• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

D. Manfaat Penelitian

Manfaat yang akan diperoleh dari penelitian ini adalah : a. Secara Teoritis

Penelitian ini diharapkan mampu mengetahui kecenderungan pemberian dukungan dari ibu terhadap anak yang mengalami kekerasan seksual 1. Hasil penelitian diharapkan mampu memberikan konfirmasi terhadap

inkonsistensi hasil penelitian terdahulu terkait dengan faktor-faktor yang mempengaruhi dukungan ibu.

2. Penggunaan vignette dalam penelitian ini memberikan informasi baru yang bisa dilakukan terkait dengan metode penelitian dalam ilmu psikologi.

b. Secara Praktis

Penelitian ini akan berguna untuk membantu Lembaga Perlindungan Anak dan Lembaga Sosial lainnya yang berfokus menangani anak yang mengalami kekerasan seksual intrafamilial sehingga mampu menciptakan intervensi yang tepat.

12

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Dukungan Ibu Terhadap Anak Yang Mengalami Kekerasan Seksual

1. Definisi Dukungan Sosial

Istilah dukungan sosial diberikan pada semua perilaku yang dimaksudkan untuk memberikan manfaat bagi orang lain atau perilaku yang dapat meningkatkan kemungkinan seseorang mendapatkan keuntungan tertentu. Dukungan sosial menjadi prediktor penting dalam menentukan fungsi psikologis seseorang, sebab dukungan sosial dapat memoderasi segala bentuk stres dan peristiwa trauma (Roesler& Wind, 1994).

Dalam kajian psikologi, dukungan sosial efektif untuk mengatasi tekanan psikologis pada situasi sulit dan menekan (Broman, 1993; Taylor, 2003, dalam Butcher, Mineka, Hooley, 2004). Dukungan sosial memiliki kekuatan untuk meredam dampak dari stres, membantu orang mengatasi stres, dan meningkatkan kesehatan (Sarason & Gurung, 1997; dalam Taylor, 2003). Hal ini diperkuat dengan penelitian terdahulu bahwa dukungan sosial dapat mengurangi distres psikologis, seperti depresi dan kecemasan selama masa- masa yang menekan (Haines, Hulbert, Beggs, 1996; Lin, Ye, Ensel, 1999, dalam Taylor, 2003).

Konsep dukungan sosial mengacu pada proses dinamik dan kompleks yang melibatkan transaksi antara individu dengan jaringan/jalinan sosial mereka dalam sebuah ekologi sosial (Alan Vaux, 1992 dalam Hoghughi & Long, 2009). Pendapat senada juga diungkapkan oleh Saroson (dalam Smet, 1994) yang menyatakan bahwa dukungan sosial adalah transaksi interpersonal yang ditunjukkan dengan memberikan bantuan pada individu lain, bantuan tersebut diperoleh dari orang yang berarti bagi individu yang bersangkutan. Dukungan sosial dapat berupa pemberian infomasi, bantuan tingkah laku, ataupun materi yang didapat dari hubungan sosial akrab yang dapat membuat individu merasa diperhatikan, bernilai, dan dicintai.

Menurut Sidney Cobb (Sarafino, 1994), orang-orang yang menerima dukungan sosial percaya bahwa mereka dicintai, diperhatikan, dihargai, serta merasa sebagai bagian dari jaringan/jalinan sosial, seperti keluarga atau komunitas yang memberikan bantuan pada saat diperlukan.

Berdasarkan pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa dukungan sosial adalah dukungan atau bantuan yang berasal dari orang yang memiliki hubungan sosial akrab dengan individu yang menerima bantuan, seperti anggota keluarga, teman, dan orang lain di sekitar individu di saat individu mengalami krisis dan masalah dalam kehidupan.

2. Faktor Penentu Dukungan Sosial

Tidak semua orang mendapatkan dukungan sosial seperti yang mereka butuhkan. Banyak faktor yang dapat menentukan apakah orang-orang akan

mendapat dukungan atau tidak (Broadhead et al., 1983; Wortman & Dunkel- Schetter, 1987, dalam Sarafino, 1994).

