• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tempat dan Waktu Penelitian

Pengambilan sampel untuk penelitian dilakukan di Pelabuhan Tanjung Priok pada bulan Agustus sampai dengan Desember 2011. Pengujian dilakukan di Laboratorium Balai Besar Karantina Pertanian Tanjung Priok , Jakarta Utara pada bulan Januari sampai dengan Maret 2012.

Pengolahan data dari hasil pengujian dilakukan di Bagian Kesehatan Masyarakat Veteriner, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.

Alat dan Bahan Penelitian

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah daging sapi impor tanpa tulang dan untuk pengujian digunakan Ridascreen ELISA Kit (Art. No.: R3301, r-Biopharm AG, Darmstadt, Jerman). Bahan kimia yang digunakan adalah akuades, phosphat buffer saline (PBS Buffer, Bio Basic Inc, PD 0435), tert-buthylmethylether ((CH3)3COCH3, Merck 1.01849.1000), kloroform (CHCl3, Merck 1.02445.2500), natrium hidroksida (NaOH, Merck 1.06498.1000).

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah tabung erlenmeyer, timbangan analitik, tabung sentrifus 15 ml, multichannel/singel pipet, tip, evaporator, vortex, gunting, pinset, pipet, spatula, sentrifuse, freezer -25 °C,

waterbath, ELISA reader (Thermo Scientific) dengan Skenit software 2.5.1.

Rancangan Penelitian

Pengambilan sampel dilakukan secara acak sederhana terhadap daging tanpa tulang yang diimpor dari Australia dan Selandia Baru pada setiap kedatangan sampai jumlah sampel terpenuhi dengan menggunakan rumus detect disease

sebagai berikut (Martin et al. 1987): n = [1-(1-a)1/D] [N-{(D-1)/2}]. Keterangan:

n : ukuran sampel

a : tingkat kepercayaan (95%)

D: nilai dugaan populasi yang sakit (D = PxN, dengan asumsi P : 5%) N: jumlah populasi

Daging impor dari Australia (2010) mencapai 55 415 399 kg dan Selandia Baru sebesar 38 672 695 kg. Unit sampling yang digunakan adalah boks daging yang diimpor. Perhitungan jumlah sampel dalam penelitian ini disajikan pada Tabel 4.

Tabel 4 Perhitungan jumlah sampel daging yang diimpor dari Australia dan Selandia Baru

Negara asal Importasi daging (kg) boks (27.2 kg) Konversi per

Jumlah sampel (=n)*

Australia 55 415 399 2 037 330 59

Selandia Baru 38 672 695 1 421 790 59 * dengan menggunakan perangkat Win Episcope 2.0

Persiapan Sampel

Preparasi sampel daging pada penelitian ini mengacu pada application note r-biopharm. Daging tanpa tulang yang telah dibuang lemaknya diambil sebanyak 1 g, dihomogenkan dengan 1 ml 20 mM PBS buffer menggunakan vortex kemudian sampel ditambahkan dengan 10 ml larutan tert-butilmethylether

dan dikocok selama 30 menit, disentrifus selama 10 menit dengan kecepatan 4 000 g pada suhu 10-15 °C. Supernatan yang terbentuk dipindahkan ke tabung lain dan dievaporasi hingga kering pada suhu 60 °C. Residu yang sudah kering tersebut dilarutkan dalam 1 ml kloroform, lalu ditambahkan 3 ml 1 M NaOH dan dicampur selama 30 detik. Larutan disentrifus kembali selama 10 menit dengan kecepatan 4 000 g pada suhu 10-15 °C. Supernatan dipindahkan ke tabung lain yang berisi 250 µl asam asetat 96%, kemudian ditambahkan 5 ml larutan tert-butilmethyleter dan dibekukan pada -25 °C selama 60 menit. Supernatan dipindahkan kembali ke tabung lain dan di evaporasi hingga kering pada suhu 60 °C. Residu yang didapatkan tersebut dilarutkan dalam 2 ml cairan buffer dan diambil sebanyak 20 µl, untuk masing-masing sumur microplate.

