Agama menjadi salah satu bidang yang paling penting, sebagai pondasi pembangun masyarakat, sekaligus peciri masyarakat itu sendiri. Tidak terkecuali masyarakat Indonesia, dimana agama memegang peran sentral dalam mengidentifikasi individu sebagai masyarakat.
Agama menurut Liliweri (Liliweri dalam Ayu dan Filosa, 2011.h.267) Agama adalah suatu ciri kehidupan sosial manusia yang universa, dalam arti bahwa semua masyarakat mempunyai cara berfikir dan pola-pola perilaku yang memenuhi syarat disebut “agama”(religion). Banyak dari apa yang disebut agama termasuk dalam superstruktur agama itu sendiri dari pesan-pesan bertipe simbol, citra, kepercayaan, dan nilai-nilai spesifik dimana manusia menginterpretasikan eksistensi mereka. Akan tetapi, karena agama juga mengandung komponen ritual, maka sebagian agama tergolong juga dalam struktur sosial bahkan budaya suatu masyarakat (Liliweri dalam Ayu dan Filosa, 2015: 101).
Agama yang diyakini dan dianut oleh seseorang, individu, dapat membentuk suatu identitas keagamaan, berdasarkan praktek-praktek
41
(ritual) keagamaan yang dilakukannya. Hal ini tidak terpisah dari entitas kehidupan sebagai warga masyarakat, yang salah satunya diwarnai oleh latar belakang etnis individual tersebut, dikembangkan dalam suatu lingkungan sosial dalam masyarakat, hingga membentuk identitas sosial-kultur. Menyoroti hal tersebut, agama dan dinamika kehidupan beragama, senantiasa terjadi dalam latar belakang sosial-kultur dalam suatu masyarakat. Agama sebagai hal yang konstan dari lingkungan yang liquid dan fleksibel, maka agama diharapkan menyediakan jawaban pasti dalam merespon, dan memiliki tantangan baru untuk direspon perkembangan zaman dan dinamika masyarakat, sebagai pembeda yang jelas antara perihal yang dianjurkan dan dilarang bagi umat beragama.
Sepanjang sejarah peradapan manusia laki-laki selalu menepati posisi yang dominan sementara perempuan sering diperlakukan secara tidak adil, bahkan kehadiran perempuan di dunia ini, menurut mitos, adalah hanya sebagai pelengkap saja. Ansumsi ini ternyata memiliki andil pada perkembangan selanjutnya yang kemudian laki-laki dianggap sebagai makhluk yang superior, sedangkan perempuan makhluk interior (Maslamah, 2002: 37) Selain diakui oleh tradisi masyarakat, superioritas laki-laki atas perempuan tersebut sepertinya dibenarkan juga oleh norma-norma kitab suci yang ditafsirkan dengan pendekatan teologis semata (dan mengabaikan pendekatan sosio-teologis). Pemikiran dan teolog muslim dari India, Ashghar Ali Enginer sebagaimana yang dikutip Yunahar Ilyas mengatakan :
42
“Secara hitoris, telah terjadi dominasi laki-laki dalam semua masyarakat di sepanjang zaman, kecuali dalam masyarakat-masyarakat matriakhal, yang jumlahnya tidak seberapa. Perempuan dianggap lebih rendah dari pada laki-laki. Dari sini muncullah doktrin ketidak kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Perempuan tidak cocok memegang kekuasaan ataupun memiliki kemampuan yang dimiliki laki-laki, karena itu dianggap tidak setara dengan laki-laki. Laki-laki harus memiliki dan mendominasi perempuan, menjadi pemimpinnya dan menentukan masa depannya, dengan bertindak sebagai ayah, saudara laki-laki atau pun suami. Alasannya, untuk kepentingannyalah dia harus tunduk kepada jenis kelamin yang lebih unggul”.
Menunjukkan adanya indikasi konstruksi maskulinitas yang berbeda dari persepsi yang banyak berkembang tentang konsep kelelakian. Selama ini, laki-laki selalu diidentifikasikan dengan kekuatan fisik, ketangguhan, penggunaan rasio, dan hal-hal stereotipe lainnya yang dikaitkan dengan identitas laki-laki ideal.
