• Tidak ada hasil yang ditemukan

Marker koagulasi laboratorium sebagai prediktor outcome Banyak penelitian telah melaporkan nilai prognostik dari parameter

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

IV.I. HASIL PENELITIAN

IV.2.3. Marker koagulasi laboratorium sebagai prediktor outcome Banyak penelitian telah melaporkan nilai prognostik dari parameter

klinis dan radiologi pada trauma kapitis, tetapi relatif sedikit yang telah meneliti tentang hubungan antara parameter laboratorium pada saat masuk dengan outcome akhir. Sejumlah penelitian menyatakan adanya hubungan yang signifikan antara marker koagulasi, Hb, dan glukosa pada trauma kapitis (Van Beek dkk, 2007).

Hubungan antara koagulopati dan tingkat keparahan trauma kapitis dan outcome klinis telah dilaporkan pada orang dewasa (Chiaretti dkk. 2001). Penelitian Bayir dkk (2006) pada 62 pasien dengan trauma kapitis menyimpulkan bahwa GCS dan marker fibrinolitik berguna dalam menentukan pasien dengan trauma kapitis. Jumlah trombosit yang menurun, PT dan aPTT yang memanjang, penurunan fibrinogen dan peningkatan kadar D-dimer terlihat pada pasien yang diteliti. Hasil ini juga didukung dengan penelitian Chiaretti dkk (2001) yang menunjukkan hasil yang sama.

Berdasarkan dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Vavilala dkk (2001) yang mengukur jumlah trombosit, prothrombin time (PT), partial

thromboplastin time (PTT), dan fibrin degradation product (FDP) pada 69 pasien trauma kapitis, didapati hasil bahwa pasien yang mempunyai kadar FDP > 1000 μg/mL dengan skor Glasgow Coma Scale (GCS) 7 – 12 berhubungan dengan outcome yang lebih buruk. Dengan demikian dianjurkan untuk memeriksa adanya koagulopati setelah terjadinya trauma kapitis dan terapi agresif dapat dilakukan bila sudah dijumpai tanda suatu koagulopati (Vavilala dkk, 2001).

Penelitian ini juga memperoleh hasil yang mirip, dimana pada kelompok GCS ≤ 8, didapati kadar D-dimer yang paling tinggi dibanding dengan kelompok GCS yang lain dan juga jumlah pasien dengan outcome buruk lebih banyak dibanding kelompok GCS yang lain. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pasien dengan kadar D-dimer yang tinggi dan GCS yang rendah akan mempunyai outcome yang lebih buruk.

Piek dkk (1992) melakukan penelitian terhadap komplikasi ekstrakranial dari trauma kapitis. Mereka mendapatkan 13 jenis komplikasi ekstrakranial dalam 14 hari setelah masuk rumah sakit, dan salah satu komplikasi tersebut adalah koagulopati (jumlah trombosit < 50.000 /mm3,

prothrombin time > 16 detik, dan partial thromboplastin time > 50 detik). Sebanyak 19 % dari 734 pasien yang mereka teliti menderita komplikasi koagulopati. Data tersebut memberi masukan bahwa komplikasi ekstrakranial mempunyai pengaruh yang cukup tinggi terhadap penentuan

outcome (Piek dkk, 1992).

Takahashi dkk (1997) melakukan penelitian terhadap 70 orang pasien dengan trauma kapitis. Kadar plasma dari α2-plasmin inhibitor-plasmin

complex (PIC) dan D-dimer diperiksa, dan hasilnya menunjukkan bahwa pada semua sampel, kadar plasma PIC dan D-dimer jauh lebih tinggi dibanding angka normal, dan kenaikan kadar ini berhubungan dengan

outcome pasien. Pada pasien yang kadar plasma PIC > 15 μg/mL atau kadar D-dimer > 5 μg/mL, 92 % mengalami kematian, terlepas dari status kesadaran pada saat masuk. Di lain pihak, pasien yang kadar plasma PIC-nya < 2 μg/mL atau D-dimer < 1 μg/mL mengalami penyembuhan yang baik. Dengan demikian, kadar plasma PIC dan D-dimer merupakan suatu

marker prognostik yang dapat diandalkan pada trauma kapitis, dan pasien dengan outcome buruk dapat diidentifikasi sejak awal masuk rumah sakit (Takahashi dkk, 1997).

