• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Manfaat Teoritis

Diharapkan penelitian ini akan memberi tambahan kajian pustaka dan referensi perpustakaan khususnya di bidang Analis Kesehatan tentang Efektivitas Ekstrak Daun Pandan Wangi (Pandanus amaryllifolius) sebagai Larvasida terhadap Larva Culex sp.

1.4.2 Manfaat Praktis

Diharapkan Ekstrak Daun Pandan Wangi (Pandanus amaryllifolius) bisa dimanfaatkan untuk alternatif larvasida alami menggantikan larvasida kimia serta dapat membuka peluang dalam pembuatan obat

larvasida dari ekstrak Daun Pandan Wangi (Pandanus amaryllifolius) yang aman bagi kesehatan dan ramah lingkungan.

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Nyamuk Culex sp. 2.1.1 Nyamuk Culex sp. Kingdom : Animalia Filum : Anthropoda Kelas : Insecta Ordo : Diptera Famili : Culicidae Genus : Culex

Spsesies : Culex sp. (Wahyudi, 2010)

Gambar 2.1 Nyamuk Culex sp. (Sumber: Prianto L.A., et al 1995).

2.1.2 Morfologi Culex sp. 1. Stadium telur

Nyamuk betina dapat meletakkan 100-400 buah telur. Nyamuk Culex sp. meletakkan telurnya pada air bagian permukaan dengan bergelombol seperti rakit. Telur Culex sp. berwarna coklat, panjang, silinder vertikal, bergabung membentuk rakit pada permukaan air yang tenang. Telur berkembang menjadi larva dan larva mendapat

makanan dari bahan-bahan organik yang terdapat di dalam air (Portunasari, et al, 2016).

Gambar 2.2 Stadium Telur Culex sp. (Sumber: Prianto L.A., et al 1995).

2. Stadium larva

Apabila terjadi kontak langsung dengan air, penetasan telur akan akan terjadi 2-3 hari. Dalam situasai optimum, alokasi waktu yang diperlukan saat penetasan-dewasa kira-kira 5 hari (Wahyudi, 2010). Larva Culex sp. bernafas dengan siphon yang berbentuk agak ramping dan lebih panjang dibandingkan dengan siphon larva nyamuk Aedes dengan kumpulan bulu lebih dari satu. Kepala larva Culex sp. mempunyai lebar hampir sama dengan lebar toraks (Portunasari, et al 2016).

Gambar 2.3 Stadium Larva Culex sp. (Sumber: Soedarto, 2011).

3. Stadium pupa

Pada tahap ini nyamuk memerlukan waktu kira-kira 2-5 hari agar bisa berkembang menjadi seeokor nyamuk, selama tahap ini

seekor pupa tidak memakan bahan makanan apapun, ia akan berubah menjadi nyamuk dan akan mengeluarkan diri dari dalam air (Wahyudi, 2010).

Gambar 2.4 Stadium pupa Culex sp. (Sumber : MAW Astuti, 2011)

4. Stasium dewasa

Proses berkembangnya telur menjadi nyamuk dewasa membutuhkan kira-kira 10-12 hari (Wahyudi, 2010). Culex sp. memiliki tubuh berwarna coklat kehitaman, ujung abdomen tumpul, palpus lebih pendek dari proboscis, dan sayap berwarna gelap (Portunasari, et al, 2016)

Gambar 2.5 Stadium Dewasa Nyamuk Culex sp. (Sumber: Prianto L.A., et al 1995).

2.1.3 Daur Hidup Nyamuk Culex sp.

Seperti pada nyamuk yang lain, nyamuk Culex sp. mengalami metmorfosis sempurna mulai dari tahap telur sampai menjadi nyamuk

dewasa yang membutuhkan waktu lebih pendek yaitu 1-2 minggu (Sutanto, et al, 2013).

