• Tidak ada hasil yang ditemukan

Manfaat dalam penulisan ini adalah hasil penulisan ini diharapkan dapat digunakan sebagai kontribusi bagi pengembangan dan perkembangan ilmu pengetahuan di bidang hukum, khususnya Hukum Pidana Korupsi. Manfaat lain yang diharapkan yakni dari hasil penulisan ini diharapkan dapat dijadikan acuan yang berharga bagi pihak-pihak yang terlibat dalam pemeriksaaan tindak pidana korupsi khususnya dalam pengembalian keuangan negara melalui pembayaran uang pengganti.

22

E. Kerangka Pemikiran

1. Kebijakan Hukum Pidana Dalam Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi

Istilah “kebijakan” dalam tulisan ini diambil dari istilah “policy” (Inggris) atau “politiek” (Belanda).25

Bertolak dari kedua istilah asing ini, maka istilah

“kebijakan hukum pidana” dapat pula disebut dengan

istilah “politik hukum pidana”. Pengertian kebijakan

atau politik hukum pidana dapat dilihat dari politik hukum maupun dari politik kriminal. Menurut Prof.Sudarto, Politik Hukum adalah.26

a.Usaha untuk mewujudkan peraturan-peraturan yang baik sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu saat.27

b.Kebijakan dari negara melalui badan-badan yang berwenang untuk menetapkan peraturan-peraturan yang dikehendaki yang diperkirakan

25

Barda Nawawi.Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana: Perkembangan Penyusunan Konsep KUHP Baru. Jakarta:Kencana Prenadamedia Group.Hlm.26.

26Barda Nawawi. Ibid. Hlm. 26.

27

23

bisa digunakan untuk mengekspresikan apa yang terkandung dalam masyarakat dan untuk mencapai apa yang dicita-citakan.28

Sedangkan tindak pidana korupsi merupakan suatu fenomena kejahatan yang menggerogoti dan mengganggu pelaksanaan pembangunan, sehingga penanggulangan dan pemberantasannya harus di prioritaskan. Akibat yang ditimbulkan dari tindak pidana korupsi sangat luas dan berpengaruh buruk terhadap semua bidang, khususnya bidang perekonomian.

Pengertian korupsi dalam Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi terdapat pada Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999. Pengertian lain, korupsi dapat diartikan

sebagai “prilaku tidak mematuhi prinsip”, dilakukan oleh

perorangan di sektor swasta atau pejabat publik. Putusan dibuat berdasarkan hubungan pribadi atau keluarga,

28

24

korupsi akan timbul, termasuk juga konflik kepentingan dan nepotisme.29

Tindak pidana korupsi adalah tindak pidana yang berupa perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Yang dimaksud dengan keuangan negara adalah keseluruhan kekayaan negara dalam bentuk apa pun, baik yang dipisahkan atau yang tidak dipisahkan, termasuk segala bagian kekayaan negara dan segala hak dan kewajiban yang timbul karena berada dalam penguasaan, dan pertanggungjawaban pejabat lembaga negara, baik tingkat pusat maupun daerah atau BUMN/BUMD, yayasan, badan hukum dan perusahaan yang menyertakan modal pihak ketiga berdasarkan perjanjian dengan negara.

Sedangkan yang dimaksud dengan perekonomian negara adalah kehidupan perekonomian yang disusun sebagai usaha masyarakat secara mandiri yang

29 Marwan Effendy. Korupsi & Strategi Nasional Pencegahan Serta Pemberantasannya. Jakarta Selatan: Referensi.hlm.19

25

didasarkan pada kebijakan pemerintah baik di tingkat pusat maupun daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan bertujuan untuk memberikan manfaat, kemakmuran, dan kesejahteraan kepada kehidupan rakyat.

Dengan demikian, perekonomian negara yang disusun sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan atau masyarakat yang didasarkan pada kebijakan pemerintah untuk kemakmuran rakyat.30

Menurut Barda Nawawi bahwa Stategi dalam Pemberantasan Korupsi, bukan pada pemberantasan

korupsi itu sendiri melainkan pemberantasan “kausa dan kondisi yang menimbulkan terjadinya korupsi”,31

pemberantasan korupsi lewat penegakan hukum pidana hanya merupakan pemberantasan simptomatik,

sedangkan pemberantasan kausa dan kondisi yang

30

Adami Chazawi. Hukum Pidana Materiil dan Formil Korupsi di Indonesia. Malang: Bayu Media Publishing.2005 hal 354.

31 Marwan Effendy. Korupsi & Strategi Nasional Pencegahan Serta Pemberantasannya. Jakarta Selatan: Referensi.hlm.150-151.

