• Tidak ada hasil yang ditemukan

Matinya Rasa Empati Sebagai Manusia1 *

Hendra Try Ardianto

Satpam : Maaf mas, mau kemana, dari mana, mau apa?

Saya : Mau ke tenda pak? Dari UGM. Mau membesuk

warga di tenda.

Satpam : Wah, orang luar dilarang ke tenda mas.

Saya : Alasannya?

Satpam : Sebentar saya panggilkan komandan. (Beberapa

saat kemudian, salah seorang anggota Brimob datang)

Brimob : Mas mau apa ke tenda?

Saya : Menjenguk warga di tenda.

Brimob : Maksudnya, dari UGM lalu mau ke tenda itu

untuk apa?

Saya : Saya dari UGM mau ke tenda untuk menjenguk

warga. Adapun saya sendiri sedang penelitian untuk kepentingan tesis.

Brimob : Begini ya mas, sekarang orang luar dilarang ke tenda. Hal ini dilakukan agar tidak memperkeruh keadaan. Sekarang ini provokasi mudah sekali terjadi.

Saya : Saya tidak sedang memprovokasi. Saya sedang

pene litian. Ini ada surat penelitian dari kam­ pus. (Saya tunjukan surat penelitian dari UGM)

Brimob : Secara prosedur, jika mas punya surat izin dari

PT. Semen Indonesia di Rembang, jenengan boleh masuk. Jika tidak punya, maaf Anda tidak    bisa kesana.

Saya : Meskipun hanya menjenguk beberapa menit saja.

Brimob : Iya. Tetap tidak bisa.

P

ercakapan ini adalah ilustrasi pengalaman saya ketika akan mengunjungi warga yang tinggal di tenda depan proyek pembangunan pabrik PT. Semen Indonesia (selan- jutnya PT. SI) di Rembang. Saya mungkin hanya satu dari puluhan atau mungkin ratusan orang yang ditolak dan dilarang masuk ke tenda perjuangan warga Rembang yang menolak pertambangan semen.  Setelah ada kasus pemukulan polisi terhadap ibu-ibu sekitar November 2014, jalan menuju pabrik di portal besi. Satpam PT. SI dan polisi pun membangun tenda dan berjaga untuk meng isolasi warga dari pengunjung luar.

Dulu, sebelum portal itu ada, saya atau siapapun bebas masuk. Saya bahkan pernah menginap di tenda itu selama beberapa malam. Tinggal di tenda ternyata

berpramuka saat sekolah yang begitu menggembirakan, ternyata tidak berlaku di sini. Di malam hari, udara malam begitu menusuk tulang. Maklum, tenda ini bukan tenda ala pramuka yang tertutup rapat sebagaimana diajarkan para pembina pramuka dulu. Tenda ini hanya sebatas terpal yang dipancang dengan beberapa bambu. Udara dingin dan angin malam serasa makin menyiksa, meskipun tanah beralaskan tikar  terasa agak hangat. Di siang hari tidak kalah menyesakkan bagi saya. Panas terik matahari begitu menyengat persis di ubun-ubun kepala, sementara gulungan debu tebal bertebaran akibat keluar masuknya truk-truk proyek. Ya, saya akui saya kurang tahan dengan kondisi kala itu. Padahal, saya sendiri belum merasakan bagaimana suasana saat hujan lebat, tentu lebih memilukan.

Foto 5

Pemukulan Polisi pada Ibu-Ibu Menjadi Awal Isolasi Tenda

Satu-satunya kekuatan yang membuat saya bertahan adalah rasa empati pada ibu-ibu yang menolak pendirian pabrik semen itu. Saya tidak melihat satu pun kesusahan di raut muka ibu-ibu di sana. Malah saya menemukan mereka bergembira, bahkan menunjukkan semangat yang menggebu. Kadang mereka saling bergosip dari hal remeh temeh; seputar hasil panen, masakan, ternak, hingga rerasan tentang konflik keras yang mereka hadapi; tentang polisi, tentang satpam-satpam semen, tentang ustad-ustad bayaran, sampai cerita tetangga mereka yang baru saja mendapat uang dari PT.SI. Saya yakin mereka tetap merasakan hawa dingin dan panasnya terik matahari sebagaimana saya rasakan. Kecerian dan semangat yang terpancar dari aktivitas di tenda itulah yang membuat saya semakin tegar dan bisa bertahan tinggal di tenda.