Gambar 2.6 Daur Hidup Nyamuk Culex sp. (Sumber : MAW Astuti, 2011)

2.1.4 Perilaku Nyamuk Culex sp.

Aktivitas nyamuk Culex sp. mempunyai kebiasaan menghisap darah hospes pada malam hari saja. Perilaku nyamuk sebagai vektor filariasis ini turut menentukan penyebarluasan penyakit filaria dan timbulnya daerah-daerah endemi filariasis. Diantara perilaku vektor tersebut adalah : 1) derajat infeksi alami hasil pembedahan nyamuk alam/liar yang tinggi, 2) sifat antropofilik dan zoofilik yang meningkatkan jumlah sumber infeksi, 3) umur nyamuk yang panjang sehingga mampu mengembangkan pertumbuhan larva mencapai stadium infektif untuk disebarkan/ditularkan, 4) dominasi terhadap spesies nyamuk lainnya yang ditunjukkan dengan kepadatan yang tinggi di suatu daerah endemi, 5) mudahnya menggunakan tempat-tempat pengandung air sebagai tempat-tempat perindukan yang sesuai untuk pertumbuhan dari telur sampai menjadi dewasa (Sutanto, et al, 2013).

2.1.5 Tempat Perindukan Nyamuk Culex sp.

Berikut merupakan tempat perindukan beberapa spesies dari Culex :

Tabel 2.1 Tempat perindukan larva dan tempat istirahat Culex sp. (Sumber: Susanto, et al 2013).

No. Vektor Tempat Perindukan Perilaku Nyamuk

Dewasa

1. Culex

quinquefasciatus

Kecomberan dengan air keruh dan kotor dekat rumah.

Antropofilik, zoofilik menggigit pada ma-lam hari.

Tit : di luar dan

dalam rumah (benda yang tergan-tung dan berwarna gelap). 2. Culex annulirostris Sawah, daerah

pantai dan rawa yang berair payau.

Menggigit pada ma-lam hari.

Tit : di luar rumah atau dalam rumah 3. Culex

bitaeniorrhynchus

Tempat yang ada lumutnya, air payau dan/atau air tawar.

Antropofilik, zoofilik menggigit pada ma-lam hari.

Tit : di luar dan bisa juga luar rumah Keterangan : Tit = Tempat istirahat tetap

2.1.6 Beberapa Faktor Lingkungan yang berpengaruh terhadap Nyamuk Culex sp.

1. Suhu

suhu sangatlah berpengaruh terhadap nyamuk Culex sp. Suhu

yang terlalu tinggi bisa meningkatkan gerak atau aktivitas nyamuk sehingga perkembangannya lebih cepat, tetapi jika suhu lingkungan >350C maka akan membuat populasi nyamuk menjadi terbatas.

Suhu yang optimum untuk tumbuh kembang nyamuk sekitar 200C –

300C.

2. Udara yang lembab

berbentuk lubang-lubang di dinding tubuh nyamuk. Spiracle yang terbuka cukup lebar tanpa adanya mekanisme yang mengaturnya. Saat kelembaban udara rendah, maka akan mengakibatkan penguapan air di dalam tubuh nyamuk sehingga akan menyebabkan cairan tubuh mengering.

3. Pencahayaan

Apabila intensitas cahaya yang dipancarkan ke permukaan semakin tinggi, maka kondisi suhu lingkungan akan semakin tinggi pula. Sama halnya dengan kelembaban, apabila intensitas cahaya semakin tinggi dipancarkan ke permukaan, maka kelembaban di lingkungan akan menjadi rendah pula (Saraswati, 2016).

2.2 Pengendalian Culex sp.

Pengendalian ini bertujuan untuk mengurangi jumlah Culex sp. dan mencegah penyakit yang berbahaya untuk manusia. Dalam garis besarnya pengendalian ini dibagi menjadi 4 cara yaitu : 1) Mekanis, 2) Zat Kimia, 3) Biologis, dan 4) Perlindungan perorangan.