26

menimbulkan terjadinya korupsi merupakan pemberantasan Kausatif.32

2. Pengaturan Pidana Tambahan Dalam Pembayaran

Uang Pengganti

Pidana tambahan selain diatur dalam KUHP juga diatur dalam Pasal 18 ayat (1) Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi yaitu sebagai berikut:

1. perampasan barang bergerak yang berwujud atau yang tidak berwujud atau barang tidak bergerak yang digunakan untuk atau yang diperoleh dari tindak pidana korupsi, termasuk perusahaan milik terpidana dimana tindak pidana korupsi dilakukan, begitu pula harga dari barang yang menggantikan barang-barang tersebut;

2. pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya sama dengan harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi;

3. penutupan seluruh atau sebagian perusahaan untuk waktu paling lama 1 tahun;

4. pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tertentu atau penghapusan seluruh atau sebagian keuntungan tertentu, yang telah atau dapat diberikan oleh Pemerintah kepada terpidana.

32

27

Sedangkan Pembayaran Uang Pengganti di atur dalam Pasal 18 ayat (1) huruf b menentukan bahwa pidana tambahan dapat berupa pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya sama dengan harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi.

Terhadap ketentuan tentang pidana tambahan yang berupa uang pengganti sebagaiman ditentukan dalam Pasal 18 ayat (1) huruf b tersebut, maka perlu adanya alat-alat bukti antara lain keterangan ahli (sebagaimana diatur dalam Pasal 184 ayat (1) huruf b KUHAP) yang dapat menentukan dan membuktikan berapa sebenarnya jumlah harta benda yang diperoleh terpidana dari tindak pidana korupsi yang dilakukannya. Hal ini perlu dilakukan karena penentuan pidana tambahan yang berupa pembayaran uang pengganti hanya terbatas sampai sebanyak-banyaknya sama dengan

28

harta yang diperoleh terpidana dari hasil tindak pidana korupsi.33

Namun dalam hal ini Jaksa penuntut umum juga dapat menghitung sendiri berapa besar jumlah harta benda yang diperoleh terpidana dari tindak pidana korupsi yang dilakukan.

Berdasarkan Pasal 18 ayat (2) yaitu “jika

terpidana tidak membayar uang pengganti sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b paling lama dalam 1 (satu) bulan sesudah putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, maka harta bendanya dapat disita oleh jaksa dan di lelang untuk menutupi uang pengganti tersebut.

Dalam Pasal 18 ayat (3) yaitu dijelaskan bahwa apabila terpidana tidak mempunyai harta yang mencukupi untuk membayar uang pengganti , maka dipidana dengan pidana penjara yang lamanya tidak melebihi ancaman maksimum dari pidana pokok sesuai

33 P.A.F. Lamintang. Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia. Bandung:Sinar Baru.Hlm.129.

29

dengan ketentuan dalam Undang-undang ini dan lamanya pidana tersebut sudah ditentukan dalam putusan pengadilan.

Pengembalian keuangan negara yang bersifat pemiskinan melalui pembayaran uang pengganti hasil tindak pidana korupsi, sebagai bagian dari upaya pemulihan kesejahteraan sosial, merupakan ruang lingkup kebijakan hukum pidana dalam pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi.

Menurut tokoh ulitarian, Jeremy bentham pemidanaan harus bersifat spesifik untuk tiap kejahatan, dan besarnya pidana tidak boleh melebihi jumlah yang diperlukan untuk mencegah dilukannya penyerangan-penyerangan tertentu. Pemidanaan hanya dibenarkan jika dapat mencegah terjadinya tindak pidana yang lebih besar. Berdasarkan teori keadilan sosial, pengembalian keuangan negara pada hakekatnya adalah kewajiban moral yang merupakan salah satu kebijakan untuk bertindak dalam rangka mencapai kepentingan umum .

30

Tujuan adanya pidana uang pengganti yang bersifat pemiskinan adalah untuk memidana dengan seberat mungkin para koruptor agar mereka jera dan untuk menakuti orang lain agar tidak melakukan korupsi. Tujuan lain pidana uang pengganti adalah untuk mengembalikan uang negara yang hilang akibat suatu perbuatan korupsi.34 oleh karena itu perlu pengaturan yang lebih jelas tentang pidana uang pengganti yang bersifat pemiskinan para koruptor.

3. Eksekusi Pembayaran Uang Pengganti

Tata cara pelaksanaan putusan pengadilan secara umum diatur dalam Bab XIX KUHAP, Eksekusi hanya bisa dilakukan dalam hal putusan telah berkekuatan hukum tetap.35 Eksekusi dilakukan oleh jaksa sebagaimana diatur pasal 1 butir 6 jo pasal 270 KUHAP

juncto pasal 30 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia.

34

Efi Laila Kholis. Pembayaran Uang Pengganti Ddalam Perkara Korupsi. Jakarta: Solusi Publishing.Hlm.17.

35

31

Pidana pembayaran uang pengganti tidak diatur di dalam KUHAP, pidana ini merupakan salah satu kekhususan dalam Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Dalam hal hakim menjatuhkan pidana tambahan berupa pembayaran uang pengganti. Berdasarkan Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 juncto Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, maka terpidana diberi tenggang waktu satu bulan setelah putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap untuk melunasinya. Jika dalam waktu yang ditentukan tersebut telah habis dan terpidana belum atau tidak melunasi, maka jaksa sebagai eksekutor Negara dapat menyita dan melelang harta benda terdakwa (Pasal 18 ayat (2) UUPTPK).