Prosedur Pengujian

Prosedur deteksi residu zeranol dengan metode ELISA mengacu pada

application note r-biopharm. Larutan antibodi sebanyak 100 µl dimasukkan pada masing-masing sumur dan dicampur secara manual. Microplate tersebut diinkubasi selama 30 menit pada temperatur ruangan (20-25 °C), cairan yang ada dalam microplate dibuang dan dicuci dengan wash solution sebanyak 3 kali. Sampel yang telah dipreparasi diambil sebanyak 20 µl dan bersama dengan 100 µ l konjugat peroksida zeranol ditambahkan pada masing-masing sumur microplate.

Microplate diinkubasi selama 30 menit pada temperatur ruangan (20-25 °C), setelah sebelumnya larutan di dalamnya dicampur secara manual. Cairan dalam

microplate dibuang dan dicuci sebanyak 3 kali dengan wash solution. Substrat ditambahkan sebanyak 100 µl pada masing-masing sumur microplate, dicampurkan secara manual dan diinkubasi selama 15 menit pada temperatur ruangan (20-25 °C) dalam kondisi gelap. Reaksi dihentikan dengan menambahkan

stop solution (100 µl) pada masing-masing lubang microplate. Hasil pengujian dibaca dengan menggunakan ELISA reader, pada panjang gelombang 450 nm. Pembacaan ini dilakukan dalam 30 menit setelah penambahan stop solution, kemudian respon dari hasil ELISA reader dibaca dengan menggunakan software

Rida®Soft Win (Art.No. Z9999).

Analisis Data

Data yang diperoleh diolah secara deskriptif untuk menggambarkan keberadaan residu zeranol pada daging yang diimpor dari Australia dan Selandia Baru, kemudian untuk mengetahui perbedaan kandungan residu zeranol pada masing-masing negara digunakan uji proporsi dan uji t dengan perangkat SPSS 13.0 dan Microsoft Excel.

Pengujian Residu Zeranol dengan ELISA

Seluruh sampel daging yang diimpor dari kedua negara diuji dengan menggunakan metode ELISA. Metode ELISA merupakan pengujian yang mudah, biaya relatif murah, dan sesuai untuk pengujian rutin. Metode pengujian ini merupakan pengujian awal (screening) untuk mengetahui kandungan residu zeranol dalam daging yang diimpor. ELISA yang digunakan adalah ELISA kompetitif, dimana pengujian berdasarkan pada pengikatan spesifik hormon dengan protein (spesifik antibodi) (Squires 2003).

Limit deteksi ELISA yang digunakan untuk mendeteksi residu zeranol pada penelitian ini adalah 500 part per billion (ppt), dengan 50% inhibition sebesar 1 000.7 ppt (Gambar 5). Limit deteksi merupakan tingkat konsentrasi terendah yang dapat digunakan untuk dapat mendeteksi suatu substansi.

Gambar 5 Standar kurva ELISA untuk zeranol.

Perbandingan antara kemiringan kurva yang terbentuk dengan konsentrasi yang digunakan disebut dengan standar kurva. Kemiringan dari kurva tersebut merupakan respon dari pengujian yang menggambarkan konsentrasi hormon dari

A b s o r b a n s i (%) Konsentrasi (ppt)

sampel. Jumlah dari ikatan hormon yang dilabel dan konsentrasi hormon dapat dibedakan dari standar kurva. Jumlah hormon yang dilabel pada sumbu y, dengan konsentrasi dari hormon yang tidak dilabel pada sumbu x. Jumlah dari ikatan hormon yang dilabel dan konsentrasi hormon memberikan kemiringan kurva antara 10-90% dari penyerapan optical density (OD)(Squires 2003).

Sampel dalam pengujian ini dikerjakan secara duplo. Menurut Squires (2003), pengujian selayaknya dikerjakan dengan ulangan yang cukup untuk menggambarkan reproducibility, yang dibedakan dengan coefficient of variation

yang rendah (CV = standar deviasi dibagi dengan mean).

Immunoassay merupakan salah satu metode pemeriksaan residu hormon. Metode ini dipakai untuk screening dalam berbagai pemeriksaan bahan pangan karena cepat dan cukup spesifik serta sensitif. Matrik sampel daging dapat mempengaruhi sensitifitas, perubahan atau penurunan nilai absorban (OD), atau kedua-duanya. Oleh karenanya pengenceran pada sampel sebelum analisa hingga dua kali merupakan cara yang cukup efektif sehingga diharapkan tidak mempengaruhi sensitifitas, perubahan atau penurunan nilai absorban (OD), atau dapat menyebabkan tingginya konsentrasi dari residu yang ada pada sampel (Rachmawati et al. β004; Cigić dan Prosen β009).

