• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL TEMUAN LAPANGAN

A. Masyarakat Pesisir di Kabupaten Cirebon, Jawa Barat

1. Permasalahan Masyarakat Pesisir Cirebon

Identifikasi kebutuhan untuk kegiatan model kurikulum dilaksanakan di Desa Gebangmekar, Kecamatan Gebang, Kabupaten Cirebon. Masyarakat Desa Gebangmekar sebagian besar merupakan nelayan, sedangkan sebagian kecil merupakan petani yang bergelut di bidang tambak bandeng, peternakan kerang hijau maupun rumput laut. Sebagai desa nelayan, nadi kehidupan masyarakatnya sangat khas. Puluhan perahu bersandar di tepian pantai, jemuran ikan asin atau udang kecil terhampar di depan rumah nelayan, bau anyir dari ikan hasil tangkapan dan kesibukan ibu-ibu beserta anak-anak memilah ikan hasil tangkapan untuk dijual ke pasar.

Dari hasil observasi lingkungan desa nelayan terlihat bahwa kehidupan mereka sungguh memrihatinkan. Kemiskinan masih membelit dalam keluarga nelayan. Hal ini dapat dilihat dari kondisi rumah nelayan tradisional dan barang-barang yang mengisi ruang rumah mereka. Hasil dari diskusi fokus dan wawancara dengan nelayan terungkap bahwa sebagian besar nelayan merupakan nelayan tradisional. Hasil tangkapan nelayan dari Desa Gebangmekar adalah ikan pire, teri nasi dan rajungan. Nelayan menghabiskan waktu kurang lebih 12 jam di laut dan dalam durasi waktu yang begitu lama mereka menghasilkan ikan tangkapan sekitar 20 kg. Hasil tangkapan ini tidak bisa dimaksimalkan lagi akibat batasan penangkapan ikan tidak bisa terlalu jauh. Ini bisa dimaklumi karena kondisi perahu, teknologi alat menangkap ikan masih sederhana dan kompetensi nelayan dalam menangkap ikan belum memadai.

Pekerjaan nelayan merupakan pekerjaan warisan dari dua atau tiga generasi sebelumnya dalam keluarga. Pekerjaan yang turun temurun ini tidak menuntut kompetensi yang tinggi, sehingga nelayan tidak perlu mengenyam pendidikan yang tinggi. Kondisi ini terungkap pada saat diskusi fokus dan wawancara yang menyatakan pada umumnya pendidikan nelayan hanya

sampai SD. Wajib belajar pendidikan dasar saja tidak mereka penuhi karena tidak sampai tamat SMP. Pendidikan yang dianggap sebagai alat untuk menuju strata yang lebih tinggi belum menjadi prioritas dari nelayan. Hal ini bisa dipahami karena ritme kehidupan nelayan yang tidak memberi ruang untuk anak mengutamakan pendidikan, tetapi lebih utama bekerja membantu orang tuanya melaut.

Permasalahan pelibatan anak usia sekolah dalam melaut tidak bisa dihindari karena sulitnya mencari ABK (Anak Buah Kapal). Keterbatasan ABK yang makin cenderung langka saat ini dipicu kemudahan pemilik modal atau juragan menggelontorkan dana untuk pembelian perahu. Oleh karena itu, nelayan-nelayan tradisional banyak yang memiliki perahu sendiri dengan kapasitas 6 orang. Dengan demikian untuk memenuhi ABK dalam setiap perahu, nelayan melibatkan anak-anak mereka walaupun masih dalam usia sekolah. Menjadi suatu kebanggaan dalam keluarga nelayan kalau mereka memiliki anak lelaki karena bisa meneruskan profesi sebagai nelayan. Ritme bekerja sebagai nelayan dimulai pada dini hari sampai tengah hari, perkiraan kisaran waktu yang diperlukan melaut sekitar 12 jam. Kondisi yang melelahkan ini tidak memungkinkan anak-anak untuk sekolah. Selain itu, dengan melaut mereka sudah merasakan hasil jerih payahnya dengan mendapatkan uang. Keadaan inilah yang semakin menjauhkan anak-anak untuk lebih serius dalam mendapatkan pendidikan. Permasalahan inilah yang mengakibatkan nelayan semakin terpuruk seperti benang kusut, tidak bisa terurai karena mendapatkan warisan dari generasi di atasnya. Rendahnya pendidikan memengaruhi pola pikir nelayan dalam menjalankan profesi mereka. Tidak maksimal dalam melaut karena keterbatasan dalam penguasaan teknologi penangkapan ikan, ketergantungan kepada pemilik modal untuk menjual hasil tangkapan mereka, tidak mempunyai posisi tawar dalam menentukan harga ikan dan keselamatan kerja yang tidak memadai. Permasalahan-permasalahan itu akan terus membelit mereka kalau profesi sebagai nelayan benar-benar hanya sebagai warisan saja, tidak ditingkatkan dengan inovasi pernelayanan yang menuntut keterampilan dengan pengetahuan yang lebih memadai.

