VARIABEL PEMBEDA PERMUKAAN LINEAR TUBUH
MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu
Penelitian ini dilaksanakan di Ciamis (Jawa Barat), Tegal (Jawa Tengah) dan Blitar (Jawa Timur). Waktu penelitian dibagi menjadi tiga periode. Periode pertama yaitu pengukuran ayam Kampung di daerah Ciamis yang dilakukan pada tanggal 17- 20 Desember 2011; periode kedua di daerah Tegal pada tanggal 16-19 Januari 2012; dan periode ketiga di daerah Blitar pada tanggal 23-27 Januari 2012.
Materi
Ayam Kampung dewasa tubuh sebanyak 328 ekor, digunakan pada penelitian ini. Ayam Kampung yang berasal dari daerah Ciamis berjumlah 101 ekor (45 ekor jantan dan 56 ekor betina), dengan ilustrasi yang disajikan pada Gambar 2. Ayam Kampung yang berasal dari daerah Tegal berjumlah 109 ekor (20 ekor jantan dan 89 ekor betina), dengan ilustrasi pada Gambar 3; sedangkan yang berasal dari daerah Blitar berjumlah 118 ekor (38 ekor jantan dan 80 ekor betina), dengan ilustrasi pada Gambar 4.
(a) (b)
Gambar 2. Ayam Kampung Jantan (a) dan Ayam Kampung Betina (b) dari Daerah Ciamis
Peralatan yang digunakan pada penelitian meliputi jangka sorong digital merk ”Mitutoyo Digimatic Caliper” dengan ketelitian hingga 0,01 mm; pita ukur, timbangan, tali plastik, gunting, kamera digital, lembar isian yang berisi data pengamatan dan alat tulis. Perangkat lunak MINITAB ® Release 15.1.20.0 dan
12 MEGA 4 (Molecular Evoluationary Genetics Analysis) digunakan juga pada penelitian ini.
(a) (b)
Gambar 3. Ayam Kampung Jantan (a) dan Ayam Kampung Betina (b) dari Daerah Tegal
(a) (b)
Gambar 4. Ayam Kampung Jantan (a) dan Ayam Kampung Betina (b) dari Daerah Blitar
Prosedur Penentuan Lokasi
Penentuan lokasi penelitian dilakukan berdasarkan informasi jumlah populasi ayam Kampung di Pulau Jawa pada tahun 2010 (Badan Pusat Statistik, 2010). Daerah Ciamis mewakili populasi ayam Kampung Jawa Barat, daerah Tegal
13 mewakili ayam Kampung Jawa Tengah dan Blitar mewakili ayam Kampung Jawa Timur; ditentukan berdasarkan Badan Pusat Statistik (2010).
Pengumpulan Data
Data yang digunakan pada penelitian merupakan data primer yang didapatkan dengan cara melakukan pengukuran secara langsung pada ayam Kampung. Penentuan sampel ayam Kampung dilakukan secara sengaja (purposive sampling) atau dipilih tidak acak.
Variabel yang Diukur
Variabel ukuran linear permukaan tubuh yang diamati meliputi panjang femur (X1), panjang tibia (X2), panjang shank (X3), lingkar shank (X4), panjang sayap (X5), panjang maxilla atas (X6), tinggi jengger (X7) dan panjang jari ketiga (X8); diilustrasikan pada Gambar 5.
Sumber: Moreng dan Avens (1985)
14 Prosedur pengukuran variabel ukuran linear permukaan tubuh ayam Kampung, dilakukan dengan cara yang disajikan pada uraian berikut ini.
1. Panjang femur (mm) diukur sepanjang tulang paha bagian ujung distal yang beratrikulasi dengan tibia, fibula dan patella. Pengukuran dilakukan dengan jangka sorong digital; diilustrasikan pada Gambar 6a.
2. Panjang tibia (mm) diukur dari patella sampai ujung tibia. Pengukuran dilakukan dengan jangka sorong digital; diilustrasikan pada Gambar 6b.
(a) (b)
Gambar 6. Pengukuran Panjang Femur (a) dan Panjang Tibia (b)
3. Panjang shank (mm) diukur sepanjang tulang tarsometatarsus yang diwakili tulang yang dibentuk dari persatuan metatarsal yang kedua, ketiga dan keempat. Pengukuran dilakukan dengan jangka sorong digital; diilustrasikan pada Gambar 7a.
