• Tidak ada hasil yang ditemukan

YANG BERBEDA

MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu

Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Lapang UP3J Jonggol dan Laboratorium Biologi Hewan, Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati dan Bioteknologi, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Penelitian dilaksanakan pada bulan Mei sampai dengan Juli 2009.

Materi Alat

Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini, antara lain kandang domba individu, timbangan digital, timbangan pegas, ember, waterbath, freezer, buret, oven 105 0C, labu Kjeldahl, tanur, sentrifuse, spektrofotometer, labu Erlenmeyer, labu ukur, botol gelas gelap, botol polyethylene gelap.

Ternak Percobaan

Hewan yang digunakan dalam penelitian ini adalah 20 ekor domba di UP3 Jonggol (domba ekor tipis) berumur kurang dari 1 tahun, dengan rataan bobot badan 13,95±1,46 kg. Domba dipelihara di dalam kandang individu berukuran (100 x 50 x 150 cm), kandang tersebut dilengkapi dengan tempat pakan dan tempat air minum.

Gambar 5. Pemeliharaan Domba pada Kandang Individu

Pakan

Pakan yang digunakan pada penelitian ini terdiri dari rumput B. humidicola, gamal (G. sepium), lamtoro (L. leucocephala), dan konsentrat. Jumlah ransum yang

15 diberikan sebanyak 3% bahan kering dari bobot badan. Komposisi nutrien rumput B. humidicola, gamal, lamtoro, konsentrat, dan ransum total disajikan pada Tabel 4. Tabel 4. Kandungan Nutrien Ransum Penelitian (%BK)

Bahan Pakan Komposisi nutrien (%)

Abu Lemak Kasar Protein Kasar Serat kasar BETN

Ransum R1 6,19 3,18 7,53 23,47 59,63

Ransum R2 6,42 3,25 8,64 22,40 59,29

Ransum R3 6,66 3,38 9,75 21,32 58,89

Ransum R4 6,89 3,48 10,86 20,25 58,52

Ransum R5 6,32 3,10 10,37 21,87 58,34

Keterangan: Hasil Analisa Laboratorium Biologi Hewan, Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati dan Bioteknologi (2009).

R1 = Rumput B. humidicola : Campuran legum : Konsentrat = 90% : 0% : 10% R2 = Rumput B. humidicola : Campuran legum : Konsentrat = 80% : 10% : 10% R3 = Rumput B. humidicola : Campuran legum : Konsentrat = 70% : 20% : 10% R4 = Rumput B. humidicola : Campuran legum : Konsentrat = 60% : 30% : 10% R5 = Rumput B. humidicola : Campuran legum : Konsentrat = 70% : 30% : 0%

Prosedur Pemeliharaan

Dua puluh ekor domba dibagi menjadi lima perlakuan dan setiap perlakuan terdiri atas 4 kelompok dan sekaligus sebagai ulangan. Ternak yang digunakan diberi obat cacing sebelum dilakukan pengamatan. Ternak dipelihara dalam kandang individu selama 16 minggu. Dua minggu pertama sebagai masa adaptasi pakan (preliminary) dan pada minggu ke-3 sampai minggu ke-16 dilakukan pengamatan. Pemberian pakan 3% dari bobot badan berdasarkan bahan kering dilakukan dua kali sehari, pada pagi hari pukul 06.00 WIB dan pada sore hari pada pukul 16.00 WIB. Pakan diberikan dalam bentuk campuran antara rumput B. humidicola dan leguminosa pohon (gamal dan lamtoro dengan rasio 3 : 1). Air minum diberikan ad libitum.

Rancangan Percobaan dan Analisis Data

Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan model matematik sebagai berikut (Steel dan Torrie, 1993):

16

Yij = µ + τi + ßj+ εij

Keterangan :

Yij = nilai pengamatan pada perlakuan ke-i dan ulangan ke-j

µ = nilai rataan umum

τi = pengaruh perlakuan ke-i

βj = pengaruh kelompok ke-j

ij = galat perlakuan ke-i dan kelompok ke-j

i = perlakuan yang diberikan (R1, R2, R3, R4, R5)

j = ulangan dari masing-masing perlakuan (U1, U2, U3, U4).