Residu Zeranol dalam Daging yang Diimpor dari Australia

Hasil pengujian kandungan zeranol dalam daging yang diimpor dari Australia menggunakan ELISA disajikan pada Tabel 5. Sebanyak 5 dari 59 sampel (8.5%) daging dari Australia mengandung zeranol dengan rataan konsentrasi sebesar 0.644 part per billion (ppb). Hasil positif pada pengujian ini menunjukkan masih digunakannya zeranol sebagai hormon pertumbuhan di Australia. Menurut MLA (2012), zeranol merupakan hormon estrogenik utama, bersama estradiol, yang digunakan di Australia.

Kisaran konsentrasi zeranol yang ditemukan pada penelitian ini masih berada di bawah batas maksimum residu zeranol yang ditetapkan di Indonesia yaitu 2 ppb. Hasil yang diperoleh dari penelitian ini menunjukkan kemungkinan penggunaan zeranol masih memperhatikan withdrawal time yaitu 60-70 hari setelah implantasi.

Tabel 5 Hasil pengujian zeranol dalam daging yang diimpor dari Australia

Negara N Sampel positif

n % Kode Konsentrasi (ppb) Australia 59 5 8.5 A14 0.921 A28 0.611 A31 0.562 A46 0.588 A56 0.535

Menurut Maddox (1988), residu zeranol sebenarnya sulit dideteksi, meskipun ternak dipotong sebelum withdrawal time berakhir, pemotongan ternak pada hari ke 45 setelah implantasi hanya didapatkan residu dalam jumlah yang

kecil, yaitu pada hati (≤β ppb), ginjal (≤1 ppb), lemak (≤1 ppb), dan otot serta

plasma (≤0.β ppb). Hal ini dibuktikan pada monitoring di Scotlandia dan Inggris

Utara tahun 1984-1987. Sebanyak 6 014 ekor ternak, hanya didapatkan 6% residu zeranol pada sapi jantan dan betina yang diimplan zeranol dengan dosis 36 mg. EFSA (2007) menyatakan bahwa residu zeranol dalam jaringan hewan adalah sebesar 0.35-1.21 ppb di hati, 0.08-0.22 ppb di ginjal, 0.01-0.73 ppb di otot, dan 0.06-0.22 ppb di lemak.

Doyle (2000) menyebutkan bahwa dalam penelitian Dixon dan Russell pada tahun 1983 dan 1986, kadar residu zeranol masih dapat terdeteksi setelah 70 hari implantasi sebesar 230 ppb dan masih dapat ditemukan pada hari ke 120 dengan konsentrasi yang sangat kecil. Meskipun ternak telah diimplan zeranol lebih dari 4 kali dengan dosis 36 mg, kadar residu zeranol tidak akan meningkat secara signifikan. Menurut laporan dari FAO, kadar tertinggi residu zeranol pada daging adalah 130 ppb di hari ke 5 pasca implantasi dan akan menurun sebesar 44 ppb setelah hari ke 65 (Doyle 2000).

Hasil metabolisme dari Fusarium spp yaitu zearalenon dapat menimbulkan reaksi silang dengan zeranol sehingga kemungkinan juga hasil positif yang didapatkan pada pengujian ini merupakan reaksi silang dengan metabolit

Fusarium spp. Pihak Australia pernah mengindikasikan adanya kandungan residu zeranol pada daging hasil survey tahun 2003 oleh kontaminasi jamur

Fusarium spp pada ladang penggembalaan atau pakan akan tetapi tidak ada penelusuran lebih lanjut terhadap temuan tersebut (Crapp 2003).

Residu Zeranol dalam Daging yang Diimpor dari Selandia Baru Hasil pengujian zeranol dalam daging yang diimpor dari Selandia Baru dengan ELISA disajikan pada Tabel 6. Pengujian ini menunjukkan hasil hanya 1 dari 59 sampel (1.7%) positif mengandung zeranol. Seperti juga hasil positif yang didapat pada sampel dari Australia, konsentrasi sampel dari Selandia Baru juga lebih rendah dari nilai MRL zeranol yang ditetapkan oleh BSN yaitu sebesar 2 pbb.

