• Tidak ada hasil yang ditemukan

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.4 Kondisi Ekonomi

4.4.1 Valuasi Ekonomi Ekosistem Mangrove

4.4.1.1 Manfaat Langsung

Manfaat langsung merupakan nilai guna ekosistem mangrove yang dirasakan manfaatnya secara ekonomis untuk memenuhi kebutuhan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat, manfaat langsung di peroleh melalui pendekatan nilai pasar dari berbagai komoditas produk dari ekosistem mangrove. Hasil identifikasi manfaat langsung ekosistem mangrove yang dilakukan oleh masyarakat di lokasi penelitian secara makro, meliputi : (1) pemanfaatan hasil hutan; (2) pemanfaatan hasil perikanan; (3) pemanfaatan satwa; dan (4) pemanfaatan untuk pembukaan lahan tambak. Sedangkan pemanfaatan ekosistem mangrove yang dilakukan oleh masyarakat di lokasi penelitian secara spesifik, meliputi : pengambilan kayu, pembuatan arang, pembenihan bibit mangrove, penangkapan ikan, udang, kepiting, kerang - kerangan, burung, kelelawar, dan pembukaan tambak monokultur bandeng atau udang, maupun tambak polikultur bandeng dan udang. Nilai manfaat langsung yang dapat diterima dari setiap kegiatan tersebut di atas, secara ekonomi atau analisis biaya dan manfaat menunjukkan nilai manfaat ekosistem mangrove sebesar Rp. 52.002.957.94 per hektar per tahun, dengan total biaya operasional yang dikeluarkan oleh masyarakat untuk pemanfaatan ekosistem mangrove sebesar Rp. 21.490.075.06 per hektar per tahun, sehingga diperoleh keuntungan sebesar Rp. 30.512.882.88 per hektar per tahun (Tabel 29).

Penelitian serupa pernah dilakukan pada ekosistem mangrove di Sega ra Anakan oleh Paryono et.al (1999), menegaskan bahwa jenis pemanfaatan ekosistem mangrove terdiri dari manfaat hasil hutan, manfaat hasil perikanan, manfaat wisata, dan manfaat satwa, nilai manfaat ekosistem mangrove yang diperoleh dari kegiatan tersebut sebesar Rp. 125.388.487.381 per hektar per tahun, dengan total biaya operasional sebesar Rp. 70.076.703.265 per hektar per tahun, sehingga diperoleh keuntungan sebesar Rp. 33.405.145.356 per hektar per tahun. Selanjutnya Adrianto (2006) mengestimasi nilai ekonomi total sumberdaya ekosistem mangrove di Kecamatan Barru Provinsi Sulawesi Selatan dengan menggunakan kerangka analisis permintaan (demand analysis), menunjukkan

bahwa surplus konsumen terbesar dari pemanfaatan kepiting sebesar Rp. 17.644.744.08 per tahun, sedangkan surplus konsumen terkecil disumbangkan

oleh pemanfaatan kayu bakar sebesar Rp. 17.855.02 per tahun per hektar,

sehingga diperoleh total manfaat ekonomi ekosistem mangrove sebesar Rp. 697.279.739.12 per tahun. Perbedaan nilai manfaat ekosistem mangrove pada

hasil penelitian tersebut di atas disebabkan oleh luas areal dan kondisi ekosistem mangrove.

Tabel 29. Rekapitulasi analisis valuasi ekonomi pemanfaatan ekosistem mangrove

No Jenis Pemanfaatan Biaya NilaiManfaat

Keuntungan / Manfaat Optimal (Rp/ ha /thn) (Rp /ha/thn) (Rp /ha/thn) 1 Kayu 162.825.16 251.946.56 89.121.40 2 Arang 154.928.33 163.577.24 8.648.91 3 Bibit mangrove 865.333.57 2.468.589.63 1.603.256.06 3 Burung 44.461.16 59.723.94 15.262.78 4 Kelelawar 497.699.52 564.059.46 66.359.94 5 Ikan 7.105.133.72 7.249.454.37 144.320.65 6 Udang 8.070.154.66 27.605.733.5 19.535.578.84 7 Kepiting 682.121.16 3.651.743.05 2.969.621.89 8 Kerang 1.999.646.08 2.350.734.38 351.088.30 9 Tambak Udang+Ikan 1.665.078.80 6.447.500.00 4.782.421.20 10 Tambak Udang 115.031.69 534.720.81 419.689.12 11 Tambak Ikan 127.661.21 655.175.00 527.513.79 Jumlah 21.490.075.06 52.002.957.94 30.512.882.88

