• Tidak ada hasil yang ditemukan

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.4 Masalah dalam Kultur Jaringan dan Pengendaliannya

Menurut Darmono (2004) banyak usaha pencegahan kontaminasi telah dilakukan, baik itu pencegahan kontaminasi internal maupun eksternal. Untuk kontaminasi permukaan (infeksi eksternal), pencegahan dapat dilakukan dengan sterilisasi kontak (permukaan). Menurut Santoso dan Nursandi (2002) munculnya kontaminasi ini bila dipahami secara mendasar adalah merupakan sesuatu yang wajar sebagai konsekuensi penggunaan media yang diperkaya. Fenomena kontaminasi, menunjukkan bahwa semakin diperkaya suatu media maka tingkat kontaminasinya juga semakin besar, dan demikian juga sebaliknya. Secara sederhana, gangguan kontaminasi dengan macam media dapat dilihat pada Gambar 7.

Gambar 7 Kecendrungan resiko kontaminasi.

VW KNUDZON

Dari gambar 7 tersebut media Murashige dan Skoog (MS) mempunyai tingkat resiko kontaminasi yang lebih tinggi daripada media Knudzon dan media Vacin dan Went (VW). Untuk tingkat sumber kontaminasi pada media dapat dilihat dalam grafik pada Gambar 8.

Gambar 8 Grafik tingkat sumber kontaminasi pada media

Pada Gambar 8 di atas sumber kontaminasi pada media paling sedikit yaitu 0% pada perlakuan sterilisasi menggunakan fungisida dan bakterisida 5 g/l selama 30 menit, bayclin 10% selama 7 menit, dan alkohol 70% selama 1 menit (FBByA 2), menggunakan bayclin 25%, 20%, dan 10% masing-masing selama 7 menit (3By 1), menggunakan HgCl2 0.01% selama 5 menit, bayclin 10% selama 7 menit, dan bayclin 10% selama 5 menit (HByBy 2), dan menggunakan HgCl2 0.01% selama 1 menit, bayclin 10% selama 7 menit, dan bayclin 10% selama 2 menit (HByBy 3).

Kontaminasi yang disebabkan karena jenis media pada dasarnya karena kontaminasi mikroorganisme dari lingkungan luar dan yang berasal dari eksplan. Jadi, selama mikroorganisme dari lingkungan luar dan dari eksplan tidak ada, maka media dan eksplan pun tidak akan terkontaminasi. Namun karena kontaminasi tidak mudah untuk dihindari, maka dalam penelitian ini menggunakan media 1/2MS dengan tujuan untuk mengurangi kontaminasi yang berhubungan dengan media.

Menurut Gunawan (1987) setiap bahan tanaman mempunyai tingkat kontaminasi permukaan yang bebeda, salah satunya tergantung dari lingkungan tumbuhnya dan kondisi tanamannya. Lingkungan tumbuh maksudnya adalah apakah tanaman yang akan dijadikan eksplan berasal dari rumah kaca (green

0 2 4 6 8 10 12 14 1 3 5 7 9 11 13 15 17 19 21 23 25 27 29 Hari Setelah Inokulasi (HSI)

T ing ka t ko nt a m in a si ( % ) Kontrol FBByA 1 FBByA 2 AnAl 3By 1 3By 2 HgCl HByBy 1 HByBy 2 HByBy 3 HByBy4

house) atau berasal dari lapangan. Pada penelitian ini, bahan tanaman berasal dari lapangan. Gunawan (1987) juga menyebutkan apabila tanaman yang akan dijadikan eksplan berasal dari rumah kaca, maka kemungkinan debu, kotoran, dan berbagai kontaminan sangat sedikit. Apabila tanaman yang akan dijadikan eksplan berasal dari lapangan, maka sudah pasti tanaman mengandung debu, kotoran, dan berbagai kontaminan hidup pada permukaannya. Selain kontaminan hidup pada permukaan, kontaminan juga bisa hidup dalam jaringan tanaman. Kontaminan hidup dapat berupa cendawan/jamur, bakteri, serangga dan telurnya, tungau, dan spora-spora. Bila kontaminan ini tidak dihilangkan maka dalam beberapa hari kontaminan akan memenuhi seluruh botol kultur. Eksplan yang tertutup kontaminan akhirnya mati, dapat sebagai akibat langsung dari serangan jamur dan bakteri atau secara tidak langsung akibat persenyawaan toksik yang diproduksi jamur dan bakteri. Untuk tingkat sumber kontaminasi pada eksplan dapat dilihat dalam grafik pada Gambar 9.