1. Mekanis

Upaya pengendalian ini adalah memasang hambatan mekanis, menghilangkan atau memindahkan tempat berkembang biaknya, menangkapnya, dan membunuhnya. Beberapa kegiatan pengendalian secara mekanis antara lain yaitu perbaikan sanitasi lingkungan, penggunaan perangkap, dan penataan lingkungan (Entjang, 2003). 2. Bahan Kimia

Pemanfaatan bahan kimia sebagai pestisida untuk kebutuhan pertanian, rumah tangga dan beberapa program pada kesehatan masyarakat sudah beberapa puluhan tahun dipergunakan. Pemakaian

banyak menimbulkan masalah lingkungan yang membahayakan kesehatan manusia (Entjang, 2003).

Pengendalian secara kimia berdasarkan sasaran yang akan dibunuhnya dibagi antara lain :

a. Ovisida, yaitu insektisida untuk membunuh stadium telur b. Larvasida, yaitu insektisida untuk membunuh stadium larva c. Adultisida, yaitu insektisida untuk membunuh stadium dewasa d. Akarisida/mitisida, yaitu insektisida untuk membunuh tungau e. Pedikulisida/lousisida, yaitu insektisida untuk membunuh kutu

(Sutanto, et al 2013). 3. Bilogis

Pengendalian terhadap jenis anthropoda menggunakan makhluk yang hidup, misalnya dengan memelihara ikan Gambusia affinis yang berfungsi untuk memangsa larva yang terdapat di dalam air yang sulit dikeringkan, misalnya seperti rawa (Entjang, 2003).

4. Perlindungan diri

Perlindungan diri adalah upaya seseorang untuk menghindari gigitan dari serangga sebagai upaya untuk pencegahan dan penularan suatu penyakit atau agar darahnya tidak dihisap anthropoda dan mencegah akibat lainnya, seperti memakai baju yang dapat menutupi seluruh tubuh, tidur dengan menggunakan kelambu, menggunakan zat untuk mengusir serangga (Entjang, 2003).

2.3 Pengelompokan Insektisida Menurut Cara Masuk dan Cara Kerja pada Serangga Sasaran.

Menurut cara masuknya ke dalam serangga, insektisida dibagi menjadi : 1. Racun Kontak (Contact Poisons)

Insektisida masuk ke dalam tubuh serangga melalui eksoskelet melalui tarsus pada saat serangga istirahat pada permukaan yang mengandung adanya residu untuk insektisida. Racun kontak digunakan untuk memberantas serangga yang bentuk mulutnya tusuk hisap.

2. Racun Perut (Stomach Poisons)

Insektisida akan masuk dalam tubuh serangga melalui mulut, Biasanya adapun serangga yang dimatikan dengan menggunakan insektisida ini bentuk mulutnya adalah untuk menggigit, lekat hisap, kerat hisap, dan bentuknya biasanya hisap.

3. Racun Pernapasan (Fumigants)

Insektisida akan masuk ke dalam tubuh melalui spiracle dan melalui permukaan tubuh serangga. Insektisida jenis ini digunakan untuk mematikan semua jenis serangga tanpa memperhatikan bentuk mulutnya. Penggunaan jenis insektisida ini harus sangat berhati-hati terutama apabila dipergunakan untuk mematikan serangga di ruangan yang tertutup (Sutanto, et al 2013).

2.4 Daun Pandan Wangi (Pandanus amaryllifolius) 2.4.1 Pengelompokan

Kingdom : Plantae

Subkingdom : Tracheobionta

Super Divisi : Spermatophyta

Sub Kelas : Arecidae

Ordo : Pandanales

Famili : Pandanaceae

Genus : Pandanus

Spesies : Pandanus amaryllifolius (Putra, 2016).

Gambar 2.7 Daun Pandan Wangi (Pandanus amaryllifolius). (Sumber: Hariana, 2005).

2.4.2 Ciri-ciri Daun Pandan Wangi

Daun pandan wangi merupakan tumbuhan jesin monokotil, termasuk dalam famili Pandanaceae. Tumbuhan ini dapat kita jumpai di pekarangan rumah atau bisa juga tumbuh liar selokan yang suhunya teduh. Akarnya tunjang yang dapat menopang tumbuhan. Daunnya panjang seperti daun palem yang tersusun rapat, panjangnya kira-kira 60 cm. Beberapa varietas mempunyai tepian daun yang berbentuk gerigi (Putra, 2016).

