• Tidak ada hasil yang ditemukan

MASALAH-MASALAH DALAM PENEGAKKAN HUKUM 1 Ironi “Negara Hukum” Indonesia

Dalam dokumen buku filsafat hukum dan hukum (Halaman 143-147)

BAB IX POLITIK HUKUM

PENEGAKKAN HUKUM

B. MASALAH-MASALAH DALAM PENEGAKKAN HUKUM 1 Ironi “Negara Hukum” Indonesia

Negara Indonesia adalah negara hukum, begitu yang dinyatakan dalam konstitusi kita UUD Negara RI 1945 Pasal 1 Ayat (3) yang dirumuskan dalam amandemennya yang ketiga, Agustus 2001 yang lalu. Sehingga seharusnya seluruh sendi kehidupan dalam bermasyarakat dan bernegara kita harus berdasarkan pada norma-norma hukum. Artinya hukum harus dijadikan panglima dalam menyelesaikan masalah-masalah yang berkenaan dengan individu, masyarakat dan negara. Tetapi sampai saat ini dalam kenyataannya masyarakat seperti tidak percaya kepada hukum sebagai satu-satunya solusi atas permasalahan yang terjadi di sekitarnya. Mungkin hal ini disebabkan karena sudah sangat kronisnya krisis kepercayaan masyarakat terhadap hukum, istilah ini tidak lazim dipakai dalam bahasa Indonesia dimana penyumbang terbesar krisis tersebut adalah dari para penegak hukumnya sendiri.

Para pencari keadilan yang notabene adalah masyarakat kecil sering dibuat frustasi oleh para penegak hukum yang nyatanya lebih memihak pada golongan berduit. Sehingga orang sering menggambarkan kalau hukum Indonesia seperti jarring laba-laba yang hanya mampu menangkap hewan-hewan kecil, namun tidak mampu menahan hewan besar tetapi hewan tersebutlah yang mungkin menghancurkan seluruh jaring laba- laba. Contoh paling nyata adalah penanganan kasus-kasus korupsi, hampir sebagian besar permasalahan yang mengindikasikan adanya tindak pidana korupsi tidak pernah tersentuh oleh hukum. Apabila jika kasus tersebut melibatkan “orang-orang besar” yang dekat dengan kekuasaan dan konglomerat. Kalaupun hal ini ditindaklanjuti oleh pihak kejaksaan, maka kelanjutan kasus tersebut semakin suram. Karena biasanya kasus-kasus yang melibatkan “orang-orang besar” akan di “peti es”-kan oleh kejaksaan dengan mengeluarkan SP3 (surat perintah penghentian penyidikan) atau kalaupun sampai masuk ke pengadilan, maka akan dikenakan pemidanaan yang sangat ringan atau putusan bebas.

Saat ini sering kita menyaksikan peristiwa-peristiwa miris, penggusuran orang miskin kota, ‘penggarukan’ anak jalanan, ‘penertiban’ pedagang kaki lima, tetapi disisi lain pengusaha malah membiarkan pencurian harta negara dan uang rakyat oleh koruptor, pemberian keringanan terhadap konglomerat hitam yang ‘ngemplang’ dana BLBI, pencabutn subsidi kepada rakyat, kasus busung lapar yang terjadi di NTT dan NTB yang menistakan pembangunan yang kita lakukan selama ini, industrialisasi pendidikan dan

penjualan aset-aset negara kepada pihak swasta asing. Kesemuanya itu dilakukan oleh pemerintah dengan dalih untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat.

Di sisi lain kita melihat proses dehumanisasi ini semakin cepat yang diakibatkan oleh kehancuran moral dan akhlak manusia. Manusia tidak lagi memiliki rasa empati terhadap manusia lainnya yang ditimpa kemalangan, di sisi lain negara telah tidak lagi “mengurusi” rakyatnya. Masyarakat mulai frustasi dengan sistem yang dibuat oleh negara, karena jelas bahwa sistem yang ada sangat tidak memihak kepentingan orang banyak. System tersebut lebih memihak. Kepada para pemodal, politisi busuk, konglomerat hitam, penjahat kemanusiaan, penjarah uang rakyat, dan penguasa yang menyembah berhala materialism. Masyarakat sudah tidak percaya lagi kepada keadilan yang ditegakkan oleh hukum, masyarakat Indonesia sekarang ini mapan. Kemudian kita rasakan bahwa masyarakat Indonesia sekarang ini mengarah pada pemikiran formalistic, intoleransi, kebekuan, dan kejumudan, fanatisme buta, serta semakin mennguatnya paham-paham otoriter dan fasisme (Fakih, 2002 : xiv).

