• Tidak ada hasil yang ditemukan

Anak dan Masalah Sosialnya

Strategi Pengarusutamaan Hak Anak (PUHA) A Pengertian PUHA

BAHAN MASUKKAN UNTUK WORKSHOP PEMBANGUNAN KPA DI TINGKAT PEMERINTAH PROVINS

7) Anak dan Masalah Sosialnya

a. Anak yang Berhadapan Dengan Hukum

Berdasarkan hasil analisis situasi, dalam sistem peradilan anak di Indonesia ditemukan lebih dari 4.000 anak dibawa ke pengadilan setiap tahunnya. Sebagian besar pelanggaran yang dilakukan adalah kejahatan ringan dengan jumlah kerugian yang sedikit. Tetapi hampir 9 dari 10 anak tersebut berakhir dipenahanan atau penjara anak, dan sebagian besar harus tinggal bersama/dicampur dengan orang-orang dewasa (Sumber: Media Perlindungan Anak Konflik Hukum, RESTORASI, edisi 9-IV/2008).

Anak yang berkonflik dengan hukum sebanyak 4.277 anak < 16 tahun sedang menjalani proses pengadilan, anak yang dipenjara sebanyak 13.242 anak dengan variasi usia antara 16-18 tahun, 98% diantaranya adalah anak laki-laki dan 83% yang menjalani pengadilan di hukum penjara, jumlah anak di penjara usia < 18 tertinggi di Jakarta, Jabar, Jatim. Sumsel (Sumber:Bareskrim, Polri). Berdasarkan data dari Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, Departemen Hukum dan HAM, tahun 2008 menunjukkan bahwa penghuni Lapas, Rutan dan anak binaan sebanyak 127.995 orang yang terdiri dari narapidana (73.686 orang) dan tahanan (54.309 orang). Dari jumlah tersebut sebanyak 121.845 pria dan 6.150 wanita. Sedangkan jumlah narapidana dan tahanan anak sebanyak 4.301 (3.36%) dengan rincian jumlah narapidana anak 2.282 (Laki- laki 2.161; Perempuan 121). Tahanan anak sebanyak 2.019 orang (Laki-laki 1.838; Perempuan 181). Anak-anak tersebut ditempatkan di 20 lapas anak pria dan 1 lapas anak wanita.

Perlindungan anak sesuai dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002, menjamin terpenuhinya hak anak sesuai harkat dan martabat kemanusiaan serta mendapatkan perlindungan dari tindak kekerasan dan diskriminasi. Berdasar atas Pasal 64 Undang-Undang Perlindungan Anak dinyatakan bahwa pemerintah dan masyarakat berkewajiban dan bertanggungjawab untuk memberikan perlindungan khusus yang salah satunya adalah perlindungan khusus kepada anak yang berhadapan dengan hukum, baik yang berkonflik

dengan hukum maupun anak korban tindak pidana.

Perlindungan khusus bagi Anak yang berhadapan dengan hukum dilaksanakan antara lain melalui perlakuan atas anak secara manusiawi, sesuai dengan martabat dan haknya, penyediaan petugas pendamping khusus sejak dini, penyediaan sarana dan prasarana khusus, penjatuhan sanksi yang tepat untuk kepentingan terbaik bagi anak, pemantauan dan pencatatan terus menerus terhadap perkembangan anak yang berhadapan dengan hukum, pemberian jaminan untuk mempertahankan hubungan dengan orang tua atau keluarganya, dan perlindungan dari pemberitaan identitas melalui media masa serta untuk menghindari labelisasi.

b. Kekerasan Terhadap Anak

Anak rentan menjadi obyek kekerasan, eksploitasi dan perlakuan salah. Banyak kasus yang menjadikan anak sebagai korban kekerasan baik secara seksual, fisik, psikis, maupun penelantaran, selain itu, ada juga kekerasan yang diakibatkan oleh kondisi sosial-ekonomi. Anak dianggap sebagai komoditas, tenaga kerja murah, diperdagangkan, dilacurkan, dan terjerat dalam sindikat pengedar narkoba, atau yang dipaksa berada di jalanan karena berbagai sebab.

Sementara itu, penculikan terhadap anak-anak terjadi diberbagai tempat mulai dari dijemput di sekolah, anak sedang bermain, anak sedang berekreasi, dan sedang berada dalam rumah dengan berbagai modus operandi.

Hasil penelitian yang dilakukan oleh UNICEF menunjukkan bahwa “Dua per tiga anak laki-laki dan sepertiga anak perempuan pernah dipukul. Lebih dari seperempat anak perempuan mengalami perkosaan.” Pada tahun 2003 yang melibatkan sekitar 1.700 anak, terungkap bahwa “Sebagian besar anak mengaku pernah ditampar, dipukul, atau dilempar dengan benda.”

