• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA

4.8 Matriks Korelasi antar Variabel .1 Lahan PHBM

Berdasarkan matriks korelasi pada lahan PHBM (Tabel 6), ternyata curahan tajuk mempunyai nilai korelasi yang lebih besar yaitu 55.90%. Hal ini berarti curahan tajuk pengaruhnya yang lebih besar terhadap erosi dibandingkan variabel yang lain.

Tabel 6 Matriks korelasi antar variabel di lahan PHBM Variabel CH CT AB AP

CT 0.905 - - -

AB 0.900 0.914 - - AP 0.739 0.703 0.772 - ET 0.534 0.559 0.520 0.537

Keterangan : CH = curah hujan, CT = curahan tajuk, AB = aliran batang, AP = aliran permukaan, ET = erosi tanah

Hasil loading plot menunjukkan bahwa terdapat korelasi positif antara erosi dengan curah hujan, curahan tajuk, dan aliran batang. Hal ini ditunjukkan dengan terbentuknya sudut lancip oleh garis yang dibentuk dari plot ketiga variabel itu. Artinya apabila curah hujan meningkat, maka curahan tajuk. aliran batang dan laju erosi akan bertambah. Korelasi yang sama terjadi antara variabel laju erosi dan aliran permukaan (Gambar 13).

0.5 0.4 0.3 0.2 0.1 0.0 -0.1 - 0.2 1.0 0.8 0.6 0.4 0.2 0.0 -0.2 -0.4 First Component S e c o n d C o m p o n e n t TE A P A B CT CH

Gambar 13 Korelasi antar parameter konservasi tanah dan air di lahan PHBM

4.8.2 Matriks Korelasi antar Variabel di Hutan Lindung

Tabel 7 menunjukkan nilai korelasi antar variabel pada hutan lindung. Berdasarkan matriks korelasi antar variabel di hutan lindung, ternyata aliran batang rasamala mempunyai kontribusi yang lebih besar terhadap erosi. Ini ditunjukkan dengan nilai korelasinya sebesar 73.90%.

Tabel 7 Matriks korelasi antar variabel di hutan lindung

Variabel CH CT AB AP

CT 0.808 - - -

AB 0.889 0.777 - - AP 0.878 0.836 0.918 - ET 0.700 0.581 0.739 0.736

Hasil loading plot di hutan lindung menunjukkan bahwa terdapat korelasi positif antara curah hujan dengan aliran batang dan aliran permukaan. Hal ini ditunjukkan dengan terbentuknya sudut lancip oleh garis yang dibentuk dari plot

29

ketiga variabel itu. Artinya apabila curah hujan meningkat, maka aliran batang dan aliran permukaan akan bertambah. Meningkatnya aliran batang dan aliran permukaan diikuti dengan peningkatan laju erosi tanah (Gambar 14).

Korelasi yang sama terjadi antara variabel curah hujan, curahan tajuk, dan aliran permukaan. Berdasarkan hasil loading plot tersebut juga dapat dilihat bahwa curahan tajuk mempunyai pengaruh yang kecil terhadap laju erosi. Besarnya laju erosi yang terjadi pada lahan hutan lindung ini disebabkan penutupan tajuk hutan yang kurang rapat dan sangat sedikitnya tumbuhan bawah yang menutupi tanah.

0.5 0.4 0.3 0.2 0.1 0.0 - 0.1 - 0.2 1.00 0.75 0.50 0.25 0.00 - 0.25 - 0.50 First Component S e c o n d C o m p o n e n t ET A P A B CT CH

Gambar 14 Korelasi antar parameter konservasi tanah dan air di hutan lindung

4.8.3 Matriks Korelasi antar Variabel di Lahan tanpa Tegakan

Tabel 8 menunjukkan nilai korelasi antar variabel pada lahan tanpa tegakan. Berdasarkan matriks korelasi antar variabel di lahan tanpa tegakan, ternyata aliran permukaan mempunyai kontribusi yang lebih kecil terhadap erosi. Ini ditunjukkan dengan nilai korelasinya sebesar 62.50%.

Tabel 8 Matriks korelasi antar variabel di lahan tanpa tegakan Variabel CH AP

AP 0.630 -

Hasil analisis loading plot menunjukkan bahwa curah hujan berkorelasi positif dengan aliran permukaan. Arti adanya peningkatan curah hujan akan disertai dengan bertambahnya aliran permukaan. Maka semakin besar curah hujan akan meningkatkan energi kinetik butiran hujan. Hal ini berarti dapat meningkatkan jumlah erosi tanah pada lahan tanpa tegakan ini (Gambar 15).