2.4.3 Kandungan Kimia Daun Pandan Wangi

Aroma wangi daun pandan berasal dari senyawa kimia 2-acetyl-1-pyrroline (ACPY) yang dapat juga ditemui pada tanaman jasmin, tetapi konsentrasi ACPY daun pandan wangi jauh lebih tinggi apabila dibandingkan dengan tanaman jasmin.

1. Saponin merupakan senyawa bioaktif yang bersifat toksik yang termasuk dalam racun kontak (Contact poisons) karena dapat masuk melalui dinding tubuh larva dan racun perut (stomach poisons) yang masuk melalui mulut larva karena larva biasanya mengambil makanan dari tempat hidupnya.

2. Tanin dapat mengganggu serangga dalam mencerna makanan (stomach poisons) karena tanin akan mengikat protein dalam sistem pencernaan yang diperlukan serangga untuk pertumbuhan, sehingga proses penyerapan protein menjadi terganggu.

3. Flavonoid masuk ke dalam tubuh melalui kutikula yang melapisi tubuh larva (Contact poisons) sehingga dapat merusak membran sel.

4. Alkaloid dapat menyebabkan gangguan sistem percernaan pada larva karena senyawa alkaloid bertindak sebagai racun perut (Stomach poisons) yang masuk melalui mulut larva (Kristinawati, 2012).

2.5 Macam-macam metode ekstrak

2.5.1 Cara dingin

1. Metode Maserasi

Kata Maserasi bahasa latin Macerace artinya melunakkan dan mengairi. Maserasi adalah metode ekstraksi yang sangat sederhana. Prinsip maserasi adalah melarutnya kandungan bahan simplisia sel yang telah rusak, yang terbentuk ketika proses penghalusan, dimana ekstraksi bahan kandungan dari sel utuh. Setelah proses maserasi selesai, artinya terjadi keseimbangan antara bahan ekstraksi yang ada di dalam sel yang masuk pada

Selama proses maserasi, dilakukan tahap pengocokan secara berulang. Tujuannya adalah agar terjadi keseimbangan konsentrasi bahan yang diekstraksi yang akan lebih cepat di dalam suatu cairan.(Depkes RI, 2000).

Tahapan pembuatan ekstrak dengan metode maserasi yaitu pada tahap awal dilakukan proses pengeringan. Pengeringan ini dilakukan tidak boleh di bawah sinar matahari langsung selama ± 5 hari. Jika pengeringan dilakukan di bawah sinar matahari akan menyebabkan kandungan kimia pada daun menjadi terurai. Tahap pengeringan ini bertujuan untuk mencegah kerja enzim dari tumbuhan tersebut. Pada tahap penghalusan dilakukan bisa menggunakan alat penghalus sampai bahan berbentuk seperti

serbuk/bubuk yang kemudian ditimbang berat keringnya

(Yulianingtyas, et al, 2016).

Tahap selanjutnya, dilakukan perendaman menggunakan pelarut etanol 96% selama 3 x 24 jam yang bersifat polar untuk maserasi yang dimaksudkan agar zat-zat kimia yang ada di dalam daun yang bersifat polar akan tertarik sempurna oleh pelarut yang bersifat polar berdasarkan prinsip “like dissolve like” (Khopkar, 2003). Hasil maserasi kemudian disaring dengan menggunakan kertas saring agar ampas sisa maserasi tidak dapat lolos melalui kertas saring dan tidak bercampur dengan ekstrak.