Salah satu faktor ini terkait dengan potensi yang dimiliki individu penerima dukungan. Dalam satu hal, orang-orang tidak mungkin menerima bantuan jika mereka tidak menginginkan orang lain mengetahui bahwa ia sedang memerlukan bantuan. Disamping itu, terkadang orang tidak cukup asertif untuk meminta bantuan atau merasa bahwa mereka seharusnya tidak bergantung pada orang lain. Mereka tidak mau membebani orang lain, merasa tidak nyaman untuk percaya kepada orang lain atau mereka tidak mengetahui siapa yang bisa diminta bantuannya.

Faktor lain adalah potensi dari pemberi dukungan, yaitu ketika pemberi dukungan tidak memiliki sumber daya yang diperlukan, berada dalam keadaan stress dan diri mereka sendiri juga perlu mendapat dukungan atau mereka sama sekali tidak sensitif terhadap kebutuhan orang lain.

Penerima dukungan sosial juga bergantung pada komposisi dan struktur jaringan/jalinan sosial yang mereka miliki, seperti keluarga atau komunitas (Mitchell, 1969; Schaefer, Coyne, & Lazarus, 1981 dalam Sarafino, 1994). Jalinan ini dapat berbeda dari segi kuantitas dan kualitas. Misalnya dapat dilihat dari segi ukuran, yaitu jumlah orang yang menjalin kontak setiap hari; frekuensi kontak (seberapa sering individu bertemu dengan orang lain); komposisi (apakah orang-orang yang ditemui adalah keluarga, teman, rekan kerja, dan lain sebagainya); dan intimasi (kedekatan hubungan individual dan

kerelaan untuk saling mempercayai). Individu yang memiliki jaringan/jalinan sosial dengan kuantitas dan kualitas yang tinggi kemungkinan akan mendapat banyak dukungan sosial.

3. Definisi Dukungan Ibu Terhadap Anak yang Mengalami Kekerasan

Seksual

Kekerasan seksual anak membawa dampak yang menimbulkan kecemasan dan menyebabkan stres pada anak. Pada situasi yang menekan ini, anak membutuhkan bantuan dari orang-orang terdekat, seperti keluarga, untuk mereduksi munculnya efek dari kekerasan yang terjadi.

Salah satu sumber dukungan sosial dalam keluarga adalah ibu sebagai penerima utama pengungkapan kekerasan seksual anak (Ullman, 2003; Paine & Hansen, 2001). Corcoran (1998) menyatakan bahwa konsep dukungan ibu terhadap anak yang mengalami kekerasan seksual terdiri dari kepercayaan dan tindakan perlindungan. Kepercayaan mencakup tindakan memvalidasi laporan anak, menempatkan tanggung jawab pada orang dewasa daripada anak, serta menunjukkan sikap perhatian pada anak. Sementara itu, tindakan perlindungan pada dasarnya dikonsepkan sebagai keyakinan ibu terhadap sikapnya untuk melindungi anak dari kekerasan lebih lanjut dan upaya membantu pemulihan anak, diantaranya bekerja sama dengan lembaga perlindungan anak, menghapus akses anak dengan pelaku, serta berusaha mencari layanan konseling untuk anak.

Hal ini diperkuat penelitian Adam Tucker, Everson et al., dan Herriot (dalam Smith, 2010) yang menyebutkan bahwa konsep dukungan ibu meliputi tindakan perlindungan pada anak seperti memisahkan diri dengan pelaku kekerasan, dukungan verbal dan emosional setelah terjadinya pengungkapan dengan memberikan tanggapan yang empati pada anak, serta kepercayaan ibu terhadap laporan anak mengenai kekerasan yang terjadi.

Berdasarkan penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa dukungan ibu terhadap anak yang mengalami kekerasan seksual meliputi bantuan yang diberikan pada anak berupa kepercayaan, dukungan emosional, dan tindakan perlindungan yang dilakukan ibu untuk membantu pemulihan kondisi anak setelah tejadinya kekerasan seksual.