Pada penelitian yang dilakukan oleh Affonseca dkk (2007), tentang gangguan koagulasi pada anak-anak dan remaja dengan trauma kapitis

sedang sampai berat, diperoleh hasil, dari 301 pasien yang diteliti, ternyata ditemukan sebesar 77 % mengalami koagulopati. Faktor-faktor yang berhubungan dengan adanya koagulopati adalah keparahan trauma, adanya perdarahan pada Head CT-scan, dan adanya cedera dada/abdomen (Affonseca dkk, 2007).

Antovic dkk (1998) melakukan penelitian pada 120 pasien dengan berbagai jenis cedera otak dan mengukur parameter PT, fibrinogen, aPTT, akitifitas FVII, ATIII, dan D-dimer pada 24 jam pertama setelah cedera otak. Mereka memperoleh hasil bahwa terdapat penurunan yang signifikan dari PT, FVII, dan ATIII, serta peningkatan dari D-dimer, khususnya pada pasien trauma kapitis.

Trombositopenia juga merupakan faktor resiko untuk terjadinya

progressive hemorrhagik injury (PHI) pada trauma kapitis. Pasien dengan PHI mengalami gangguan pada sistem koagulasinya lebih parah dibanding dengan yang non-PHI. Dengan demikian pengobatan dengan agen hemostatik dapat bermanfaat pada pasien seperti ini.(Engström dkk, 2005).

Pada penelitian ini diperoleh hasil bahwa ditemukan kecenderungan bahwa nilai kadar PT, TT, aPTT, dan D-dimer berbanding terbalik dengan nilai GCS, dimana semakin rendah nilai GCS maka akan semakin tinggi kadar marker koagulasi tersebut, namun, hal ini hanya bermakna pada kadar D-dimer, PT, dan aPTT (p=0,001). Sedangkan untuk kadar fibrinogen menunjukkan hubungan yang searah dengan nilai GCS, dimana semakin rendah nilai GCS, maka semakin rendah kadar

fibrinogen, dan hal ini bermakna secara statistik dengan p = 0,002. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa keparahan pasien saat masuk berpengaruh dengan gangguan marker koagulasi, dimana hal ini sesuai dengan penelitian sebelumnya.

Sedangkan berdasarkan hubungan GOS dan parameter laboratorium, ditemukan kecenderungan bahwa nilai aPTT, dan D-dimer berbanding terbalik dengan nilai GOS, dimana semakin rendah nilai GOS maka akan semakin tinggi kadar marker koagulasi tersebut, namun hal ini hanya bermakna pada kadar D-dimer (p=0,001). Untuk kadar fibrinogen menunjukkan hubungan yang searah dengan nilai GOS, dimana semakin rendah kadar fibrinogen, maka semakin rendah skor GOS, dan hal ini bermakna secara statistik dengan p = 0,001. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kadar D-dimer dan fibrinogen dapat menjadi prediktor yang kuat terhadap outcome pasien, sesuai dengan penelitian-penelitian yang sebelumnya..

Untuk penentuan outcome baik, (skor GOS = 4-5) fibrinogen mempunyai spesifisitas yang cukup baik, yaitu 72 %, namun spesifisitasnya rendah, hanya 20 %. Sedangkan untuk D-dimer, diperoleh sensitifitas dan spesifisitas yang rendah, yaitu sebesar 15 % dan 7 %. Untuk penentuan outcome buruk kadar fibrinogen mempunyai sensitifitas 73 % dan spesifisitas yang lebih baik dibanding untuk outcome baik, yaitu 64 %. Sedangkan untuk D-dimer mempunyai sensitifitas yang tinggi untuk penentuan outcome buruk (GOS 1-3), yaitu 93 % dan spesifisitas yang juga tinggi, yaitu 83 %. Dapat disimpulkan bahwa fibrinogen dan D-dimer

lebih baik digunakan untuk memprediksi outcome buruk pada pasien trauma kapitis.

