• Tidak ada hasil yang ditemukan

Apa yang telah dipaparkan di atas adalah fenomena marjinalisasi yang terjadi dalam realitas sehari-hari, dimana tidak ada sesuatu yang mutlak dari proses marjinalisasi, karena hal tersebut sifatnya sangat kontekstual. Namun, hal tersebut berbeda dengan bagaimana proses marjinalisasi yang ada di dalam media. Dalam banyak kasus, media memang memiliki kecenderungan untuk menampilkan secara tidak seimbang dan bias mengabadikan stereotip beberapa kelompok masyarakat yang bisa dikategorikan kelompok minoritas dan marjinal (Surya, 2009:16). Untuk contohnya saja, kita mencoba kembali merujuk pada apa yang disampaikan Wibawa (2009:III) dimana dialek daerah diposisikan sebagai sesuatu hal yang marginal. Sebenarnya stereotipe yang dilakukan oleh media terhadap kelompok minoritas dan marginal itu merupakan salah satu complain yang sering dialamatkan oleh masyarakat kepada media. Kecenderungan media untuk menghakimi kelompok-kelompok tersebut ditengarai oleh banyak pengamat media, salah satunya Augie Fierras yang menyatakan bahwa liputan media kepada kelompok minoritas dan marginal sangat tidak berimbang, bias, tidak akurat, penuh stereotipikal, atau bahkan sama sekali diabaikan oleh media (Surya,2009:16). Persoalan utama dalam hal ini adalah sinema seringkali “memperkuat” atau malah “membangun”stereotip tertentu terhadap keberagaman etnisitas dalam konteks media.

Para pelaku media memberikan pengaruh yang sangat besar untuk membentuk seperti apakah marjinalisasi dalam sebuah media. Hal itu dipengaruhi dari pengetahuan dari si pelaku media itu sendiri. Misalnya saja, ketika media sering menempatkan orang Batak dengan karakter yang keras dan galak, bahkan diposisikan sebagai seorang preman atau mungkin pengacara, atau mungkin orang Jawa sebagai orang yang lembut dan tak jarang sinetron-sinetron memberikan peran pembantu pada orang Jawa yang lugu. Hal ini menunjukkan bagaimana “kuasa’ media dalam membentuk siapa-siapa yang dikategorikan ke dalam kelompok minoritas, yang dapat dengan ‘sekenanya’ ditampilkan. Dengan demikian etnisitas bukanlah konsep yang berangkat dari sebuah kebenaran tentang tubuh dan ciri karakteristiknya (Surya, 2009:17).

Etnisitas dalam konteks media didefinisikan sebagai sebuah konsep yang beropreasi dalam kekuatan sosial politik dan ekonomi. Dengan kuasa yang dimilikinya, media mampu mentransfer apa yang disebut dengan etnis Jawa, etnis Batak, serta etnis mana saja yang menjadi minoritas dalam masyarakat (Surya, 2009:17). Overconfidence yang dimiliki sang sutradara menyebabkan ia mempergunakan standard budaya yang dimilikinya untuk menghakimi aspek-aspek etnis budaya lain hanya berdasar pada hal-hal yang dapat dilihat dengan kasat mata (Surya, 2009:19). Pusat media yang berada di Jakarta membuat content dari sebuah media juga berfokus pada Jakarta. Inilah yang disebut dengan Jakartasentris, dimana tidak hanya menampilkan Jakarta sebagai setting yang bukan hanya berperan sebagai konteks cerita, namun sangat berperan dalam mendefinisikan bagaimana menampilkan sesuatu yang “bukan Jakarta” (Surya,

2009:17).

Sebenanrnya hal tersebut bukanlah salah pelaku media, karena memang itu sudah menjadi hak mereka, mau dibawa kemana kontent dalam sebuah media. Namun, yang menjadi masalah di sini adalah dampak yang terjadi karenanya. Realita tangan kedua yang ditampilkan media dianggap sama dan sebangun dengan realitas obyektif. Hal ini terjadi karena khalayak banyak menghabiskan waktu untuk mengonsumsi media sehungga khalayak media tak jarang memiliki perspektif yang sama dengan yang ditampilkan oleh media (Surya, 2009:17).