Dukungan ibu terhadap anak yang mengalami kekerasan seksual dapat diukur dengan menggunakan skala MSSQ (Maternal Self-Report Support Questionaire). Skala ini mengukur persepsi ibu dalam memberikan dukungan pada anak yang mengalami kekerasan seksual. Skala MSSQ disusun berdasarkan konsep dukungan ibu yang terdapat dalam literature klinis dan juga teori dalam alat ukur Parental Support Questionaire. Skala ini terdiri dari 2 faktor, yaitu faktor Emotional Support dan Blame/Doubt (Smith, dkk, 2010).

Item-item dalam skala ini sudah divalidasi menggunakan validitas konstruk oleh Smith, dkk (2010). Selain itu, reliabilitas dalam skala ini juga tergolong baik. Oleh karena itu, peneliti menggunakan skala ini sebab alat ini

mengukur dukungan ibu terhadap kekerasan seksual pada anak sesuai dengan tujuan penelitian yang hendak di capai oleh peneliti.

4. Bentuk Respon Dukungan Ibu

Alagia & Turton (2005) membedakan 2 bentuk dukungan ibu terhadap kekerasan seksual pada anak, yaitu:

a. Respon mendukung merupakan bentuk dukungan pada anak yang meliputi kepercayaan terhadap laporan atau pernyataan anak, tindakan efektif untuk melindungi anak dari kekerasan lebih lanjut, dan menyediakan dukungan emosional untuk anak.

b. Respon tidak mendukung, meliputi ketidakpercayaan terhadap anak mengenai laporan kekerasan seksual yang dialami, percaya kepada anak tetapi juga menyalahkan, menunjukkan kemarahan pada anak, serta tidak melakukan tindakan yang cukup kuat untuk melindungi anak.

5. Faktor yang Mempengaruhi Dukungan Ibu

Beberapa faktor yang berpotensi dapat mempengaruhi dukungan ibu terhadap anak yang mengalami kekerasan seksual adalah:

a. Karakteristik Maternal

1) Penyalahgunaan napza pada ibu

Penyalahgunaan napza dan buruknya kesehatan mental ibu dapat mengganggu kemampuannya dalam memproses informasi dan melindungi anak mereka (Coohey & O’Leary, 2008). Sebagai contoh, ketika ibu mengetahui bahwa anak mereka membutuhkan bantuan atas

kekerasan seksual yang dialaminya, ibu akan merasa tidak dapat mengatasi masalah tersebut dengan baik. Hal ini disebabkan munculnya depresi dan kecemasan dalam diri ibu mengenai konsekuensi yang mungkin terjadi jika ibu melapor ke Lembaga Sosial dan mereka mengetahui bahwa ibu mengalami penyalahgunaan napza. Ibu merasa khawatir akan disalahkan atas kekerasan tersebut atau cemas jika orang lain berpikir dia adalah ibu yang buruk atas perbuatannya (Bolen & Lamb, 2004).

2) Kesehatan Mental Ibu

Peneliti sebelumnya, Herriot (dalam Coohey & O’Leary, 2008) menyelidiki hubungan antara kesehatan mental ibu dengan dukungan pada anak, hasilnya menunjukkan bahwa adanya masalah kesehatan mental pada ibu terkait dengan kurangnya perlindungan yang diberikan pada anak. Hal tersebut konsisten dengan hasil penelitian Runyan et al. (1992) yang menemukan ibu dari anak usia 14-17 tahun yang mengalami depresi berat kurang dapat memberikan dukungan pada anak mereka atas peristiwa yang terjadi.