Data yang diperoleh dianalisa dengan menggunakan Analysis of Variance (ANOVA) dan untuk melihat perbedaan diantara perlakuan diuji dengan uji Duncan.

Perlakuan

Penelitian ini menggunakan 5 perlakuan dengan 4 ulangan. Susunan ransum percobaan adalah rumput Brachiaria humidicola, leguminosa pohon (gamal dan lamtoro dengan rasio 3 : 1) dan konsentrat dengan komposisi sebagai berikut : R1 = Rumput B. humidicola : Campuran legum : Konsentrat = 90% : 0% : 10% R2 = Rumput B. humidicola : Campuran legum : Konsentrat = 80% : 10% : 10% R3 = Rumput B. humidicola : Campuran legum : Konsentrat = 70% : 20% : 10% R4 = Rumput B. humidicola : Campuran legum : Konsentrat = 60% : 30% : 10% R5 = Rumput B. humidicola : Campuran legum : Konsentrat = 70% : 30% : 0%

Peubah yang diamati

Peubah yang diamati dalam penelitian ini adalah konsumsi bahan kering dan nutrien pakan, pertambahan bobot badan (PBB), efisiensi pakan, dan Income Over Feed Cost.

Konsumsi Bahan Kering dan Nutrien Pakan. Konsumsi bahan kering dihitung setiap hari dari selisih antara bahan kering ransum yang diberikan dengan sisa ransum dalam tempat pakan. Pakan sebelum diberikan ke ternak ditimbang terlebih dahulu berdasarkan persentase bobot badan yaitu 3% dari bobot badan. Kemudian pakan dibagi menjadi dua bagian, satu bagian diberikan pagi hari dan satu bagian diberikan pada sore hari. Kemudian sisa pakan ditimbang pada keesokan harinya. Penimbangan pakan dan sisa dilakukan setiap hari untuk mengetahui rataan

17 konsumsi setiap ternak. Konsumsi pakan dihitung dari selisih pemberian dikurangi sisa, sedangkan konsumsi pakan per ekor per hari selama penelitian (70 hari) diperoleh dari konsumsi total selama penelitian dibagi 70 hari.

Konsumsi pakan = Pemberian (gram) – sisa (gram)

Konsumsi pakan per hari = Konsumsi selama pemeliharaan (gram/ekor) Lama Penelitian (70 hari)

Pertambahan Bobot Badan. Pengukuran pertambahan bobot badan (PBB) dilakukan dengan penimbangan ternak pada awal dan akhir pemeliharaan. Penimbangan dilakukan pada pagi hari sebelum ternak diberi pakan dengan menggunakan timbangan sapi. Pertambahan bobot badan dihitung berdasarkan bobot akhir pemeliharaan yaitu 70 hari dikurangi dengan bobot awal setelah preliminary. Pertambahan bobot badan (gram/ekor/hari) diperoleh dari pertambahan bobot badan dibagi dengan lamanya pemeliharaan yaitu 70 hari.

Pertambahan bobot badan = Bobot akhir – bobot awal (gram/ekor) Lama Penelitian (70 hari)

Efisiensi Pakan. Efisiensi pakan dihitung dari pertambahan bobot badan selama penelitian dibagi dengan konsumsi pakan selama penelitian (70 hari).

Efisiensi pakan = Pertambahan Bobot Badan (gram/ekor/hari) Konsumsi bahan kering pakan (gram/ekor/hari)

Nilai Ekonomi Pakan. Nilai ekonomi pakan perlakuan yang diukur adalah analisis pendapatan yang dihitung berdasarkan Income over feed cost (IOFC). Analisis ekonomi sangat penting karena tujuan akhir beternak adalah untuk mencapai keuntungan. IOFC merupakan pendapatan dari hasil pemeliharaan setelah dikurangi biaya pakan selama proses pemeliharaan. Pendapatan diperoleh dari pertambahan bobot badan dikalikan dengan harga bobot hidup sedangkan pengeluaran diperoleh dari biaya pakan selama pemeliharaan yaitu 70 hari. Penjualan ternak dihitung berdasarkan pertambahan bobot badan dikalikan dengan harga bobot hidup. Perhitungan IOFC dapat dilihat pada Tabel 5.

