• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA

2.4 Penyimpanan Dingin

Penyimpanan adalah kegiatan atau serangkaian kegiatan dalam rangka mempertahankan kualitas komoditas hasil pertanian selama disimpan dengan upaya memperpanjang daya tahan kesegaran, pengendalian laju transpirasi, respirasi, infeksi jamur, dan lain-lain (Anonimous4, 2004).

Menurut Roedyarto (1997), ruang pendingin adalah suatu ruangan yang dilengkapi dengan alat pendingin udara. Temperatur di dalam ruangan ini bisa diatur sesuai dengan keinginan. Pada ruang pendingin biasanya dilengkapi juga dengan termometer dan higrometer.

Penyimpanan tidak dapat meningkatkan mutu tetapi hanya mempertahankan mutu saja, oleh karena itu sayuran yang akan disimpan pada suhu rendah harus memenuhi syarat seperti sehat, karena sayuran yang sakit akan menulari yang lain, seragam kematangannya, dan dikemas dalam kemasan yang baik untuk menghindari

menjalarnya penyakit, dan tidak boleh disimpan dengan bahan atau sayuran yang berbau menyengat (Anonimous1, 1992).

Menurut Purba dan Karo-karo (1997), pendinginan sangat efektif untuk pengawetan jangka pendek, karena dengan pendinginan dapat:

1. memperlambat pertumbuhan mikroba

2. memperlambat proses metabolisme pada jaringan tanaman dan hewan yang telah dipotong

3. memperlambat reaksi-reaksi pencoklatan 4. memperlambat kehilangan air.

Negara tropis seperti Indonesia yang menghasilkan berbagai jenis buah dan sayuran termasuk hasil kelautan sangat membutuhkan sarana pendinginan untuk mengurangi kehilangan pasca panen dan menjaga kesegaran produk yang dihasilkan (Kamaruddin, et.al., 2003). Suhu rendah mampu menghambat susut berat, mempertahankan kadar air dan vitamin C dan memperpanjang umur simpan (Darsana, et.al., 2003). Umur simpan yang pendek dapat mengakibatkan kerugian yang cukup dan bahkan sangat besar baik secara ekonomis maupun pemanfaatannya.

Umumnya pendinginan digunakan untuk mengawetkan sayur-sayuran, temperatur sekitar 40-50oF, untuk menjaga zat makanan, vitamin, dan mineral dalam sayuran terpelihara. Proses ini hampir berhubungan dengan proses respirasi, pada temperatur rendah kegiatan enzim berhenti bekerja (Arief, 1990).

Dengan penyimpanan suhu rendah diharapkan dapat menekan kecepatan laju respirasi dan transpirasi. Penyimpanan suhu rendah tersebut dilakukan di atas suhu

titik beku, yaitu antara (-2o) – 10oC. Penyimpanan suhu rendah sebaiknya harus diimbangi dengan kelembaban nisbi yang optimal, agar kesegaran buah tetap terjaga dan pengeriputan yang dapat mengakibatkan kehilangan bobot buah dapat ditekan (Zuhairini, 1997).

Pendinginan buah dengan cepat setelah panen adalah cara yang sangat efektif untuk menghilangkan panas lapang, karena dapat menurunkan kecepatan laju respirasi, pematangan dan kemerosotan buah. Perbedaan temperatur antara air dan buah, ukuran buah dan pengemasan akan menentukan laju respirasi/kecepatan pendinginan dan waktu yang dibutuhkan untuk pendinginan (Chen, 1988).

Menurut Sitinjak, et al., (1993), pendinginan dapat dilakukan dengan berbagai cara. Namun pada umumnya dengan prinsip yang sama yaitu memindahkan kalor dari bahan ke suatu media pendingin seperti udara, air atau es. Waktu yang diperlukan adalah 30 menit atau kurang, tetapi mungkin juga lebih dari 24 jam. Laju pendinginan tiap komoditi tergantung atas 4 faktor, yaitu :

a. jumlah bahan

b. beda suhu bahan dengan media pendingin c. kecepatan aliran media pendingin, dan d. macam dari media pendingin.