Tabel 6 Hasil pengujian zeranol dalam daging yang diimpor dari Selandia Baru

Negara N Sampel positif

n % Kode Konsentrasi (ppb)

Selandia Baru 59 1 1.7 S55 0.680

Hasil negatif yang ditemukan dalam sejumlah sampel pada penelitian ini dapat diartikan bahwa sampel tersebut tidak mengandung zeranol atau memiliki konsentrasi residu di bawah limit deteksi dari kit ELISA yang digunakan. Hasil positif yang ditemukan menunjukkan kemungkinan pemakaian zeranol di Selandia Baru tidak sebanyak penggunaannya di Australia.

Menurut NZMAF (2011), mengacu pada regulated control scheme-hormonal growth promotants notice 2011, penggunaan zeranol sejak tahun 1972 mulai perlahan-lahan digantikan oleh hormon-hormon pertumbuhan seperti Compudose 100 (estradiol-17β), Compudose G (TBA dan estradiol-17β),

Revalor S (TBA dan estradiol benzoat), Synovex S (estradiol benzoat dan progesteron), Synovex H (testosteron propionat dan estradiol benzoat), dan Synovex Plus (TBA dan estradiol benzoat).

Perbandingan Kandungan Residu Zeranol dalam Daging yang Diimpor dari Australia dan Selandia Baru

Perbedaan konsentrasi zeranol yang didapat dari hasil ELISA dalam daging dari Australia dan Selandia Baru menunjukkan angka yang tidak berbeda nyata (p>0.05). Meskipun jumlah sampel yang positif dalam daging yang diimpor dari Australia menunjukkan angka yang lebih besar dibandingkan dengan Selandia Baru (Tabel 7).

Tabel 7 Perbandingan kandungan zeranol dalam daging yang diimpor dari Australia dan Selandia Baru

Negara positif n positif % Mean konsentrasi (ppb) Min-Max (ppb)

Australia 5 8.5 0.644±0.157 0.535-0.921 Selandia Baru 1 1.7 0.680±0.00 0.680

Jumlah sampel yang positif mengandung zeranol dalam daging yang diimpor dari Australia dan Selandia Baru didapatkan berbeda, hal ini kemungkinkan disebabkan oleh penerapan strategi implantasi hewan yang bervariasi, respon dari individu (ternak), termasuk breed ternak yang diimplantasi, serta adanya kontaminasi dari jamur Fusarium spp.

Menurut EFSA (2007), zeranol tidak akan ada dalam jaringan dalam kondisi normal, tetapi dapat diukur setelah penggunaan preparat ini sebagai hormon pertumbuhan. Hal yang patut diwaspadai adalah mikotoksin zearalenon yang terdapat dalam pakan, dapat dikonversi menjadi zeranol. Hal ini akan menyulitkan monitoring residu pada produk hewan.

Penerapan strategi implantasi yang bervariasi bergantung pada pemakaian hormon-hormon pertumbuhan di Australia dan Selandia Baru. Menurut Partridge (2010), strategi implantasi hormon pertumbuhan di Australia menggunakan long acting hormone growth promotants (HGPs) yang berkisar antara 100-400 hari (tergantung dari tujuan HGPs yang digunakan). Selama masa tersebut, ternak dapat diimplantasi berulang dengan berbagai HGPs. Sapi jantan dapat menggunakan Ralgro (36 mg zeranol), Compudose (estradiol-17β) atau

awal penggemukan digunakan Synovex S, Progro S (estradiol benzoat dan progesteron) atau Revalor G (TBA dan estradiol-17β). Sebagai akhir dari fase

penggemukan, digunakan Revalor S (TBA dan estradiol-17β) ditambah Progro T -S (TBA).

Di Australia, terutama di bagian utara, rumput tumbuh musiman dan ternak memerlukan waktu 2-4 tahun untuk dapat dipotong dalam kondisi yang baik, sehingga implantasi digunakan untuk mendorong pertumbuhan pada saat yang sama rumput tersebut tumbuh subur. Penggunaan hormon pertumbuhan di Australia didasarkan pada keadaan daerah (ketersediaan pakan hijauan) dan tujuan penggemukan (MLA 2012).