Dalam eksekusi pembayaran uang pengganti ini Jaksa selaku eksekutor tidak dapat memperpanjang batas waktu terpidana untuk membayar uang penggantinya seperti pidana denda yang diatur pada pasal 273 (2)

32

KUHAP.36 Pidana pembayaran uang pengganti dan pidana denda memiliki sifat yang berbeda hal ini dapat dilihat bahwa pidana uang pengganti merupakan pidana tambahan sedangkan pidana denda merupakan pidana pokok.

Menurut Wiryono dikutip oleh Efi Laila Kholis dalam bukunya yang berjudul pembayaran uang pengganti dalam perkara korupsi yaitu walaupun jaksa tidak memperpanjang tenggang waktu pembayaran tetapi mengingat bunyi pasal 18 ayat (2) Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi maka jaksa masih dapat menentukan tahap-tahap pembayaran uang pengganti, tetapi tetap tidak melebihi tenggang waktu satu bulan tersebut.37

Penyitaan dan pelelangan bersifat fakultatif, yaitu baru dilakukan dalam hal terpidana belum atau tidak membayar uang pengganti sejumlah yang ditentukan dalam putusan dalam waktu yang telah ditentukan seperti

36 Efi Laila Kholis.Ibid.22.

37

33

diatas.38 Dalam Hal ini penyitaan terhadap harta benda milik terpidana tidak perlu mendapat izin dari Ketua Pengadilan Negeri setempat karena penyitaan ini bukan dalam rangka penyidikan tetapi dalam rangka pelaksanaan putusan pengadilan.

Dalam pasal 18 ayat (3) Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ditentukan dalam hal terpidana tidak mempunyai harta benda yang mencukupi untuk membayar uang pengganti dalam tenggang waktu yang ditentukan ayat (2) maka terpidana dipidana penjara yang lamanya tidak melebihi ancaman maksimum pidana pokoknya dan pidana tersebut sudah dicantumkan dalam putusan. Pidana subsider penjara dalam pasal tersebut terlihat terdapat tiga syarat.39

1. Pidana subsidier baru berlaku dalam hal terpidana tidak mempunyai harta benda yang mencukupi untuk membayar uang pengganti. Terpidana dalam waktu 1 bulan setelah putusan memperoleh kekuatan hukum tetap ternyata tidak mempunyai lagi uang tunai untuk membayar uang pengganti, juga hasil

38 Efi Laila Kholis. Ibid.23.

39

34

lelang dan harta bendanya tidak mencukupi untuk membayar uang pengganti.

2. Lamanya pidana penjara pengganti tidak melebihi ancaman pidana maksimum dari pasal UU PTPK yang dilanggar terdakwa. 3. Lamanya pidana penjara pengganti telah

ditentukan dalam putusan pengadilan. Dengan adanya ketentuan tersebut maka juga menjadi kewajiban hakim dalam putusan untuk mencantumkan pidana pengganti ini menghindari apabila uang pengganti tidak dapat dibayar seluruh atau sebagian.

F. Sistematik Penulisan

Sistematika penulisan tesis ini terbagi ke dalam V (lima) BAB, adapun urutan tata letak masing-masing adalah sebagai berikut:

BAB I. Pendahuluan, bahwa pada bab ini akan diuraikan tentang latar belakang masala, perumusan masalah, tujuan penulisan, dan manfaat penulisan.

BAB II. Tinjauan Pustaka, dalam bab ini berisi landasan teori yang akan digunakan sebagai acuan untuk menganalisis permasalahan terkait dengan Kebijakan Hukum Pidana Dalam Pengembalian Kerugian Keuangan Negara

35

Berupa Pembayaran Uang Pengganti Oleh Terpidana Korupsi.

BAB III Medote Penelitian, dalam bab ini akan diuraikan metode yang akan digunakan dalam penulisan tesis. Metode yang digunakan dalam penulisan ini menggunakan tipe yuridis normatif dengan pendekatan Undang-undang (stratute appoach, pendekatan kasus, pendekatan teori dan conseptual approac. Spesifikasi penulisan deskriptif analitis, Tehnik pengumpulan data dalam penelitian tesis ini disusun dengan menggunakan studi kepustakaan.

BAB IV Hasil Penelitian dan Pembahasan, yang akan menguraikan hasil penelitian yang relevan dengan permasalahan dan analisis yaitu menjelaskan kebijakan hukum pidana pengembalian kerugian keuangan negara berupa pembayaran uang pengganti yaitu Pasal 18 ayat (1) huruf a, b dan c, ayat (2) dan ayat (3) dan Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 diubah menjadi Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak

36

Pidana Korupsi dengan Surat Jaksa Agung Nomor 20/A/J.A/04/2009 dan Surat Jaksa Agung Nomor B-28/A/Ft.1/05/2009 tanggal 11 Mei 2009.

BAB V Penutup, merupakan penutup yang berisi kesimpulan dan saran dari hasil penulisan.

Dokumen terkait