(a) (b)
15 4. Lingkar shank (mm) diukur dengan cara melingkari tulang tarsometatarsus pada bagian tengah. Pengukuran dilakukan dengan pita ukur; diilustrasikan pada Gambar 7b.
5. Panjang sayap (mm) diukur dengan cara merentangkan bagian sayap terlebih dahulu dan pengukuran dimulai dari pangkal humerus sampai ujung phalanges. Pengukuran dilakukan dengan jangka sorong digital; diilustrasikan pada Gambar 8a.
6. Panjang maxilla (mm) diukur dari pangkal sampai ujung paruh bagian atas. Pengukuran dilakukan dengan jangka sorong digital; diilustrasikan pada Gambar 8b.
(a) (b)
Gambar 8. Pengukuran Panjang Sayap(a) dan Panjang Maxilla (b)
7. Tinggi jengger (pecten oculi capilaries) (mm) diukur dari pangkal jengger di atas kepala sampai ujung jengger yang paling tinggi pada kondisi tegak lurus
(a) (b)
16 900. Pengukuran dilakukan dengan jangka sorong digital; diilustrasikan pada Gambar 9a.
8. Panjang jari ketiga (mm) diukur dari pangkal jari ketiga yang terdiri atas empat phalanges sampai ujung jari. Pengukuran dilakukan dengan jangka sorong digital; diilustrasikan pada Gambar 9b.
Rancangan dan Analisis Data Statistik Deskriptif
Statistik deskriptif menunjukkan gambaran kuantitatif pada sebuah kondisi yang terkendali (Babbie, 2010). Data dianalisis secara deskriptif yang meliputi rataan, simpangan baku dan koefisien keragaman dengan menggunakan rumus yang disarankan Walpole (1993).
Rumus rataan dihitung sebagai berikut:
=1n i
n i=1
Keterangan: : rata-rata
Xi : ukuran ke-i dari variabel ke-x
n : jumlah sampel yang diambil dari populasi ayam Rumus simpangan baku dihitung sebagai berikut:
= ni=0n 1 i Keterangan:
S : simpangan baku : rata-rata
Xi : ukuran ke-i dari variabel ke-x
n : jumlah sampel yang diambil dari populasi ayam Rumus koefisien keragaman dihitung sebagai berikut:
=
17 Keterangan: KK : koefisien keragaman S : simpangan baku : rata-rata Statistik T2 Hotelling
Statistik T2 Hotelling merupakan pengujian awal sebelum fungsi diskriminan dibentuk. Uji T2 Hotelling dilakukan dengan cara pengujian perbedaan vektor rata- rata dari kedua populasi ayam Kampung untuk memperoleh hasil apakah ditemukan nilai rata-rata dari sifat yang dipelajari itu berbeda atau tidak (Gaspersz, 1992).
Hipotesis yang digunakan dalam pengujian perbedaan vektor nilai rata-rata dari kedua populasi adalah:
Ho : U1 = U2 ; artinya vektor nilai rata-rata dari kelompok ayam Kampung lokasi 1 sama dengan kelompok ayam Kampung lokasi 2
H1 : U1≠ U2 ; artinya kedua vektor nilai rata-rata dari kelompok ayam Kampung lokasi 1 berbeda dengan kelompok ayam Kampung lokasi 2
Pengujian statistik T2 Hotelling dilakukan dengan rumus sebagai berikut: nn1n
1 n 1 1 1
Selanjutnya besaran:
= nn1 n p 1
1 n1 p
akan berdistribusi dengan derajat bebas V1 = p dan V2 = n1 + n2 p 1 Keterangan :
T2 : nilai statistik T2-Hotelling F : nilai hitung untuk T2-Hotelling
n1 : ukuran sampel ayam Kampung dari lokasi 1 n2 : ukuran sampel ayam Kampung dari lokasi 2
1 : vektor nilai rata-rata variabel acak dari kelompok ayam Kampung lokasi 1
: vektor nilai rata-rata variabel acak dari kelompok ayam Kampung lokasi 2 p : banyak variabel yang diukur
18 Apabila hasil pengujian terhadap hipotesis menolak Ho maka hal ini menunjukkan bahwa kedua nilai rata-rata dari sifat yang dibandingkan tersebut berbeda. Uji dapat dilanjutkan dengan fungsi diskriminan Fisher.