Jumlah ekstrak yang didapatkan kemudian diuapkan di atas penangas dengan suhu sistem yaitu 780C, jika suhu melebihi 780C maka zat kimia yang ditarik oleh pelarut tersebut akan rusak akibat pemanasan. Proses penguapan ini bertujuan agar pelarut yang

2. Metode Perkolasi

Metode Perkolasi merupakan metode ekstraksi menggunakan

pelarut yang sempurna (Exhaustiva extraction) yang pada

umumnya dikerjakan dalam temperatur ruangan. Prinsip dari metode perkolasi adalah menempatkan simpilisia yang berbentuk serbuk pada bejana silinder, dimana bagian bawahnya diberi sekat yang berpori (Depkes RI, 2000).

2.5.2 Cara panas (Depkes RI, 2000). 1. Metode Refluks

Metode Refluks merupakan metode ekstraksi menggunakan pelarut pada temperature titik didih, dimana dalam alokasi waktu tertentu dan jumlah pelarut terbatas relatif konstan dengan pendingin balik. Pada metode ini dilakukan pengulangan pada proses residu pertama sebanyak kira-kira 3 sampai dengan 5 kali. 2. Metode Sokletasi

Metode Sokletasi merupakan metode ekstraksi dengan pelarut yang baru yang dilakukan menggunakan alat khusus sehingga kan terjadi proses ekstraksi secara kontinyu dengan jumlah pelarut yang relatif konstan dengan adanya suatu pendingin balik.

3. Metode Digesti

Metode Digesti merupakan metode maserasi jenis kinetik (pengadukan secara kontinyu) dalam temperatur ruangan yang dilakukan pada suhu 40-500C.

4. Metode Infus

Metode Infus merupakan metode ekstraksi menggunakan pelarut air dalam temperatur penangas air, temperatur 96-980C

5. Metode Dekok

Metode Dekok merupakan metode infus namun memerlukan waktu yang cukup lama (suhu >300C) dan temperatur didih air.

2.6 Penelitian relevan

2.6.1 Suparni, 2014, Uji Efektivitas Ekstrak Daun Pandan Wangi (Pandanus amazryllifolius) sebagai Larvasida terhadap Larva Aedes aegypti, Metode Deskriptif Eksperimental, Berdasarkan hasil penelitian di dapat pada konsentrasi 5% terdapat 14,66% larva yang mati, pada konsentrasi 6,5% terdapat 81,33% larva yang mati, pada konsentrasi 8% terdapat 98,66% larva yang mati, pada konsentrasi 9,5% sampai 18,5% terdapat 100% larva yang mati.

2.6.2 Rosabella Purnamasari Maretta, Made Sudarmaja I, Kadek Swastika I, Petensi Ekstrak Etanol Daun Pandan Wangi sebagai Larvasida Alami

bagi Aedes aegypti, Metode Eksperimental murni, Berdasarkan

penelitian yang dilakukan dapat diambil kesimpulan bahwa ekstrak etanol daun pandan wangi (Pandanus amaryllifolius) konsentrasi 0,125%, 0,25%, 0,5%, 1%, 2%, dan 4% efektif sebagai larvasida alami bagi Aedes aegypti, dengan nilai LC50 sebesar 2,113%, dan nilai LC90

BAB 3

KERANGKA KONSEPTUAL

3.1 Kerangka Konsep

Kerangka konsep penelitian merupakan uraian dan hubungan antara konsep satu dengan suatu konsep yang lain, atau hubungan antara satu variabel dengan variabel lain (Notoatmodjo 2010, h.83).

Gambar 3.1 Kerangka konsep Efektivitas Ekstrak Daun Pandan Wangi (Pandanus amaryllifolius) Sebagai Larvasida terhahap Larva Culex sp. Keterangan :

= Variabel diteliti = Variabel tidak diteliti Ekstrak daun pandan wangi

(Pandanus amaryllifolius) Konsentrasi : 0% (kontrol), 1%, 2%, 3%, dan 4%. Alkaloid (Stomach poisons) Flavonoid (Contact poisons)

Kematian larva Culex sp.