Pendinginan mekanis tidak hanya mendinginkan makanan saja, akan tetapi juga mengkondensasikan air pada evaporator dari sistem pendinginan. Air ini berasal dari makanan. Oleh karena itu, perlu melindungi bahan pangan sedemikian rupa

sehingga suhu dapat terkendali dan kehilangan air pada tingkat minimum (Buckle, et al., 1987).

Penurunan temperatur yang sedang-sedang saja, pada umumnya efektif untuk memperpanjang daya simpan (storage life). Suhu rendah memperlambat aktivitas fisiologis dari produk-produk, dan juga memperlambat aktivitas mikroorganisme perusak. Tiap buah dan sayur ternyata memerlukan temperatur optimum bagi penyimpanan, baik sewaktu transportasi maupun penggudangan. Temperatur yang lebih rendah daripada temperatur optimum ini dapat menyebabkan kerusakan pendinginan (Apandi, 1984).

Lemari es merupakan tempat menyimpan sayuran yang paling tepat, karena hampir semua sayuran segar akan tahan lama di simpan di dalam suhu yang rendah dan dalam kelembaban yang tinggi. Banyak lemari es yang suhunya telah memadai tetapi udaranya terlalu kering. Oleh karena itu sayuran menjadi mudah rapuh (Sumoprastowo, 2004).

2.5 Pengemasan

Pengemasan adalah kegiatan untuk melindungi kesegaran komoditas hasil pertanian saat pengangkutan, pendistribusian, dan atau penyimpanan agar mutu komoditas tetap terpelihara. Pengemasan harus memenuhi kaidah/prinsip penanganan pasca panen yang baik dan tidak menimbulkan susut hasil atau sampah yang tinggi (Anonimous4, 2004)

Pengemasan hasil pertanian ditujukan untuk membantu mencegah atau mengurangi kerusakan selama penanganan, pengangkutan, dan penyimpanan. Disamping itu dapat pula untuk mencegah atau mengurangi serangan mikroba dan serangga dengan menjaga tetap bersih. Kemasan juga dimaksudkan untuk melindungi bahan/barang dari kemungkinan kerusakan fisik dan mekanis (memar, lecet, pecah, belah, penyok, rusak oleh cahaya, dan lain-lain). Bahan/barang yang akan dikemas hendaklah bersih dan bebas dari kotoran, cacat, atau rusak agar setelah dikemas benar-benar tahan lama dan tidak cepat rusak (Wijandi, 2003).

Kemasan adalah suatu tempat atau wadah yang digunakan untuk mengemas suatu produk. Pengemasan merupakan salah satu cara untuk melindungi atau mengawetkan produk pangan. Selain itu pengemasan juga merupakan penunjang bagi transportasi, distribusi dan merupakan bagian penting dari usaha untuk mengatasi persiapan dalam pemasaran. Dalam usaha sayur-sayuran banyak jenis kemasan yang umum digunakan. untuk pengangkutan dari lahan ke pasar atau toko swalayan biasanya digunakan peti kayu atau keranjang, baik yang terbuat dari anyam-anyaman maupun dari plastik. Di toko swalayan, kemasan sayuran lebih canggih lagi, misalnya kotak plastik atau lembaran plastik. Pada prinsipnya kemasan-kemasan tersebut

berfungsi sebagai wadah atau tempat, penunjang cara penyimpanan dan transportasi, alat pelindung dalam pemasaran, dan memperindah penampilan (Rahardi, et al., 2006).

Bahan kemasan yang digunakan adalah bahan alami maupun buatan. Bahan kemas alami seperti daun, bambu, peti kayu, dan goni masih banyak digunakan

terutama untuk kemasan hasil pertanian dan produk agroindustri tradisional, seperti keranjang dan bongsang bambu, peti kayu, karung goni, daun kelapa/pisang, pandan, dan lain-lain. Penggunaan bahan kemas yang bersifat alami ini memberikan nilai estetika tersendiri, baik dari segi penampilan maupun ciri khas produk yang dikemasnya. Ditinjau dari segi keberadaannya, bahan kemasan alami masih banyak terdapat di daerah-daerah di Indonesia dengan harga relatif murah lagi pula tidak memberikan dampak negatif terhadap pencemaran lingkungan (ramah lingkungan), malah sebaliknya bahan kemasan ini dapat terurai oleh bakteri secara alamiah, sehingga dapat berfungsi sebagai produk lain (kompos). Akan tetapi bilamana tidak segera ditangani, maka limbah bahan kemas alami ini dapat pula memberikan dampak negatif, dengan memberikan cemaran karena aroma yang dihasilkan dari proses penguraian tersebut dapat menghasilkan bau yang tidak sedap (Wijandi, 2003).