18 Tabel 5. Perhitungan Nilai Income Over Feed Cost (IOFC) Selama Penelitian

Faktor Pengamatan Perlakuan R1 R2 R3 R4 R5 Pendapatan (Ii) I1 I2 I3 I4 I5 Pengeluaran (Ci) C1 C2 C3 C4 C5

IOFC (I1-C1) (I2-C2) (I3-C3) (I4-C4) (I5-C5)

Keterangan : Ii = pendapatan yang dihitung dari pertambahan bobot badan x harga jual domba per kilogram bobot hidup.

Ci = pengeluaran yang dihitung dari biaya pakan yang dikonsumsi domba selama penelitian (70 hari).

IOFC = Income Over Feed Cost

Rataan harga jual domba yang berlaku saat penelitian Rp 30.000,-/kg bobot hidup. Koefisien harga pakan dalam bentuk as fed yang berlaku saat penelitian:

19

HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Penelitian

Unit Pendidikan, Penelitian dan Peternakan Jonggol (UP3J) merupakan areal peternakan domba milik Institut Pertanian Bogor (IPB) yang terletak di desa Singasari Kecamatan Jonggol Kabupaten Bogor. Secara geografis UP3 Jonggol terletak antara 60LS dan 106,530BT pada ketinggian 70 m di atas permukaan laut dengan total luas area 169 hektar. UP3J disamping dikelola untuk tujuan komersil juga digunakan sebagai sarana pendidikan dan penelitian terutama pada bidang peternakan. Domba yang dipelihara di UP3J sudah berkembang dengan baik menggunakan sistem berbasis pastura yang mengandalkan rumput Brachiaria humidicola, serta didukung dengan berbagai jenis tanaman leguminosa seperti gamal, lamtoro, dan akasia.

Kondisi iklim di UP3 Jonggol secara umum dibedakan menjadi dua kategori berdasarkan suhu dan curah hujan di UP3 Jonggol, yaitu bulan basah dan bulan kering. Perbedaan suhu dan curah hujan antara bulan basah dan bulan kering di UP3 Jonggol sangat ekstrim. Bulan basah biasanya terjadi antara November-Februari sedangkan bulan kering terjadi antara Maret-Oktober dan biasanya bulan kering lebih lama dari bulan basah. Penelitian ini berlangsung pada bulan kering dengan rata-rata suhu maksimum 33,620C, suhu minimum 21,960C, curah hujan 182,22 mm/ bulan, dan kelembaban 93,38% (Harahap, 2008). Domba yang diternakkan dengan suhu lingkungan yang tinggi mengakibatkan domba mengalami cekaman panas. Kisaran suhu yang normal untuk domba adalah 200C dengan kelembaban 65% (Abdalla et al., 1993).

Iklim dan suhu lingkungan dapat mempengaruhi tingkat nafsu makan dan jumlah pakan yang dikonsumsi ternak (Anggorodi, 1990). Suhu dan kelembaban udara merupakan faktor yang sangat mempengaruhi secara langsung maupun tidak langsung kandungan nutrisi hijauan di padang penggembalaan. Suhu lingkungan yang tinggi dapat meningkatkan struktur material dinding sel tanaman seperti lignin dan mempercepat proses metabolisme tanaman yang dapat menurunkan ukuran ruang isi sel. Suhu dan kelembaban yang tinggi akan menyebabkan pula rendahnya konsumsi pakan dan pertambahan bobot badan. Selain itu, domba yang dipelihara di wilayah lembab cenderung mudah terkena penyakit (Tomazweska et al., 1993).

