• Tidak ada hasil yang ditemukan

4) Cendana sebagai kayu setan

7.2.3 Terhadap Masyarakat

7.2.3.2 Masyarakat Dianggap Tidak Peduli Terhadap Cendana

7.2.3.2 Masyarakat Dianggap Tidak Peduli Terhadap Cendana

Stigma yang menganggap masyarakat tidak peduli terhadap cendana dilatarbelakangi ketetapan pemerintah yang kurang mencerminkan rasa keadilan. Usaha-usaha masyarakat untuk ikut menguasai dan memanfaatkan potensi alam terhalang peraturan pemerintah yang menguasai semua cendana di semua wilayah, baik di lahan milik negara maupun di lahan miliknya sendiri. Usaha masyarakat untuk ikut menikmati keuntungan ekonomi dari potensi tanaman cendana yang tumbuh di lahannya sendiri terhalang aturan pemerintah. Bahkan usaha-usaha menanam cendana untuk kepentingan konsumsi masyarakat lokal tidak mendapat penghargaan setimpal. Cendana yang tumbuh secara alami di lahan-lahan mereka, telah dipelihara dengan susah payah selama bertahun-tahun, akhirnya menjadi milik pemerintah tanpa imbalan memadai. Kondisi ini merugikan masyarakat, karena keinginan beberapa masyarakat mengembangkan populasi cendana di lahan milik untuk kepentingan komoditas belum didukung secara penuh oleh pemerintah.

255 Meskipun saat ini telah ditetapkan peraturan pemerintah yang memberi keleluasaan penguasaan kepada masyarakat, masyarakat tetap tidak peduli dan tidak tergerak untuk ikut mengembangkan cendana.

Ketidakpedulian masyarakat terhadap cendana merupakan dampak negatif peraturan penguasaan cendana yangcenderung menghegemoni. Kebijakan pemerintah dinilai tidak ada dampak positif terhadap tingkat kesejahteraan masyarakat. Ketidakpedulian masyarakat terhadap cendana pada masa otonomi daerah tampak jelas pada era tahun 1980-1990 terutama pasca pemberlakuan Perda Nomor 16 tahun 1986. Pada dasarnya, perda terbebut mempunyai tujuan menghindarkan cendana dari ambang kepunahan. Tetapi aplikasi ide-ide tersebut tidak memihak masyarakat dan bertolak belakang dengan ide-ide awal. Dampak dari kebijakan ini menyebabkan masyarakat tidak bergairah menanam cendana. Bahkan merespon dengan perilaku negatif. Diam-diam masyarakat memusnakan cendana yang tumbuh di kebun-kebun miliknya agar tidak memunculkan masalah. Hal ini justru menyebabkan populasi cendana semakin terancam punah.

Hegemoni penguasaan cendana oleh pemerintah telah menimbulkan tiga dampak negatif terhadap pengembangan cendana yakni; (1) menghilangkan rasa ikut memiliki cendana dikalangan masyarakat, (2) menyuburkan ketidakpedulian masyarakat terhadap cendana, (3) meningkatkan kecenderungan masyarakat melakukan pelanggaran norma hukum. Di samping itu, hegemoni pemerintah memunculkan unsur traumatis dan kerumitan mengurus izin kepemilikan seperti kutipan hasil wawancara berikut.

256 “Sekarang ada peraturan pemerintah yang mengembalikan kepemilikan cendana kepada masyarakat. Pemerintah daerah hanya mengambil 10 %. Itupun untuk surat izin kepemilikan cendana. Tetapi masyarakat enggan mengurus surat izin cendana yang tumbuh di ladangnya yang hanya masih satu atau dua batang saja, terlalu rumit. Jadinya kita jual kepada pengumpul. Pengumpul ini yang urus izin. Jadinya ya.. sama saja keuntungan sedikit dan birokrasi tetap rumit” (wawancara dengan Johanes Huan, pemilik cendana, tanggal 14 Agustus 2010).

Hasil wawancara tersebut bahwa upaya pemerintah mengembalikan hak kepemilikan cendana kepada masyarakat belum memperoleh respon positif. Masyarakat tetap menganggap bahwa mengembangkan cendana tidak memperoleh keuntungan memadai. Kepudulian masyarakat mengembangkan cendana relatis masih rendah, sehingga masyarakat dianggap tidak peduli terhadap cendana.