3) Status Pekerjaan Ibu

Pengaruh secara langsung antara status pekerjaan ibu dengan dukungan ibu masih belum jelas. Akan tetapi, peneliti sebelumnya, seperti Leifer, Killbane, dan Grossman (2001) menjelaskan bahwa status pekerjaan ibu adalah variabel mediator antara ketergantungan

ekonomi dengan dukungan ibu. Jika ibu dalam kondisi masih tergantung secara ekonomi dengan pelaku kekerasan, hal ini menyebabkan kurangnya kemampuan ibu untuk memberikan dukungan ketika anak mengalami kekerasan seksual (dalam Cyr et al, 2003). Jika ibu berada di pihak anak, ia memiliki kekhawatiran akan kehilangan dukungan ekonomi dari pelaku kekerasan, dalam hal ini ketika pelaku adalah pasangan ibu. Studi klinis juga menunjukkan bahwa status ketergantungan ekonomi menjadi prediktor dukungan maternal terhadap anak.

4) Ibu Dengan Sejarah Kekerasan Seksual pada Masa Anak-anak

Dalam review Elliot & Carnes (2001) dijelaskan bahwa ibu dengan sejarah kekerasan seksual pada masa anak-anak berhubungan dengan tingkat dukungannyaterhadap anak yang mengalami kekerasan. Pernyataan tersebut didukung oleh hasil penemuan Morrison & Clavenna-Valleroy (1998) yang menjelaskan bahwa anak perempuan mendapat lebih banyak dukungan dari ibu yang memiliki sejarah kekerasan seksual pada masa anak-anak dibandingkan ibu tanpa sejarah kekerasan seksual.

Hasil penelitian di atas ternyata tidak konsisten dengan hasil penelitian lain yang dilakukan oleh Bolen (2002) yang menyatakan bahwa adanya sejarah kekerasan seksual pada ibu terkait dengan kurangnya tingkat dukungan yang diberikan pada anak.

b. Karakteristik Anak

1) Usia Anak

Kekerasan seksual dapat terjadi pada berbagai tingkatan usia, baik dari anak-anak antara 0 sampai 12 tahun maupun usia remaja antara 13 sampai 18 tahun (Fergusson & Mullin, 1999). Perbedaan usia tersebut diketahui juga berhubungan dengan tingkat dukungan ibu. Dijelaskan bahwa anak dengan usia yang lebih muda akan mendapat lebih banyak dukungan daripada anak yang usianya lebih tua (Pintello & Zuravin, 2001; Sirles & Franke, 1989; Lyon&Koulompos-Lenares, 1987 dalam Elliot & Carnes, 2001).

Anak usia remaja kurang mendapatkan dukungan dari ibu karena mereka dianggap lebih dapat bertanggung jawab atas terjadinya kekerasan (Elliot & Carnes; Colling & Paine; Salt et al. dalam Roshental, Feiring & Taska, 2003). Disisi lain, beberapa peneliti tidak menemukan adanya perbedaan tingkat dukungan ibu terhadap usia anak (Cyr, et al., 2003; Everson, Hunter, Runyan, Edelsohn, & Coulter, 1989 dalam Elliot & Carnes, 2001).

2) Jenis Kelamin Anak

Beberapa studi menunjukkan bahwa jenis kelamin berperan dalam jenis kekerasan yang dialami dan juga dampak yang terjadi setelah terjadinya kekerasan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa anak perempuan dapat

mengalami kekerasan seksual dengan tingkat yang lebih parah daripada anak laki-laki dan dengan dampak yang lebih serius pula (dalam Roshental et al., 2003).

Jenis kelamin anak juga memberikan dampak pada dukungan sosial dan penyesuaian diri setelah terjadi kekerasan. Penelitian sebelumnya menemukan bahwa anak laki-laki lebih dipercayai dan mendapatkan dukungan dari ibu daripada anak perempuan (Salt, Myer, Coleman, Sauzier, 1990; Lyon & Koumpoulos-Lenares,1987 dalam Elliot & Carnes, 2001). Akan tetapi, peneliti lain menemukan hasil yang berbeda dimana jenis kelamin tidak berhubungan dengan dukungan ibu terhadap kekerasan seksual pada anak (Bolen, 1998; Sirles & Franke, 1989; Everson et al.&Herriot dalam Elliot & Carnes 2001).