Analisis Fungsi Diskriminan Fisher
Gaspersz (1992) menyatakan bahwa fungsi diskriminan Fisher dibentuk untuk mencirikan perbedaan sifat-sifat dari kedua kelompok pengamatan. Rumus yang digunakan dalam analisis fungsi diskriminan fisher sebagai berikut:
Y = a X = ( 1 – G-1X Keterangan:
X : vektor variabel acak yang diidentifikasi dalam model fungsi diskriminan
1 : vektor nilai rata-rata variabel acak dari kelompok ayam Kampung lokasi 1
: vektor nilai rata-rata variabel acak dari kelompok ayam Kampung lokasi 2 SG-1 : invers matriks peragam gabungan (invers dari matriks SG).
Pengujian selang kepercayaan serempak dilakukan untuk menjelaskan kontribusi masing-masing variabel sebagai variabel pembeda pada fungsi diskriminan. Apabila selang kepercayaan mengandung nilai nol, maka rataan kedua kelompok ayam untuk variabel tersebut dianggap tidak berbeda pada taraf 95%, sehingga dapat dikeluarkan dari persamaan fungsi diskriminan Fisher.
Pengujian selang kepercayaan serempak menurut Gaspersz (1992) sebagai berikut:
c ( 1 – ) ± c c n1 n
n1 n p, n1 n -
Keterangan:
c : vektor nilai yang mengikuti perbandingan variabel Xi
c : invers dari vektor nilai yang mengikuti perbandingan variabel Xi SG : matriks peragam gabungan
1 : vektor nilai rata-rata variabel acak dari kelompok ayam Kampung lokasi 1
: vektor nilai rata-rata variabel acak dari kelompok ayam Kampung lokasi 2 T2 : nilai statistik T2-Hotelling dari tabel Hotelling pada taraf nyata α
19 n2 : ukuran sampel ayam Kampung dari populasi ayam Kampung lokasi 2
Keeratan hubungan antara variabel pembeda dan fungsi diskriminan yang dibentuk pada setiap dua kelompok ayam yang diamati, dilakukan berdasarkan analisis korelasi menurut Gaspersz (1992) dengan rumus sebagai berikut:
RY,Xi = di / ii D Keterangan:
R,Y, Xi : korelasi antara fungsi diskriminan dengan variabel Xi dalam model di : selisih antara rataan variabel Xi diantara kedua kelompok ayam Sii : ragam dari variabel Xi yang diperoleh dari matriks SG
D2 : nilai jarak ketidakserupaan D2-Mahalanobis
Hasil perhitungan korelasi digunakan untuk mencari variabel paling lemah. Variabel yang paling lemah merupakan variabel yang memiliki selang kepercayaan yang mengandung nilai nol. Variabel ini selanjutnya dikeluarkan dari model diskriminan, sehingga model persamaan fungsi diskriminan mengalami perubahan.
