• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II. KAJIAN PUSTAKA

A. Hakikat Pendidikan Karakter Kepangudiluhuran

5. Materi Pendidikan Karakter Kepangudiluhuran

Pendidikan Karakter Kepangudiluhuran oleh Sugi (2011) dijabarkan dalam materi ajar yang didasarkan pada sepuluh nilai keutamaan Bernardus. Demi kepentingan pengkajian yang lebih terstruktur, maka peneliti merumuskan dan menata kembali materi tersebut agar dapat dikaji secara ilmiah. Materi-materi tersebut antara lain sebagai berikut:

a. Percaya Kepada Tuhan

Makna iman sering kali diidentikkan dengan sikap percaya. Makna percaya secara umum menunjuk kepada berbagai sikap manusia yang mempercayai segala sebab yang dianggap bertuah, keramat dan memiliki suatu kasiat. Oleh karena itu, melalui sikap percaya seseorang dapat menyembah suatu benda, patung, pohon, atau dongeng yang diwariskan secara turun-temurun.

Sikap percaya memberi tempat yang begitu besar pada sikap subjektif manusia sehingga mendorong seseorang untuk bersikap

irasional dan mempercayai dongeng atau hal-hal yang sebenarnya tidak patut dipercayai. Sikap percaya memungkinkan manusia untuk percaya pada tahayul sehingga melumpuhkan akal budi dan hati nurani untuk memuliakan Allah selaku pencipta dan penyelamat hidup. Justru sikap iman senantiasa mendorong dan memampukan setiap orang yang percaya agar membebaskan diri dari setiap sikap irasional dan dongeng.

St. Petrus menyatakan: “sebab kami tidak mengikuti dongeng- dongeng isapan jempol manusia, ketika kami memberitahukan kepadamu kuasa dan kedatangan Tuhan kita, Yesus Kristus sebagai raja, tetapi kami adalah saksi mata dari kebesaran-Nya (2 Ptr, 1:16). Kesaksian Kitab Suci secara sadar menegaskan pemberitaan para nabi dan rasul disadari oleh kebenaran yang dapat dipertanggungjawabkan, suatu kebenaran yang lahir dari pernyataan Allah dan bukan hasil dugaan atau dongeng semata.

Seseorang perlu percaya kepada Tuhan untuk memperoleh keselamatan hidup dan hidup bahagia di dunia. Dua orang pemimpin seperti Mgr. Rutten dan Br. Bernardus Hoecken pendiri FIC adalah figur pemimpin yang dapat menjadi teladan. Mereka berdua adalah gembala atau pemimpin yang dengan setia dan penuh kasih menghantar para bruder pada sikap percaya sebagai jalan menuju keselamatan rohani. Br. Bernadus Hoecken, FIC ketika menghadapi masalah- masalah permulaan kongregasi seperti kekurangan calon, dia berdoa kepada Tuhan dan mempercayakan segala masalah kepada Tuhan.

Berkat semangat, ketekunan, dan penyerahan kepada Tuhan serta pengantaraan kepada Bunda Maria, akhirnya semua masalah tersebut dapat diatasi. Berdasarkan apa yang ia alami dalam pengalaman imannya, maka ia pun menyarankan agar para bruder juga memiliki sikap percaya yang tinggi terhadap penyelenggaraan Tuhan sendiri.

b. Rendah Hati

Orang yang bersikap rendah hati pada dasarnya tidak mencari pujian, tetapi lebih mendasari tindakannya pada keikhlasan hati untuk mengasihi sesama. Orang yang rendah hati memiliki sifat peduli terhadap orang lain, mengingat jasa atau pertolongan yang pernah diterima meski sekecil apapun. Orang yang rendah hati tidak mementingkan diri sendiri melainkan memperhatikan kepentingan orang lain.

Orang yang rendah hati juga memiliki kepedulian teradap panggilan untuk melakukan pekerjaan secara sungguh-sungguh. Pepatah mengatakan ora et labora (Latin) yang artinya bekerja dan berdoa (St. Bendiktus). Dengan bekerja orang beriman mewujudkan panggilan Tuhan yang dapat membahagiakan dirinya. Bekerja meski disertai dengan keringat, rasa lelah atau capek, tetapi tetap memberikan kepuasan batin dan kebahagiaan.

Hidup beriman diharapkan mampu sepenuhnya membaktikan diri demi pelayanan kepada Allah dan demi pelayanan kepada kedatangan

Kerajaan-Nya. Dalam kasih, seseorang hendaknya memberikan diri kepada Dia yang penuh kasih.

c. Semangat dan Keteguhan Hati

Globalisasi adalah perubahan yang terjadi di dunia akibat dari penemuan-penemuan modern sehingga seolah-olah dunia yang luas ini menjadi sedemikian sempit. Hal ini membawa perubahan besar dalam kehidupan masyarakat. Di sisi lain, globalisasi telah memberikan kemungkinan untuk membangun kesatuan secara lebih luas. Namun, di lain sisi globalisasi juga telah memberikan berbagai tawaran atau pilihan yang beragam. Hal ini memberikan kesulitan pada semua orang, terlebih generasi muda yang masih mencari jati diri. Proses mencari jati diri ini menyebabkan generasi muda mudah berubah dalam pilihan- pilihan hidup. Oleh karena itu, generasi muda memerlukan teladan pribadi yang memiliki semangat dan keteguhan hati dalam hidup untuk akhirnya mereka sendiri memiliki karakter tersebut. Karakter tersebut dapat dibangun dengan membangun kewaspadaan diri dalam setiap langkah dan perilaku.