c. Karakteristik Pelaku kekerasan

1) Hubungan pelaku dengan anak

Hubungan pelaku kekerasan dengan anak dan ibu merupakan prediktor yang berhubungan dengan tingkat dukungan ibu (Cyr et al., 2003). Beberapa peneliti berpendapat bahwa jika pelaku kekerasan memiliki hubungan yang dekat dengan anak, maka ketika anak mengalami kekerasan ibu menjadi kurang mempercayai dan kurang melindungi anak (Herriot, 1996; Salt et al., 1990; Sirles & Franke, 1989). Hasil penelitian tersebut diperkuat pula oleh Cyr et al. (2003) bahwa ketika terjadi kekerasan

ayah tiri dari anak, menyebabkan ibu kurang dapat memberikan dukungan pada anak.

Akan tetapi, penelitian Everson et al. (1989) menunjukkan hasil yang berbeda, yaitu bahwa ibu cukup mendukung anak ketika mengalami kekerasan seksual yang dilakukan oleh pasangan ibu, tanpa menghiraukan pelaku adalah ayah biologis atau non biologis anak. Penelitian De Young (1994) juga menunjukkan bahwa ibu lebih mempercayai dan mendukung anak ketika pelaku kekerasan adalah ayah biologis dari anak (parental incest).

2) Pelaku pengguna alkohol

Dalam penelitian Sirles & Franke (1989) ditemukan bahwa ibu lebih percaya pada anak mengenai terjadinya kekerasan ketika pelaku mengkonsumsi alkohol daripada tidak. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Bolen (2002) yang menunjukkan bahwa jika pelaku kekerasan adalah pengguna alkohol, ibu lebih mempercayai pengungkapan yang dilakukan anak.

3) Pelaku mengakui terjadinya kekerasan

Everson, Hunter, Runyan, Edelsohn, & Coulter dalam Bolen (2002) menyebutkan bahwa konfirmasi kekerasan yang dilakukan oleh pelaku berpengaruh pada lebih banyaknya dukungan yang diberikan ibu pada anak. Hal ini mendukung penemuan Cyr et al. (2003) yang menunjukkan bahwa ketika pelaku mengakui terjadinya kekerasan seksual, hal ini mengurangi

keraguan ibu terhadap pengungkapan anak sehingga memunculkan respon lebih simpatik serta mendukung anak, terutama pada korban anak usia remaja.

d. Karakteristik Kekerasan Seksual

1). Tingkat keparahan kekerasan

Peneliti sebelumnya menjelaskan bahwa semakin parah tingkat kekerasan yang dialami anak, hal ini berpengaruh pada semakin sedikitnya dukungan yang ibu berikan (Herriot, 1996; Shappiro & Kassem 1993; Sirles & Franke, 1989 dalam Bolen, 2002).Cyr et al., 2003 dalam penelitiannya juga membuktikan bahwa tingkat keparahan kekerasan berhubungan dengan dukungan ibu terhadap anak.

2). Durasi terjadinya kekerasan

Dalam penelitiannya, Cyr et al. (2003) menemukan bahwa kekerasan yang terjadi dalam jangka waktu yang panjang dapat menyebabkan ibu menjadi kurang mendukung anak. Bolen (2002) juga menyatakan bahwa waktu terjadinya kekerasan terkait dengan dukungan ibu pada anak yang menyebabkan kurangnya dukungan ibu pada anak.

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang mungkin mempengaruhi dukungan ibu terhadap anak korban kekerasan seksual terdiri dari karakteristik maternal, karakteristik anak, karakteristik pelaku, dan karakteristik kekerasan itu sendiri. Akan tetapi, Elliot & Carnes (2001) menyebutkan bahwa pada banyak penelitian empiris faktor usia anak,

jenis kelamin anak, hubunganpelaku kekerasan dengan anak dan sejarah kekerasan ibu pada masa kanak-kanak telah diterima memiliki hubungan dengan dukungan ibu. Tetapi perbedaan tingkat dukungan ibu jika dilihat dari faktor-faktor tersebut belum konsisten hasilnya.

