• Tidak ada hasil yang ditemukan

2.4 Peta Sejarah Indonesia

2.4.1 Masa Penjajahan Belanda dan Jepang 1 Masa Penjajahan Belanda

2.4.1.2 Masa Penjajahan Jepang

Setelah penandatanganan penyerahan kekuasaan dari Jenderal Ter Poorten, Panglima pasukan Hindia Belanda, kepada Jenderal Imamura di Kalijati Cirebon tanggal 8 Maret 1942, berakhirlah kekuasaan kolonial Belanda di Indonesia. Sejak itu pula kekuasaan Jepang secara resmi berada di Indonesia (Suhartono, 1944:119; baca pula Hidayat, 2007:11).

Masa pendudukan Jepang di Indonesia (1942-1945) merupakan periode yang penting dalam sejarah bangsa Indonesia. Pada masa ini telah terjadi berbagi perubahan yang mendasar pada alam sendi-sendi kehidupan masyarakat Indonesia (Utomo, 1995:176).

Selain propagandanya yang sangat menarik, sikap pemerintah pendudukan Jepang pada mulanya menunjukkan kelunakan karena berbagai kepentingan. Namun, hal itu tidak berlangsung lama karena Jenderal Imamura sebagai penguasa tertinggi pemerintahan bala tentara Jepang di Jawa, mulai mengubah politik lunaknya dengan dengan mengeluarkan maklumatnya tertanggal 20 Maret 1942 yang melarang segala pembicaraan, pergerakan, anjuran atau propaganda dan melarang pengibaran sang Saka Merah Putih dan penyanyian lagu Indonesia Raya yang sudah diizinkan sebelumnya (Utomo, 1995:200). Dengan demikian praktis semua kegiatan politik dilarang dan kemudian semua perkumpulan organisasi-organisasi politik yang ada secara resmi dibubarkan dan pihak Jepang mulai membentuk organisasi-organisasi baru untuk kepentingan mobilisasi rakyat.

Dalam waktu tiga setengah tahun pendudukan Jepang ini, rakyat mengalami penderitaan tiada tara. Selain penderitaan dan kesengsaraan, juga terdapat hal-hal yang menguntungkan bagi bangsa Indonesia menjelang dan sesudah proklamasi kemerdekaan, terutama yang menyangkut perkembangan gerakan nasionalisme Indonesia. Dalam hal ini Frederick (dalam Utomo, 1995:177) mengatakan bahwa meskipun masa pendudukan Jepang merupakan suatu pengalaman berat dan pahit bagi kebanyakan orang Indonesia, hal ini merupakan masa peralihan, yang dalam beberapa hal gerakan nasionalis mendapat kemajuan.

Politik imperialisme Jepang di Indonesia terlihat berorientasi pada eksploitasi sumber daya manusia serta mengupayakan mobilisasi tenaga kerja untuk kepentingan perang Asia Timur Raya. Berdasarkan orientasi itulah,

pendudukan Jepang secara ekstensif melakukan eksploitasi ekonomi, penetrasi politik, dan tekanan kultural pada masyarakat Indonesia. Dalam hal penetrasi politik, pemerintah Jepang mengadakan campur tangan yang sangat dalam pada struktur pemerintahan hingga tingkat desa. Sedangkan untuk mengatur ekonomi masyarakat terwujud dalam politik penyerahan padi secara paksa yang berakibat pada kemiskinan, menurunnya derajat kesehatan, meningkatnya angka kematian, serta berbagai penderitaan fisik masyarakat pedesaan (Utomo, 1995:181).

Tenaga kerja Indonesia kini mulai dieksploitasi secara lebih kejam daripada sat-saat sebelumnya. Pada bulan Oktober 1943 pihak Jepang memerintahkan penghimpunan ’serdadu-serdadu ekonomi’ (romusha), terutama para petani yang diambil dari desa-desa mereka di Jawa dan dipekerjakan sebagai buruh di mana pun pihak Jepang memerlukan mereka, sampai ke Birma dan Siam (Ricklefs, 1999:308). Kelarga mereka ditinggalkan dalam keadaan yang menyedihkan. Pada saat yang sama Pemerintah Jepang memberlakukan peraturan- peraturan baru bagi penjualan beras secara wajib kepada pemerintah dengan harga yang rendah, yang sebenarnya merupakan suatu sistem penyerahan secara wajib guna memenuhi kebutuhan balatentara Jepang.

