggung dalam pembahasan ini antara lain: sistem administrasi yang belum jelas, tingkat kersajamasa yang masih belum jelas polanya, sistem evaluasi dan profesionatis guru, dll.

Kesimpulan

1. Manajemen klasik/ilmiah sering diartikan berbeda, arti pertama, manajemen ilmiah ialah penerapan metode ilmiah dalam studi, analisis, dan pemecahan masalah-masalah organisasi, arti yang kedua, manajemen ilmiah adalah seperangkat mekanisme atau tehnik (a bag of trisk) guna meningkatkan efesiensi dan keefektifan organisasi.Tokoh-tohok manajemen klasik diantaranya: Robert Owem (1771-1858 ), Charles Babbage (1792-1871 ), Frederich W. Taylor (1856-1915 ).

2. Hubungan manusia dalam organisasi dapat dibagi dalam dua hal, antara lain: (1) Hubungan manusia dalam organisasi formal: Dalam hal ini, manusia saling berintraksi dan berkoordinasi secara sadar, dan sengajat untuk mewujudkan tujuan bersama. Organisasi formal tidak akan terwujud tanpa kesengajaan tersebut. (2) Hubungan manusai dalam organisasi informal: Adanya hubungan manusia dalam intraksi-intraksi tertentu tanpa adanya tujuan bersama yang umum dan tidak terkoordinasi secara sengaja.

3. Terdapat beberapa aspek yang dikandung oleh makna sistem, yaitu (1) Suatu sistem terdiri atas bagian-bagian yang saling berkaitan satu dengan yang lainnya. (2) Bagian-bagian yang saling hubung itu dapat bekerja atau berfungsi baik secara independen maupun secara bersama-sama. (3) Berfungsinya bagian-bagian tersebut ditujukan untuk mencapai tujuan umum dari suatu keseluruhan. 4. Istilah birokrasi memiliki dua pengertian, Pertama, sistem pemerintahan yang

dijalankan oleh pegawai pemerintah karena berpegang pada hirarki kekuasaan dan jenjang jabatan. Kedua, cara bekerja atau susunan pekerjaan yang serba lamban dan menurut tata aturan (adat dan lainnya) yang ribet dan berliku. Birokrasi dalam pendidikan sebagai organisasi penyelenggaran pendidikan dari semua tingakatan dapat diklasisifikasikan sebagaimana berikut: (1) Adanya spesialisasi dan pembagian tugas, kewenangan yang jelas (2) Hirarki kekuasaan di setiap tingkatan (3) Menitikberatkan pada penggunaan peraturan umum untuk mengontrol perilaku anggotanya (4) Adanya impersonalitas dalam hubungan organisasi.

Dalam dokumen Model Model Manajemen dalam Pendidikan (Halaman 27-36)

Dokumen terkait