Waspada berarti seseorang mengusahakan selalu bersikap berjaga-jaga menghadapi segala kemungkinan yang terjadi. Sadar akan hal yang akan dihadapi meskipun belum jelas jalan keluarnya. Pelayan yang siap akan selalu berjaga-jaga terhadap segala hal (Luk 12:35-37). Ia akan berpakaian dan mengusahakan supaya lampu tetap bernyala untuk menunggu tuannya kembali dari pesta kawin. Kalau tuan itu

mengetuk pintu maka mereka akan segera membukakannya. Alangkah beruntungnya pelayan-pelayan yang kedapatan sedang menunggu pada waktu tuannya datang. Maka, dalam menghadapi globalisasi dibutuhkan sikap waspada atau bertindak hati-hati untuk berani memilih dan menentukan hal-hal yang baik dan meninggalkan yang kurang baik. Untuk bisa sampai proses memilih hal yang baik serta meninggalkan yang kurang baik membutuhkan bantuan orang lain.

d. Kebijaksanaan dan Berpengetahuan

Orang yang bijaksana adalah orang yang cerdas dalam arti mampu membedakan hal yang baik dari hal yang buruk (1 Raj 3:9). Ia dapat memberikan alternatif-alternatif sebagai jalan keluar. Orang yang bijaksana terus belajar dan terus menangkap jalan-jalan Tuhan. Jalan Tuhan dibacanya melalui tanda-tanda yang terjadi dalam setiap harinya. Kebijaksanaan tanpa didukung dengan pengetahuan, kadang menjadi sulit untuk diterapkan, sebab seseorang akan sulit memahami situasi dan dikaitkan dengan permasalahan yang sebenarnya (Humblet, 1994). Maka, dalam hal ini jelaslah pengetahuan itu dapat menjadi penyokong atas kebijaksanaan yang diusahakan oleh setiap pribadi. Pengetahuan dapat diperoleh melalui proses belajar.

Menjadi manusia pembelajar merupakan hak setiap orang (manusia) yang bersedia menerima tanggung jawab untuk melakukan dua hal penting, yakni: pertama, berusaha mengenali dirinya, potensi dan bakat-bakat yang muncul. Kedua, berusaha sekuat tenaga untuk

mengaktualisasikan potensinya itu, mengekspresikan dan menyatakan diri sepenuhnya dengan cara menjadi dirinya sendiri. Jika kita mempelajari orang-orang yang sukses, kita akan menemukan bahwa mereka memiliki satu rahasia yang sama, yaitu belajar dan belajar. Semakin terus belajar semakin dapat disadari betapa sedikitnya ilmu yang dimiliki.

Oleh karena itu, sangat penting menanamkan semangat belajar terus menerus pada diri kita masing-masing. Dari hari ke hari, kita harus semakin memperkaya diri kita dengan kekayaan rohani, yaitu ilmu. Dengan semangat belajar itulah kita memperoleh ilmu dan terus meningkatkan ilmu yang kita miliki.

e. Sikap Bijaksana

Seorang yang bijaksana mengenal kesucian Tuhan Allah dan takut akan Dia. Seorang yang bijaksana mengetahui bagaimana menggunakan waktu secara tepat untuk memuliakan Tuhan. Seorang yang mengenal Tuhan mengetahui bahwa kehidupan nyatanya harus dipertanggunjawabkan di hadapan Tuhan Allah yang kekal.

Santo Yakobus mengatakan: kebijaksanaan adalah rahmat dalam doa dan dilatih dalam suasana doa. Br. Bernardus, FIC dalam segala hal meskipun sangat kecil kepentingannya, terlebih dahulu tetap memohon nasihat dan pertolongan kepada Tuhan dan bunda Maria sebagai pelindung kongregasi. Melalui kekuatan doa segala sesuatunya dapat ditanggung di dalam Tuhan.

f. Sikap Saleh

Perkembangan pengetahuan dan teknologi berkat daya rasional manusia sering dituding sebagai penyebab lunturnya kehidupan rohani. Orang menjadi kurang peduli dengan hal-hal rohani seperti doa-doa pribadi. Praktik hidup doa mulai banyak tidak mendapatkan perhatian dan tempat dalam hati kita. Kerelaan seseorang untuk berdoa menjadi berkurang karena ada tuntutan yang dianggap lebih penting dari hidupnya.