Sumber : Hasil analisis data primer(2006)

Nilai manfaat langsung ekosistem mangrove pada setiap bentuk pemanfaatan secara spesifik, setelah dilakukan kuantifikasi sesuai harga pasar dan

valuasi ekonomi dari setiap komoditas ekosistem mangrove, maka manfaat langsung dapat diketahui. Adapun nilai manfaat langsung dari setiap bentuk pemanfaatan ekosistem mangrove dapat dijabarkan berikui ini.

Manfaat Kayu, pemanfaatan hasil hutan mangrove khususnya kayu di lokasi penelitian, umumnya digunakan untuk kayu bangunan, tiang atau patok parit, pembuatan pintu air di tambak, pembuatan perahu atau sampan, dan kayu bakar. Namun saat penelitian ini dilaksanakan pola pengambilan dan pemanfaatan kayu mangrove mengalami penurunan secara kuantitatif dan frekuensi pengambilan, hal ini seiring dengan diberlakukannya Perda no mor 23 tahun 2001, tentang pelarangan pengrusakan hutan mangrove, konversi jadi tambak, dan pengambilan kayu untuk kepentingan tertentu. Teleh diidentifikasi bahwa kegiatan pengambilan kayu mangrove oleh masyarakat secara terbatas dengan memperhatikan kelestarian hutan mangrove itu sendiri, kegiatan pengambilan kayu hanya digunakan untuk kepentingan tiang dan patok parit, untuk alat tangkap kepiting, pengambilan ranting yang telah rapuh untuk kayu bakar. Pengambilan dan pemanfaatan kayu pada ekosistem mangrove oleh masyarakat nelayan maupun petani tambak, setelah dilakukan valuasi ekonomi berdasarkan hasil pengambilan kayu dan harga kayu di pasaran, maka diperoleh nilai manfaat kayu mangrove dengan periode pengambilan setiap pengguna sekitar 30 kali per tahun, jumlah kayu yang diambil sekitar 83.75 meter kubik per tahun, harga rata-rata Rp. 20.000 per meter kubik, rata-rata manfaat yang diperoleh sebesar Rp. 1.675.000 per tahun. Sedangkan analisis nilai manfaat langsung setelah dikuatifikasi dengan seluruh biaya yang keluarkan didapatkan sebesar Rp. 89.121.39 per hektar per tahun (Tabel 29 dan Lampiran 9).

Manfaat Arang, kegitan pembuatan arang yang dilakukan masyarakat yang berdomisili di sekitar ekosistem mangrove sipatnya temporer tergantung dari kondisi hutan mangrove, apabila dijumpai pohon yang mati karena usia tua atau ranting pohon mangrove yang patah dan jatuh, maka kayunya biasanya dipergunakan untuk pembuatan arang, adapun arang yang dihasilkan biasanya disimpan sebagai persiapan atau cadanga n kayu yang akan dipergunakan untuk kebutuhan sendiri pada saat-saat tertentu, misalnya tidak ada minyak tanah atau ingin membakar ikan. Hasil identifikasi menunjukkan bahwa jenis kayu

mangrove yang biasa digunakan oleh masyarakat di lokasi penelitian unt uk pembuatan arang yaitu jenis mangrove Rhizophora sp, Bruguiera sp dan

Avicennia sp. Pemanfaatan kayu mangrove untuk pembuatan arang secara ekonomi merupakan suatu nilai tersendiri yang dapat memberikan keuntungan terhadap masyarakat nelayan. Hasil analisis valuasi ekonomi untuk menghitung manfaat langsung ekosistem mangrove melalui kegiatan pembuatan arang menunjukkan, bahwa manfaat langsung hutan mangrove dalam pembuatan arang sebesar Rp. 8.648.91 per hektar per tahun (Tabel 29 dan Lampiran 10).