20 Hijauan makanan ternak yang dikembangkan di padang penggembalaan UP3 Jonggol pada awalnya terdiri atas rumput Brachiaria humidicola, Brachiaria decumbens, Pennisetum purperium dan tanaman leguminosa seperti gamal dan lamtoro. Sistem penanaman campuran rumput dan legum diharapkan dapat membantu memperkaya unsur hara dan mengurangi kondisi panas serta kecepatan angin. Namun saat ini, sebagian besar padang penggembalaan telah berubah menjadi semak belukar dan rumput alam, hanya sebagian yang masih layak digunakan sebagai lahan ternak merumput. Kondisi ini menyebabkan domba di padang penggembalaan kekurangan sumber pakan sehingga perlu dilakukan pemeliharaan secara intensif untuk mendapatkan hasil yang optimal (Jarmuji, 2008).

Konsumsi Nutrien

Konsumsi merupakan faktor yang penting dalam menentukan produktivitas ruminansia dan ukuran tubuh ternak (Aregheore, 2000). Konsumsi merupakan suatu faktor esensial untuk menentukan kebutuhan hidup pokok dan produksi, karena dengan mengetahui tingkat konsumsi makanan dapat ditentukan kadar suatu zat makanan dalam ransum untuk dapat memenuhi kebutuhan hidup pokok dan produksi (Parakkasi, 1999). Konsumsi terdiri dari bahan kering (BK), dan nutrien lemak kasar (LK), protein kasar (PK), dan juga serat kasar (SK). Rataan konsumsi nutrien pakan tiap perlakuan tersaji dalam Tabel 6.

Tabel 6. Rataan Konsumsi Bahan Bering dan Nutrien Pakan (g/e/h)

Perlakuan Konsumsi

Bahan kering Lemak kasar Protein kasar Serat kasar R1 612,10 ± 24,66 18,91 ± 0,67 45,39 ± 1,70d 146,04 ± 6,29 R2 597,62 ± 68,23 18,95 ± 1,93 49,50 ± 4,89cd 137,24 ± 15,97 R3 567,10 ± 48,81 18,52 ± 1,38 52,48 ± 3,47bc 124,45 ± 12,16 R4 573,42 ± 16,95 19,15 ± 0,48 58,09 ± 1,21a 120,82 ± 4,23 R5 572,76 ± 38,18 17,34 ± 1,08 55,67 ± 2,81ab 128,30 ± 9,46

Keterangan: R1 = 90% Brachiaria humidicola + 10% Konsentrat, R2 = 80% Brachiaria humidicola + 10% Campuran Legum + 10% Konsentrat, R3 = 70% Brachiaria humidicola + 20% Campuran Legum + 10% Konsentrat, R4 = 60% Brachiaria humidicola + 30% Campuran Legum + 10% Konsentrat, R5 = 70% Brachiaria humidicola + 30% Campuran Legum. Superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan sangat nyata (P<0,01).

21

Konsumsi Bahan Kering

Pemberian rumput Brachiaria humidicola (BH) dengan campuran legum pohon yaitu Gliricidia sepium dan Leucaena leucocephala tidak berpengaruh nyata terhadap tingkat konsumsi bahan kering (Tabel 6). Konsumsi bahan kering yang diperoleh berkisar antara 567,10-612,10 g/e/h, yaitu sekitar 4,1% dari bobot badan. Hal ini sesuai dengan Haryanto dan Djajanegara (1993) yang mengutarakan bahwa kebutuhan bahan kering per ekor per hari untuk domba Indonesia dengan bobot 10- 20 kg adalah 3,1%-4,7% dari bobot badan untuk pertambahan bobot badan harian sebesar 0-100 gram. Hal ini dapat terjadi mengingat domba yang seumuran akan mengonsumsi jumlah pakan yang sama sesuai dengan kebutuhan pertumbuhannya. NRC (2006) menyatakan bahwa domba dengan bobot badan 10-20 kg membutuhkan bahan kering sebesar 500-1000 g/e/h atau 4-5% dari bobot badan.