Penggolongan statistik Fisher, memerlukan nilai: m = ½ ( 1 ) G-1 ( 1 )= ½ D2
Kriteria untuk penggolongan dapat menggunakan konsep sebagai berikut: 1. Jika y0 m > 0, maka kelompok ayam Kampung tersebut digolongkan ke dalam
kelompok ayam Kampung lokasi 1
2. Jika y0 m ≤ 0, maka kelompok ayam ampung tersebut digolongkan ke dalam kelompok ayam Kampung lokasi 2
Analisis Wald-Anderson
Penggolongan berdasarkan kriteria statistik Wald-Anderson menurut Gaspersz (1992) sebagai berikut:
W = SG-1 1 - ½ 1+ ) SG-1 1 Keterangan:
W : nilai uji statistik Wald-Anderson : vektor variabel acak individu SG-1 : invers matrik gabungan
20 : vektor nilai rata-rata variabel acak dari kelompok ayam Kampung lokasi 2 Kriteria penggolongan berdasarkan statistik Wald-Anderson (Gaspersz, 1992) adalah:
1. Pengalokasian ke dalam kelompok 1, jika W > 0 2. Pengalokasian ke dalam kelompok , jika W ≤ 0 Analisis D2-Mahalanobis
Jarak ketidakserupaan morfometrik antara dua kelompok ayam Kampung dihitung berdasarkan Gaspersz (1992), sebagai berikut:
D2-Mahalanobis = 1 SG-1 1 Keterangan:
1 : vektor nilai rata-rata variabel acak dari kelompok ayam Kampung lokasi 1
: vektor nilai rata-rata variabel acak dari kelompok ayam Kampung lokasi 2 SG-1 : invers matrik gabungan
HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Lokasi Penelitian Kabupaten Ciamis Jawa Barat
Kabupaten Ciamis terletak di provinsi Jawa Barat yang berbatasan langsung dengan Kabupaten Majalengka dan Kabupaten Kuningan di sebelah utara, Kabupaten Tasikmalaya di sebelah barat, Provinsi Jawa Tengah di sebelah timur dan Samudra Indonesia di sebelah selatan. Luas total dari Kabupaten Ciamis adalah 244.479ha dan secara geografis terletak pada 1080 20’ 108040’ B dan 7040’ 0”
70 41’ 0” LS. Kabupaten Ciamis merupakan daerah yang baik untuk pengembangan pertanian, kehutanan, perikanan, kelautan dan pariwisata. Jenis tanah yang mendominasi Kabupeten Ciamis adalah tanah latosol, podsolik, aluvial dan grumusol (Dinas Provinsi Jawa Barat, 2010). Kabupaten Ciamis terletak pada ketinggian 731 mdpl. Suhu udara di Kabupaten Ciamis berkisar 21-31 °C; kelembaban sebesar 58-93% dan kecepatan angin sebesar 20 km/jam (Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika, 2012).
Kabupaten Ciamis sangat berpotensi untuk pengembangan ayam Kampung karena populasi ayam Kampung di daerah ini cukup banyak, yaitu 2814759 ekor (Badan Pusat Statistik, 2010). Gambar 10 menyajikan denah lokasi penelitian di daerah Sindangrasa dan Imbanagara Kabupaten Ciamis. Salah satu daerah pengembangan ayam Kampung di Kabupaten Ciamis adalah daerah Sindangrasa dan Imbanaraga. Kedua daerah ini dijadikan pusat ayam Kampung di bawah pengawasan HIMPULI (Himpunan Peternak Unggas Lokal Indonesia). Ayam Kampung di daerah ini merupakan ayam dwiguna (sebagai pedaging dan petelur). Sebagian besar masyarakat di kedua daerah tersebut masih memelihara ayam Kampung sebagai tabungan hidup dan untuk menyalurkan hobi, sehingga kepemilikan ayam Kampung berjumlah tidak terlalu banyak. Kandang ayam Kampung dibuat sederhana dan diletakkan di belakang rumah.
Sistem pemeliharaan ayam Kampung di daerah Ciamis bersifat semi intensif. Pelepasan ayam sepanjang hari setelah ayam diberi makan pada pagi hari dan ayam akan kembali menjelang sore hari. Pakan yang diberikan pada ayam Kampung di daerah Ciamis berupa limbah dapur ditambah dengan dedak padi. Terdapat pula beberapa jenis tanaman di sekitar rumah peternak seperti pohon mangga, rambutan,
22 pisang, jati dan pohon bambu yang digunakan ayam sebagai sumber pakan. Selain itu, naungan pohon bambu juga digunakan untuk tempat berlindung dari terik matahari dan hujan. Pemberian vitamin antistres juga dilakukan oleh beberapa warga yang memiliki ayam Kampung, terutama pada jumlah banyak.