Beberapa hari di tenda ternyata membentuk ikatan batin saya dengan ibu-ibu di tenda. Kadang saya teringat akan ibu saya di rumah yang sudah mulai menua dan kadang pula sakit. Rasa sayang pada ibu saya inilah yang menggerakkan diri saya untuk selalu berempati dengan ibu-ibu di tenda. Apalagi mereka sedang memperjuangkan tanah dan lingkungannya dari para pemodal perusak lingkungan. Sejak kecil, saya diajar berbagai hal oleh ibu saya. Dan, ajaran-ajaran itu adalah ilmu yang mengarah saya sebagai manusia. Saya kira semua ibu di dunia ini umumnya demikian.

Kegeraman yang teramat sangat kini mengeram di dada dan kepala saya melihat sekarang ibu-ibu di tenda

diisolasi. Seolah-olah mereka adalah pesakitan berbahaya yang tidak patut dijenguk atau dibesuk. Jika Anda memiliki teman sakit, pasti kita tergerak untuk menjenguknya. Bahkan, jika kondisi parah sekalipun, tak jarang rumah sakit masih mengijinkan orang menjenguk rekannya yang menderita sakit, meski hanya sebentar. Begitupun ketika ada teman di penjara. Meskipun pengadilan memutuskan bersalah, Anda sebagai teman pasti tetap menjenguknya. Karena begitulah sepatutnya manusia; berempati terhadap sesama.

Apa yang salah dengan ibu-ibu ini sehingga mereka diperlakukan bak pesakitan? Bukankah mereka orang- orang baik. Ibu-ibu desa mungkin memang berpendidikan terbatas, tapi mereka memiliki pengetahuan yang lebih arif dibanding orang-orang dari universitas. Mereka memiliki banyak sekali pengetahuan untuk mengelola alam, dan mereka telah menjalankannya. Sebaliknya, mereka dari universitas memperlakukan ilmunya seolah alam sebuah mesin yang bisa diutak-atik. Jika alam rusak, orang universitas melihat sebagai kesalahan dalam

'maintenance' alam, bukan karena praktik pemerkosaan

alam akibat ilmunya sendiri. Ya, meskipun tidak semua orang dari kampus seperti itu, saya sepakat. Nah, jika ibu- ibu yang baik begitu adanya, mengapa praktik isolasi ini masih terjadi, padahal kita semua sama sebagai manusia.

Foto 6

Keadaan Tenda Perjuangan Ibu-Ibu yang Menolak Tambang Semen

Sumber: foto adalah dokumentasi warga penolak PT. SI

Karena itu, jika Anda sudah melarang dan menghalagi orang saling menjenguk dan membesuk, maka saat itu juga empati Anda sebagai manusia telah mati. Anda tidak bisa lagi mengidentifikasi diri sebagai manusia, karena Anda telah kehilangan sisi kemanusiaan. Mungkin Anda tidak percaya dengan “surga di telapak kaki ibu”, iya silahkan. Tapi, jika Anda tidak percaya manusia harus saling berempati, maka tanggalkanlah status diri Anda itu sebagai manusia. Demikianlah pikiran-pikiran yang mengelayuti otak saya saat ini.

Kalau dengan mengisolasi ibu-ibu di tenda, para ibu-ibu akan kehilangan kekuatan dan pijakan, Anda salah besar. Saya dan ratusan bahkan ribuan orang

peneliti sosial di sana, hingga sekarang masih belum bisa menemukan kekuatan apa yang membuat orang bertahan hingga ratusan hari di tenda yang begitu memilukan itu. Kekuatan itu memang belum saya temukan, tapi saya sudah bisa merasakan.

Saya teringat pesan kyai saya. Yang membedakan manusia dengan makhluk ciptaan Tuhan yang lain bukan karena derajatnya, namun karena manusia itu berlaku sebagai manusia. Makanya, jika ada binatang yang memiliki kisah sebagaimana sifat-sifat yang mirip manusia, sering orang mengindentifikasi itu sebagai binatang yang manusiawi. Saya bukan mengatakan kalian yang mengisolasi ibu-ibu itu tidak manusiawi, lho. Cuma, saya hanya mengingatkan Anda sekalian manusia berlakulah selayaknya manusia. Saya anggap kalian saat ini khilaf, dan itu manusiawi juga. Tapi saatnya untuk bertobat. Itu poin saya.

Ingat, doa orang-orang yang tertindas itu mujarab. Semoga Anda tidak didoakan yang buruk-buruk oleh mereka yang kalian tindas. Hanya itu doa saya untuk kalian yang menindas. Amin! []

(BAGIAN 9)

Instrumen Kekuasaan