Selandia Baru saat ini sudah jarang menggunakan zeranol sebagai pemacu pertumbuhan di peternakannya. Penggantian zeranol dengan hormon-hormon pertumbuhan lainnya, seperti Compudose mungkin karena hormon pertumbuhan tersebut memberikan peningkatan berat badan yang lebih besar yaitu lebih dari 20% daripada zeranol (ELANCO 2011).

Heitzman (1983) menyatakan bahwa banyak faktor yang mempengaruhi keberhasilan implantasi hormon pertumbuhan di peternakan, utamanya adalah absorbsi hormon yang diimplan (berhubungan dengan administrasi dan formulasi hormon), distribusi dalam berbagai jaringan tubuh (berhubungan dengan tempat implantasi), metabolisme, dan ekskresi dari hormon yang diimplan. Metabolisme dari hormon yang diimplan terjadi di darah, hati, dan ginjal. Zeranol yang berbentuk compress pellet, absorbsinya berlangsung lambat, memberikan efek peningkatan pertumbuhan pada bulan ke-2 sampai dengan ke-4 setelah pemberian. Umumnya hormon pertumbuhan yang diberikan akan dimetabolisme, dikeluarkan, atau diambil oleh jaringan dalam bentuk senyawa yang tidak aktif. Aktivitas hati dan ginjal sangat berperan dalam metabolisme dan ekskresi, dimana diasumsikan kadar obat yang masuk sebanding dengan kadar pembersihan oleh hati dan ginjal. Kadar residu yang tinggi dapat ditemukan pada jaringan atau daging ternak dan kemungkinan disebabkan oleh pemberian hormon pertumbuhan pada awal implantasi, kerusakan hati dan ginjal, serta pemotongan ternak yang tidak memperhatikan withdrawal time. Pemotongan ternak tanpa memperhatikan

ternak tersebut dikonsumsi. Pemotongan yang ilegal ini patut diwaspadai karena banyaknya penggunaan zeranol dan panjangnya withdrawal time yaitu 65 hari untuk dosis 36 mg (Toews dan McEwen 1994). Setelah ternak diimplan dengan zeranol (dosis 36 mg), waktu paruh zeranol dalam tubuh merupakan fungsi dari kecepatan pelepasan atau absorbsi obat, yang perlahan-lahan dilepaskan saat implantasi.

Biotransformasi zeranol pada domba dan sapi yang diimplan secara subkutan dan secara oral pada tikus, anjing, dan monyet menghasilkan metabolit pertama berupa zearalanon, sedangkan metabolit pertama pada kelinci adalah teleranol, yang merupakan metabolit kedua dari domba, sapi, tikus, anjing, dan monyet. Ada asumsi bahwa oksidasi zeranol menjadi zearalanon kemungkinan dapat menjadi reaksi yang reversible, dimana secara terbalik akan menghasilkan senyawa dari kedua epimer tersebut (zeranol dan taleranol), sebagai produk dari pengurangan zearalanon dalam tubuh (Baldwin et al. 1983).

Respon individu ternak yang diimplan juga mempengaruhi pemberian hormon pertumbuhan. Venamore et al. (1982) menyatakan bahwa penggunaan zeranol pada bangsa sapi yang dipelihara di Australia yaitu bangsa Bos Taurus

dan Bos Indicus memiliki perbedaan yang nyata dalam pertambahan berat badan. Pertambahan berat badan sapi bangsa Bos Taurus lebih besar dibandingkan dengan sapi Bos Indicus (waktu pemeliharaan 69-112 hari) dalam kondisi bebas parasit dan ketersediaan nutrisi yang tinggi. Penelitian serupa dilakukan oleh Williams et al. (1991) pada sapi jantan bangsa Angus dan Brangus yang diimplantasi zeranol, menyimpulkan bahwa pertambahan berat badan sapi bangsa Angus yang lebih besar dibandingkan pada sapi bangsa Brangus. Hal ini menunjukkan bahwa pertumbuhan dan perubahan komposisi tubuh yang berakibat pada peningkatan berat badan pada bangsa sapi yang berbeda, diperantarai oleh sejumlah perubahan hormonal yang terjadi, termasuk peningkatan konsentrasi hormon pertumbuhan dalam tubuh.