Sumber: Google Earth (2012)
Gambar 10. Peta Lokasi Penelitian di Daerah Sindangrasa dan Imbanagara Kabupaten Ciamis
Kabupaten Tegal Jawa Tengah
Jawa Tengah merupakan provinsi yang memiliki populasi ayam Kampung terbanyak di Pulau Jawa (Badan Pusat Statistik, 2010). Salah satu daerah penyebaran ayam Kampung di Jawa Tengah adalah Kabupaten Tegal dengan populasi ayam Kampung sebanyak 2448752 ekor. Kecamatan Mejasem Timur merupakan salah satu daerah di Kabupaten Tegal yang memiliki potensi ayam Kampung yang cukup tinggi. Sebagian besar warga masyarakat daerah tersebut memelihara ayam Kampung walaupun hanya dalam skala rumah tangga. Ayam Kampung dipelihara hanya dijadikan sebagai tabungan hidup. Gambar 11 menyajikan denah lokasi penelitian di daerah Mejasem Timur Kabupaten Tegal.
Kabupaten Tegal terletak antara 1080 57'6" - 1090 21'30" BT dan antara 600 50'41" 70 15'30" LS. Daerah ini memiliki lokasi yang strategis dengan fasilitas pelabuhan karena terletak pada jalur Semarang Tegal Cirebon serta Semarang Tegal Purwokerto dan Cilacap. Kabupaten Tegal memiliki luas total 878,79 Km2
Lokasi Penelitian
23 yang terbagi atas tiga daerah yaitu daerah pantai, dataran rendah dan dataran tinggi. (Pemerintah Kabupaten Tegal, 2011). Kabupaten Tegal memiliki ketinggian 1200- 2050 mdpl. Rata-rata suhu udara daerah Tegal adalah 23-32 °C dengan kelembaban sebesar 55-88% serta memiliki kecepatam angin sebesar 25 km/jam (Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika, 2012).
Sumber: Google Earth (2012)
Gambar 11. Peta Lokasi Penelitian di Daerah Mejasem Timur Kabupaten Tegal Pemeliharaan ayam Kampung di Kecamatan Mejasem Timur dilakukan secara semi intensif. Ayam tidak dikandangkan khusus tetapi diberi naungan untuk beristirahat pada malam hari. Naungan dapat berupa rumah kosong yang tidak digunakan, gudang bahkan sudut-sudut dapur yang juga tidak banyak digunakan. Kurungan ayam juga digunakan untuk mempermudah penanganan. Ayam Kampung diberi pakan limbah rumah tangga ditambah dengan dedak padi; yang diberikan pada pagi hari sebelum dilepas. Ayam dilepas untuk mencari makan sendiri di areal sekitar rumah atau pekarangan dan area persawahan. Pekarangan rumah ditanami pohon mangga, pohon pisang, tanaman pagar dan tanaman bunga.
Kabupaten Blitar Jawa Timur
Kabupaten Blitar merupakan daerah yang memiliki populasi ayam Kampung terbanyak di wilayah Jawa Timur menurut data Badan Pusat Statistik (2010) dengan populasi sebanyak 2039460 ekor. Salah satu daerah pengembangan usaha ayam Kampung di Blitar adalah di daerah Duren Kecamatan Talun. Kabupaten Blitar terletak di kawasan selatan Jawa Timur dan berbatasan langsung dengan Samudera
Lokasi Penelitian
24 India pada 111040’ 112010’ B dan 7058’ 809’51’’ LS dengan luas total 1.588,79 km2 (Pemerintah Kabupaten Blitar, 2011). Kabupaten Blitar terletak di ketinggian 150 mdpl. Suhu rata-rata Kabupaten Blitar adalah 20-30 °C dengan kelembaban sebesar 60-92% serta memiliki kecepatam angin sebesar 35 km/jam (Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika, 2012). Gambar 12 menyajikan denah lokasi penelitian di daerah Duren Kabupaten Blitar.
Sumber: Google Earth (2012)
Gambar 12. Peta Lokasi Penelitian di Daerah Duren Kabupaten Blitar
Tanah di Kabupaten Blitar merupakan tanah regolos yang berwarna abu-abu kekuningan, bersifat masam, gembur dan peka terhadap erosi (Badan Penanggulangan Bencana Daerah Jawa Timur, 2010). Kabupaten Blitar berpotensi untuk dikembangkan sebagai daerah usaha pertanian dan peternakan. Kesuburan tanah Kabupaten Blitar merupakan sumbangan dari aktivitas Gunung Kelud dengan 32 aliran sungai yang menopang kesuburan areal persawahan, sehingga sumber pakan tersedia sepanjang tahun (Pemerintah Kabupaten Blitar, 2011).