E.4.3. Semiotika

Film pada umumnya dibangun dengan banyak tanda. Tanda-tanda adalah basis dari seluruh komunikasi (Little John, 1996:64). Meskipun dalam penelitian ini, objek yang digunakan adalah komedi situasi bukan film, bukan berarti bahwa kita tidak dapat mengadopsi pernyataan tersebut. Oleh karena itu, kajian semiotika menjadi salah satu bagian yang penting dalam penelitian ini. Dalam kajian semiotika, terdapat beberapa ranah kajian yang salah salah satunya adalah semiotics of multimedia communication(Nöth,1990:5), yang di dalamnya terdapat film, iklan, komik, gambar, maupun foto. Dengan mengadopsi pernyataan di atas, komedi situasi bisa dipahami sebagai bahasa memberikan tanda-tanda tempat makna diproduksi, dan semiotika adalah pisau analisa untuk dapat menjawab persoalan dalam penelitian ini. Hal ini dikarenakan komedi situasi juga sama-sama merupakan suatu produk budaya, dimana sama-sama seperti film di dalamnya terdapat unsur visualisasi yang mengandung banyak tanda untuk diungkapkan maknanya.

Secara etimologi, semiotika berhubungan bahasa Yunani yang berarti “sign, signal” (tanda). Awalnya istilahsemio-(terjemahan bahasa latin dari bahasa Yunani semeio-), sema(t), dan seman- menjadi dasar dari asal mula munculnya banyak istilah yang berhubungan dengan hal ini. Istilah dalam ranah semiotika yang paling awal adalah semasiology (sejak 1825), sematology (sejak 1831), semantic (sejak 1897), sensifics dan significs (sejak 1903), semology (1930), semiology (sejak Saussure), semiotics (sejak Pierce), dan sematology (1934). Namun, beberapa istilah diatas sekarang telah dibatasi dalam ranah studi bahasa (linguistic semantology dan semasiology), istilah yang lainnya dibatasi oleh makna yang dikemukakan oleh pengarangnya (sematology, signific, dan semology), dan istilah lainnya tersebut telah dilupakan dan tidak pernah digunakan lagi (sensifics dan semeiotics). Sekarang hanya tinggal ada dua istilah yaitu semiotika dan semiologi. Kedua istilah ini terkadang diidentikkan dalam dua tradisi semiotika. Tradisi semiotika dari Saussure hingga Hjelmslev dan Barthes biasanya menggunakan istilah semiologi. Teori umum tentang tanda dalam tradisi Pierce dan Morris dikenal dengan semiotika. Namun, sekarang semiotika secara umum dikenal sebagai sinonim dari semiologi (Nöth:1990,13).

Semiotika sebagai suatu model dari ilmu pengetahuan sosial memahami dunia sebagai sistem yang memiliki unit dasar yang disebut dengan ’tanda’ (Sobur, 2006:87). Listiorini dalam Sobur (2006:87) menyebutkan bahawa Gottdiener menyatakan jik Umberto Eco menyebut tanda sebagai suatu ‘kebohongan’ dalam tanda ada sesuatu yang tersembunyi di baliknya dan bukan tanda itu sendiri. Semiotika merupakan studi tentang tanda dan cara tanda-tanda

itu bekerja (Fiske, 1990:60).

Menurut Fiske, ada tiga kajian utama dalam semiotika. Pertama, tanda itu sendiri. Hal ini berkaitan dengan variasi tanda yang berbeda, seperti cara mengantarkan makna serta cara menghubungkannya dengan orang yang menggunakannya. Tanda adalah buatan manusia dan hanya bisa dimengerti orang yang menggunakna tanda tersebut. Kedua, kode atau sistem, yang mana tanda itu diorganisasikan atau dibentuk. Studi ini melingkupi bagaimana beragam kode yang dibentuk untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dalam sebuah kebudayaan. Ketiga, kebudayaan tempat di mana kode dan tanda tersebut bekerja (Fiske, 1990:40).