Perlakuan yang tidak manusiawi dari tentara Jepang terhadap romusha serta ketiadaan jaminan sosial serta kesejahteraan itu menyebabkan beribu-ribu romusha meninggal dengan mengenaskan dan banyak yang tidak kembali ke desanya. Keadaan yang sangat buruk itu menghantui masyarakat desa yang harus juga mengirimkan penduduknya untuk berangkat menjadi romusha. Hal itu berkembang menjadi ketakutan kolektif masyarakat. Masyarakat desa tidak berani

menentang perintah Jepang di satu sisi, tetapi di sisi lain tidak menginginkan berangkat sebagai tenaga paksa Jepang. Akhirnya terjadi kekerdilan mental sebagai akibat penetrasi politik yang sangat keras. Tekanan-tekanan politik, ekonomi, sosial, dan kultural saat itu telah menciptakan kondisi masyarakat pedesaan yang diliputi oleh kecemasan dan ketakutan.

Dalam kerangka perjuangan pada masa pendudukan Jepang yang bersituasi semacam itu, tokoh-tokoh naionalis mulai mengambil sikap dalam kerangka strategi perjuangannya. Hatta dan Sjahrir yang telah bersahabat lama, memutuskan untuk memakai strategi-strategi yang bersifat saling melengkapi dalam situasi baru kekuasaan Jepang (Utomo, 1995:201). Hatta akan bekerja sama dengan Jepang dan berusaha keras untuk mengurangi kekerasan pemerintahan mereka serta memanipulasi perkembangan-perkembangan untuk kepentingan bangsa Indonesia. Syahrir tetap menjauhkan diri dan membentuk suatu jaringan ”bawah tanah” yang terutama didukung oleh para mantan anggota PNI baru. Sukarno yang telah dibebaskan oleh tentara Jepang dari Sumatera segera bergabung dengan Hatta, yang kemudian segera mendesak pemerintah militer Jepang untuk membentuk suatu organisasi politik massa di bawah mereka (Utomo, 1995:201).

Pada bulan Maret 1943 Gerakan Tiga A dihapuskan dan diganti dengan Pusat Tenaga Rakyat (Putera). Badan itu berada dalam pengawasan ketat pihak Jepang. Ketuanya diangkat dari orang terkemuka Indonesia pada waktu itu, yakni Sukarno, Hatta, Ki Hajar Dewantara, dan KH Mas Mansur. Dengan demikian Jepang telah menghubungkan dua orang tokoh nasionalis perkotaan yang

terkemuka dengan pemimpin dua sistem pendidikan yang penting (Ricklefs, 1999:306).

Dalam beberapa kesempatan tokoh-tokoh itu dapat memanfaatkan tugas- tugas mereka ketika keliling dan berpidato di depan massa. Namun, demikian gerakan itu hanya mendapat sedikit dukungan dari rakyat. Salah satu sebabnya adalah karena Jepang tidak bersedia memberikan kebebasan kepada kekuatan- kekuatan rakyat yang potensial dan membatasi ruang gerak tokoh-tokoh utamanya (Utomo, 1995:202). Sedangkan unsur pimpinan Putera yang merupakan dua tokoh pendidikan. Yakni Ki Hajar Dewantara dan KH Mas Mansur berangsur- angsur menarik diri dari organisasi bentukan Jepang itu. Ki Hajar Dewantara kembali ke Yogyakarta pada awal tahun 1944 untuk memusatkan perhatian pada pembimbingan sekolah-sekolah Taman Siswa-nya melewati masa-masa sulit, sedangkan KH Mas Mansur sedikit demi sedikit menarik diri dari keterlibatan aktif, mungkin disebabkan oleh kesehatannya yang buruk (Ricklefs, 1999:306).

Bulan Januari 1944 Putera kemudian diganti dengan Persatuan Kebaktian Jawa (Jawa Hokokai). Sukarno sangat berhasil dalam memanfaatkan propaganda Jawa Hokokai itu untuk memperkokoh posisinya sebagai pemimpin utama kekuatan rakyat. (Utomo, 1995:202). Para penguasa priyayi terikat secara langsung kepada organisasi baru ini dengan dijadikannya mereka sebagai ketuanya pada setiap tingkat pemerintahan. Jawa Hokokai menjadi lebih efektif karena memiliki alat organisatoris yang menembus sampai ke desa-desa. Rukun Tetangga (dalam bahasa Jepang : Tonari Gumi) dibentuk untuk mengorganisasikan seluruh penduduk menjadi sel-sel yang terdiri atas sepuluh

sampai dua puluh keluarga untuk mobilisasi, indoktrinasi, dan pelaporan. Para penguasa tingkah bawah dan kepala-kepala desa bertanggung jawab atas sel-sel tersebut. Pada bulan Februari 1944 kepala desa juga mulai menjalani kursus- kursus indoktrinasi (Ricklefs, 1999:3069).