Peternakan ayam Kampung di daerah Duren berskala rumah tangga yang yang dipelihara secara semi intensif dengan jumlah kepemilikan ayam Kampung berkisar 1 10 ekor. Beberapa rumah tangga memiliki ayam Kampung lebih dari 10 ekor yang dimanfaatkan sebagai indukan dan sebagai hobi. Ayam dilepas setelah diberi makan pada pagi hari dan dibiarkan sampai dengan kembali ke kandang pada sore hari. Ayam dibiarkan mencari makan secara bebas di sekitar area rumah yang banyak ditumbuhi pohon pisang, pohon mangga, pohon jati dan tanaman bunga.
25 Terdapat pula ayam yang ditempatkan sepanjang hari dengan pakan yang selalu disediakan tetapi ayam masih diberikan kebebasan untuk bergerak di dalam area rumah yang diberi pembatas meskipun beratapkan langit. Bangunan tidak permanen berukuran kecil digunakan ayam untuk beristirahat pada saat berlindung dari hujan dan terik matahari. Bangunan tersebut dibuat dari bambu dengan desain sederhana yang diletakkan di belakang rumah. Pakan yang diberikan berupa limbah dapur yang diberi tambahan dedak padi dan jagung. Vitamin antistres terkadang juga diberikan pada ayam Kampung tersebut.
Analisis Statistik Deskriptif
Hasil analisis deskriptif pengukuran panjang femur (X1), panjang tibia (X2), panjang shank (X3), lingkar shank (X4), panjang sayap (X5), panjang maxilla (X6), tinggi jengger (X7) dan panjang jari ketiga (X8) ayam Kampung Ciamis, Tegal dan Blitar; disajikan pada Tabel 3. Ayam Kampung dibedakan menjadi jantan dan betina. Tabel 4 menyajikan rekapitulasi urutan kelas ukuran-ukuran linear permukaan tubuh berdasarkan Tabel 3.
Hasil pengukuran beberapa variabel pada tubuh ayam Kampung pada masing-masing lokasi pengamatan menunjukkan bahwa secara umum ukuran linear permukaan tubuh ayam jantan lebih besar. Soeparno (2005) menyatakan bahwa jenis kelamin merupakan salah satu faktor yang menyebabkan perbedaan laju pertumbuhan pada ternak. Jenis kelamin yang berbeda menghasilkan hormon kelamin yang berbeda yang selanjutnya mempengaruhi pertumbuhan. Herren (2012) juga menyatakan bahwa hormon testostron pada dosis rendah mampu meningkatkan pelebaran epiphysis tulang dan membantu kerja hormon pertumbuhan, sedangkan hormon estrogen justru menghambat pertumbuhan kerangka. Testosteron pada jantan berperan sebagai steroid dari androgen yang memicu pertumbuhan yang lebih cepat. Sulandari et al. (2007b) menyatakan bahwa ayam Kampung merupakan ayam tipe dwiguna, karena peternak menyeleksi ke arah pedaging dan petelur. Seleksi ke arah pedaging berdasarkan bobot badan, sedang seleksi ke arah petelur berdasarkan produksi telur. Seleksi ke arah pedaging diperlihatkan dengan hasil keragaman yang relatif rendah pada sifat-sifat ukuran linear permukaan tubuh yang berkorelasi erat dengan bobot badan. Hasil penelitian Kusuma (2002) menyatakan korelasi positif antara bobot badan dan panjang femur (X1), antara bobot badan dan panjang
26 tibia(X2), antara bobot badan dan panjang shank (X3); berturut-turut sebesar 0,396; 0,761 dan 0,706.