Bicara mengenai tanda, Barthes dalam Sunardi (2002:54) menyebutkan bahwa terdapat tiga hubungan penandaan, yaitu hubungan simbolik, hubungan paradigmatik, dan hubungan sintagmantik. Hubungan simbolik adalah hubungan antar tanda dengan dirinya sendiri (hubungan internal), hubungan paradigmatik adalah hubungan tanda dengan tanda lain dari satu sistem atau satu kelas, dan hubungan sintagmantik adalah hubungan tanda dengan tanda lain dari satu struktur. Kedua hubungan yang terakhir ini disebut juga hubungan eksternal. Istilah internal dalam hubungan simbolik sering dipakai untuk menunjuk hubungan antara signifier dan signified (Sunardi, 2002:55). Hal ini juga dapat menjelaskan bahwa tanda dan konteks adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Keduanya berhubungan dalam membentuk makna. Konteks menjadi penting dalam intepretasi, yang keberadaannya dapat dipilah menjadi dua hal, yaitu intratekstual dan intertekstual. Intratekstual adalah hubungan antar tanda dalam

satu teks, sedangkan intertekstual adalah hubungan antar teks.

Salah satu tokoh semiotika adalah Ferdinand de Saussure. Menurutnya, Saussure dengan model diadik mengatakan bahwa tanda terdiri dari:

1. A signifier (significant) forma atau citra tanda tersebut, misalnya tulisan di kertas, atau tulisan di udara.

2. The ”signified” (signifie) konsep yang direpresentasikan atau konsep mental

Mengadopsi dari Saussure, tanda terdiri dari tiga wajah, yaitu tanda itu sendiri (sign), aspek material dari tanda yang berfungsi menandakan, atau yang dihasilkan dari aspek material (signifier), dan aspek mental yang ditunjuk oleh aspek material (signified)

Salah seorang pengikut Saussure adalah Roland Barthes. Ia membuat sebuah model sistematis dalam menganalisis makna dari tanda-tanda. Namun, fokus perhatiannya lebih tertuju pada gagasan tentang signifikansi dua tahap (two order of signification).

Pada tatanan tingkat pertama, yaitu tataran bahasa(language)hubungan antara signifier (penanda) dan signified (petanda) akan membentuk sign dengan realitas eksternal yang ditujunya yang disebut dengan denotasi. Denotasi merupakan “…the definitional, “literal’, obcious, or ‘ commonsense’ meaning of sign” (Barthes, 1964:14). Denotasi merupakan makna yang terlihat jelas, dan menjadi landasan dari tahap kedua (konotasi).

Selanjutnya dalam tatanan tingkat kedua, sistem penandaannya disebut dengan konotasi. Konotasi menggunakan denotative sign (signifier dan signified )

sebagai signifier. Dalam hal ini, konotasi merupakan tanda yang mengambil bentuk dari denotative sign.Connotation is not necessarily immediately graspable at the level of the message itself, but it can already be inferred from certain phenomena which occur at the levels of the production and reception of the message.” (Barthes, 1977:16). Hal ini menunjukkan adanya interaksi yang terjadi ketika tanda bertemu dengan perasaan atau emosi dari pembaca serta nilai-nilai dari kebudayaannya. Dengan kata lain, denotasi adalah apa yang digambarkan tanda terhadap sebuah objek, sedangkan konotasi adalah menggambarkannya (Fiske, 1990:88).

Tataran konotasi ini oleh Barthes juga disebut dengan sebagai tataran mitos (myth), yakni sistem semiologis lapis dua, terdapat signifier yang di dalamnya mempunyai form. Sedangkan signified dalam lapis ini mempunyai konsep. Hubungan antara form dan konsep pada tingkat kedua akhirnya membentuk signification.