Struktur sosial yang sudah diwariskan ini semakin tidak mengalami perubahan kalau juragan sebagai pemilik modal tidak membantu nelayan dengan sistem kredit lunak. Selama ini, menurut nelayan pada saat wawancara dan diskusi fokus menyatakan bahwa juragan memberikan modal untuk membeli perahu dengan cara pengembalian pinjaman melalui penjualan ikan hasil melaut. Harga ikan tangkapan mengikuti patokan dari juragan dan peminjaman modal tidak mengikuti prosedur yang jelas, misalnya berapa jangka waktu pengembalian dan besaran nominalnya tidak pasti. Dengan demikian nelayan sangat tergantung pada juragan, tidak ada kepastian dalam melunasi hutangnya.

Ketergantungan nelayan pada juragan atau bakul dalam pembelian perahu atau modal untuk melaut menyebabkan juragan mempunyai kuasa dalam penentuan harga hasil tangkapan laut. Kondisi ini tidak mendapat perlawanan dari nelayan karena tidak ada organisasi nelayan yang bisa menyuarakan hak-hak mereka. Kekuatan juragan selain modal adalah jaringan kekuasaan dengan pimpinan formal tingkat desa yang sering menekan harga tangkapan dari nelayan menjadi rendah. Apabila ada nelayan-nelayan yang vokal, mereka diberi jabatan di KUD supaya “diam”. Demikian juga perusahaan yang akan membeli dengan harga tinggi ikan hasil tangkapan nelayan ditekan oleh preman-preman bentukan tengkulak. Konflik nelayan dengan tengkulak ini lah yang belum bisa diurai oleh pemerintah tingkat desa yang seharusnya menjadi pengayom masyarakat.

Ketimpangan sosial ekonomi jelas terlihat nyata dari fisik tempat tinggal, juragan menempati rumah mewah bertingkat, sedangkan sebagian besar nelayan dengan hunian yang kurang layak. Beberapa nelayan ada yang menempati rumah bagus karena anak perempuannya bekerja sebagai TKW ke luar negeri. Masa paceklik yang cukup lama, sekitar 7 bulan mendorong nelayan bekerja serabutan yaitu ada yang ikut membantu petani, menarik becak atau ke Jakarta melaut di Cilincing. Keterampilan nelayan yang jauh dari memadai menjadi masalah serius pada saat paceklik. Tidak ada pelatihan keterampilan untuk nelayan, baik dari pemerintah atau lembaga masyarakat. Pelatihan untuk perempuan, seperti keterampilan membuat baso

ikan pernah diadakan, tetapi berhenti setelah program itu selesai karena tidak ada pendampingan. Pemberdayaan tanpa pendampingan tentu saja membuat program itu tidak maksimal, karena masyaraksat memerlukan penguatan untuk peningkatan kapasitas individu dan kelompok. 2. Peran dan Kapasitas Lembaga Pendamping Program Pemberdayaan