Tabel 3. Rataan, Simpangan Baku dan Koefisien Keragaman Variabel-Variabel Ukuran Linear Permukaan Tubuh pada Ayam Kampung Jantan dan Betina di Lokasi Ciamis, Tegal dan Blitar
Variabel Ciamis (n=101) Tegal (n=109) Blitar (n=118) ♂ n=45 ♀ n=56 ♂ n= 0 ♀ n=89 ♂ n=38 ♀ n=80 ---(mm)--- Panjang Femur (X1) 127,39 ± 15,53 (12,19%) 120,12 ± 18,50 (15,40%) 129,45 ± 16,32 (12,61%) 117,63 ± 16,45 (13,98%) 129,57 ± 17,29 (13,34%) 118,12 ± 16,62 (14,07%) Panjang Tibia (X2) 162,11 ± 16,12 (9,95%) 142,64 ± 20,55 (14,41%) 152,70 ± 17,75 (11,62%) 137,86 ± 15,48 (11,23%) 170,02 ± 16,31 (9,59%) 146,02 ± 13,33 (9,13%) Panjang Shank (X3) 103,22 ± 10,82 (10,48%) 85,48 ± 11,94 (13,97%) 99,10 ± 10,59 (10,68%) 82,04 ± 7,89 (9,62%) 114,95 ± 10,42 (9,06%) 88,18 ± 8,88 (10,07%) Lingkar Shank (X4) 52,63 ± 7,03 (13,36%) 44,82 ± 3,86 (8,61%) 48,85 ± 5,70 (11,66%) 41,83 ± 3,96 (9,45%) 53,08 ± 6,62 (12,48%) 43,40 ± 3,64 (8,39%) Panjang Sayap (X5) 163,55 ± 18,55 (11,34%) 154,67 ± 20,48 (13,24%) 154,06 ± 15,06 (9,77%) 139,96 ± 16,11 (11,51%) 151,75 ± 19,70 (12,98%) 148,12 ± 16,56 (11,18%) Panjang Maxilla (X6) 36,36 ± 5,05 (13,89%) 32,86 ± 3,63 (11,04%) 32,46 ± 6,04 (18,59%) 30,41 ± 4,80 (15,78%) 37,11 ± 4,44 (11,97%) 32,52 ± 4,03 (12,40%) Tinggi Jengger (X7) 26,55 ± 15,10 (56,87%) 10,76 ± 6,13 (56,99%) 19,23 ± 9,70 (50,42%) 10,58 ± 5,60 (52,95%) 18,79 ± 8,36 (44,47%) 7,85 ± 3,26 (41,55%) Panjang Jari Ketiga (X8) 62,16 ± 7,55 (12,15%) 53,72 ± 7,05 (13,12%) 64,33 ± 7,43 (11,54%) 54,46 ± 5,90 (10,84%) 71,35 ± 5,48 (7,68%) 60,79 ± 7,01 (11,53%) Keterangan: Persen dalam tanda kurung menunjukkan koefisien keragaman; n menunjukkan jumlah
sampel (ekor)
Uraian berikut ini menyajikan kondisi masing-masing populasi ayam Kampung yang diamati berdasarkan nilai rataan dan koefisien keragaman variabel linear permukaan tubuh pada masing-masing lokasi pengamatan (Tabel 4). Lingkar
27 Tabel 4. Urutan Kelas Ukuran-ukuran Linear Permukaan Tubuh yang Berkorelasi dengan Produksi Ayam Kampung Jantan dan Betina di Lokasi Pengamatan yang Berbeda
Variabel Jantan Betina
Ciamis Tegal Blitar Ciamis Tegal Blitar
Panjang Femur 3* 2 1 1 3* 2
Panjang Tibia 2 3 1* 2 3 1*
Panjang Sayap 1 2* 3 1 3 2*
Keterangan: tanda (*) adalah ukuran linear yang terseleksi; 1=besar; 2=sedang; 3=kecil
shank (X4) tidak berhubungan langsung dengan produksi daging dan telur. Lingkar shank (X4) dihubungkan dengan kemampuan unggas menopang tubuh (Mulyono et al., 2009). Keragaman lingkar shank (X4) pada ayam betina pada masing-masing lokasi pengamatan ditemukan lebih rendah dibandingkan ayam jantan. Hal yang sama juga pada rataan ukuran lingkar shank (X4). Ukuran lingkar shank (X4) ayam betina lebih kecil dibandingkan ayam jantan. Keseragaman yang tinggi pada ukuran lingkar shank (X4) menunjukkan bahwa ukuran lingkar shank (X4) telah terseleksi sebagai akibat dari seleksi tidak langsung terhadap sifat produksi telur. Betina dengan bobot badan rendah memiliki lingkar shank (X4) yang rendah pula. Pada pengamatan ini secara tidak langsung peternak telah menyeleksi lingkar shank (X4) atau lingkar shank (X4) telah terseleksi. Ayam betina yang berproduksi telur tinggi memiliki ukuran tubuh kecil atau memiliki bobot yang ringan. Korelasi antara produksi telur dan bobot badan ditemukan negatif (Nestor et al., 2000). Secara tidak Tabel 5. Urutan Kelas Ukuran-ukuran Linear Permukaan Tubuh yang Berkorelasi dengan Daya Adaptasi (Seleksi Alam) pada Ayam Kampung Jantan dan Betina di Lokasi Pengamatan yang Berbeda
Variabel Jantan Betina
Ciamis Tegal Blitar Ciamis Tegal Blitar
Panjang Maxilla 2 3 1* 1* 3 2
Tinggi Jengger 1 2 3* 1 2 3*
Panjang Jari Ketiga 3 2 1* 3 2* 1
Panjang Shank 2 3 1* 2 3* 1
Lingkar Shank 2 3* 1 1 3 2*
28 langsung seleksi bobot badan pada betina ke arah negatif, telah dilakukan oleh peternak.