Gambar 9 Grafik tingkat sumber kontaminasi pada eksplan

Pada gambar 9 di atas sumber kontaminasi pada eksplan yang paling sedikit yaitu sebanyak 17% pada perlakuan sterilisasi menggunakan HgCl2 0.01% selama 5 menit, bayclin 10% selama 7 menit, dan bayclin 10% selama 5 menit (HByBy 2), dan menggunakan HgCl2 0.01% selama 1 menit, bayclin 10% selama 7 menit, dan bayclin 10% selama 2 menit (HByBy 3).

Sedangkan yang dimaksud dengan kondisi tanamannya adalah apakah tanaman yang akan dijadikan eksplan sakit atau sehat. Pada penelitian ini, bahan tanaman yang digunakan tidak sepenuhnya sehat, sebagian besar tanaman yang dijadikan eksplan dalam keadaan sakit atau terserang kontaminan pada permukaan

0 20 40 60 80 100 120 1 3 5 7 9 11 13 15 17 19 21 23 25 27 29 Hari Setelah Inokulasi (HSI)

T ing ka t ko nt a m in a si ( % ) Kontrol FBByA 1 FBByA 2 AnAl 3By 1 3By 2 HgCl HByBy 1 HByBy 2 HByBy 3 HByBy4

dan bagian dalam jaringan. Kontaminan yang menyerang pada bagian dalam jaringan tanaman berbentuk bintik hitam. Pada beberapa eksplan bintik-bintik hitam ini kadang tidak terlihat ketika tanaman belum dicuci atau dibersihkan, tapi setelah dibersihkan baru terlihat dengan jelas. Bentuk kontaminan yang menyerang pada bagian dalam jaringan tanaman dapat dilihat pada Gambar 10.

Gambar 10 Kontaminan yang menyerang bagian dalam jaringan daun.

Menurut Sandra (2003) kontaminan jamur dan bakteri yang yang berada dalam tanaman anggrek dapat diatasi dengan cara pemberian fungisida dan bakterisida sistemik. Menurut Wudianto (2002) fungisida dan bakterisida sistemik ini akan masuk ke dalam jaringan tanaman. Namun, fungisida dan bakterisida sistemik ini harus memenuhi syarat ideal, diantaranya dalam tanaman inang bekerja sebagai toksikan tidak mengurangi kuantitas dan kualitas tanaman, serta mampu meningkatkan katahanan inang. Menurut Darmono (2003) secara mendasar ada dua cara untuk memecahkan kendala kontaminasi internal (bagian dalam jaringan), yaitu menambahkan antibiotik ke dalam media atau melakukan kultur meristem. Dalam penelitian ini juga menggunakan fungisida dan bakterisida sistemik, serta antibiotik, namun hasilnya belum optimal.

Masalah lain dalam kultur jaringan yang juga sering terjadi adalah masalah

browning (pencoklatan). Menurut George (1996) pada beberapa spesies tanaman,

browning bisa disebabkan karena pengaruh dari bahan sterilan yang digunakan pada saat sterilisasi eksplan. Eksplan yang mengalami browning dapat dilihat pada Gambar 11.