Semua sampel yang diuji dari kedua negara dengan ELISA memperlihatkan konsentrasi hasil di bawah maximum residu limit (MRL) dari yang ditetapkan BSN. Berdasarkan SNI No. 01-6366-2000 tentang Batas Maksimum Cemaran

Mikroba dan Batas Maksimum Residu dalam Bahan Makanan Asal Hewan bahwa batas kandungan zeranol pada daging adalah 2 ppb.

Australia dan Selandia Baru mempunyai kerja sama dalam pengaturan standar pengembangan dan penerapan standar makanan. Sistem ini didirikan berdasarkan perjanjian yang ditandatangani pada bulan Desember 1995 dan didasarkan pada Commonwealth, State, and Territory Agreement tahun 1991. Sistem ini terus berjalan dibawah The Food Regulation Agreement 2002 dan diimplementasikan dalam perundangan pangan di setiap negara bagian di Australia dan Selandia Baru, yang disebut sebagai The Food Standards Australia New Zealand Act 1991 of The Commenwealth of Australia (FSANZ Act). Menurut FSANZ-Amendment Nomor 78 Tahun 2005, MRL untuk zeranol adalah 20 ppb (FSANZ 2005).

Nilai MRL untuk zeranol yang ditetapkan Australia sendiri sebesar 20 ppb untuk offal dan 5 ppb untuk daging (APVMA 2012). Selandia Baru dalam Animal products (contaminant specifications) notice 2008 New Zealand Food Safety Authority, menetapkan batas maksimum zeranol ditunjukkan dengan maximum permissible levels (MPL) (NZFSA 2008). Kandungan zeranol dalam MPL disajikan pada Tabel 8. Batas maksimum kandungan zeranol dalam daging yang ditetapkan oleh SNI Indonesia masih lebih kecil jika dibandingkan dengan Australia dan Selandia Baru. Angka yang sama juga diterapkan di Kanada dan CAC, seperti yang tertera pada Tabel 2 yaitu 2 ppb. World Health Organization (WHO) menyatakan residu zeranol tidak melebihi batas 2 ppb dalam daging dan 10 ppb dalam hati (Nazli et al. 2005).

Tabel 8 Maximum permissible levels (MPL) zeranol di Selandia Baru

MPL zeranol (ppb) Jenis produk hewan

10 Offal sapi, kambing, domba, dan rusa

5 Daging, lemak, darah, dan urin sapi, kambing, domba, rusa, dan kuda

200 Empedu sapi

20 Empedu domba, kambing, rusa, dan kuda Sumber: NZFSA (2008)

Negara Uni Eropa mengacu pada EU Directed 96/22/EC yang terbit pada 23 Mei 1996 melarang penggunaan hormon pertumbuhan di peternakan, hal ini disebabkan oleh kekhawatiran akan dampak hormon pada kesehatan konsumen. Dalam EU Directed 96/22/EC, hormon pertumbuhan yang dilarang adalah stilbenes dan derivatnya, antitiroid agen, steroid, dan senyawa resorcylic acid lactones, termasuk zeranol dan beta agonis (Arvanitoyannis et al. 2005). Peraturan ini juga menggolongkan hormon pertumbuhan ini sebagai golongan A yaitu golongan substansi yang dilarang, seperti halnya dengan hormon steroid. Golongan A tersebut diberlakukan kadar zero tolerance, kecuali pada medroxyprogesteron (MPA) yang diberi batas sampai 1 µg/kg dalam lemak ginjal. Selain itu, negara Uni Eropa juga menetapkan minimum required performance limits (MPRL) pada interpretasi hasil uji metode analisis yang digunakan untuk mendeteksi substansi yang dilarang tersebut (Noppe et al. 2008).

Maximum residue limit (MRL) merupakan konsentrasi residu maksimum yang diizinkan atau direkomendasikan dapat diterima dalam produk hewan (BSN 2000). Rekomendasi MRL digunakan untuk memonitor kandungan residu dalam produk hewan agar sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Jika kandungan residu dalam produk hewan melampaui MRL dapat diindikasikan adanya penyalahgunaan dari bahan kimia yang digunakan (APVMA 2008). Penerapan MRL ini berbeda dengan penerapan di Uni Eropa (UE). Pemberian perlakuan pada ternak seperti pemberian hormon pertumbuhan pada hewan yang akan disembelih untuk kebutuhan konsumsi manusia dilarang di UE. Larangan ini diperkuat dengan peraturan dan dikontrol dengan inspeksi, sedangkan di Amerika Serikat, inspeksi merupakan bagian dari monitoring dari penerapan MRL pada produk hewan yang dikonsumsi manusia yaitu daging, lemak, hati, atau ginjal. Penerapan ini diikuti oleh negara-negara pengguna hormon pertumbuhan di peternakannya (Stephany 2010).