Berikut ini diuraikan perolehan rataan ukuran linear permukaan tubuh dan koefisien keragaman ayam Kampung pengamatan pada sifat-sifat yang berhubungan dengan produksi sebagai akibat tidak langsung dari seleksi peternak terhadap sifat produksi telur dan daging (Tabel 4). Panjang femur (X1) merupakan satu-satunya variabel linear permukaan tubuh ayam Kampung jantan Ciamis yang terseleksi paling ketat diantara ayam Kampung jantan di lokasi pengamatan lain; dengan rataan terendah (Tabel 4). Panjang tibia (X2) meskipun bukan merupakan variabel yang paling terseleksi diantara ayam Kampung jantan pada lokasi pengamatan lain, tetapi memiliki rataan diantara ayam Kampung jantan Tegal dan Blitar. Panjang sayap (X5) ayam Kampung jantan Ciamis memiliki rataan yang tertinggi. Ayam Kampung betina Ciamis tidak terseleksi paling ketat diantara ayam Kampung betina lokasi pengamatan lain; tetapi memiliki rataan yang paling besar pada panjang femur (X1) dan panjang sayap (X5). Panjang tibia (X2) memiliki rataan diantara ayam Kampung betina Tegal dan Blitar. Kondisi tersebut mengindikasikan bahwa ayam Kampung Ciamis belum mendapatkan seleksi yang lebih mengarah kepada salah satu sifat produksi. Ayam Kampung Ciamis merupakan ayam Kampung tipe dwiguna. Sulandari et al. (2007b) menyatakan bahwa ayam kampung merupakan ayam tipe dwiguna, karena peternak menyeleksi ke arah pedaging dan petelur.
Seleksi cukup ketat diantara variabel permukaan linear tubuh ayam Kampung jantan ditemukan pada lokasi Tegal. Ayam Kampung jantan Tegal terseleksi ketat pada panjang sayap (X5). Perolehan rataan panjang sayap (X5) pada ayam Kampung jantan di Tegal menempati urutan diantara ayam jantan Ciamis dan Blitar (Tabel 4). Berdasarkan hal tersebut, ayam Kampung jantan Tegal berukuran tubuh kecil. Seleksi ketat pada panjang femur(X1) di temukan pada ayam Kampung betina Tegal dengan rataan paling rendah diantara ayam Kampung betina pengamatan. Panjang tibia(X2) dan panjang sayap (X5) ayam Kampung betina Tegal memiliki rataan yang paling kecil. Berdasarkan hal tersebut, ayam Kampung betina Tegal memiliki tubuh berukuran kecil. Kondisi tersebut mengindikasikan bahwa ayam Kampung Tegal dikategorikan sebagai ayam Kampung tipe dwiguna yang lebih diarahkan ke sifat
29 petelur karena berukuran kecil. Menurut Rasyaf (2002) ayam dengan ukuran kecil dikategorikan sebagai ayam tipe ringan, penghasil telur tinggi.
Seleksi cukup ketat ditemukan diantara variabel permukaan linear tubuh ayam Kampung jantan pada lokasi Blitar. Panjang tibia (X2) merupakan variabel