• Tidak ada hasil yang ditemukan

3 Masyarakat Suku Asli dari

Dalam dokumen Satu Yang Kami Tuntut: PENGAKUAN (Halaman 27-35)

Amerika Utara kehilangan sebagian besar wilayah adat mereka selama berlangsungnya ‘Perang Indian’ melawan serdadu pemerintah, namun kehilangan tanah yang dialami justru lebih banyak dan lebih cepat ketika pemerintah mengijinkan penjualan tanah-tanah adat mereka. Pasar tanah, hutang dan korupsi para pejabat mempercepat proses kehilangan tanah adat.

Satu Yang Kami Tuntut: Pengakuan

masyarakat adat yang tidak ditempati ke dalam pasar tanah. Masyarakat adat di lembah Mississippi justru kehilangan tanah-tanah dan berbagai sumber-sumber daya alamnya lebih cepat setelah Undang-Undang Dawes memberikan sertifikat-sertifikat hak milik tanah perorangan bagi orang-orang Indian dibandingkan pada masa ketika belum ada undang-undang yang secara jelas mengatur soal kepemilikan tanah tersebut.

Di Afrika timur saat ini, pemberian sertifikat hak milik tanah atas tanah adat suku Maasai telah menyebabkan tanah-tanah tersebut hilang secara cepat. Bencana ini terjadi ketika para ketua suku menjual dan

memperdagangkan kawasan pertanian dan penggembalaan ternak yang

Antrian orang Indian untuk mendapatkan sertifikat tanah atas sedikit lahan yang tersisa dari warisan nenek-moyangnya (1898). Sistem peruntukan tanah hampir menghancurkan seluruh sistem sosial tradisional dan melahirkan kemiskinan serta beralihnya tanah dengan cepat kepada orang luar.

Satu Yang Kami Tuntut: Pengakuan

baru ditetapkan sebagai lokasi peternakan skala besar untuk menambah kekayaan mereka meski harus dengan pengorbanan masyarakat banyak. Banyak orang Maasai yang jatuh miskin. Yang terusir dari tanah mereka sendiri mengatakan bahwa "Sebuah sertifikat hak milik tanah

sebetulnya tidak lebih dari sebuah surat ijin untuk menjual tanah kalian sendiri".

Di Amerika Latin banyak masyarakat adat menangani persoalan ini dengan menuntut dibuatnya sertifikat tanah yang menjamin dua prinsip yaitu kepemilikan bersama (kolektif) dan kepemilikan yang tidak boleh dialihkan. Ini berarti bahwa tanah tersebut selamanya akan menjadi milik komunitas dan dengan demikian merupakan warisan untuk kepentingan generasi mendatang. Tanah-tanah yang tidak boleh dialihkan dengan

demikian juga menjadi tidak mungkin dipindah-tangankan, tidak dapat dijual, disewa, atau digadaikan. Banyak negara Amerika Latin sekarang telah mengadopsi peraturan perundangan yang mengakui prinsip tidak boleh dialihkan dan pemilikan bersama (kolektif) tersebut. Satu hal yang

Para penggembala masyarakat adat Masaai di Afrika Timur pernah memiliki ladang

penggembalaan yang sangat luas. Sertifikasi tanah telah menyebabkan para elit suku mendapatkan tanah, sementara yang lainnya tidak mendapatkan apa-apa. Banyak yang menyimpulkan bahwa ‘Sertifikasi tanah hanyalah sarana untuk menjual tanah kami’.

Satu Yang Kami Tuntut: Pengakuan

barangkali menjadi kesulitan adalah bahwa dengan sistem seperti ini

komunitas-komunitas pemilik tanah tidak dapat mengagunkan tanah tersebut untuk mendapatkan pinjaman uang. Hal ini tidak masalah karena ada banyak cara lain bisa dilakukan oleh komunitas-komunitas tersebut untuk dapat memperoleh

kredit tanpa harus menempatkan masa depan anak-cucu mereka ke dalam pertaruhan yang penuh resiko.

Pada awal abad 20, para ahli hukum Belanda menghabiskan banyak sekali waktu mereka untuk menganalisis adat. Menurut pandangan mereka terdapat 19 wilayah persekutuan adat di Indonesia khususnya yang menyangkut tanah. Sekalipun mereka menekankan adanya perbedaan ini, para ahli hukum Belanda juga menyimpulkan secara umum bahwa prinsip dasar dari hukum adat adalah ‘hak alokasi’ yang menurut penelitian itu menyatakan bahwa di Indonesia tanah tidak dimiliki seperti dalam pemahaman barat, melainkan menjadi milik

Indian Sanema dari Venezuela Selatan. Hukum-hukum di Amerika Selatan

sekarang mengakui hak kolektif masyarakat adat atas tanah dan wilayahnya yang tak dapat dipisahkan, tak dapat diperjual-belikan atau digadaikan.