Peranan doa dalam kehidupan beriman tetaplah penting bagi diri sendiri maupun orang lain. Doa memiliki aspek sosial. Banyak peristiwa dalam Kitab Suci yang menunjukkan betapa kuatnya doa, yang dapat menyelamatkan. Br. Bernardus mengutip apa yang dikatakan St. Vincentius bahwa setiap orang hendaknya berlindung kepada Tuhan dalam doa, bukan saja jika ia dibimbing dan mengalami kesukaran, melainkan juga untuk mendengar dari Tuhan sendiri apa yang harus diajarkan kepada orang lain (Sugi, 2011).

g. Teladan Baik

Semua orang pernah berbuat kesalahan dan dosa dalam hidupnya. Kesalahan dan dosa merupakan salah satu ciri khas manusia karena manusia di dunia ini tidak ada yang sempurna. Ketidaksempurnaan manusia menjadikan dirinya cenderung untuk berbuat kesalahan dan dosa. Ketika seseorang berbuat kesalahan atau dosa, ada yang secara

berani mengakuinya dan memohon ampun atas kesalahan dan dosanya tersebut.

Orang sadar, dosa tidak hanya merugikan orang lain, melainkan juga merusak kehidupan diri sendiri, merenggangkan relasi dengan sesama dan menciderai relasi dengan Allah. Sering juga

ketidakmampuan seseorang memberikan pengampunan pada

sesamanya menjadikan dirinya tidak nyaman dalam membangun relasi dengan sesamanya. Oleh karena itu, seseorang perlu belajar untuk saling mangampuni.

Saling mengampuni ini menjadi salah satu teladan baik yang memberikan dampak bagi kehidupan bersama. Tidak hanya pengampunan yang tampat, namun juga dapat memberikan dampak bagi perbaikan relasi antar umat manusia, dengan jalan menunjukkan keutamaan hidup iman yang sungguh dihadapinya.

h. Lembut Hati

Br. Bernardus (1994) memberikan pengajaran kepada para brudernya agar memiliki sikap lembut hati dalam hidup sehari-hari. Ia menuliskan sebagai berikut:

1) Mulailah selalu dengan lembut hati; jika cara itu tidak berhasil,

bertindaklah dengan tegas, agar para bruder sungguh yakin bahwa anda hanya bertindak demikian demi kesejahteraan rohani mereka. Anda hanyalah menegur karena anda wajib memelihara ketertiban

dan karena Allah yang Mahabaik menuntut hal itu dari anda. Maka lunakkanlah teguran anda dengan lembut hati.

2) Hendaklah juga lembut hati terhadap diri anda sendiri dan janganlah

kaget jika anda pernah bersalah atau tertipu oleh kegiatan anda. Anda adalah manusia dan bukan malaikat. Katakanlah bersama St. Aloysius bahwa bumi telah menghasilkan buahnya. Atau seperti St. Fransiskus, berikanlah dirimu, hai hatiku yang lemah, engkau terjatuh lagi ke lubang, meskipun engkau sering memutuskan untuk menghindarinya. Marilah kita bangun dan berlindung pada belas kasih Allah dengan harapan akan pertolongan-Nya, agar kita selanjutnya lebih teguh.

Tuhan bersabda: Berbahagialah orang yang lemah lembut karena mereka akan memiliki bumi. Maka, menurut teladan dan perintah Tuhan, setiap orang harus berusaha menjadi lemah lembut dan rendah hati, yaitu menjadi lembut hati dan berbaik hati. Ia tidak hanya harus berbuat tegas menentang dalam dirinya sendiri setiap pernyataan nafsu atau kemarahan, melainkan juga keras menghindari tanda-tanda timbulnya gerakan hati itu.

i. Tabah Hati

Pada dasarnya semua manusia itu baik, karena diciptakan dan dikehendaki oleh Allah. Setiap manusia bersifat limited edition, tidak ada duanya. Perbedaan merupakan keunikan setiap orang dan sekaligus oleh St. Paulus disebut sebagai karunia dari Roh Kudus (bdk. 1 Kor. 12:

11, 28 - 31). Karunia harus digunakan untuk membangun hidup bersama / jemaat. Perbedaan bukan dimaksudkan untuk memecah belah kesatuan, melainkan untuk saling melengkapi dan mempersatukan serta saling memperkaya. Maka, keunikan itu baru dapat berarti bila disumbangkan, diwujudnyatakan bagi kepentingan kehidupan bersama. Setiap orang tidak harus mencari kepentingannya sendiri, dan merasa diri lebih dari yang lain, sebab memiliki karunia khusus yang menjadi ciri khasnya atau keunikannya.

j. Mencintai para bruder (sesama)

Mencintai sesama berarti mencintai dengan berlandaskan ajaran dalam Kitab Suci. Barang siapa mengasihi Allah, ia juga mengasihi saudaranya (1 Yoh 4: 21). Mencintai sesama merupakan bagian dari sikap mengasihi saudara, dan sebagai wujud ungkapan kasih kepada Allah. Maka, sudah sepantasnyalah kita mengasihi sesama kita. Mengasihi sesama dilandasi rasa hormat yang mendalam, dan turut serta menjaga dan mendukung perkembangan sesama.

Dokumen terkait