7.3 Refleksi

Hegemoni pemerintah dan kontra hegemoni masyarakat terkait penguasaan cendana di kabupaten Timor Tengah Selatan bermula dari perbedaan pemahaman antara masyarakat dengan pemerintah. Masing-masing memiliki sudut pandang berbeda terhadap posisi cendana. Pemerintah menilai kemerosotan populasi diduga akibat perilaku masyarakat yang menebang kayu cendana secara serampangan untuk dijual tanpa berupaya menanam kembali.

Pemerintah memandang perlu menetapkan peraturan untuk melindungi populasi cendana dan memanfaatannya untuk pelestarian dan peningkatan pendapatan daerah. Sedangkan masyarakat menganggap pemerintah telah menguasai semua cendana tanpa memberi hak penguasaan kepada masyarakat dianggap telah

257 mengingkari aturan adat. Peraturan yang ditetapkan dianggap semata-mata menguntungkan pihak pemerintah dan mengabaikan hak penguasaan masyarakat. Bahkan pemerintah dianggap tidak adil dan merugikan kepentingan masyarakat, sehingga memunculkan kontra hegemoni yang diwujudkan dalam berbagai perilaku simbolik maupun manifes.

Secara manifes (verbal) masyarakat merespon dengan perilaku represif berupa tindakan nyata yang menentang peraturan pemerintah, misalnya melakukan pencurian dan penebangan liar. Secara simbolik (non verbal) masyarakat merespon dengan beberapa perilaku tersembunyi misalnya sikap tidak peduli. Reaksi masyarakat terhadap peraturan pemerintah yang dianggap memonopoli kepemilikan cendana memunculkan istilah-istilah tertentu sesuai keadaan yang menyertainya. Masyarakat Kabupaten Timor Tengah Selatan menyebut cendana dengan istilah hau meni (kayu arwah), hau plenat (kayu milik pemerintah), hau mamalasi (kayu yang mendatangkan masalah), dan hau nitu (kayu setan).

Sejak pelaksanaan pemerintahan otomoni daerah kepada pemerintah kabupaten, pola-pola penguasaan cendana direvisi sesuai kondisi wilayah masing-masing kabupaten. Pemerintah Kabupaten Timor Tengah Selatan mulai merevisi mekanisme penguasaan cendana sejak tahun 2001. Peraturan tersebur telah memberi porsi pengusaan yang cukup besar kepada masyarakat. Semua cendana yang tumbuh di hutan dan di atas tanah negara di wilayah Kabupaten Timor Tengah Selatan menjadi milik pemerintah Kabupaten Timor Tengah Selatan. Sedangkan cendana yang tumbuh di tanah milik masyarakat menjadi hak milik pemilik tanah

258 bersangkutan dengan pembagian 90 % untuk masyarakat pemilik cendana dan 10 % sebagai retribusi kepada pemerintah Kabupaten Timor Tengah Selatan.

Meskipun kepemilikan cendana di lahan-lahan milik telah diserahkan penguasaannya kepada masyarakat, hegemoni pemerintah masa lampau masih menyisakan unsur traumatis dan kerumitan mengurus izin kepemilikan seperti kutipan hasil wawancara berikut.

“Sekarang ada peraturan pemerintah yang kembalikan cendana pada masyarakat. Pemerintah daerah hanya ambil 10 % untuk urus surat izin. Tetapi masyarakat enggan mengurus surat izin cendana yang tumbuh di ladangnya yang hanya masih satu atau dua batang saja, terlalu rumit. Jadi kita jual pada pengumpul. Pengumpul ini yang urus izin. Jadi, ya.. sama saja, untung sedikit, urus rumit...” (wawancara dengan Johanes Huan, pemilik cendana, tanggal 14 Agustus 2010).

Traumatis masyarakat yang berdampak terhadap rendahnya minat masyarakat mengembangkan cendana, juga didukung kurangnya pengetahuan pembudidayaan berdasatkan teknologi tepat guna dan pandangan masyarakat bahwa cendana tidak boleh dibudidayakan karena menentang kodrat alam. Pandangan dimikian sedikit-demi sedikit memang sudah mulai bergeser, beberapa masyarakat sudah mulai menanam tetapi belum melakukan pembudidayaan menerapkan ilmu pengetahuan dan teknologi moderen. Mereka masih mengandalkan penanaman cendana secara alami berdasarkan tradisi turun-temurun. Meskipun demikian, sebagian masyarakat sudah ada yang berhasil menerapkan pengetahuan lokal dalam pengembangan cendana, misalnya Ibu Katerina Koniki di Kabupaten Sumba Barat bahkan telah mendapatkan penghargaan kalpataru dari pemerintah.

