• Tidak ada hasil yang ditemukan

Maqâshid Syarî’ah Dalam Hybrid Contract Pada Perbankan Syariah

Skema 3 (pembelian barang dilakukan oleh nasabah atau lazim

B. Maqâshid Syarî’ah Dalam Hybrid Contract Pada Perbankan Syariah

Makna satu akad dalam dua transaksi dalam hadits tersebut masih menjadi perdebatan para ulama fiqh.52 Terlepas pro dan kontra tentang pemaknaan hadits tersebut, menurut hemat penulis dengan mengacu pada pendapat ulama Hanabilah, Malikiyah, dan Syafi‟iyyah ketika membicarakan perpaduan akad jual beli dengan sewa atau akad sewa yang diakhiri dengan kepemilikan barang di tangan penyewa. Mereka sepakat bahwa akad sewa bisa digabungkan dengan akad jual beli dalam satu transaksi, karena tidak ada hal yang menafikan substansi kedua akad sepanjang kesepakatan atau syarat tersebut tidak bertentangan nash

52 Pendapat Imâm Turmudzi mengatakan sebagian ahli ilmu menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan dua transaksi dalam satu akad adalah seorang penjual mengatakan saya menjual baju ini seharaga sepuluh ribu secara kontan dan dua puluhribu secara kredit. (lihat Al-Amien Ahmad, Jual beli Kredit, (Jakarta: Gema Insani, 1998), h. 30). Imâm Syafî‟i mengatakan yang dimaksud dengan dua transaksi dalam satu akad adalah jika seorang penjual mengatakan saya menjual rumahku kepadamu dengan harga sekian dengan syarat kamu harus menjual anakmu dengan harga sekian.

syara‟ atau merusak kaidah syar‟iyyah atau syarat-syarat tersebut menghilangkan subtansi akad.53

Kebolehan transaksi dalam produk perbankan syariah yang didalamnya terdapat gabungan beberapa akad, di samping mengacu pada pendapat ulama Hanabilah, Malikiyah dan Syafi‟iyyah di atas, juga didasarkan pada kaidah fiqh (hukum Islam): “Tidak dapat diingkari adanya perubahan hukum lantaran

berubahnya masa”.54

Hukum yang ada masa lalu didasarkan pada maslahah

ketika itu, namun masa kini, maslahah telah berubah, maka hukumpun ikut berubah. Kaidah ini hanya berlaku di bidang muamalat dan bukan pada bidang ibadah.55

Maksud kaidah hukum Islam tersebut, jika dikaitkan dengan ketentuan hukum larangan hadits riwayat Turmudzi tentang dua transaksi dalam satu akad, maka pemahaman hadits dimaksud menghendaki pemahaman yang kontekstual, artinya ketentuan hukum larangan dua transaksi dalam satu akad dalam hadits Turmudzi didasarkan pada kondisi maslahah pada waktu itu, namun kondisi

maslahah saat ini telah berubah, maka hukumpun ikut menyesuaikan maslahah

tersebut.

Dari pandangan ulama-ulama di atas, dapat diketahui bahwa multi akad pada dasarnya dibolehkan karena penggabungan akad pada masa sekarang merupakan sebuah kensicayaan. Akan tetapi, yang harus diperhatikan bahwa penggabungan akad tersebut tidak menimbulkan riba.

53 Wahbah az-Zuhaili, al-Muâmalah al-Mâliyah al-Mu‟âshirah, (Damaskus: Dâr al-Fîkr, 2002), h. 410-412.

54 Asmuni A. Rahman, Qâ‟idah Qâ‟idah Fîqih, (Jakarta: Bulan Bintang, 1976), h. 107-108.

55

Ibnu Taimiyah ketika menerangkan hadis larangan menggabungkan akad bai dan salaf:

َناَو ا َمَّهئ َاُّرَبَّخلا ًَ ِلَذ َّنَ ِلِ ؛ ٍاُّرَبَجَو ٍتَضَواَ ُم َنْحَب َعَمْجًُ َلا ْنَأ ِثًِدَحْلا َنْ َم ُااَم ِجَف

ُهَّهأ ى َلَع ا َل َفَّجا ا َذِاَ َف ِضَىِ ْلا ًِْم امًءْصُج ُرح ِصََُف ؛ امًلَلْطُم امًعُّرَبَج َلا ِتَضَواَ ُْالإا ِلْجَِلِ

ِنْحَىًِاَجَخُم ًٍَِْسْمَأ َنْحَب اَ َمَج ٍضَىِ ِة َعَِْل

Artinya: “Kesimpulan dari hadits ini menegaskan bahwa: Tidak dibenarkan menggabungkan antara akad komersial dengan akad sosial. Yang demikian itu karena keduanya (orang yang berakad) menjalin akad sosial karena adanya akad komersial antara mereka.”