Konstruksi maskulinitas bisa dikatakan progresif jika sudah bisa melepaskan diri dari konsep-konsep stereotipe dan normatif. Konsep maskulinitas seperti ini berarti tidak lagi berasumsi bahwa laki-laki identik dengan kekuatan, dominasi, dan rasionalitas yang kaku. Konsep maskulinitas yang progresif berarti mengakomodasi pluralitas konsep maskulinitas yang bisa jadi berlainan dengan konsep maskulinitas yang berkembang.
Pada umumnya bahwa maskulinitas ideal adalah yang lebih mengedepankan kedalaman hati dan kemampuan untuk menjadi pelindung perempuan. Konstruksi maskulinitas ideal yang lebih mengutamakan kualitas hati, bukan pada penampilan dan kekuatan fisik, sejalan dengan konstruksi yang sering ditemukan pada novel-novel populer Islam yang
43
berisikan penuntun dan pengetahuan praktis tentang bagaimana mejadi laki-laki Muslim ideal bagi kaum muda.Buku yang berjudul cowok BE GENTLE yang diakses dalam Jurnal Kajian Sastra dan Bahasa, Universitas Airlangga Vol. 4 No. 1 Tahun 2015,disebutkan:
“Kenyataannya, fisik bukan segala-galanya. Ia nggak jadi ukuran seorang cowok diterima atau ditolak ama lingkungannya. Lagi-lagi cowok salah kalo ia berfikir cewek senang ama cowok karena „fisiknya‟ belaka. Malah, cewek bisa dianggap mereka belagu sombong. Jadi, hilangkan deh, kebanggaan yang sifatnya fisik. Rugi banget! Kata Nabi Muhammad Saw, „Sesungguhnya Allah tidak melihat pada rupamu dan badanmu, tetapi Ia melihat pada hatimu (Januar, 2006).
Dalam masyarakat muslim, maskulinitas terdapat teks-teks dari fiqih, lebih banyak didasarkan pada hadits-hadits Nabi yang kondisional dan perspektif ulama yang mengedepankan kehormatan suku Arab dari pada dikembalikan pada ayat-ayat Al Qur‟an. Penafsiran teks-teks Al Qur‟an yang bias gender dapat ditemukan dalam bermacam tema seperti penciptaan manusia (perempuan diciptakan dari tulang rusuk kiri laki-laki yang bengkok) akal perempuan yang lebih rendah dari laki-laki, peran dosmetik perempuan, istri sekedar menjadi pendamping suami, dan dibebankanya rumah tangga serta pendidikan anak pada perempuan.
Dalam agama Islam terdapat beberapa pandangan gender. Ada yang meyakini adanya kesetaran gender dalam Al Qur‟an, sementara itu pula sebagian lain yang menyakini bahwa laki-laki merupakan pimpinan atas perempuan. Dalam Widiyatama (2006: 10), sebagaimana ulama meyakini bahwa laki-laki merupakan pimpinan (qowwamun) atas
44
perempuan. Kelompok tradisi fiqih, merupakan salah satunya. Alasan pembenar atas konstruksi ini, merujuk pada Surat An-Nisa ayat 34 yang berbunyi: 1. (Qs. An-nisa; 4: 34): ِناَىْمَأ ْهِم اىُقَفْوَأ اَمِبَو ٍضْعَب ىَهَع ْمُهَضْعَب ُ َّاللَّ َمَّضَف اَمِب ِءاَسِّىنا ىَهَع َنىُماَّىَق ُلاَجِّرنا ُتاَحِناَّصناَف ْمِه َمْنا يِف َّهُهوُرُجْهاَو َّهُهىُظِعَف َّهُهَزىُشُو َنىُفاَخَت يِتلاناَو ُ َّاللَّ َظِفَح اَمِب ِبْيَغْهِن ٌتاَظِفاَح ٌتاَتِواَق ِِ ِجاَض َك اًّّيِهَع َناَك َ َّاللَّ َّنِإ لايِبَس َّهِهْيَهَع اىُغْبَت لاَف ْمُكَىْعَطَأ ْنِإَف َّهُهىُبِرْضاَو ( اًّريِب ٤٣ )
“Artinya: Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagaimana yang lain (wanita) dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka Wanita saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.
Ayat tersebut menyatakan, bahasanya yang berhak memegang tampuk kepemimpinan adalah kaum laki, karena kaum laki-laki memiliki kelebihan di atas kaum wanita yang terbukti dengan mengkhususkan tugas kenabihan dan kerasulannya bagi kaum laki-laki. Demikian pula bagi pemimpin bangsa dan negara. Dalam pemerintahan Islam Rasullah SAW tidak memper-bolehkan kaum wanita menjadi pemimpin bagi laki-laki dengan sabdanya :
45
“Sekali-kali tidak akan beruntung (mencapai kemenangan) suatu kaum yang menyerahkan pempinannya kepada seorang wanita.” (HR. Bukhari).