Sedangkan di bidang kemiliteran, pada bulan Oktober 1943 pihak Jepang membentuk organisasi pemuda Indonesia yang paling berarti, yaitu Pembela Tanah Air (Peta). Organisasi ini merupakan suatu tentara sukarela Indonesia yang pada akhir perang beranggotakan 37.000 orang di Jawa dan 20.000 orang di Sumatera (Sumatera Peta dikenal dengan nama Giyugun, prajurit-prajurit sukarela). Peta tidak secara resmi menjadi bagian dari balatentara Jepang melainkan dimaksudkan sebagai pasukan gerilya pembantu guna melawan serbuan pihak Sekutu. Korp perwiranya meliputi para pejabat, para guru, para kyai, dan orang-orang Indonesia yang sebelumnya menjadi serdadu kolonial Belanda. Disiplin Peta sangat ketat dan ide-ide nasionalis Indonesia dimanfaatkan dalam indoktrinasi (Ricklefs, 1999:308-309).

Situasi perpolitikan internasional bergerak dengan cepat. Posisi Jepang semakin memburuk dan mengalami berbagai kekalahan dalam pertempuran melawan tentara Sekutu.

Oleh karena itu, tanggal 7 September 1944 Perdana Menteri Koiso Kuniaki menjanjikan kemerdekaan bagi ”Hindia Timur”. Akan tetapi tidak menentukan kapan tanggal kemerdekaan itu, dan jelas diharapkan bahwa bangsa Indonesia akan membalas janji tersebut dengan cara mendukung Jepang sebagai ungkapan terima kasih (Utomo, 1995:203). Pihak Jepang akhirnya harus

memberikan isi pada janji kemerdekaan mereka karena runtuhnya posisi militer mereka dalam perang melawan Sekutu, yang berlangsung secara cepat itu. Mereka mengakui perlunya memperoleh jasa baik dari pihak Indonesia, karena bagaimanapun mereka tidak mempunyai harapan lagi untuk tetap mempertahankan kekuasaannya.

Pada bulan Maret 1945 pihak Jepang mengumumkan pembentukan Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), yang kemudian mengadakan pertemuan pada akhir Mei di volksraad. Badan itu mengakhiri tugasnya setelah berhasil menyusun rancangan Undang-undang Dasar untuk Indonesia merdeka yang menghendaki sebuah republik kesatuan dan kemudian digantikan oleh badan baru, yakni Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI).

Pada tanggal 6 Agustus 1945 bom atom pertama dijatuhkan di Hiroshima yang menewaskan banyak orang dan menimbulkan berbagai kerugian. Hari berikutnya, tanggal 7 Agustus 1945 keanggotaan PPKI diumumkan di Jakarta. Lembaga itu beranggotakan wakil-wakil rakyat dari Jawa dan daerah-daerah lain di luar Jawa. Pada tanggal 9 Agustus 1945 bersamaan dengan di bom atomnya Nagasaki, tiga orang tokoh Indonesia, yaitu Sukarno, Mohammad Hatta, dan Radjiman Wedyodiningrat diundang ke Dalat-Saigon untuk menemui Panglima Tertinggi Wilayah Selatan Jenderal Terauchi Hisaichi. Kepada mereka Terauchi menjanjikan kemerdekaan bagi bekas wilayah Hindia Belanda. Sukarno ditunjuk sebagai ketua PPKI dan Hatta sebagai wakil ketua. Pada tanggal 14 Agustus 1945

Sukarno, Mohammad Hatta dan Radjiman Wedyodiningrat tiba kembali di tanah air.

Kekuasaan Jepang akhirnya tidak dapat dipertahankan lagi, dan menyerah kepada Sekutu tanggal 15 Agustus 1945. Menghadapi kekalahan Jepang itu, mulanya muncul dua pendapat, yaitu antara secepatnya memproklamasikan Indonesia merdeka lepas dari Jepang, dan melakukan pertemuan melalui PPKI lebih dulu untuk membicarakan dan membahas masalah kemerdekaan Indonesia. Setelah melalui proses desakan dan pertemuan antara generasi muda dan generasi tua yang lain, akhirnya Sukarno – Hatta atas nama bangsa Indonesia memproklamasikan kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945.