Dari kesimpulan yang ditetapkan oleh Ibnu Taimiyah, dapat diketahui bahwa yang menjadi Illat larangan Rasulullah SAW., menggabungkan dua akad, ialah adanya perbedaan asas akad tersebut yaitu asas komersial dan asas sosial. Hal ini disebabkan karena penggabungan itu menyebabkan motif sosialnya tidak murni lagi tapi menjadi mencari keuntungan, dan keuntungan itulah yang rentan menjadi riba‟, sehingga selama illat ini ada maka hukum hadits di atas bisa diterapkan bagi akad yang lain, semisal penggabungan akad Bai dan Ijarah dalam praktik IMBT, hal ini berdasarkan kaidah ushûl fiqih:

امدعو ادىجو تَّل ْلا َع َم زو ُدًَ مىحلا

Artinya: “Hukum itu berlaku berdasarkan ada tidak adanya illat”

Tidak semua maslahat itu dibenarkan oleh syara‟, akan tetapi ada juga maslahat yang bertentangan dengan syarak. Oleh karena itu, menurut hemat penulis dari ketiga maslahat tersebut yang sangat urgen untuk dijadikan pisau analisis dalam pengembangan kajian hukum Islam terkait dengan

56 Syaikh al-Islam Taqiyuddin Ahmad bin Taimiyah al-Harani, Majmû‟ al-Fatawa, (Beirut: Dâr al-Fîkr, 1987), h. 39.

masalah ekonomi dan bisnis syarî‟ah dewasa ini adalah pada bagian ketiga, yaitu maslahah yang tidak terdapat legalitas nash baik terhadap keberlakuan maupun ketidakberlakuannya (maslahah al-mursalah). Sehingga maslahah al-mursalah disini bisa dijadikan sebagai pisau analisis atau sumber hukum dengan selalu mengacu kepada pengembangan maqâshid syarî‟ah seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, yaitu maqâshid ad-dharûriyat, maqâshid al-hâjiyat, dan maqâshid

al-tahsiniyat, sehingga kemaslahatan benar-benar terwujud dalam kehidupan umat

manusia. Terkait dengan maqâshid syarî‟ah, Abd. Muqsith Ghazâli menawarkan sebuah gagasan bahwa maqâshid syarî‟ah merupakan sumber hukum pertama dalam Islam baru kemuadian diikuti secara beriringan Alquran dan al-Sunnah. Maqâshid syarî‟ah merupakan inti dari totalitas ajaran Islam yang menempati posisi lebih tinggi dari ketentuan-ketentuan spesifik Alquran. Maqâshid merupakan sumber inspirasi tatkala Alquran hendak menanam ketentuan-ketentuan legal-spesifik dilapangan. Maqâshid adalah sumber dari segala sumber dalam Islam, termasuk sumber dari Alquran itu sendiri. Selanjutnya menurut beliau, jika ada satu ketentuan baik di dalam Alquran maupun hadits yang bertentangan secara substantif terhadap maqâshid syarî‟ah, maka ketentuan tersebut masti direformasi. Ketentuan tersebut harus batal atau dibatalkan demi logika maqâshid syarî‟ah.57 Dengan demikian, menurut hemat penulis gagasan di atas perlu ditindaklanjuti dalam rangka mengembangkan hukum yang terkait dengan permasalahan-permasalahan ekonomi dan bisnis syarî‟ah dewasa ini. karena hukum tidaklah bersifat statis, ia selalu bergerak dan berubah mengikuti

57

A. Qadri Azizi, Abd. Muqsith Ghazâli, dkk, “Pemikiran Islam Kontemporer di

roda kehidupan. Jadi, maqâshid syarî‟ah dan maslahat sebagai sumber hukum Islam memang penting untuk dikembangkan.

Menurut Agustianto bahwa untuk mengembangkan ekonomi Islam, para ekonomi muslim cukup dengan berpegang kepada maslahah. Karena maslahat adalah sari pati dari syarî‟ah. Para ulama menyatakan bahwa “dimana ada

maslahah, maka disitu ada syarî‟ah Allah”. Artinya, segala sesuatu yang

mengandung kemaslahatan, maka disitulah syarî‟ah Allah.58 Dengan demikian, menurut hemat penulis dalam bidang muamalah (ekonomi dan bisnis syarî‟ah) konsep maqâshid syarî‟ah dan maslahat ini memiliki posisi sangat sentral dalam syari‟at islam sebagai pegangan dan pisau analisis dalam kajian ekonomi dan bisnis syarî‟ah saat ini.

Pada dasarnya, umat Islam masih dapat menerapkan kaidah-kaidah muamalat klasik namun tidak semuanya dapat diterapkan pada bentuk transaksi yang ada pada saat ini. Dengan alasan karena telah berubahnya sosio-ekonomi masyarakat. Sebagaimana kaidah yang telah diketahui:

حلصالأ دًدجلاب رخالأ و حلصلا مًدللاب تظفدالإا