Lembaga pendamping yang dilibatkan dalam kegiatan ini adalah PKBM Mentari yang lokasinya berada di Kecamatan Gebang. Lembaga ini belum melakukan pendampingan program pemberdayaan komunitas nelayan di Desa Gebangmekar, meskipun dalam pelaksanaan kegiatan pendidikan kemasyarakatan memfokuskan bidang pendidikan nonformal dengan pendekatan social enterpreneurship. Dari hasil diskusi fokus dengan pengurus PKBM terungkap bahwa permasalahan nelayan di Gebangmekar menjadi perhatian serius dari lembaga itu, meskipun masih dalam wacana belum ada aksi. Pelatihan keterampilan untuk ibu-ibu terkait program Keaksaraan Fungsional (KF), seperti keterampilan membuat baso ikan telah dilaksanakan meskipun tidak berkelanjutan dengan program pendampingan, berhenti karena tuntutan proyek dari pemerintah.

Pemberdayaan perempuan sebenarnya bisa menjadi fokus dari lembaga ini bila melihat potensi perempuan-perempuan Desa Gebangmekar. Peran perempuan menjadi penting karena bertugas mencari ABK di saat suami akan melaut. Selain itu, juga ikut memasarkan ikan hasil tangkapan suami atau membersihkan perahu setelah suami melaut. Perempuan Desa Gebangmekar juga terampil membuat terasi yang sebenarnya bisa ditingkatkan oleh PKBM dengan cara pengolahan dan kemasan yang lebih menarik. Potensi limbah ikan sudah menjadi analisis PKBM Mentari karena melihat potensi ini belum termanfaatkan dengan baik. Limbah hasil perikanan, seperti ikan asin atau terasi belum diproduksi masyarakat Gebangmekar melainkan diproduksi oleh pengusaha di sekitar Kecamatan Gebang atau dari luar Kabupaten Cirebon.

Identifikasi kebutuhan diperlukan dalam awal mengembangkan program pemberdayaan. Untuk itu, PKBM perlu menjalin jejaring dengan organisasi

lain agar peta keterampilan yang dibutuhkan oleh masyarakat itu dapat terealisasi. Pengorganisasian diperlukan oleh komunitas nelayan maupun perempuan agar potensi diri dan kelompok dapat dipetakan untuk penguatan kapasitas. Hal seperti ini yang seharusnya dilakukan oleh PKBM Mentari ke depan agar program PKBM berbasis kewirausahaan dalam upaya pendampingan ekonomi keluarga bisa tercapai

3. Peran Pemerintah dalam Program Pemberdayaan

Pemerintah melalui Kementerian Perikanan dan Kelautan telah melaksanakan program bantuan kepada nelayan di Desa Gebangmekar sebesar 100 juta rupiah. Bantuan ini tidak tepat sasaran karena peruntukkannya bukan pada nelayan, tetapi pada pengurus KUD atau kepala desa. Ini berdampak pada program yang tidak berkelanjutan sebab tidak dikelola dengan benar. Pengurus KUD atau perangkat desa akan menyalurkan bantuan pada kelompok keluarganya bukan pada nelayan yang membutuhkan. Untuk itu, harapan dari nelayan menginginkan dana dari pemerintah sebaiknya diberikan pada pimpinan yang dipercaya oleh masyarakat nelayan, bukan pada pimpinan dari lembaga, misalnya KUD yang merupakan kepanjangan tangan dari kepentingan tengkulak.

Pelatihan keterampilan dari pemerintah yang menarik minat nelayan seperti pengelasan perahu terkadang penyelenggaraannya di luar Desa Gebangmekar. Tempat yang jauh memerlukan biaya transportasi, sehingga nelayan yang berminat terpaksa batal mengikuti pelatihan itu. Sebaiknya pelatihan keterampilan diselenggarakan di tempat yang mudah aksesnya dan program-program keterampilan diharapkan ada program pendampingan. Pada umumnya keterbatasan modal menjadi kendala, sehingga pendampingan menjadi penting dilaksanakan agar pemberdayaan menjadi berkelanjutan.

B. Masyarakat Pesisir di Kabupaten Jeneponto, Sulawesi Selatan

Dokumen terkait