Hubungan antara marker koagulasi dan Head CT-scan pada trauma kapitis telah dilaporkan. Stein dkk telah menemukan bahwa perubahan marker koagulasi berkaitan dengan besarnya kerusakan otak yang terlihat pada CT-scan. Studi yang menilai hubungan fibrinogen dan gambaran

Head CT-scan pada pasien trauma kapitis menunjukkan korelasi yang baik. Pada studi yang dilakukan Ueda dkk, 26 pasien trauma kapitis dievaluasi untuk menentukan hubungan antara fibrin, FDP dan gambaran

Head CT-scan. Pasien dengan kontusio otak pada Head CT-scan memiliki kadar FDP yang lebih tinggi. Studi yang dilakukan oleh Kaufmann dkk pada pasien trauma kapitis juga menemukan perubahan pada kadar fibrinogen, FDP, PTT, PT, dan TT. Pasien yang terkena DIC memilliki kerusakan dan nekrosis multisistem serta perdarahan pada gambaran

Head CT-scan. (cit, Bayir, 2006)

Sesuai dengan penelitian terdahulu, pada penelitian ini ditemukan hubungan yang bermakna antara gambaran Head CT-scan dan ada tidaknya perdarahan pada gambaran Head CT-scan dengan GCS saat masuk, juga terhadap GOS saat keluar. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa gambaran Head CT-scan mempunyai pengaruh terhadap keparahan pasien trauma kapitis saat masuk dan juga outcome pasien saat keluar dari rumah sakit.

Pada penelitian yang dilakukan Vandelli dkk (2004) terhadap 501 pasien trauma kapitis yang diambil secara konsekutif didapatkan bahwa

dari 461 orang yang hasil Head CT-scan-nya tidak menunjukkan perdarahan, ternyata 50 orang mengalami koagulopati. Temuan ini menyarankan pentingnya pemeriksaan marker koagulasi disamping pemeriksaan Head CT-scan (Vandelli dkk,2004).

Pada penelitian tentang hubungan antara FDP dengan gambaran

Head CT-scan pada pasien trauma kapitis yang dilakukan oleh Ueda dkk (1985), diperoleh hasil bahwa dari 26 pasien yang diteliti, konsentrasi FDP plasma meningkat pada pasien dengan epidural hematoma. Lebih jauh lagi, peningkatan FDP kelihatannya lebih bermakna pada pasien dengan kontusio yang berat dibandingkan yang ringan. Temuan ini menandakan bahwa derajat peningkatan FDP plasma proporsional dengan jumlah kerusakan jaringan otak. (Ueda dkk, 1985).

Pada penelitian ini juga ditemukan hubungan yang bermakna antara beberapa marker koagulasi dengan gambaran Head CT-scan dan juga ada tidaknya perdarahan pada gambaran Head CT-scan, dimana nilai PT mempunyai hubungan yang bermakna dengan gambaran Head CT-scan, dan kadar fibrinogen dan D-dimer mempunyai hubungan yang bermakna dengan ada tidaknya perdarahan pada gambaran Head CT-scan.

Dari hasil penelitian Hoffmann dkk (2001) pada 319 pasien penderita trauma kapitis, didapatkan bahwa pasien dengan perdarahan intrakranial pada hasil CT-scan lebih cenderung memberikan hasil positif pada pemeriksaan D-dimer (p < 0,001). Pemeriksaan D-dimer pada penelitian ini menunjukkan 21 true-positive dan 4 false-negative, dengan sensitifitas sebesar 84,0 % (95 % CI) dan spesifisitas sebesar 55,8 % (95 % CI).

Pada penelitian ini disimpulkan untuk tetap menggunakan CT-scan sebagai alat bantu diagnostik, karena pemeriksaan D-dimer belum cukup sensitif atau belum dapat memprediksi secara akurat adanya perdarahan intrakranial pada pasien trauma kapitis (Hoffmann dkk, 2001).

Pada penelitian ini diperoleh hasil bahwa marker koagulasi yang mempunyai hubungan bermakna dengan adanya perdarahan intrakranial adalah kadar D-dimer dan fibrinogen. Dimana untuk D-dimer diperoleh sensitifitas sebesar 80 % dan spesifisitas 54 %, dan untuk fibrinogen diperoleh sensitifitas 80 % dan spesifisitas 60 %. Hasil ini tidak berbeda jauh dengan penelitian yang sebelumnya.

BAB V

Dokumen terkait