Konsumsi bahan kering pada penelitian ini, yaitu 4,1% dari bobot badan, juga belum dapat memenuhi kebutuhan konsumsi bahan kering. Kearl (1982) menyatakan bahwa domba dengan bobot badan 10-20 kg membutuhkan konsumsi bahan kering sebesar 4,2%-7,1% dari bobot badan untuk mencapai pertambahan bobot badan sebesar 100 g/ekor/hari. Hal ini yang dapat memungkinkan pertambahan bobot badan harian domba pada penelitian ini belum dapat mencapai 100 g/ekor/hari. Rendahnya konsumsi bahan kering ransum juga dipengaruhi oleh kandungan protein kasar dalam ransum. Menurut Okmal (1993), kandungan protein kasar dalam ransum dapat mempengaruhi nilai konsumsi bahan kering. Tingginya kandungan protein kasar dalam ransum akan menyebabkan tingginya konsumsi bahan kering.

Konsumsi Lemak Kasar

Lemak merupakan zat tidak larut air, bahan organik yang larut dalam pelarut organik (Parakkasi, 1999). Konsumsi lemak kasar juga dapat dipengaruhi oleh sifat kimia pakan, salah satunya adalah kandungan asam lemak tak jenuh dalam perlakuan. Hasil penelitian konsumsi lemak kasar domba menurut Haddad dan Younis (2004) yang menggunakan jagung sebesar 25% dalam ransum domba Awwasi jantan lepas sapih pada periode pembesaran yaitu sebesar 59 g/ekor/hari, dengan kandungan lemak kasar dalam ransum sebesar 6,5%.

22 Konsumsi lemak kasar pada penelitian ini tidak menunjukkan pengaruh secara nyata antar perlakuan. Konsumsi lemak kasar berkisar antara 17,34-19,15 g/e/h. Tidak adanya perbedaan tersebut disebabkan oleh kesamaan konsumsi bahan kering dan kandungan lemak pada tiap perlakuan berkisar antara 3,1%0-3,50%. Nilai tersebut lebih rendah dibandingkan hasil penelitian Gunawan (2005) dengan perlakuan 75% hijauan berupa rumput lapang dan 25% konsentrat yang dapat menghasilkan konsumsi lemak kasar sebesar 31,12 g/e/h. Hal ini dapat terjadi dikarenakan tingginya kandungan lemak kasar dalam ransum tersebut (13,92%) dibandingkan dengan penelitian ini (3,1%0-3,50%), sehingga berpengaruh terhadap palatabilitas pakan. Toha et al. (1999) menyimpulkan bahwa lemak mempengaruhi palatabilitas suatu pakan, sehingga dapat mempengaruhi tingkat konsumsi pakan.

Konsumsi Protein Kasar

Protein merupakan suatu zat makanan yang sangat penting bagi tubuh ternak. Protein berfungsi sebagai zat pembangun dan pembentuk jaringan-jaringan baru yang selalu terjadi dalam tubuh. Protein digunakan sebagai bahan bakar jika kebutuhan energi tubuh terpenuhi oleh karbohidrat dan lemak (Winarno, 1992).

Konsumsi protein kasar menunjukkan pengaruh yang sangat nyata antar perlakuan (Tabel 6). Hal ini diakibatkan pemberian jumlah rumput dan legum yang berbeda pada tiap perlakuan, sehingga konsumsi protein kasar tiap perlakuan berbeda. Konsumsi protein kasar tertinggi terdapat pada perlakuan R4 yaitu sebesar 58,09±1,21 g/e/h, atau sekitar 10,1% dari konsumsi bahan kering. Hal ini dapat terjadi mengingat adanya penambahan 30% legum dalam ransum perlakuan R4 sehingga kandungan protein kasar dalam ransum lebih tinggi dibandingkan dengan ransum perlakuan lainnya.

Manurung (1996) menyatakan bahwa penggunaan hijauan leguminosa pohon sebagai suplemen ransum ruminansia dapat meningkatkan konsumsi protein. Winugroho dan Widiawati (2009) juga menambahkan bahwa konsumsi protein kasar ternak yang diberi gamal dan lamtoro lebih tinggi daripada kaliandra dan rumput alam, selain itu dilaporkan pula bahwa penggunaan legum dapat meningkatkan nilai nutrisi rumput. Konsumsi protein kasar terendah terdapat pada perlakuan R1, yaitu sebesar 45,39±1,70, atau sekitar 7,4% dari konsumsi bahan kering.