B. Kekerasan Seksual Anak Intrafamilial

1. Definisi Kekerasan Seksual Anak

Dalam reviewnya, Putnam (2003)mendefinisikan kekerasan seksual anak sebagai tindakan seseorang (pelaku) menyentuh bagian seksual korban dari bawah atau dari atas bajunya, melakukan hubungan seksual dengan korban, atau melibatkan korban untuk melakukan kontak oral maupun genital. Hornor (2010)mendefinisikan kekerasan seksual anak sebagai perilaku seksual atau kontak seksual yang dilakukan orang dewasa atau orang yang usianya lebih tua dari anak untuk tujuan kepuasan seksual pelaku.

Hal yang sama juga terdapat dalam buku yang ditulis Suyanto (2006) bahwa kekerasan seksual pada anak didefinisikan sebagai segala pelanggaran seksual yang dilakukan orang dewasa atau orang lain yang secara sah bertanggung jawab pada anak. Pelanggaran tersebut terdiri dari tindakan menyentuh anak dengan maksud kepuasan seksual atau paksaan pada anak untuk menyentuh orang dewasa, hubungan seksual, memperlihatkan hubungan seksual pada anak, menunjukkan alat kelamin pelaku pada anak, pornografi, atau mengizinkan anak melakukan hubungan seksual yang tidak sesuai tahap perkembangannya.

Disamping itu, dalam penelitian Modelli, Galvao, & Pratessi (2011) disebutkan bahwa kekerasan seksual adalah aktivitas seksual yang terjadi pada anak di bawah usia 18 tahun, aktivitas tersebut tidak dimengerti oleh anak, tanpa adanya persetujuaan atau melanggar hukum. Aktivitas ini meliputi perabaan, kontak oral- genital, pemerkosaan, penetrasi genital dan anal, memperlihatkan alat kelamin, dan menggunakan anak untuk tindakan pornografi.

Dapat disimpulkan bahwa kekerasan seksual anak adalah bentuk aktivitas seksual yang pada umumnya dilakukan oleh orang dewasa pada anak dengan tujuan untuk mencapai kepuasaan seksual bagi pelakunya, dalam hal ini anak tidak sepenuhnya memahami aktivitas seksual yang terjadi dan perbuatan tersebut melanggar hukum.

2. Kekerasan Seksual Anak Intrafamilial

Kekerasan seksual pada anak dalam ranah intrafamilial adalah segala bentuk pelecehan atau eksploitasi yang dilakukan oleh figure ayah dari anak meliputi ayah kandung, ayah tiri, atau pun pasangan dari ibu terhadap anak di bawah usia 18 tahun (Lovett, 1995; deYoung, 1994; Sirels & Franke, 1989; Faller, 1988).

Dalam The National Child Traumatic Network (2009) dijelaskan kekerasan seksual intrafamilial berarti kekerasan atau pelecehan terhadap anak yang terjadi dalam keluarga. Dalam hal ini, anggota keluarga menggunakan anak dalam melakukan aktivitas seksualnya. Anggota keluarga yang dimaksud tidak selalu memiliki hubungan darah dengan anak, tetapi sudah dianggap sebagai bagian dari kelaurga seperti orangtua baptis atau teman yang sangat dekat

Berdasarkan uraian diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa kekerasan seksual pada anak dalam ranah intrafamilial adalah aktivitas seksual yang dilakukan anggota keluarga pada anak.

3. Bentuk Kekerasan Seksual

Bentuk kekerasan seksual anak yang tercantum dalam penelitian Pierbe & Svedin (2008)mencakup :

a. Non-contact abuse, merupakan kekerasan tanpa kontak yang digambarkan ketika pelaku menunjukkan sesuatu yang tidak pantas miliknya pada anak, misalnya exhibitionism.

b. Contact abuse, merupakan kekerasan yang terjadi ketika pelaku meraba atau menyentuh wilayah seksual anak dengan tidak semestinya, atau meminta anak untuk menyentuh wilayah seksual seseorang, atau pelaku meminta korban melakukan masturbasi maupun onani.

c. Penetrative abuse, merupakan kekerasan secara seksual dengan tingkat paling berat yaitu dengan melakukan hubungan seksual, oral, atau anal antara pelaku dengan anak. Penetrasi dapat dilakukan dengan bagian tubuh dan/atau benda (seperti menggunakan jari, lidah, penis).