Awal 2006, terungkap kekerasan terhadap anak di Jawa Tengah, Sulawesi Selatan, dan Sumatera Utara. Di Jawa Tengah, sebanyak 80 persen guru pernah menghukum anak-anak dengan berteriak di depan kelas. Sebanyak 55 persen guru pernah menyuruh murid berdiri di depan kelas. Di Sulawesi Selatan, sebanyak 90 persen guru pernah menyuruh murid berdiri di depan kelas, 73 persen pernah berteriak kepada murid, dan 54 persen pernah menyuruh murid untuk membersihkan atau mengelap toilet. Di Sumatera Utara, lebih dari 90 persen guru pernah menyuruh murid berdiri di depan kelas, dan 80 persen pernah berteriak pada murid.

Fakta-fakta di atas memperlihatkan bahwa potensi terjadinya kekerasan berada disekitar kehidupan anak. Tidak tempat yang membuat anak terbebas dari ancaman kekerasan dan eksploitasi. Kekerasan dan eksploitasi terhadap anak akan melahirkan sederet penderitaan yang

berkepanjangan yang tertanam dalam benak anak baik secara fisik maupun psikis.

Sebagian besar dari pelaku tindak kekerasan, ternyata dilakukan oleh orang-orang terdekat korban, bahkan oleh orang tua sendiri, baik ibu maupun bapak. Statistik menunjukkan bahwa, ternyata pelaku tindak kekerasan terhadap anak dilakukan oleh lebih 80 % pelaku yang dikenal korban. Hal ini sesuai dengan apa yang dilansir oleh Komnas Perlindungan Anak bahwa, lebih dari 69 % pelaku tindak kekerasan terhadap anak adalah orang yang dikenal baik oleh korban. Kenyataan ini setidaknya mengindikasikan bahwa pada sebagian keluarga, rumah yang seharusnya menjadi tempat yang paling aman bagi anak, kini bukan lagi merupakan tempat yang aman dan nyaman bagi anak, karena justru di rumah sering terjadi tindak kekerasaan terhadap anak.

c. Anak yang Memerlukan Perlindungan Khusus a) Anak di Lokasi Bencana

Anak di lokasi bencana menjadi sangat rentan karena mereka memerlukan bantuan orang dewasa untuk: menyelamatkan diri, mendapatkan pertolongan medis, shelter; dan kebutuhan emergensi lainnya; rehabilitasi dan rekonstruksi pasca bencana.

Antisipasi perlindungan anak di lokasi bencana harus disiapkan sebelum bencana terjadi. Saat ini sebagian besar anak tidak mengetahui kemana dan bagaimana memperoleh bantuan bila bencana datang.

Lingkungan yang layak anak akan memperhitungkan dengan cermat hal-hal semacam itu, termasuk antisipasi anak-anak menjadi korban perdagangan orang.

Anak merupakan kelompok yang mendapat proritas sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana Pasal 55 ayat (2).

b). Anak di Daerah Konflik Bersenjata

Di daerah konflik bersenjata umumnya anak-anak dimanfaatkan oleh kelompok yang sedang berkonflik untuk menjadi kurir, benteng manusia dan tentara anak, biasanya yang memiliki badan besar walaupun usianya masih belasan tahun.

Selain bertentangan dengan undang-undang, hal tersebut secara psikologis berdampak buruk pada anak, menimbulkan trauma yang sangat panjang dan bisa jadi seumur hidupnya. Menyuburkan tumbuhnya budaya kekerasan dari dan pada anak. Pelecehan seksual, perkosaan dan pedofilia, merupakan bentuk kekerasan yang sangat ditakuti anak-anak.

Strategi pembangunan yang peduli anak di daerah konflik dapat mengurangi berbagai resiko fatal tersebut.

c) Anak Cacat

Kondisi anak cacat relatif telah mendapat perhatian dengan didirikannya berbagai panti dan pusat rehabilitasi, khususnya di perkotaan.

Namun akses anak cacat terhadap fasilitas umum masih memprihatinkan, misalnya; tidak semua gedung, pasar, pusat perbelanjaan, stasiun, terminal dan pelabuhan dilengkapi dengan akses bagi anak cacat secara memadai.

Dalam kehidupan sosialpun anak-anak cacat diperlakukan sebagai warga Negara kelas dua atau kelas tiga. Terlihat jelas adanya diskriminasi pada anak cacat.

Undang-Undang mengamanatkan agar negara memberikan perlindungan khusus pada anak cacat. Dalam Undang-Undang Nomor 4 tahun 1997 tentang Penyandang Cacat pasal 6 huruf b disebutkan bahwa anak penyandang cacat mempunyai hak yang san antuk menumbuhkembangkan bakat, kemampuan dan kehidupan sosialnya dalam lingkungan keluarga dan masyarakat.

d) Anak Jalanan

Anak jalanan identik dengan masalah anak di perkotaan, masalah ini semakin kompleks karena bukan saja faktor kemiskinan yang menyebabkan anak menjadi anak jalanan, selain itu faktor sosial budaya juga mempengaruhi.

Anak jalanan menghadapi resiko yang lebih besar menjadi obyek eksploitasi, kekerasan dan pelecehan seksual, kehidupannya sangat rentan terhadap narkoba, premanisme dan kejahatan lainnya.

8) Kekuatan, Peluang dan Tantangan

Dokumen terkait