259 Selain diperlukan strategi komunikasi dan cara alih teknologi yang tepat, maka masih banyak kegiatan penelitian cendana yang harus dilakukan untuk memberikan sumbangan nyata bagi upaya pelestarian dan pengembangan cendana. Faktor lingkungan ekstrim menyebabkan pengembangan cendana memerlukan perlakuan dan perhatian khusus. Ancaman kebakaran, gangguan ternak dan ancaman keamanan tanaman menjadi faktor eksternal yang sangat berpengaruh terhadap keberhasilan pengembangan cendana sehingga perlu menerapkan prinsip-prinsip silvikultur intensif. Ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) silvikultur intensif cendana sebagian sudah banyak dilakukan oleh lembaga-lembaga penelitian dan menunjukan hasil yang signifikan. Hal yang perlu terus dikembangkan adalah bagaimana IPTEK dapat dirakit menjadi tepat guna sehingga secara sosial mudah diterapkan masyarakat dan tidak memerlukan biaya mahal.

Kebijakan mendasar yang perlu dilakukan adalah membangkitkan kembali kesadaran masyarakat agar berpartisipasi aktif untuk menanam dan melestarikan cendana yang tersisa. Partisipasi masyarakat menjadi kunci yang sangat penting karena cendana merupakan jenis tanaman yang memerlukan perawatan yang intensif. Populasi cendana yang terus menurun akan mengancam kelestarian cendana sehingga perlu tindakan segera untuk meningkatkan populasinya baik melalui upaya konservasi maupun pengembangan tanaman cendana. Oleh karena itu, kebijakan pengelolaan cendana perlu segera dikaji dan diperbaiki untuk menjadi dasar hukum yang mampu pelestarian dan pengembangan cendana secara operasional. Guna mencapai tujuan pelestarian dan pengembangan potensi cendana ada beberapa program aksi dan

260 kegiatan yang dilaksanakan antara lain pemberdayaan peran tokoh agama, tokoh adat, tokoh masyarakat, lembaga profesi, dan institusi lokal. Pemberdayaan peran media cetak dan elektronik lokal dan nasional juga perlu dilaksanakan untuk menyebarluaskan informasi dan dapat menggugah masyarakat lokal maupun nasional untuk ikut berpaptisipasi mengembangkan dan melestarikan cendana.

Aspek penting yang perlu segera dijalankan dalam strategi perlindungan dan pelestarian cendana adalah inventarisasi potensi dan sebaran cendana, pelestarian atau konservasi cendana, dan kebun bibit rakyat. Selain inventarisasi potensi, sebaran, dan konservasi, pembentukan kebun bibit rakyat merupakan program yang melibatkan masyarakat secara langsung. Kebun bibit rakyat merupakan cara tepat untuk mengatasi masalah kelangkaan bibit berkualitas, sehingga pembentukan kebun bibit rakyat dilaksanakan semaksimal mungkin. Dalam hal ini, sebanyak mungkin dipilih pohon induk milik masyarakat yang bijinya dimanfaatkan sebagai sumber bibit berkualitas dengan pemberian kompensasi tertentu kepada pemilik pohon induk bersangkutan. Apabila hasil pembudidayaan tidak memadai, Dinas Kehutanan membeli dari orang yang memang sengaja membudidayakan cendana.

Satu hal yang tidak kalah penting adalah perluasan jangkauan pendidikan dan pembinaan generasi muda tentang pelestarian cendana pada tingkat sekolah. Pendidikan pada tingkat sekolah merupakan upaya penyadartahuan dan komunikasi antara pemerintah sebagai otoritas penguasa wilayah dan masyarakat selaku habitat pendukung kelestarian cendana. Keduanya memiliki tanggung jawab agar pengelolaan cendana di masa yang akan datang dapat berjalan dengan baik

261 Pentingnya kesadaran bersama antara pemerintah dengan masyarakat dapat mendorong pengelolaan cendana yang lebih bijak dan tidak merugikan masyarakat. Aksi ini meliputi implementasi kegiatan pengembangan cendana di lahan masyarakat, pemberian penghargaan kepada masyarakat yang memberikan kontribusi nyata terhadap pelestarian dan pengembangan cendana, pembentukan kelompok tani cendana, pembentukan forum cendana, penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan kelompok tani cendana.

Dokumen terkait