2. Fenomena “Pengadilan Rakyat”

Fenomena “pengadilan rakyat” kiranya bisa mnejadi satu sinyalemen adanya kebekuan tersebut. Eigenrichting atau tindakan main hakim sendiri yang oleh Prof. Sudikono Mertokusumo diartikan sebagai tindakan untuk melaksanakan hak menurut kehendak sendiri yang bersifat sewenang-wenang tanpa persetujuan pihak lain yang berkepentingan (Mertokusumo, 1996 : 23), sepertinya menjadi satu jawaban atas ketidakpercayaan terhadap sistem sosial yang kita bangun selama ini yang termanifestasi dalam tata aturan kehidupan bernegara dan bermasyarakat melalui seperangkat norma, kaidah, dan peraturan legal formal perundang-undangan negara. Rakyat dalam wujud kesehariannya dikenal sebagai massa, baik secara berkelompok-kelompok maupun secara massal, dalam “mengadili” pelaku yang diduga meresahkan dan mengacaukan kehidupan masyarakat, pada umumnya lebih didasarkan pada perasaan emosional sesaat dengan perlakuan yang tanpa kompromi sedikit pun. Sehingga dengan demikian sudah pasti tidak ada peluang untuk meyelesaikannya dengan cara ber-KKN atau suap-menyuap sebagaimana kebiasaan dari kebanyakan para penegak hukum selama ini. Professor Donald Black (dalam The Behavior of Law, 1976) merumuskan bahwa ketika

pengendalian sosial oleh pemerintah yang sering dinamakan hukum tidak jalan, maka bentuk lain dari pengalaman sosial secara otomatis akan muncul (Ali dalam Kompas 26/06/2002). Suka atau tidak suka, tindakan-tindakan hukum individu maupun massa yang dari kacamata yuridis dapat digolongkan sebagai tindakan main hakim sendiri (eigenrichting), pada hakikatnya merupakan wujud pengendalian sosial oleh rakyat.

Adanya praktik “pengadilan rakyat” yang bukan lagi sebagai fenomena, akan tetapi sudah semakin menguat dalam tradisi masyarakat ini, paling tidak perlu dijadikan cambuk yang sangat keras bagi para pemimpin bangsa, wakil-wakil rakyat yang diberi amanah dan terutama kepada para penegak dan pembela hukum di negeri.

3. Mafia Peradilan

Masalah yang sering menjadi sorotaan sejak dulu adalah mandulnya institusi penegak hukum. Kepolisisan, Kejaksaan, Hakim, dan pengacara seakan mejadi satu jejaring (baca : mafia) peradilan yang terus mencari “mangsa” yang notabene para pencari keadilan. Uang menjadi suatu hak yang sangat prinsipil dalam penyelesaian persoalan-persoalan hukum. Azas peradilan sederhana, cepat dan biaya ringan hanya menjadi slogan saja, karena kenyataannya malah berbelit-belit, lama dan mahal. Peradilan menjadi kantor lelang yang menjajakan “dagangan-hukumannya” dengan variasi harga dengan tawaran tertinggi.

Istilah mafia yang mungkin kita kenal selama ini adalah cerita-cerita tentang mafia Sisilia di Italia yang menjalankan kejahatan secara terorganisasi. Kita disini menggunakan kata “mafia” untuk menunjuk pada praktik korup peradilan, karena kata ini dianggap mewakili jejaring korupsi di lingkup peradilan dan penegak hukum. Kata ini menunjuk pada satu bentuk korupsi yang dilakukan dimulai dari Kepolisian, Kejaksaan, hingga ke Pengadilan (disini termasuk Hakim dan Panitera), yang juga melibatkan Pengacara. Yang sering dijadikan apologi oleh para petinggi penegak hukum tersebut adalah perilaku korup tersebut dilakukan oleh oknum, bukan institusi. Tetapi pertanyaannya jika yang melakukan perilaku korup tersebut adalah semua orang yang ada dalam institusi, sulit kita membedakan apakah ini oknum ataukah memang institusinya yang bobrok.

Dalam dokumen buku filsafat hukum dan hukum (Halaman 143-147)