Sedangkan dari sebuah penelitian eksplorasi yang dilakukan pada masyarakat Sulawesi untuk mengetahui persepsi masyarakat mengenai kekerasan seksual, diketahui bahwa bentuk kekerasan seksual terbagi menjadi 3, yaitu kategori ringan, sedang dan berat. Pengategorian ini dilihat dari derajat psikologis dan kerusakan fisik

yang diakibatkan oleh kekerasan tersebut (Baso & Fatturohman, 2002). Kategori- kategori tersebut adalah sebagai berikut:

a. Kekerasan seksual kategori ringan, yang termasuk dalam kategori ini adalah kekerasan secara verbal seperti ditatap, disenyumi, disiuli atau dikomentari, dipaksa mendengar pembicaraan tentang seks, ditelpon cabul yang semuanya ini terjadi dengan maksud untuk kepuasan seksual.

b. Kekerasan seksual kategori sedang. Batasan kekerasan seksual kategori sedang meliputi colekan dari pelaku, tepukan, atau dicubit, digerayangi, dipaksa memegang organ tubuh, dicium atau dipeluk, dipertontonkan alat kelamin, dan dipaksa melihat material berbau seks (video, foto, majalah), dan diintip oleh pelaku untuk tujuan seksual.

c. Kekerasan seksual kategori berat. Kategori yang terakhir adalah kekerasan dengan kategori berat yang mencakup tindakan penyerangan untuk pemerkosaan dan penganiayaan secara seksual. Tindakan-tindakan tersebut membawa dampak jangka panjang yang lebih berat bagi anak.

4. Dampak Kekerasan Seksual pada Anak

Terjadinya kekerasan seksual pada anak membawa dampak yang serius bagi perkembangannya, meskipun kekerasan hanya terjadi sekali atau bahkan berulang kali. Dalam penelitian Kendall-Tacket, Williams, & Finkelhor (1993)ditemukan bahwa dampak yang dialami korban kekerasan seksual akan berbeda ditinjau dari tahap perkembangan anak, yaitu:

a. Anak korban usia prasekolah (antara usia 0 dan 6 tahun).

Dampak dari kekerasan seksual akan muncul dalam bentuk mimpi buruk, muncul gejala kecemasan, gejala stres pasca trauma, serta perilaku seksual yang dilakukan anak.

b. Anak korban usia sekolah (antara usia 6 dan 12 tahun)

Dampak yang muncul seperti adanya ketakutan hingga dapat mengalami gangguan mental/neurotik, agresi, mimpi buruk, masalah dalam sekolah, hiperaktif, dan perilaku regresif.

c. Anak korban usia remaja (antara usia 13 dan 18 tahun)

Dampak adanya kekerasan seksual dapat menimbulkan depresi pada anak, perilaku menarik diri, keinginan bunuh diri, atau perilaku melukai diri, keluhan somatik, tindakan ilegal, melarikan diri, dan penyalahgunaan obat- obatan.

Selain ditinjau dari tahap perkembangan anak, secara keseluruhan dampak dari kekerasan seksual ini tidak hanya membuat anak mengalami kerugian fisik, akan tetapi dapat mempengaruhi emosi dan kejiwaan serta perilaku anak. Secara lebih jelas, dampak kekerasan seksual pada anak adalah sebagai berikut:

a. Dampak fisik

Bila kekerasan seksual terjadi secara langsung bersentuhan dengan alat vital anak, maka dampaknya adalah terjadinya kerusakan fisik secara permanen yang sulit disembuhkan atau dikembalikan seperti sedia kala. Pada anak perempuan, hal ini ditandai dengan kerusakan pada selaput dara. Selain

itu, dapat terjadi luka dan nyeri pada alat kelamin, pendarahan, bahkan dapat

Dokumen terkait