Gambar 15 Korelasi antar parameter konservasi tanah dan air di lahan tanpa tegakan 0.6 0.5 0.4 0.3 0.2 0.1 0.0 - 0.1 - 0.2 1.00 0.75 0.50 0.25 0.00 - 0.25 - 0.50 First Component S e c o n d C o m p o n e n t ET A P CH

31

BAB V

PEMBAHASAN

5.1 Analisis Vegetasi

Analisis vegetasi dilakukan dengan tahapan : menghitung nilai kerapatan relatif (KR), frekuensi relatif (FR), dan dominasi relatif (DR) yang penjumlahannya berupa nilai INP untuk tiap fase perkembangan pohon. Berdasarkan hasil perhitungan jumlah individu, diperoleh bahwa jumlah individu terbanyak terdapat pada tumbuhan bawah, kemudian berkurang sangat drastis pada sapihan, tiang, dan sedikit meningkat pada pohon. Rendahnya jumlah individu pada sapihan karena beberapa faktor : 1) kondisi kemasaman tanah, 2) intensitas cahaya yang melebihi batas optimum, dan 3) kurangnya unsur hara untuk pertumbuhan.

Struktur hutan lindung yang masih utuh terdiri mulai dari pohon-pohon besar dan tinggi sampai pohon perdu dan tanaman merambat, yang semuanya tersusun dalam lapisan-lapisan tajuk yang rapat. Lapisan-lapisan tajuk (strata) ini terbentuk sebagai akibat dari persaingan, dan pada akhirnya jenis-jenis tertentu akan lebih dominan dibandingkan jenis yang lain.

5.2 Model Arsitektur Pohon

Arsitektur pohon model Rauh dibentuk oleh sebuah batang monopodial dan orthotropik dengan pertumbuhan ritmik dan membentuk percabangan yang ortothtropik. Pertumbuhan ritmik merupakan perkembangan aksis yang menunjukkan pergantian secara endogen dan teratur antara seri internodus yang pendek yang berhubungan dengan pengurangan daun dan seri internodus panjang yang mengurangi lebar daun (Halle et al. 1978). Aksis ortotropik tegak lurus dan biasanya dengan filotaksis spiral yang simetri radial. Cabang-cabang ini secara genetik identik dengan batang. Perbungaan lateral tanpa berpengaruh terhadap sistem pertumbuhan tunas. Model ini adalah salah satu yang paling sering dijumpai pada tumbuhan berbiji. Model ini juga sangat lazim dijumpai diantara pohon-pohon pada latitude yang tinggi seperti pinus, dan juga biasanya terdapat di daerah tropis (Halle et al. 1978).

Model Rauh sendiri menghasilkan sistem perakaran yang lebih terspesialisasi dan secara inheren mudah beradaptasi karena semua meristem sama

dan ritmik. Bentuk perakaran yang dangkal pada pinus memiliki peran khusus dan tidak mengurangi daya kompetisi dengan tumbuhan lain. Perkembangan ritmis dari batang monopodial mengarah pada pengembangan tingkatan yang berbeda dari cabang-cabang, yang merupakan pertumbuhan berulang dari axis awal dengan tingkat asimetri yang tidak sama. Dan ini merupakan karakteristik bagian distal dari sistem percabangan. Dan perkembangan cabang erat kaitannya dengan pertumbuhan ritmis dari aksis. yang merupakan fitur penting dari model Rauh. Pada spesies subtropis, cabang dikembangkan terutama oleh prolepsis, tunas lateral yang aktif letaknya dekat dengan tunas terminal yang istirahat. Daun berkembang meluas pada bagian terminal. Bunga aksila dan berkembang di malai lateral dari axil daun terakhir pada saat tunas terminal dalam kondisi istirahat. Posisi bunga majemuk lateral secara konsisten pada model ini, tetapi bervariasi pada pertumbuhan tambahannya. Variasi dalam periodesitas pertumbuhan ritmik terkait dengan musim. Penurunan latitude cenderung menghasilkan pertumbuhan pucuk lebih dari satu.

Model Roux pada kopi (Coffea arabica L.) merupakan salah satu model arsitektur pohon dengan ciri-ciri batang bercabang, poliaksial atau pohon dengan beberapa aksis yang berbeda, dengan aksis vegetatif yang tidak ekuivalen dengan bentuk homogen, heterogen atau campuran tetapi selalu mempunyai perbedaan yang jelas antara batang dan cabang, aksis vegetatifnya homogen, terdiferensiasi dalam bentuk aksis ortotropik dan plagiotropik atau aksis majemuk, percabangan akrotonik dalam membentuk batang, bukan konstruksi modular, daun tersusun spiral pada batang namun biasanya dikotom pada cabang, namun pada C.arabica

tidak ada perbedaan daun yang tumbuh pada batang dan cabang, perbungaan lateral, batang monopodium dengan pertumbuhan batang serta percabangannya secara kontinyu, Pertumbuhan kontinyu merupakan perkembangan aksis yang menunjukkan ekuivalen kuantitatif semua internodus, daun, dan meristem lateral.

Kopi merupakan pohon kecil yang tingginya bisa mencapai 8 m jika tumbuh tanpa pemangkasan. Model roux ini biasanya tumbuh di hutan dengan kerapatan sedang sebagai pola penyesuaian efisiensi intersepsi cahaya pada cabang plagiotropik. Pemangkasan dilakukan untuk mempermudah pemanenan dan untuk budidaya biasanya batangnya dipotong untuk merangsang pertumbuhan

33

lebih lanjut tunas ortotropik dari meristem laten pada batang yang ada. Cabang ortotropik pada kopi merupakan cabang reproduksi yang tumbuhnya tegak dan lurus. Cabang ini berasal dari tunas reproduksi yang terdapat di setiap ketiak daun pada batang utama. Setiap ketiak daun mempunyai 4-5 tunas reproduksi sehingga bila cabang reproduksi mati dapat diperbaharui. Cabang reproduksi mempunyai sifat seperti batang utama sehingga bilang batang utama mati atau tidak tumbuh sempurna maka fungsinya dapat digantikan oleh cabang ini.