Satu Yang Kami Tuntut: Pengakuan

komunitas. Tanah tidak dapat diperjual-belikan, namun komunitas mengalokasikan tanah kepada anggota-anggota komunitasnya untuk diusahakan dan diwariskan, dan juga bisa dialokasikan kepada orang luar yang datang ke komunitas tersebut untuk diusahakan dengan waktu yang terbatas. Konsep yang sekarang muncul tentang kepemilikan bersama yang tidak boleh dialihkan sebetulnya tidak jauh berbeda dari pengertian ini.

Pandangan Yang Muncul Dari Musyawarah

Hak jenis apa saja yang sedang didengungkan dengan tegas oleh

masyarakat adat saat ini? Selama berlangsungnya salah satu musyawarah muncul sebuah pernyataan yang tegas di bawah ini:

Dalam komunitas saya, pemahaman kami tentang hak ini adalah kami mempunyai hak atas tanah kami dan sumber daya alam baik di atas maupun di bawah tanah. Semua yang ada dalam wilayah kami mulai dari bumi sampai ke langit adalah milik kami. Beberapa undang-undang dan kebijakan telah menetapkan hutan-hutan kami sebagai hutan Negara dan bahan-bahan tambang sebagai hak milik Negara. Kami tidak memandangnya demikian. Saya mempunyai rambut di lengan dan kulit saya. Semuanya itu milik saya. Saya juga punya tulang dan darah di bawah kulit, itu semua juga milik saya. Tak ada seorangpun yang punya hak untuk memisahkannya dari saya. Namun kenyataannya, kebijakan yang dibuat telah merampas semua itu dari saya dan memotong-motongnya menjadi bagian-bagian kecil yang terpisah. Kami menghendaki seluruh tanah kami kembali dengan utuh.

Peserta musyawarah juga mengemukakan tuntutan atas apa yang oleh para ahli hukum tentang hak atas tanah menyebutnya sebagai

‘sekumpulan hak yang utuh’ (a full ‘bundle of rights'). Para peserta menekankan soal hak untuk memiliki, melindungi, mempertahankan,

Satu Yang Kami Tuntut: Pengakuan

mengelola, mengatur, menguasai, menggunakan dan mewariskan tanah-tanah dan wilayah adat mereka.

Dalam musyawarah tersebut, banyak penekanan diberikan pada hak komunitas-komunitas masyarakat adat untuk mengidentifikasi dan menentukan batas tanah-tanah mereka melalui kegiatan-kegiatan pemetaan komunitas yang berbasis pada pengetahuan mereka tentang wilayahnya dan bekerjasama dengan kampung-kampung tetangga. Tanah adat dalam pengertian seperti itu harus mencakup kawasan hutan adat untuk dimanfaatkan, kawasan sakral atau keramat, kawasan kebun wanatani (agroforest), kawasan terbuka, kawasan perladangan gilir balik dan kawasan tempat ternak merumput, dan juga kawasan pemukiman dan lahan persawahan.

Meskipun sudah jelas hak-hak apa yang dituntut masyarakat adat, belum ada kejelasan tentang di mana ruang pengakuan dari Negara. Ini bukan soal yang mengejutkan mengingat kenyataan betapa kacaunya

administrasi pertanahan di seluruh penjuru negeri ini.

Musyawarah juga mengungkapkan sejumlah pergeseran pemahaman tentang konsep hak ulayat. Kami menemukan beragam penggunaan istilah untuk menjelaskan konsep-konsep di bawah ini:

■ Tanah adat dalam posisinya terhadap tanah bersertifikat

■ Kawasan yang dicakup oleh hak penggunaan bukan hak kepemilikan

■ Wilayah pemilikan kolektif diposisikan terhadap wilayah pemilikan perorangan

Ini semua, sekali lagi bukan soal yang mengejutkan mengingat peraturan perundangan di Indonesia telah mengkacau-balaukan pemahaman hukum tentang hak ulayat.