Prosentase Kematian larva Culex sp. Saponin (Contact poisons) Tanin (Stomach poisons)

3.2 Penjelasan Kerangka Konsep

Berdasarkan pada kerangka konsep tersebut, dapat diketahui bahwa ekstrak daun pandan wangi dibuat dalam beberapa konsentrasi yaitu 0% (kontrol), 1%, 2%, 3%, dan 4%, dimana ekstrak daun pandan wangi tersebut mengandung 4 senyawa yang berperan penting yaitu alkaloid yang berperan sebagai Stomach poisons atau racun perut, senyawa saponin yang berperan sebagai Contact poisons atau racun kontak, senyawa tanin yang berperan sebagai Stomach poisons atau racun perut dan senyawa flavonoid yang berperan sebagai Contact poisons atau racun kontak, sehingga dapat mengakibatkan matinya larva Culex sp. dan kemudian dihitung prosentase kematian larva.

3.3 Hipotesis penelitian

Hipotesis peelitian adalah jawaban yang bersifat sementara dari pertanyaan penelitian (Nursalam, 2008).Hipotesis pada penelitian ini adalah: H1 = Ada pengaruh secara efektif pemberian Ekstrak Daun Pandan Wangi (Pandanus amaryllifolius) sebagai Larvasida terhadap Larva Culex sp.

BAB 4

METODE PENELITIAN

Metode penelitian merupakan suatu cara dalam memperoleh kebenaran ilmu pengetahuan serta pemecahan dalam suatu masalah (Notoatmodjo, 2010).

4.1 Waktu dan Tempat Penelitian

4.1.1 Waktu Penelitian

Waktu penelitian mulai penyusunan proposal - penyusunan laporan akhir yaitu dimulai bulan Maret - bulan Juli 2018.

4.1.2 Tempat Penelitian

Penelitian ini bertempat di Laboratorium Parasitologi Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Insan Cendekia Medika Jombang.

4.2 Desain Penelitian

Desain penelitian berfungsi sebagai petunjuk untuk merencanakan dan melaksanakan suatu penelitian dalam mencapai tujuan dan akan menjawab pertanyaan pada suatu penelitian (Nursalam, 2011). Adapun desain yang digunakan pada penelitian ini adalah analitik kuantitatif dengan one group post test design.

4.3 Kerangka Kerja (Frame Work)

Kerangka kerja adalah suatu langkah yang akan dilakukan dalam penelitian. Kerangka kerja ini berbentuk seperti alur penelitian, mulai dari desainnya sampai analisis datanya (Hidayat, 2012). Kerangka kerja penelitian tentang Efektivitas Ekstrak Daun Pandan Wangi (Pandanus amaryllifolius) sebagai Larvasida terhadap Larva Culex sp. adalah sebagai berikut :

Gambar 4.1 Kerangka kerja penelitian tentang Efektivitas Ekstrak Daun Pandan Wangi (Pandanus amaryllifolius) sebagai Larvasida terhadap Larva Culex sp.

Penentuan Masalah

Penyusunan Proposal

Teknik Sampling

Non Probability Sampling dengan metode Consecutive Sampling

Sampel

Larva Culex sp.

Desain Penelitian

Analitik kuantitatif dengan one group post test design.

Populasi

Larva Culex sp.

Pengumpulan Data

Pengolahan Data

Coding, Editing, Scoring dan Tabulating

Analisa Data

Kruskal-Wallis SPSS 21 for windows dan Post HocMann Withney

Penyusunan Laporan Akhir

Kesimpulan dan Saran

4.4 Populasi, Sampel dan Teknik Sampling

4.4.1 Populasi

Populasi merupaka seluruh objek penelitian (Notoatmodjo 2010, h.115). Pada penelitian ini populasinya adalah semua Larva Nyamuk Culex sp. yang ada sawah di Desa Kebalan, Kecamatan Sekaran, Kabupaten Lamongan.

4.4.2 Sampel

Sampel merupakan objek yang akan diteliti dan dapat mewakili seluruh populasi yang ada (Notoatmodjo 2010, h.115). Penelitian ini

menggunakan sebagian sampel Larva Nyamuk Culex sp. yang ada di

sawah di Desa Kebalan, Kecamatan Sekaran, Kabupaten Lamongan yang berjumlah 200 ekor larva.

