• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Kondisi Umum

2. Masa Pendidikan dan Perjuangan

Pendidikan di masa kanak-kanak dan remaja yang dilalui oleh Ali Syari’ati biasa-biasa saja, tidak jauh berbeda dengan dan seperti halnya siswa-siswa lain pada umumnya. Dia sekolah, turut ujian, setiap tahun naik kelas, mula-mula sekolah dasar, kemudian ke sekolah menengah dan akhirnya ke pendidikan tinggi. Pendidikan dasar diterimanya di Masyhad, dan dia sudah duduk di sekolah menengah ketika ayahnya yang terpelajar dan ulama sangat terkemuka itu, Muhammad Taqi Syari’ati, mendirikan pusat penyebaran ajaran-ajaran Islam di Masyhad Iran (Abdul Aziz Sachedina, dalam Jonh L. Esposito,1987:236). Selama tahun-tahun inilah Ali Syari’ati melihat paparan usaha ayahnya yang keras, untuk mengembalikan pemuda-pemuda yang berpendidikan modern dan kebarat-baratan kembali ke pangkuan Islam secara yang

36

sebenarnya. Ali Syari’ati dan ayahnya menerima cara yang sama dalam mendapat pemaparan wahyu Islam, di sinilah justru tercipta dimensi-dimensi mula dari semangat hidup Ali Syari’ati secara tak terelakkan (Ali Syari’ati, 1979:17).

Setamat sekolah lanjutan, karena sesuatu hal tertentu, Ali Syari’ati tidak dapat melanjutkan studinya di universitas, dan karena dia senang dengan profesi guru, maka dia masuk ke sekolah tinggi keguruan (Ali Syari’ati, 1979:18). Ketika ia memasuki sekolah tinggi keguruan atau akademi pendidikan guru, dia telah diakui sebagai anggota aktif pusat organisasi ayahnya, di sini dia sering diminta untuk memberi ceramah (Abdul Aziz Sachedina, dalam John L.Esposito, 1987:237). Mulailah periode awal dia menyampaikan ceramah-ceramahnya di hadapan para mahasiswa dan intelektual di pusat dakwah Islam di Masyhad tersebut. Ali Syari’ati memang memiliki kelancaran lisan dan ketajaman tulisan, dua kemampuan yang jarang sekali dimiliki oleh kebanyakan orang secara bersamaan sekaligus, dan karena itu dia benar-benar mempergunakannya untuk menyampaikan seluruh gagasannya. Hampir, bahkan seluruh waktu hidupnya tidak ada yang sia-sia, dan berlalu tanpa makna. Dia tidak dapat tinggal diam dan tidak mengatakan sesuatu, selalu saja ada yang baru untuk ditulis dan diucapkan. Jika aku diam, kata Ali Syari’ati

37

(1979:12), rasanya aku bagaikan seorang yang sedang sekarat, yang telah jemu akan kesukaran hidup, yang tidak dapat berbuat apa-apa kecuali menanti sepanjang hayat, karena seolah kedamaian dan keselamatan sedang menantinya. Secara demikian, menjadilah seluruh hari-hari hidup dan kehidupannya, penuh dengan pencurahan perhatiannya terhadap peristiwa-peristiwa sosial, keagamaan dan politik, yang menyangkut nasib rakyat banyak, meskipun waktu itu suasana bisu mencekam di mana-mana (Ali Syari’ati,1979:20). Ali Syari’ati, dengan tanpa gentar dan rasa takut apa-pun, terus saja mengemukakan gagasannya, untuk mengubah jalannya sejarah hidup rakyat dan bangsa Iran, yang selama ini menderita dan tertindas oleh penguasa yang lalim, sebagai bagian dari amanat yang diwarisi dari leluhurnya, secara genetis dan historis filosofis, yang harus selalu diperjuangkan, dan yang telah dimanisfetasikan sepenuhnya oleh Husain, pewaris Adam.