Manfaat Bibit Mangrove, hutan mangrove sebagai hutan pantai memiliki adaptasi regeneratif untuk berkembang biak dengan cara penyerbukan vegetatif untuk menghasilkan bunga dan buah, buah yang matang akan berubah menjadi kecamba pada pohon induk dan tumbuh dalam semaian tanpa istirahat, selama waktu ini semaian akan memanjang dan mengalami perubahan distribusi berat ke arah ujung buah kemudian lepas keperairan atau kesubstrat lalu tumbuh sebagai bibit mangrove. Sedangkan pengambilan atau pembuatan bibit mangrove secara buatan seperti yang dilakukan masyarakat di lokasi penelitian adalah sebagai berikut : buah mangrove dari jenis Rhizophora sp, Bruguiera sp dan Avicennia

sp yang diperkirakan sudah matang dipetik lalu disemaikan pada kantong plastik yang telah diisi dengan tanah atau mengambil buah yang telah jatuh dan menancap di bawah pohon induk, bibit mangrove yang tumbuh secara alami tersebut dilakukan penjarangan untuk dipindahkan ke kantong semaian, kantong yang telah berisi dengan bibit mangrove ditempatkan pada tempat persemaian di pinggir pantai sekitar vegetasi induknya. Kegiatan pengambilan buah atau bibit mangrove dilakukan oleh masyarakat pada musim tertentu misalnya pengambilan musim barat akan disemaikan selama 6 sampai 12 bulan untuk persiapan tanam atau rehabilitasi pada musim timur. Pembibitan mangrove dilakukan masyarakat sejak tahun 2000 sampai saat ini. Frekuensi pengambilan bibit mangrove dilakukan sekitar 2 sampai 4 kali per tahun, jumlah pohon atau bibit yang dikumpulkan sekitar 1.366.67 pohon per orang dengan harga Rp. 1.100 per pohon. Berdasarkan hasil analisis valuasi ekonomi menunjukkan bahwa manfaat yang diperoleh masyarakat dari pengambilan bibit mangrove dapat dirinci dengan menjumlahkan seluruh manfaat yaitu sekitar Rp. 2.468.589.63 per hektar per tahun dikurangi dengan biaya yang diluarkan sebesar Rp. 865.333.57 per hektar

per tahun, maka diperoleh keuntungan sekitar Rp. 1.603.256.06 per hektar per tahun (Tabel 29 dan Lampiran 11).

Manfaat Burung, salah satu komponen ekosistem mangrove yang hidup berasosiasi dengan mangrove khususnya ditemukan pada wilayah atmospir atau bagian batang dan daun mangrove yaitu burung, berbagai jenis burung dapat dijumpai di lokasi penelitian, baik burung yang sifatnya hidup dengan membuat sarang di pohon mangrove maupun burung yang sifatnya datang untuk mencari makan di sekitar hutan mangrove, sehingga ekosistem mangrove sangat ramai dengan kicauan burung yang berbeda jenis dan berwarna – warni. Kondisi ini yang menarik perhatian para stakeholders sehingga menimbulkan keinginan untuk menangkap dan memiliki jenis burung tertentu. Sekitar tahun 1990-an kegiatan perburuan atau penangkapan burung sering dilakukan oleh masyarakat atau pengunjung yang sengaja datang untuk berburu di hutan mangrove, namun setelah ditetapkannya kebijakan konservasi hutan mangrove pada tahun 2001, maka kegiatan perburuan atau penangkapan burung sudah jarang dilakukan. Hasil indentifikasi di lapangan didapatkan bahwa kegiatan penangkapan burung bukan lagi sebagai suatu pekerjaan utama, akan tetapi hanya merupakan kegiatan tambahan yang sifatnya temporer dan lebih mengarah kepada pemenuhan hobbi atau kesenangan saja, namun demikian kadang – kadang masyarakat juga melakukan trangsaksi kepada peminat tertentu yang kebetulan tertarik dengan burung yang dipelihara oleh nelayan, biasanya nilai jual seekor burung tergantung dari jenisnya dengan kisaran harga antara Rp. 5.000 s/d Rp. 15.000 per ekor. Berdasarkan hasil analisis valuasi ekonomi untuk menghitung nilai manfaat langsung burung didapatkan sekitar Rp. 15.262.78 per hektar per tahun (Tabel 29 dan Lampiran 12).