4.4.3 Teknik Sampling

Teknik Sampling merupakan proses penyeleksi dari populasi yang akan mewakili suatu populasi yang ada (Nursalam, 2008). Teknik sampling dalam penelitian ini menggunakan Consecutive sampling. Consecutive sampling adalah jenis non probability sampling yaitu teknik pemilihan sampel dengan cara menetapkan subjek yang hanya memenuhi kriteria suatu penelitian yang akan dimasukkan dalam suatu penelitian hingga kurun waktu tertentu sampai jumlah responden terpenuhi(Nursalam, 2003).

4.5 Definisi Operasional Variabel 4.5.1 Variabel

Variabel merupakan suatu ciri, sifat, atau ukuran yang dimiliki oleh satuan penelitian tentang konsep pengertian tertentu (Notoatmodjo 2010, h.103). Variabel penelitian ini yaitu :

1. Variabel Independen

Variabel independen merupakan variabel yang menjadi sebab perubahan timbulnya variabel dependen (Hidayat, 2012). Variabel independen dalam penelitian ini adalah Efektivitas Ekstrak Daun Pandan Wangi (Pandanus amaryllifolius).

2. Variabel Dependen

Variabel dependen merupakan variabel yang dipengaruhi dimana menjadi akibat karena variabel independen (Hidayat, 2011). Variabel dependen dalam penelitian yang telah dilakukan ini yaitu jumlah kematian larva Culex sp.

4.5.2 Definisi Operasional Variabel

Definisi operasional variabel merupakan uraian batasan variabel tentang apa yang diukur oleh suatu variabel yang bersangkutan (Notoatmodjo 2010, h.112). Definisi oprasional variabel dalam penelitian yang telah dilakukan ini adalah :

Tabel 4.1 Definisi Operasional Efektivitas Ekstrak Daun Pandan Wangi (Pandanus amaryllifolius) sebagai Larvasida terhadap Larva Culex sp.

No Variabel Definisi

Operasional

Parameter Alat Ukur Skala

1. 2. Variabel Independen : Ekstrak daun pandan wangi (Pandanus amaryllifolius) Variabel Dependen: Jumlah Kematian larva Culex sp. Konsentrasi daun pandan wangi (Pandanus amaryllifolius) dengan tingkat kepekatan yang dinyatakan dalam %. Banyaknya larva yang mati setelah diberi perlakuan. Konsentrasi daun pandan wangi (Pandanus amaryllifolius): 1%,2%,3%, dan 4%. Prosentase jumlah larva Culex sp. yang mati Observasi laboratorium Observasi laboratorium Ordinal Nominal

4.6 Instrumen Penelitian dan Cara Penelitian

4.6.1 Instrumen Penelitian

Instrumen penelitian merupakan alat-alat yang digunakan untuk pengumpulan data. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah :

1. Alat yang digunakan : a. Gunting dan pisau b. Blender c. Aluminium foil d. Kertas saring e. Mikroskop f. Gelas ukur g. Batang pengaduk h. Labu ukur i. Timbangan j. Beaker glass k. Tabung reaksi l. Hotplate m. Corong kaca

n. Pipet ukur 1 ml dan 5 ml 2. Bahan yang digunakan :

a. 100 ml Aquadest

b. 500 g daun pandan wangi (Pandanus amaryllifolius) c. 200 ekor Larva Culex sp.

4.6.2 Cara Penelitian

1. Penangkapan larva Culex sp.

a. Peneliti melakukan penangkapan larva dengan cara melakukan pencidukan pada tempat perindukan larva Culex sp. yaitu di sawah yang berjumlah 200 ekor larva.

b. Memisahkan antara larva Culex sp. dengan spesies larva yang lain dengan dimasukkan ke dalam botol yang berbeda.

c. Melakukan pengamatan pada mikroskop perbesaran 10x lensa objektif.