Firman Allah pada surah An-Nisa 32:
“Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebagian kamu lebih banyak dari sebagian yang lain.(Karena) bagi orang laki-laki ada bagian dari pada apa yang mereka usahakan, dan bagi para wanita (pun) ada bagian dari apa yang mereka usahakan, dan mohonlah kepada Allah sebagian dari Karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”
Bertolak dari asbabun nuzul dari ayat tersebut seperti yang diriwayatkan Hakim, dari Ummu Salamah berkata: Wahai Rasullah, mengapa laki-laki diperintahkan berperang sedangkan kaum perempuan tidak? Mengapa kami (perempuan) hanya mendapatkan warisan separuh (dari) laki-laki? Maka Allah menurunkan surat An Nisa-32 dan Al Ahzab 35.
Ketika negeri dalam kondisi perang dan genting, Allah hanya mewajibkan laki-laki berperang. Perang,yang penuh dengan bahaya membutuhkan kekuatan fisik dan mental yang tangguh. Pada umumnya fisik laki-laki lebih kuat dibanding perempuan, demikian juga mentalnya. Sedangkan perempuan, kabanyakan mereka cepat panik bila menghadapi situasi bahaya.
Surah An-Nisa 35 secara kontekstual menyatakan adanya keutamaan tertentu kaum laki-laki atas perempuan. Zamakhsyari, salah seorang mufassir, menjelaskan, kelebihan-kelebihan laki-laki itu ada kelebihan akal, keteguhan hati, kemauan keras, kekuatan fisik,
46
kemampuan menulis pada umumnya, naik kuda, memanah, menjadi nabi, ulama, kepala negara, imam shalat, jihad, azan, khutbah, (Masalamah, 2002: 48).
Menurut penjelasan yang diberikan Thabathaba‟i, bahwa kelebihan laki-laki atas perempuan adalah dalam kekuatan intelektual, oleh karena itu laki-laki lebih tahan dan tabah menghadapi tantangan dan kesusahan. Sementara kehidupan perempuan adalah kehidupan emosial yang dibangun di atas sift kelembutan dan kehalusan. Demikian penafsiran tentang maksud kata “Fadl” (keutamaan).
Terkait dengan kelebihan laki-laki terhadap wanita, kalangan ahli tafsir mengemukakan alasan yang berbeda, namun mempunyai titik kesamaan pada satu hal yaitu pemberian nafkah berupa harta, (Faishal, 2002: 62) Pendapat-pendapat tersebut dapat disimak sebagai berikut :
1) Ibn Katsir mengatakan bahwa ada tiga alasan mengapa laki- laki mempunyai kelebihan dibandingkan dengan wanita karena risalah para Nabi diberikan kepada kaum laki-laki, demikian pula raja-raja nesae (Jilid I:385).
2) Ibn Arabi mengatakan bahwa ada tiga alasan mengapa laki laki mempunyai kelebihan dibandingkan dengan wanita, yaitu kesempurnaan akal dan tamyiz, sempurna agama dan ketaatan (loylitas), baik dalam berjihad, beramar makruf dan nahi munkar, dsb, dan mencurahkan (al-bazl) harta
47
bendanya dalam ujud pemberian mahar (maskawin) dan nafkah (Jilid I:531).
3) Al Maraghi mengemukakan alasan mengapa Allah melebihkan laki-laki bila dibandingkan dengan perempuan, karena dalam penciptaannya. Allah menganugerahkan fisik kepada laki-laki yang tidak pernah diberikan kepada perempuan. Di samping itu kelebihan lelaki disebabkan mampu memberi nafkah berupa harta benda kepada wanita sebagaiman halnya mahar (maskawin) yang dijadikan sebagai ganti (nilai)nya terhadap wanita (Jilid I:27).
Dari ketiga penafsiran tersebut alasan yang lebih dominan adalah kemampuan lelaki memberikan nafkah terhadap wanita. Dengan demikian pemberian nafkah sebagai alasan prinsip (inti) terhadapnya inilah lebih laki-laki terhadap wanita, sementara alasan yang lain bersifat periferal.