Satu Yang Kami Tuntut: Pengakuan

Kebanyakan peserta musyawarah menekankan pentingnya memperkuat kembali hak kolektif komunitasnya atas tanah-tanah adat. Sekalipun demikian tidak ada cukup kejelasan tentang bagaimana komunitas-komunitas masyarakat adat berurusan dengan pasar tanah, serta data yang baik tidak cukup tersedia, bukti yang disajikan menunjukkan bahwa pasar tanah sangat lazim dan menjadi persoalan di sejumlah daerah. Penjualan tanah tidak terbatas pada tanah-tanah dengan sertifikat yang jelas dan benar tapi juga dilakukan berdasarkan perjanjian yang tidak tertulis. Lebih jauh dari itu, pasar tanah tidak terbatas hanya pada lahan persawahan padi. Pasar tanah juga ramai menyertakan tanah-tanah perkebunan karet rakyat dan wanatani di Kalimantan Barat dan di lahan pertanian kering di Tana Toraja. Mekanisme adat untuk mengontrol pengalihan tanah sudah lemah sebagai akibat dari penerapan pemerintahan desa yang seragam di seluruh Indonesia dan sertifikasi pertanahan.

Di Toraja ada indikasi bahwa 80 persen lahan persawahan digadaikan. Hal ini terjadi terutama sebagai bagian dari pasar internal yang terkait dengan kewajiban menyumbangkan kerbau dan hewan-hewan piaraan lain untuk korban bagi pemakaman anggota keluarga yang sudah meninggal. Meskipun demikian, spekulasi tanah semakin marak dengan adanya tekanan permintaan tanah untuk pembangunan hotel dan perkebunan kopi. Pasar tanah ini juga semakin marak karena para

bangsawan dan kelompok pemilik tanah semakin banyak yang berdiam di kota, mereka semakin tidak terikat pada aturan-aturan adat. Di Kalimantan Barat para pelaku kredit simpan pinjam (Credit Union) dari kalangan masyarakat adat menerima tanah dalam bentuk kebun karet sebagai agunan ketika memberi pinjaman.

Diskusi untuk menjawab apakah ada keperluan untuk mengatur pemasaran tanah jika adat diberlakukan, para peserta menyampaikan

Satu Yang Kami Tuntut: Pengakuan

berbagai macam tanggapan. Beberapa peserta menegaskan bahwa setiap individu berhak untuk membeli dan menjual tanah mereka. Peserta lainnya berpikir bahwa penjualan tanah seharusnya dikontrol oleh

kelembagaan adat. Sebagian lainnya lagi menyatakan bahwa wilayah adat tidak dapat dilepaskan dan pengalihan tanah di dalam komunitas itu sendiri dapat dibolehkan sesuai aturan adat yang berlaku.

Ini merupakan suatu persoalan yang harus digali lebih dalam dan didiskusikan lebih jauh agar bisa mencegah diterbitkannya aturan penguasaan tanah yang tidak mungkin dilaksanakan atau aturan yang dipilih secara tidak seksama.

Satu Yang Kami Tuntut: Pengakuan

Beberapa Contoh Sebagai Perbandingan

Di banyak negara lain, ketidakjelasan tentang bagaimana komunitas masyarakat adat menentukan wakilnya dalam perundingan-perundingan dengan pihak luar telah menimbulkan persoalan yang serius. Siapa yang punya hak secara hukum untuk bernegosiasi dengan pihak luar atas nama komunitas? Siapa yang punya wewenang menandatangani kesepakatan mewakili masyarakat adat? Siapa saja yang harus dilibatkan? Tanpa adanya kejelasan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini, aspirasi komunitas masyarakat adat dapat dengan mudah dihancurkan, dimanipulasi atau diselewengkan.

Sebagai contoh di Papua Nugini, 98 persen tanah dimiliki secara kolektif oleh marga yang mempunyai hak atas sumber daya hutan di atas tanah-tanah tersebut. Walaupun demikian kebanyakan tanah-tanah dataran rendah disewakan kepada perusahaan penebangan hutan yang tidak peduli dengan kerusakan ekologi yang ditimbulkan dan dampak negatifnya, menyebabkan kemiskinan. Terdapat banyak penjelasan untuk hal ini. Satu alasan penting karena adanya pengakuan adalah hak-hak yang kuat menurut peraturan perundangan, tidak diimbangi dengan ketepatan dan kerincian dalam undang-undang yang mengatur tentang siapa yang dapat menandatangani kontrak penyewaan atas nama komunitas. Asosiasi-asosiasi pemilik tanah yang tidak mewakili masyarakat adat secara utuh, hanya dengan mengatas namakan masyarakat adatnya memperalat berbagai macam peraturan perundangan. Keterwakilan masyarakat adat pemilik tanah adat dipalsukan digunakan untuk mengikat perjanjian

Dalam dokumen Satu Yang Kami Tuntut: PENGAKUAN (Halaman 27-35)

Dokumen terkait