Penetapan MRL dari CAC diikuti dengan penetapan acceptable daily intake

(ADI) yaitu sebesar 0-0.5 µg/kg per berat badan (CAC 2011). Angka ADI merupakan jumlah residu yang terdapat dalam makanan yang dapat dikonsumsi setiap hari tanpa menyebabkan gangguan kesehatan pada konsumen (APVMA 2008). Angka ini didasarkan pada dosis tertinggi yang belum menyebabkan

gangguan kesehatan, yang dikalikan dengan berat badan konsumen dan dibagi dengan safety factor 100. Badan pengawas obat dan makanan Amerika Serikat menetapkan ADI zeranol sebesar 125 ppb (EFSA 2007). Ahli dari Committee on

Food Additive Joint FAO/WHO menetapkan ADI sebesar 35 ppb untuk konsumen

dengan berat badan rata-rata 70 kg (Galbraith 2002). Penerapan ADI diikuti dengan adanya potential daily intake (PDI), yang merupakan rata-rata intake dari jaringan hewan yang ditemukan residu didalamnya. Angka untuk PDI harus lebih kecil dibandingkan dengan ADI (Squires 2003).

Beberapa negara berbeda dalam menetapkan MRL dan ADI terhadap zeranol. Keadaan ini disebabkan karena penetapan MRL dan ADI bergantung pada faktor resiko yang timbul pada setiap warga negara yang bersangkutan, termasuk faktor konsumsi daging dan jeroan, berat badan, dan umur (Rasyid 2010).

Zeranol mempunyai efek estrogenik yang kuat. Percobaan yang dilakukan oleh Yuri et al. (2004), dengan dosis 0.1 mg/kg zeranol yang disuntikkan pada rodensia, mendorong pubertas yang lebih cepat dan ketidakseimbangan siklus estrus pada minggu ke 8 sampai 11. Rodensia tersebut kurang menghasilkan corpora luteum, tidak ada ovulasi, dan terjadi sterilitas.

Yuri et al. (2006) melaporkan bahwa zeranol memberikan efek biphasic pada pertumbuhan reseptor estrogen positif (ER positif) pada sel human breast carcinoma yaitu sel MCF-7 dan KPL-1. Zeranol menstimulasi pertumbuhan ER positif dari kedua sel tersebut pada konsentrasi rendah (<5 µM), tetapi menghambat pertumbuhan sel MCF-7 dan KPL-1 pada konsentrasi tinggi

(≥50 µM), sedangkan pada sel MDA-MB 231 yaitu sel human breast carcinoma

dengan reseptor estrogen negatif (ER negatif), zeranol menghambat pertumbuhannya dengan konsentrasi tinggi (>50 µM), tetapi tidak merangsang perkembangan ER negatif. Kesimpulan yang didapat dari percobaan Yuri et al. (2006) adalah zeranol mempunyai efek pada pertumbuhan ER positif pada sel

human breast carcinoma dimana dosis rendah akan menstimulasi pertumbuhan sel dengan mengubah susunan sel dan dosis tinggi akan menginduksi sel untuk memblok siklus sel dan mengakibatkan apoptotik sel.

Zeranol dan metabolitnya akan bersaing dengan estrogen untuk mengikat

active site dari reseptor estrogen pada sitoplasma dalam uterus tikus, kelenjar mamae tikus, hati sapi, dan sel kanker payudara manusia. Zeranol dan zearalenon dapat menyebabkan penghambatan dari hipotalamus dan hipofisis anterior, serta atrofi ovarium, testis, prostat, dan vesikula seminalis (Lindsay 1985).

Liu (2003) dalam disertasinya, menyimpulkan bahwa aktivitas estrogenik zeranol sebagai derivat zearalenon dapat menstimulasi pertumbuhan kelenjar mamae pada heifer dan rodensia, menstimulasi proliferasi kultur sel normal payudara dan sel kultur kanker payudara. Menurut Leffers et al. (2001), zeranol

Dokumen terkait