Ajaran Islam terkesan memberikan kedudukan berbeda antara laki-laki dengan perempuan dalam banyak hal. Dalam bidang ibadah misalnya, shalat yang merupakan ibadah paling pokok, laki-laki dan perempuan dibedakan paling tidak dalam tigal hal; dalam hal menutup aurat, bacaan jahr (keras) dan tempat shalat. Laki-laki cukup menutup seluruh tubuhnya, kecuali muka dan kedua telapak tangan. Laki-laki dianjurkan mengeraskan bacaannya dalam shalat magrib, isya, dan subuh, sedangkan wanita tidak boleh. Laki-laki sebaiknya sholat berjamaah di
48
masjid, sedangkan wanita lebih baik shalat di kamar. Dalam kehidupan sosial, hampir semua mazhab fiqih memandang wanita sebagai makhluk yang harganya hanya separuh harga laki-laki. Sementara pembagian waris perempuan mendapat bagian separuh dari bagian yang diterima laki-laki, (Huda, 2002: 133).
Hal tersebut di atas menjelaskan dominasi laki-laki terhadap kaum perempuan. Konsep patriarki berlaku di dalamnya, dimana peran wanita tidak setara dengan laki-laki. Laki-laki berada “di atas” perempuan atau memiliki keunggulan atas mereka.
Maskulinitas Islam mengadopsi perspektif konstruksi sosial tentang maskulinitas yang memposisikan laki-laki dalam bingkai struktur sosial dan religiusitas (Ousgane, 205: 2) dalam buku Menikmati Budaya Layar, Membaca Film (Junaedi, 2016: 146). Maskulinitas Islam mendudukkan laki-laki dalam posisi yang istimewa di mana laki-laki mendapatkan legitimasi untuk dari Tuhan. Laki-laki adalah pemimpin dalam keluarga, pekerja maupun dalam kehidupan politik.
Wacana maskulinitas Islam atau bagaimana seseorang muslim yang maskulin diwacanakan dalam novel religi Islam, berbeda dengan wacana dominan tentang laki-laki religius. Misalnya wacana poligami. Dalama novel religi Islam, poligami bukanlah pilihanlaki-laki yang sholeh. Justru poligami digambarkan sebagai praktik yang berat karena sulit berlaku adil. Novel Ayat-Ayat Cinta memang tentang poligami, namun
49
akhir cerita justru disampaikan bahwa poligami sarat masalah dan monogami menjadi akhir yang membahagiakan.
Laki-laki dalam novel religi bukanlah laki-laki yang agresif. Namun mereka merupakan laki-laki yang memiliki karakter seperti yang disebutkan Pam Nilan (2009) dalam buku Menikmati Budaya Layar, Membaca Film (Junaedi, 2016: 147)s ebagai personal/moral self regulation. Mengutip teori Foucault tentang technology of the self, personal/moral self regulation mengacu pada the power of the self, yaitu laki-laki mengutamakan akal daripada emosi. Sesungguhnya karakter ini berakar dari budaya Jawa dan dipresentasikan pada figur Suharto. Implementasi dari karakter ini adalah ia rajin beribadah, seperti sholat lima waktu, membaca Al- Qur‟an dan menghadiri pengajian. Laki-laki sholeh juga ditampilkan sebagai sosok yang sangat menghormati perempuan, superioritas laki-laki bukan pada kekuatan fisiknya namun pada sikapnya.
Jadi Maskulinitas Islam adalah laki-laki yang memiliki ciri-ciri laki-laki yang memiliki keteguhan hati, memiliki kelebihan akal, kemauan kerja keras, memiliki kekuatan fisik, memiliki kemampuan menulis secara umumnya, naik kuda, memanah, menjadi ulama, nabi, kepala negara, iman shalat, jihad, azan, khutbah, pelindung bagi perempuan, maka laki-laki dianggap pantas berada di wilayah publik, mencari nafkah, sebagai kepala rumah tangga, dan menjadi decision maker, (Masalamah, 2002: 46) .
Dengan menampilkan bagaimana laki-laki direpresentasikan dan diatur, media membuat kita secara tidak langsung, si penulis telah
50
mengkonstrusikan sebuah citra atau konsep maskulinitas Islam dan bentuk realitas sosial kepada khalayak, bahwa laki-laki ideal adalah laki-laki yang memiliki ciri-ciri serupa seperti sosok tokoh laki-laki yang ia gambarkan dalam novelnya.
F. Metode Penelitian