Pada tahun 1956, Ali Syari’ati mengikuti program tingkat prasarjana pada Fakultas Sastra, yang baru didirikan di Universitas Masyhad (Abdul Aziz Sachedina, dalam John L.Esposito, 1987:237). Sudah dapat diduga sebelumnya, bahwa dia tidaklah seperti mahasiswa pada umumnya, yang secara konvensional hanya datang mendengarkan kuliah dari sang

38

dosen, mengerjakan tugas yang dibebankan, belajar dan ujian. Sebab dia juga selalu memberikan ceramah dan menulis untuk menyampaikan seluruh gagasan-gagasannya, sebagai sarana pengembangan intelektual atau intelectual exercise dan pendalaman iman, mematah batas lingkungan, menelanjangi zamannya, dan untuk mengubah jalannya sejarah menuju tatanan sosial Islam yang adil, bahkan dalam mengikuti kuliahnya dia juga sering tidak sependapat dengan sang dosen (Ali Syari’ati, 1797:20).

Setelah lulus dari perguruan tinggi pada tahun 1960, dengan memperoleh beasiswa Ali Syari’ati mengikuti pelajaran tingkat sarjana di Perancis. Sebagai seorang mahasiswa kehormatan, dia berhasil meraih gelar Doktor dalam bidang sosiologi pada tahun 1964 (Ali Syari’ati, 1983:v), dengan suatu disertasi doktor berjudul Fadail al-Balkh atau Les Merites de

Balkh (Abdul Aziz Sachedina, dalam John L.Esposito, 1987:239). Selama pendidikan tingginya di Perancis, dengan penuh intens Ali Syari’ati telah melakukan dialog dengan berbagai pemikiran sosial dan filsafat, dari para pakar ilmu seperti Bergson, Albert Camus, Sartre, Schwartz, Gurwitsch, Berque, Louis Masignon, bahkan dapat berdialog langsung dengan di antara mereka (Ali Syari’ati, 1979:21). Aliran sosiologi Perancis yang analitis dan kritis itu, sangatlah

39

berkesan padanya, akan tetapi sama sekali tidak mampu melarutkan kepribadiannya, yang terjadi justru malah sebaliknya, sebab itu semua bahkan semakin memantapkan langkah dan sikapnya, untuk menemukan kembali dan memelihara kebenaran serta keagungan Islam (Ali Syari’ati, 1982:iv).

Tidaklah kebetulan, jika selama studinya di Perancis, dia tidak hanya melulu belajar mendalami ilmu sosiologi, melainkan juga selalu melibatkan diri dalam gerakan organisasi yang berorientasi Islam menentang rezim Syah (Ali Syari’ati, 1979:6), sebab kebiasaan itu sudah dia lakukan sewaktu masih dalam negeri Iran. Yang penting lagi ialah bahwa keberadaan Ali Syari’ati di Perancis bersamaan dengan suatu tahap baru dan vital, yaitu tumbuhnya kelompok progresif dalam gerakan keagamaan di dalam negeri Iran. Bersamaan pula dengan periode revolusi Al-Jazair, yang merupakan perjuangan umat Islam menentang imperialis, yang membuatnya semakin terikat terhadap nasib rakyat yang menderita dan tertindas, oleh kesewenang-wenangan penguasa, untuk memperoleh pembebasan yang merupakan tantangan risalah yang diwarisinya dari leluhurnya, baik secara genetis maupun historis filosofis dari para Nabi Semitik atau anak cucu dan ahli waris Habil (Ali Syari’ati, 1983:18). Suatu pembebasan dari

40

semua ikatan otoritas, sehingga tidak lagi terikat oleh otoritas yang manapun kecuali otoritas Tuhan Allah, yang dibingkai dengan sangat indah dalam syahadah, yang merupakan substansi dari pandangan hidup tauhid. Tentu saja berbeda sama sekali dengan konsep pembebasan yang antroprosentris di zaman Renaisance, dengan semboyan “bebas tidak terikat oleh otoritas yang manapun kecuali otoritas dalam dirinya sendiri”.