2. Pembuatan Ekstrak Daun Pandan Wangi (Metode Maserasi)

a. Mengambil daun pandan wangi secara acak sebanyak 500 g dan membersihkan terlebih dahulu dengan menggunakan air bersih lalu ditiriskan sampai kering.

b. Memotong daun pandan wangi kecil-kecil, lalu mengeringkan selama 7 hari. Proses pengeringan tidak boleh di bawah sinar matahari langsung.

c. Selanjutnya, diblender dan ditimbang berat kering sebanyak 100 g bubuk daun pandan wangi.

d. Melakukan maserasi pada bubuk daun pandan wangi dengan cara merendam menggunakan pelarut etanol 96% yaitu sebanyak 100 gr bubuk daun pandan wangi dengan 1000 ml etanol 96%, dan kemudian diaduk dengan batang pengaduk dan ditutup dengan aluminium foil.

e. Mendiamkan selama 3 x 24 jam.

f. Menyaring hasil rendaman menggunakan kertas saring dan corong gelas, lalu memasukkan ke beaker glass.

g. Menguapkan di atas hotplate sampai agak mengental pada suhu 750C.

h. Dari hasil maserasi tersebut didapatkan sebanyak 5 ml ekstrak daun pandan wangi, dimana dalam 1 kali pengulangan membutuhkan 0,5 ml ekstrak daun pandan wangi. Dalam penelitian ini dilakukan 4 kali pengulangan sehingga peneliti membutuhkan 2 ml ekstrak daun pandan wangi.

3. Pembuatan Ekstrak Daun Pandan Wangi dengan 5 konsentrasi yaitu 0% (kontrol negatif), 1%, 2%, 3%, dan 4%.

a. Membuat ekstrak daun pandan wangi dengan 5 konsentrasi yaitu 0% (kontrol negatif), 1%, 2%, 3%, dan 4% dengan cara

mengencerkan dengan aquadest.

Rumus Pengenceran : Keterangan : V1 : Volume awal N1 : Konsentrasi awal V2 : Volume kedua N2 : Konsentrasi kedua

b. Membuat 5 ml konsentrasi 0% (kontrol negatif) dengan cara mengencerkan 0 ml ekstrak daun pandan wangi dengan 5 ml aquadest.

c. Membuat 5 ml konsentrasi ekstrak daun pandan wangi 1% dengan cara mengencerkan 0,05 ml ekstrak daun pandan wangi dengan 4,95 ml aquadest.

d. Membuat 5 ml konsentrasi ekstrak daun pandan wangi 2% dengan cara mengencerkan 0,10 ml ekstrak daun pandan wangi dengan 4,90 ml aquadest.

e. Membuat 5 ml konsentrasi ekstrak daun pandan wangi 3% dengan cara mengencerkan 0,15 ml ekstrak daun pandan wangi dengan 4,85 ml aquadest.

f. Membuat 5 ml konsentrasi ekstrak daun pandan wangi 4% dengan cara mengencerkan 0,20 ml ekstrak daun pandan wangi dengan 4,80 ml aquadest.

4. Prosedur Pemeriksaan

a. Menyiapkan tabung reaksi sebanyak 5 tabung dalam 1 kali pengulangan. Jadi peneliti membutuhkan 20 tabung reaksi untuk 4 kali pengulangan.

b. Mengisi setiap tabung reaksi dengan ekstrak daun pandan wangi masing-masing 0% (kontrol negatif), 1%, 2%, 3%, dan 4%. c. Memasukkan larva Culex sp. sebanyak 10 ekor masing-masing

ke dalam tabung reaksi.

d. Hitung kematian larva dalam 24 jam.

5. Penentuan Jumlah Pengulangan

Melakukan pengulangan pada masing-masing kelompok perlakuan dan kontrol negatif sebanyak 4 kali pengulangan. Perhitungan jumlah ulangan pada kelompok perlakuan dihitung dengan menggunakan rumus estimasi pengulangan (Loekito, 1998).

% Kematian larva uji = Jumlah larva yang mati x 100% Jumlah larva uji

Keterangan :

n = Jumlah pengulangan

Dokumen terkait