23 Rataan konsumsi protein pada penelitian ini berkisar antara 45,39-58,09 g/ekor/hari. Jumlah konsumsi protein penelitian ini belum mencukupi jika berdasarkan Haryanto dan Djajanegara (1992) yang menyatakan bahwa kebutuhan protein kasar untuk domba lokal dengan bobot badan 10-20 kg dengan pertambahan bobot badan 50-100 g/ekor/hari akan membutuhkan protein kasar sebesar 73,7-135,8 g/ekor/hari. Domba yang sedang tumbuh membutuhkan protein dalam jumlah tinggi dibandingkan domba dewasa (NRC, 2006). Ternak dengan bobot badan rendah dan masuk pada masa pertumbuhan akan membutuhkan protein lebih tinggi dibandingkan dengan ternak dewasa yang telah masuk masa penggemukan (Orskov, 1992).

Ransum pada penelitian ini belum mencukupi kebutuhan domba dengan bobot badan 14 kg untuk menghasilkan produktivitas yang optimal bila ditinjau dari kebutuhan nutrien pada ransum domba, hal tersebut dikarenakan kualitas hijauan di UP3 Jonggol yang rendah. Kualitas hijauan di UP3J yang rendah dapat disebabkan karena penelitian dilakukan pada saat musim kemarau. Hal ini menyebabkan sebagian besar hijauan mengalami kekeringan. Menurut Malesi (2006), pada bulan kering hijaun yang dipanen memiliki kandungan protein kasar yang rendah dan kandungan serat kasar yang tinggi yaitu 4,59% dan 44,78%.

Konsumsi Serat Kasar

Konsumsi serat kasar tidak menunjukkan perbedaan yang nyata antar perlakuan (Tabel 6). Konsumsi serat kasar yang diperoleh dalam penelitian ini berkisar antara 120,82-146,06 g/e/h. Domba membutuhkan serat pakan yang cukup untuk aktivitas dan fungsi rumen yang normal. Serat pakan mengalami degradasi oleh mikroba yang berperan sebagai penyedia energi untuk mendukung hidup pokok, pertumbuhan, laktasi dan reproduksi (Lu et al., 2005). Faktor lain yang dapat mempengaruhi konsumsi serat yaitu kandungan serat kasar dalam ransum, hal ini sejalan dengan yang dilaporkan oleh Suparjo et al. (2011) bahwa konsumsi serat kasar sangat dipengaruhi oleh kandungan serat kasar dalam ransum, karena serat yang terkonsumsi akan semakin tinggi jika kandungan serat ransum juga tinggi dan begitu pula sebaliknya.

Penelitian Singh et al. (1999) yang menggunakan domba Awwasi lepas sapih yang diberi ransum dengan kandungan serat sebesar 11,9% dapat mengonsumsi serat

24 sebesar 79,23 g/e/h. Konsumsi serat kasar yang diperoleh dalam penelitian ini berkisar antara 120,82-146,06 g/e/h. Tingginya kandungan serat kasar dalam penelitian ini dikarenakan tingginya kandungan serat kasar dalam ransum, yaitu 20,25%-23,47%, sehingga menyebabkan rendahnya kecernaan ransum tersebut. Kandungan serat kasar dalam pakan dapat mempengaruhi kecernaan dalam ransum, menurut Tillman et al. (1991) semakin banyak serat kasar yang terdapat dalam suatu bahan pakan, maka semakin tebal dinding selnya dan berakibat semakin rendah daya cerna dari pakan tersebut.

Pertambahan Bobot Badan

Pertambahan bobot badan (PBB) berhubungan erat dengan pertumbuhan. Pertambahan bobot badan merupakan salah satu kriteria yang dapat digunakan untuk mengevaluasi kualitas pakan ternak, karena pertumbuhan yang diperoleh dari suatu percobaan merupakan salah satu indikasi pemanfaatan zat-zat makanan dari pakan yang diberikan. Pertambahan bobot badan pada ternak muda merupakan salah satu tujuan penting yang ingin dicapai. Kelebihan makanan yang berasal dari kebutuhan hidup pokok akan digunakan untuk meningkatkan bobot badan (Nurjannah, 2006). Pertambahan bobot badan dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain konsumsi total protein yang diperoleh setiap hari, jenis kelamin, umur, genetik, lingkungan, kondisi fisiologis ternak dan tata laksana pemeliharaan (NRC, 2006).