Gambar 11 Browning (pencoklatan)

Menurut Santoso dan Nursandi (2002) peristiwa browning sesungguhnya merupakan peristiwa alamiah biasa yang sering terjadi pada sistem biologi, suatu proses adaptif bagian tanaman akibat adanya pengaruh fisik atau biokimia (memar, pengupasan, pemotongan, serangan penyakit, atau kondisi lain yang tidak normal). Bisa juga merupakan gejala alamiah dari proses penuaan. Secara umum

browning (pencoklatan) berdasarkan prosesnya dapat dikelompokkan menjadi 2 macam, yaitu :

1. Pencoklatan secara enzimatik

Proses pencoklatan ini disebabkan oleh oleh suatu enzim komplek, yaitu polifenol oksidase. Untuk terjadinya reaksi pencoklatan yang dikatalis oleh enzim tersebut, maka selain harus ada subtrat juga harus tersedia gugus protestik Cu++ dan oksigen sebagai aseptor hidrogen. Kebanyakan teori pencoklatan menggunakan dasar reaksi pembentukan melamin berwarna coklat. Reaksi pertama diduga sebagai hidrolisasi sekunder O-quinon atau karena kelebihan O-difenol.

2. Pencoklatan secara noenzimatik (mekanik)

Pencoklatan secara mekanik terjadi karena proses pelukaan. Pencoklatan karena pelukaan banyak terjadi pada kultur tanaman yang banyak mengandung senyawa hidroksiphenol dan tanin. Pencoklatan dapat juga terjadi karena proses pemanasan, ini terutama terjadi pada eksplan tanaman yang banyak kandungan gulanya. Kejadian pencoklatan akibat ini sangat mungkin terjadi karena kegiatan kultur jelas menggunakan pendekatan pelukaan (pengirisan eksplan) dan pembakaran apai bunsen. Selain itu, pencoklatan juga dapat terjadi karena rangsangan

kimia, prinsipnya yaitu pada lingkungan eksplan tersedia bahan-bahan kimia yang mendorong pembentukan senyawa fenol.

Santoso dan Nursandi (2002) juga mengatakan untuk mengatasi masalah

browning (pencoklatan) dapat dilakuan dengan beberapa cara, misalnya mengeluarkan senyawa fenol dengan jalan membilas terus-menerus dengan air steril, menghambat enzim fenol oksidase dengan EDTA sebagai chelating agents, dan pengaturan pH. Menurut Darmono (2003) cara yang paling efisien untuk menekan terbentuknya senyawa fenol tersebut dari media adalah menggunakan senyawa karbon aktif (charcoal). Namun, efek merugikan menggunakan karbon aktif tidak hanya menyerap senyawa-senyawa toksik, tetapi juga menyerap zat-zat organik penting dan senyawa-senyawa lain dalam media. Menurut Sandra (2003) cara mengatasi supaya eksplan tidak browning adalah dengan mencuci eksplan di air mengalir sehingga larutan fenolnya terkuras keluar. Pada penelitian ini yang dilakukan dalam rangka mencegah browning adalah menggunakan EDTA pada media modifikasi MS, dan pH pada media diatur pada kisaran optimal 5.8-6.0, namun usaha tersebut belum membuahkan hasil yang optimal.

Selain permasalahan kontaminasi internal dan ekstrenal serta browning, ada permasalahan lain yang juga bisa menjadi penyebab gagalnya kegiatan sterilisasi atau lebih jauh lagi kegiatan kultur jaringan. Permasalahan tersebut adalah matinya eksplan oleh bahan sterilan yang masih menempel pada eksplan karena pembilasan yang kurang bersih. Bahan kimia sterilan yang pada dasarnya bersifat toksik/racun ini, apabila terus-menerus menempel pada eksplan yang akan kita kulturkan maka lama-kelamaan akan merusak jaringan dan akhirnya mematikan eksplan. Pada penelitian ini juga mengalami hal tersebut. Oleh karena itu, untuk mengatasi permasalahan tersebut adalah dengan pembilasan yang berulang kali dengan air steril pada saat sterlisasi dengan bahan sterilan di dalam

laminar air flow cabinet. Hasil pembilasan yang berulangkali ini cukup memberikan hasil yang baik bagi keberhasilan sterlisasi.

Dokumen terkait