Daun pisang, daun kelapa, daun pandan, daun jati, dan daun raru dahulu sering digunakan untuk mengemas hasil pertanian. Hanya saja saat ini, semua daun tersebut selain daun pisang sudah jarang digunakan karena sulit diperoleh dan daun-daun tersebut memiliki permukaan yang sempit, sehingga sulit mengemas hasil pertanian yang berukuran besar.

Beberapa persyaratan bagi wadah untuk makanan yang perlu dipertimbangkan antara lain permeabilitasnya terhadap udara/oksigen dan gas lain, tidak menyebabkan penyimpangan warna dari bahan, tidak bereaksi (inert) dengan bahan, wadah harus tahan oksidasi, tidak mudah bocor dan tahan panas, serta mudah dikerjakan secara maksimal dan relatif murah (Purba dan Karo-Karo, 1997).

Efek pengawetan kemasan terhadap bahan pangan disebabkan oleh kemampuan kemasan tersebut untuk mengisolasi bahan pangan dan melindungi bahan pangan dari pengaruh luar/lingkungan. Efektifitas kemasan dalam pengawetan tidak hanya tergantung dari kondisi kemasan, tetapi juga kondisi bahan pangan yang akan dikemas dan perlakuan yang diberikan. Secara ideal, kemasan dapat mengawetkan bahan pangan dengan mencegah terjadinya kerusakan mekanis, keruskan kimiawi, dan kerusakan mikrobiologis. Namun demikian, tidak semua kemasan dapat mencegah ketiga tipe keruskan tersebut dengan baik, karena masing-masing kemasan mempunyai ambang batas kemampuan dan spesifikasi kegunaan yang berbeda. Oleh karena itu diperlukan penilaian dan pemilihan kemasan yang tepaat jika ingin memdapatkan efek pengawetan yang optimum.

Fungsi pengemasan adalah untuk melindungi/mencegah komoditi dari kerusakan mekanis, menciptakan daya tarik bagi konsumen, dan memberikan nilai tambah produk serta memperpanjang daya simpan produk. Kemasan harus disesuaikan dengan jenis produk atau komoditi yang akan dikemas (Anonimous3, 2004).

Jenis kemasan yang memanfaatkan bahan botanis (daun-daunan) berfungsi bukan saja sebagai pelindung isinya dari debu atau agar tahan lama, tapi juga merupakan upaya untuk membereskan, mengatur, merapikan makanan itu agar mudah dan praktis dibawa-bawa, dipegang atau dibuka ketika hendak disantap. Selain itu kemasan tersebut juga memberikan aroma tertentu pada makanannya (Sabana, 2005). Sejak dahulu kala daun pisang dikenal sebagai pembungkus alami untuk

makanan Indonesia. Selain tahan bocor, mudah didapat, daun pisang juga memberikan aroma harum yang khas pada makanan. Agar daun pisang tidak mudah robek atau pecah saat dilipat, biasanya digunakan jenis daun pisang batu.

Kertas sebagai bahan pengemas banyak digunakan dan masih akan mempertahankan posisinya untuk jangka waktu yang lama karena harganya yang murah, mudah diperoleh, dan penggunaannya luas. Sifat-sifat pengemasan dari kertas bervariasi tergantung dari proses pembuatannya dan perlakuan tambahan yang diberikan. Kekuatan dan sifat-sifat mekanis dari kertas bergantung pada perlakuan tambahan yang diberikan. Kekuatan dan sifat-sifat mekanis dari kertas tergantung pada perlakuan pengisi dan pengikat. Sifat-sifat fisiko-kimia kertas, seperti permeabilitas terhadap cairan, uap, dan gas, dapat dimodifikasi dengan penjenuhan, pelapisan atau laminating karena kertas yang mudah sobek, tidak tahan air dan tidak dapat dipanaskan (Winarno, 1993).