Manfaat Kelelawar, salah satu areal ekosistem mangrove di lokasi penelitian yang sangat disenangi kelelawar yaitu di Pulau Pannikiang Kecamatan Balusu Kabupaten Barru, luas ekosistem mangrove di pulau ini sekitar 87.17 ha. Kelelawar (hewan mamalia) pada siang hari sangat banyak dijumpai bergelantungan di pohon mangrove, lalu dimalam hari mereka akan terbang ke luar dari pulau untuk mencari makan di tempat lain, kemudian menjelang subuh mereka akan kembali ketempat hunian semula. Tingkah laku kelelawar tersebut memberi imajinasi para penangkap kelelawar untuk membuat pukat (jaring) yang

dipasang di atas areal hutan mangrove, jaring dirancang sedemikian rupa sehingga kelelawar dapat terperangkap didalamnya. Penangkapan kelelawar dilakukan oleh masyarakat dengan frekuensi penangkapan rata – rata 150 trip per tahun, hasil tangkapan rata – rata 750 ekor per tahun, nilai jual berkisar Rp. 5.000 s/d 12.000

per ekor, pendapatan rata – rata nelayan penangkap kelelawar sekitar Rp. 3.750.000 per tahun. Sedangkan hasil analisis valuasi ekonomi didapatkan

nilai manfaat langsung kelelawar sekitar Rp. 66.359.94 per hektar per tahun (Tabel 29 dan La mpiran 13).

Manfaat Ikan, kegiatan penangkapan ikan di lokasi penelitian merupakan pekerjaan yang umumnya ditekuni oleh masyarakat nelayan, daerah penangkapan ikan biasanya di lakukan disekitar hutan mangrove atau dengan jarak tertentu dari garis pantai, alat tangkap yang digunakan nelayan ada beberapa jenis seperti : pancing, jaring, bagan, dan parit. Adapun jenis ikan yang biasanya tertangkap di sekitar hutan mangrove seperti : ikan kakap (Lates calcalifer), baronang (Siganus

sp), kerapu, sunu, bandeng (Chanos chanos), belanak (Mugil dussumieri), dan lain – lain (Lampiran 10). Harga jual ikan di pasaran berkisar antara Rp. 5.000 s/d 45.000 per kilogram, frekuensi rata – rata penangkapan ikan yang dilakukan masyarakat 159 trip per tahun, hasil tangkapan rata – rata sekitar 796.67 kilogram per tahun, keuntungan yang diperoleh nelayan rata – rata sekitar Rp. 9.958.333 per tahun. Sedangkan hasil analisis valuasi ekonomi yang kuantifikasi berdasarkan nilai pasar, maka diperoleh manfaat langsung ikan yang tertangkap di sekitar ekosistem mangrove sekitar Rp. 144.320.65 per hektar per tahun (Tabel 29 dan Lampiran 14).

Manfaat Udang, penangkapan udang di lokasi penelitian merupakan pekerjaan yang umumnya ditekuni oleh masyarakat nelayan, daerah penangkapan udang biasanya di lakukan disekitar ekosistem mangrove, alat tangkap yang digunakan nelayan yaitu : jaring, dan parit. Adapun jenis udang yang biasanya tertangkap di sekitar hutan mangrove seperti : udang hitam (Paneus monodon), dan udang putih (Paneid sp). Harga jual udang di pasaran berkisar antara Rp. 7.500 s/d 75.000 per kilogram, frekuensi rata – rata penangkapan udang yang dilakukan masyarakat sekitar 173 trip per tahun, hasil tangkapan rata – rata sekitar 866.67 kilogram per tahun, keuntungan yang diperoleh nelayan rata – rata sekitar

Rp. 39.000.000 per tahun. Sedangkan hasil analisis valuasi ekonomi yang dikuantifikasi dengan nilai pasar, maka diperoleh manfaat langsung ikan yang tertangkap disekitar ekosistem mangrove sekitar Rp. 19.535.578.84 per hektar per tahun (Tabel 29 dan Lampiran 15).