Rataan pertambahan bobot badan (PBB) pada setiap perlakuan tidak menunjukkan perbedaan yang nyata secara statistik (Tabel 7). PBB yang didapat

berkisar antara 20,71−43,57 g/e/h. Dengan rataan PBB sebesar 33,00 g/e/h jauh lebih

kecil dibandingkan dengan hasil penelitian Yunita (2008) dengan perlakuan 80% rumput Brachiaria humidicola + 20% ransum komplit selama 2 bulan, dan 80% rumput + 20% ransum komplit 1 bulan pertama dan bulan berikutnya 20% rumput + 80% ransum komplit yang menggunakan domba dengan bobot awal 15,87±1,00 kg, menghasilkan rataan PBB sebesar 45,00 dan 34,46 g/e/h. Rendahnya pertambahan bobot badan pada penelitian ini disebabkan rendahnya nutrien yang dikonsumsi pada penelitian ini, yang hanya mencukupi kebutuhan hidup pokok, juga lebih rendahnya kualitas pakan pada penelitian ini.

25 Tabel 7. Rataan Pertambahan Bobot Badan (PBB) dan Efisiensi Pakan

Perlakuan Peubah

PBB (g/e/h) Efisiensi Pakan

R1 = 90% B : 10% K 30,00 ± 11,07 0,07 ± 0,02

R2 = 80% B : 10% L : 10% K 43,57 ± 23,02 0,10 ± 0,05 R3 = 70% B : 20% L : 10% K 20,71 ± 12,86 0,05 ± 0,03 R4 = 60% B : 30% L : 10% K 35,71 ± 03,69 0,08 ± 0,01

R5 = 70% B : 30% L 35,00 ± 07,87 0,08 ± 0,02

Keterangan: B = Brachiairia humidicola, L = Legum, dan K = Konsentrat, PBB = Pertambahan bobot badan.

Kualitas pakan dapat ditingkatkan dengan penambahan konsentrat dalam ransum. Hal ini sesuai dengan pernyataan Mawati et al. (2004), pertambahan bobot badan merupakan hal penting dalam usaha peternakan domba karena akan mempengaruhi bobot potongnya, oleh karena itu untuk mencapai bobot potong maksimal diperlukan pemberian pakan tambahan berupa konsentrat selain pakan hijauan. Rianto et al. (2006) mengutarakan dalam penelitiannya bahwa domba ekor tipis yang diberi ransum dengan kandungan protein antara 8,11%-12,56% menghasilkan pertambahan bobot badan harian sebesar 26,49-44,46 g/ekor/hari. Hasil tersebut lebih besar daripada penelitian ini yang menghasilkan pertambahan bobot badan harian sebesar 20,71-43,57 g/ekor/hari, dengan kandungan protein kasar dalam ransum sebanyak 7,53%-10,86%.

Tingkat konsumsi ternak dapat mempengaruhi pertambahan bobot badan harian ternak. Hal ini terlihat dari konsumsi bahan kering yang belum dapat memenuhi kebutuhan konsumsi bahan kering ternak domba bila merujuk dari kebutuhan bahan kering yang diutarakan Kearl (1982). Konsumsi bahan kering yang rendah dapat disebabkan kandungan fraksi serat yang tinggi, karena peningkatan konsumsi fraksi serat akan meningkatkan aktivitas mengunyah sehingga laju pengosongan isi perut semakin lambat, ternak tidak cepat lapar dan konsumsi pun menurun (Lu et al., 2005). Tingginya konsumsi serat kasar dalam penelitian ini menyebabkan rendahnya konsumsi bahan kering, sehingga mengakibatkan rendahnya pertambahan bobot badan harian domba dalam penelitian ini.