Kertas dibuat dari serat sellulosa dan merupakan bahan penyerap tinta, dapat digunakan untuk menulis, membungkus dan mengemas. Pada umumnya kertas dikelompokkan menjadi dua kelompok besar yaitu kertas kultural atau kertas halus dan kertas industri atau kasar. Kertas kultural terdiri atas kertas cetak (misalnya kertas cetak putih, kertas cetak berwarna, kertas gambar, dan kertas offset) dan kertas tulis (misalnya kertas cek, kertas buku tulis, dan kertas cetak ketikan). Kertas industri umumnya terdiri dari kertas untuk membungkus dan mengemas, misalnya kertas kraft, kertas manila, kertas glassin, kertas kedap lemak, kertas anti-tornish, kertas permanen, kertas pounch, kertas tissue, kerta krep, kertas lilin, kertas tahan basah dan

kertas koran. Manfaat kertas dalam industri pengemasan antara lain, sebagai kantong amplop, mengemas produk yang akan dikapalkan, mengemas perak, photographi, mengemas produk farmasi, dapat menjaga flavor produk yang dikemas, mengemas

keju, dan untuk tujuan dekorasi tergantung dari jenis kertas yang digunakan (Susanto dan Saneto, 1994).

Penggunaan kertas sebagai bahan pembungkus telah meluas di masyarakat. Biasanya digunakan kertas koran atau kertas bekas. Mulai dari untuk membungkus sayuran, ikan kering, bumbu dapur, sampai aneka gorengan, peuyeum, dan sebagainya. Padahal, jika bagian kertas yang bertinta terkena panas dari makanan, minyak dari gorengan atau bagian cair dari makanan, maka tinta akan terlarut dalam makanan. Tinta tersebut sangat berbahaya bagi kesehatan.

Penggunaan plastik sebagai bahan pengemas mempunyai keunggulan dibanding bahan pengemas lain karena sifatnya yang ringan, transparan, kuat, thermoplastis, dan selektif dalam permeabilitasnya terhadap uap air, oksigen, CO2. Sifat permeabilitas plastik terhadap uap air dan udara menyebabkan plastik mampu berperan memodifikasi ruang kemas selama penyimpanan (Winarno, 1993). Harga plastik untuk kemasan relatif cukup murah, dan tidak dapat dimungkiri lagi, bahwa bahan baku kemasan dari jenis plastik tersebut sangat fleksibel, kuat, dan praktis (ringan sehingga mudah dibawa ke mana saja) (Amrin, 1999).

Sifat mekanis jenis plastik Polietilen Densitas Rendah (PDR) atau Light Density Poly Ethylene (LDPE) adalah kuat, agak tembus cahaya, fleksibel, dan permukaan agak berlemak. Pada suhu di bawah 60oC sangat resisten terhadap

senyawa kimia, daya proteksi terhadap uap air tergolong baik, akan tetapi kurang baik bagi gas-gas yang lain seperti oksigen (Nurminah, 2002).

Film didefiniskan sebagai lembaran fleksibel, yang tidak berserat dan tidak mengandung bahan metalik. Film terbuat dari turunan sellulosa dan sejumlah resin termoplastik. Film terdapat dalam bentuk roll, lembaran, dan tabung. Kemasan film dapat digunakan sebagai pembungkus, kantong, tas, dan sampul, mengemas tembakau, biskuit, mentega, dan obat-obatan (Susanto dan Saneto, 1994).

Film kemasan yang cocok untuk buah-buahan dan sayuran, terutama untuk pembentukan atmosfir di dalam kemasan adalah film yang lebih permeabel terhadap oksigen daripada terhadap karbondioksida. Penggunaan kemasan film dalam penyimpanan dingin yang menguntungkan melalui respirasi produk yang dikemas, terdapat beberapa faktor yang perlu diperhatikan, antara lain suhu, kelembaban, waktu selama produk berada dalam kemasan, jenis dan berat produk (Syarief dan Halid, 1993).

Dokumen terkait