Menurut Barthes, mitos adalah cara berpikir kebudayaan tentang sesuatu, sebuah cara mengkonseptualisasikan atau memahami sesuatu (Barthes, 1977:148). Menurutnya sejak mitos adalah sebuah tipe wicara, segala sesuatu bisa menjadi mitos (Barthes, 1984:115). Levi Strauss dalam Storey (2004;111) menyatakan bahwa semua mitos mempunyai struktur yang sama, semua mitos mempunyai fungsi sosiokultural yang sama dalam masyarakat. Dengan kata lain, mitos adalah cerita yang diceritakan tentang kita sendiri, sebagai suatu budaya untuk menghilangkan kontradiksi dan membuat dunia menjadi bisa dipahami dan dihuni. Mitos berusaha mendamaikan antara kita dengan keberadaan kita. Mitos

membantu kita untuk memaknai pengalaman-pengalaman kita dalam satu konteks budaya tertentu.

Barthes (1977:45-46) menyatakan mitos melayani fungsi ideological dari naturalization. Artinya, mitos melakukan naturalisasi budaya, dengan kata lain, mitos membuat budaya dominan, nilai-nilai sejarah, kebiasaan, dan keyakinan yang dominan terlihat natural, normal, abadi, masuk akal, objektif dan benar secara apa adanya.

Dalam semiotik, para ahli teori telah menemukan berbagai cara untuk memahami teks sebagai mitos untuk menemukan ideologi yang tersembunyi dalam teks. Hal ini juga disampaikan Barthes bahwa ia juga melihat mitos sebagai pelayan dari kepentingan ideological dari kaum borjuis (Barthes, 1977:206).

Gambar I:Tataran Signifikansi Roland Barthes

1. Signifier 2. Signifie d 3. Sign

I. SIGNIFIER II. SIGNIFIED

III. SIGN (Sumber: Hal, 1997:68 )

Jadi dengan kata lain, Barthes mengatakan bahwa mitos adalah sebuah kisah yang melaluinya, sebuah budaya menjelaskan dan memahami beberapa aspek dari realitas (Fiske, 1990:88). Sebagai sistem semiotik tingkat dua, mitos mengambil

Language

semiotic tingkat pertama sebagai landasannya. Jadi, mitos adalah sejenis sistem tanda dalam semiotik yang terdiri dari sistem linguistik dan sistem semiotik.

Contoh penanda dan petanda yang dihasilkan melalui kerja kamera dalam film.

Tabel 1.1

Hubungan Penanda dan Petanda dalam Film Penanda (pengambilan

gambar)

Definisi Petanda

Close up Hanya wajah Keintiman

Medium shot Hampir seluruh

wajah

Hubungan personal

Long shot Setting dan

karakter

Konteks, skope, jarak, public

Full shot Seluruh wajah Hubungan social

Sumber : Berger, 2000:33

Selain itu, kerja kamera dan teknik penyuntingan dapat juga dipaparkan dengan cara yang sama seperti di atas.

Tabel 1.2

Hubungan Penanda dan Petanda dalam Film berdasarkan Kerja Kamera dan Teknik Penyuntinan

Penanda Definisi Petanda

Pan down Kamera mengarah

ke bawah

Kekuasaan, kewenangan

Pan up Kamera mengarah

ke atas

Kelemahan, pengecilan

Dolly in Kamera bergerak ke

dalam

Observasi, focus

Fade in Gambar kelihatan

pada layar kosong

Permulaan

Fade out Gambar di layar

menjadi hilang

Penutupan

Cut Pindah dari gambra

satu ke yang lain.

Kebersambungan, menarik

Wipe Gambar terhapus dari layar ‘penentuan’ kesimpulan Sumber: Berger, 2000:34 F METODOLOGI PENELITIAN

Dokumen terkait