26

Efisiensi Pakan

Rataan efisiensi pakan juga tidak menunjukkan perbedaan yang nyata secara statistik (Tabel 7). Efisiensi pakan yang didapat berkisar antara 0,05-0,10. Nilai efisiensi pakan tersebut lebih rendah dibandingkan dengan hasil penelitian Mulyaningsih (2006) dengan perlakuan 100% konsentrat, 75% konsentrat 25% rumput gajah, 50% konsentrat 50% rumput gajah, dan 25% konsentrat 75% rumput gajah yang menghasilkan efisiensi pakan sebesar 0,17, 0,10, 0,09, dan 0,04 berdasarkan konsumsi bahan kering. Rendahnya efisiensi pakan dalam penelitian ini disebabkan rendahnya konsumsi bahan kering dan protein kasar, sehingga menyebabkan rendahnya pertambahan bobot badan harian domba. Pond et al. (1995) menyatakan bahwa efisiensi pakan dipengaruhi oleh jumlah pakan yang dikonsumsi, bobot badan, gerak atau aktivitas tubuh, musim dan suhu dalam kandang. Efisiensi pakan yang diperoleh dalam penelitian ini lebih tinggi dibandingkan dengan penelitian Elia (2005) yang mengungkapkan bahwa domba di UP3 Jonggol yang dikandangkan dengan pakan kombinasi rumput Brachiaria humidicola dapat mencapai angka efisiensi pakan sebesar 0,03 hingga 0,04.

Kualitas pakan juga berpengaruh terhadap rendahnya efisiensi pakan, semakin baik kualitas pakan yang dikonsumsi, maka akan diikuti dengan pertambahan bobot badan yang lebih tinggi dan semakin efisien penggunaan pakannya. Hal ini ditegaskan Haryanto (1992) yang mengungkapkan bahwa semakin tinggi kualitas pakan dapat meningkatkan efisiensi pemanfaatan zat-zat makanan meskipun belum tentu efisien secara ekonomis.

Income Over Feed Cost (IOFC)

Income Over Feed Cost (IOFC) adalah salah satu cara dalam menentukan indikator keuntungan. IOFC biasa digunakan untuk mengukur performa pada program pemberian pakan. Analisis pendapatan dengan cara ini didasarkan pada harga beli bakalan, harga jual domba dan biaya pakan selama pemeliharaan. Menurut Kasim (2002) IOFC dapat dihitung melalui pendekatan penerimaan dari nilai pertambahan bobot badan ternak dengan biaya ransum yang dikeluarkan selama penelitian. Hasil penelitian Kasim (2002) dengan menggunakan ransum komplit dari onggok dan jerami dengan tambahan cairan rumen sebesar Rp 267-Rp 1461 ekor/hari. Faktor yang berpengaruh penting dalam perhitungan IOFC adalah

27 pertambahan bobot badan selama penggemukan, konsumsi pakan dan harga pakan. Hasil perhitungan IOFC disajikan pada Tabel 8.

Tabel 8. Rataan Hasil Perhitungan Income Over Feed Cost (IOFC)

Perlakuan Peubah (Rupiah/ekor)

Penerimaan* Pengeluaran** IOFC

R1 63.000±23.238 42.140 20.860±23.238

R2 91.500±48.343 46.340 45.160±48.343

R3 43.500±27.000 50.540 -7.040±27.000

R4 75.000±7.746 54.740 20.260±7.746

R5 73.500±16.523 46.200 27.300±16.523

Keterangan : *) Rataan harga jual domba yang berlaku saat penelitian Rp 30.000,-/kg bobot hidup. **) Koefisien harga pakan dalam bentuk as fed yang berlaku saat penelitian : rumput

BH = Rp 200,-/kg; Legum= Rp 500,-/kg; Konsentrat = Rp 3000,-/kg.

Perlakuan yang diberikan pada ternak domba tidak memberikan perbedaan yang nyata terhadap nilai IOFC (Tabel 8). Nilai IOFC yang dihasilkan berkisar

Dokumen terkait