Manfaat Kepiting, penangkapan kepiting biasa dilakukan pada musim timur karena pada saat ini kondisi perairan relatif lebih tenang atau pada kondisi air pasang naik karena pada saat ini kepiting biasanya dalam keadaan berisi (dagingnya padat), kegiatan penangkapan kepiting di lokasi penelitian hanya dilakukan oleh beberapa masyarakat nelayan, daerah penangkapan kepiting biasanya di lakukan disekitar ekosistem mangrove, alat tangkap yang digunakan nelayan berupa perangkap yang terbuat dari rotan dan waring (dalam bahasa daerah disebut rakkang - rakkang) dan jaring kepiting. Jenis kepiting yang biasanya tertangkap di sekitar ekosistem mangrove seperti : kepiting bakau, kepiting rajungan. Harga jual kepiting di pasaran berkisar antara Rp. 10.000 s/d 35.000 per kilogram, frekuensi rata – rata penangkapan kepiting yang dilakukan masyarakat sekitar 155 trip per tahun, hasil tangkapan rata – rata sekitar 310.00 kilogram per tahun, keuntungan yang diperoleh nelayan rata – rata sekitar Rp. 5.159.500 per tahun. Sedangkan hasil analisis valuasi ekonomi yang dikuantifikasi dengan nilai pasar, maka diperoleh manfaat langsung kepiting yang tertangkap disekitar ekosistem mangrove sekitar Rp. 2.969.621.89 per hektar per tahun (Tabel 29 dan Lampiran 16).

Manfaat Kerang - kerangan, kegiatan penangkapan kerang-keranga n biasa dilakukan pada musim timur karena pada saat ini kondisi perairan relatif lebih tenang atau pada kondisi air surut. Penangkapan kerang-kerangan di lokasi penelitian hanya dilakukan oleh beberapa masyarakat nelayan, daerah penangkapan kerang-kerangan biasanya di lakukan disekitar hutan mangrove, bisanya kerang-kerangan dengan mudah dapat dikumpulkan saat air surut. Jenis kerang-kerangan yang biasanya ditangkap di sekitar hutan mangrove, seperti kerang hijau(Anadara granosa). Harga jual kerang-kerangan di pasaran berkisar antara Rp. 3.500 s/d 7.500 per kilogram, frekuensi rata – rata penangkapan kerang-kerangan yang dilakukan masyarakat sekitar 123 trip per tahun, hasil tangkapan rata – rata sekitar 1.230 kilogram per tahun, keuntungan yang diperoleh

nelayan rata – rata sekitar Rp. 3.321.000 per tahun. Sedangkan hasil analisis valuasi ekonomi yang dikuantifikasi dengan nilai pasar, maka diperoleh manfaat langsung kerang-kerangan yang tertangkap di sekitar ekosistem mangrove sebesar Rp. 351.088.3 per hektar per tahun (Tabel 29 dan Lampiran 17).

Manfaat Tambak, areal tambak yang dijumpai di lokasi penelitian umumnya dibangun dari hasil konversi hutan mangrove, masyarakat biasanya menanam mangrove di sepanjang garis pantai ke arah laut, jika mangrove tersebut tumbuh menjadi pohon yang besar dan diperkirakan sudah dapat berfungsi untuk melindungi pantai dari abrasi, maka pohon mangrove yang berada di belakang ke arah darat akan di tebang untuk dijadikan tambak. Oleh karena itu peranan hutan mangrove sangat diperlukan untuk melindungi pantai maupun tambak dari abrasi, melindungi perumahan penduduk dari badai dan angin topan. Tambak di lokasi penelitian dikelola secara tradisional dan intesif dengan metode monokultur dan polikultur, metode monokultur biasanya memelihara udang atau ikan bandeng, sedangkan tambak yang beroperasi dengan metode polikultur biasanya memelihara udang dan ikan bandeng secara bersamaan. Frekuensi atau siklus pengolahan tambak dalam setahun biasanya dikelola dua kali dalam setahun. Produksi tambak akhir – akhir ini mengalami penurunan yang sangat derastis khusnya produksi udang windu, akibat munculnya penyakit insang merah pada udang. Berdasarkan hasil analisis valuasi ekonomi untuk tambak, diperoleh hasil sebagai berikut : (a) produksi tambak monokultur udang memberikan manfaat langsung sebesar Rp. 419.689.12 per hektar per tahun, (b) produksi tambak monokultur ikan bandeng memberikan manfaat langsung sebesar Rp. 527.513.79 per hektar per tahun, (c) produksi tambak polikultur udang dan ikan memberikan manfaat langsung sebesar Rp. 4.782.421.20 per hektar per tahun (Tabel 29 dan Lampiran 18).

Dokumen terkait