Setelah selesai masa studinya di Perancis, dia pun bertolak kembali ke Iran, dengan membawa suatu hadiah berharga untuk masyarakat Iran, karena dia telah mendapatkan atau menemukan pendekatan terhadap agama yang sama sekali baru, untuk melakukan gerakan revolusi intelektual, mengembalikan para pemuda ke pangkuan Islam kembali. Namun sayang, tempat menyampaikan hadiah berharga kepada yang berhak itu ternyata bukan universitas, sebab yang terjadi adalah sebaliknya. Setibanya di perbatasan Iran dan Turki, di depan istri dan anaknya, dia langsung ditangkap dan dipenjarakan, dengan tuduhan telah terlibat gerakan anti pemerintah selama dia di Perancis (Ali Syari’ati, 1979:26; 1992:25). Setelah dibebaskan pada tahun 1965, dia diharuskan bekerja sebagai guru di sekolah menengah dan sekolah tinggi pertanian, dan permintaannya untuk mengajar di Universitas

41

Masyhad ditolak (Abdul Aziz Sachedina, dalam John L.Esposito, 1987:240). Akan tetapi beberapa tahun kemudian, tanpa mengajukan permintaan, dia ditempatkan di Universitas Masyhad (Ali Syari’ati, 1979:26). Dalam waktu yang relatif singkat, dia sangat populer dan kuliah-kuliahnya banyak digemari oleh para mahasiswa, tetapi karena gaya kuliahnya yang bebas dan non-konvensional, akhirnya dia didepak keluar dari Universitas Masyhad, sebab dianggap dapat menghasut mahasiswa, dan tentu saja sangat membahayakan rezim yang memerintah (Ali Syari’ati, 1984:22).

Keluarnya dari Universitas Masyhad, ternyata dapat meluangkan kesempatan bagi Ali Syari’ati untuk merintis aktivitas baru secara intensif dan kreatif, meskipun dalam kondisi pengawasan yang amat ketat. Safari-safari ceramahnya ke Teheran mendorong terbentuknya Husainiya yi Irsyad pada tahun 1965, suatu lembaga yang memainkan peranan sangat penting dan sentral dalam perkembangan Ali Syari’ati sebagai seorang pemikir Muslim yang mandiri (Abdul Aziz Sachedina, dalam John L.Esposito, 1987:240). Ceramah-ceramah dan kuliah-kuliah yang diberikannya di sini, serta buku-bukunya yang menganalisis masalah sosial dan keagamaan telah berhasil menciptakan aliran fikiran baru dikalangan pemuda dan seluruh masyarakat, yang mempunyai dampak sangat

42

dalam dan luas ke seluruh negeri Iran (Ali Syari’ati, 1979:27). Melalui lembaga Husainiya yi Irsyad, yang terdapat di setiap Masjid di seluruh negeri, dikumandangkan cerita sejarah kesyahidan Imam Husain di Karbala, untuk menumbuhkan kesadaran menentang ketidak-adilan dan penindasan penguasa. Akhirnya Husainiya yi Irsyad ditutup, dan Ali Syari’ati ditangkap kembali untuk dipenjarakan, kali ini selama delapan belas bulan, dengan kondisi yang sangat keras pada musim panas tahun 1973 (Abdul Aziz Sachedina, dalam John. L. Esposito, 1987:241). Karena desakan-desakan masyarakat dan protes-protes internasional, maka pada tanggal 20 Maret 1975 rezim yang berkuasa terpaksa membebaskannya (Ali Syari’ati, 1983:vi), namun dia sama sekali tidak bebas bergerak kemana-mana, dan tetap dalam pengasingan di Mazinan. Ironis memang, hidup di negeri sendiri, tetapi terasa bagai selalu dalam penjara.