Disamping pertumbuhan cabang yang baru, cabang lama yang plagiotropik pun tetap tumbuh. Cabang plagiotrop adalah cabang yang tumbuh pada batang utama dan berasal dari tunas primer. Arah pertumbuhannya mendatar, lemah, dan berfungsi sebagai penghasil bunga. Setiap ketiak daun hanya mempunyai satu tunas primer sehingga bila cabang ini mati, di tempat tersebut tidak dapat lagi tumbuh cabang plagiotrop lagi. Dan pada jenis kopi percabangannya ireversibel. Jika perbanyakan cabang dengan cara dipotong, pohon kopi bercabang plagiotropik dapat diproduksi meskipun agak sulit. Meristem apikal pada cabang mempertahankan bentuk simetri radial seperti batang (Halle et al. 1978).

5.3 Jenis Tanah

Tanah dengan KTK sedang karena didominasi oleh kation basa, Ca, Mg, K, Na dengan tingkatan rendah-sedang, masih tergolong tanah dengan kesuburan sedang. Siklus unsur hara di bawah pinus adalah rendah dibandingkan tanaman berdaun lebar yang serasahnya lebih banyak mengandung basa. Unsur hara hasil dekomposisi cenderung membentuk sifat asam untuk semua kerapatan di bawah tegakan Pinus. Disamping itu, basa umumnya mudah tercuci pada tanah di bawah pohon pinus. Namun, tanah dengan KB tinggi menunjukkan bahwa tanah tersebut belum banyak mengalami pencucian dan merupakan tanah yang subur (Hardjowigeno 2010).

Tanah dengan kandungan bahan organik atau dengan kadar liat tinggi seperti pada tanah di lahan PHBM dan hutan lindung mempunyai KTK lebih tinggi daripada tanah dengan kandungan bahan organik rendah atau tanah berpasir. Menurut Hardjowigeno (2010), bahwa tekstur tanah mempunyai pengaruh yang penting terhadap kemampuan tanah dalam menahan air, laju infiltrasi, perkolasi, dan peredaran udara didalam tanah. Tanaman memberikan

masukan bahan organik melalui daun-daun, cabang dan rantingnya yang gugur, dan juga melalui akar-akarnya yang telah mati.

Tanah dengan tekstur halus seperti liat, tahan terhadap erosi karena daya kohesi yang kuat dari liat tersebut sehingga gumpalan-gumpalannya sukar dihancurkan atau tidak mudah terdispersi, sedangkan debu dan pasir sangat halus seperti pada lahan tanpa tegakan merupakan tekstur tanah yang paling peka terhadap erosi. Oleh karena itu, makin tinggi kandungan debu dalam tanah, maka makin peka terhadap erosi. Bentuk struktur tanah yang membulat (granuler, remah, gumpal membulat) mempunyai porositas tinggi sehingga air mudah meresap ke dalam tanah dan aliran permukaan menjadi kecil. Dan struktur tanah yang mantap tidak mudah hancur oleh pukulan air hujan.

5.4 Curah Hujan

Pada waktu hujan lebat yang terjadi dalam waktu yang singkat, maka kondensasi, adsorpsi, perkolasi, evaporasi dan transpirasi terjadi dalam jumlah yang kecil yaitu hanya beberapa persepuluh mm jam-1 , sedangkan curah hujan, aliran permukaan, dan air tersimpan dapat sampai beberapa puluh mm jam-1 .

Menurut Arsyad (2006), ada tiga komponen karakteristik hujan yang berpengaruh terhadap erosi yaitu jumlah, intensitas dan distribusi hujan. Jumlah hujan adalah volume air hujan yang jatuh dalam waktu tertentu. Jumlah hujan rata-rata yang tinggi mungkin tidak menyebabkan terjadinya erosi jika intensitasnya rendah. Demikian juga suatu hujan yang intensitasnya tinggi tetapi terjadi dalam waktu yang singkat karena tidak cukup air untuk mengangkut tanah.

Sifat hujan yang juga mempengaruhi proses erosi adalah energi kinetika hujan. Energi ini merupakan penyebab pokok dalam proses penghancuran tanah. Hasil penelitian kaimuddin (1994) menunjukkan bahwa rata-rata batas penjenuhan tajuk pada P.merkusii 1.50 mm. Nilai batas penjenuhan tajuk atau kapasitas tajuk ini menggambarkan tentang jumlah maksimum air yang dapat ditampung dan menjenuhkan tajuk apabila terjadi hujan. Jika tajuk menerima air hujan lebih besar dari batas penjenuhan, maka air tersebut akan dialirkan menjadi curahan tajuk. Dari 34 kali kejadian hujan semuanya berada diatas batas penjenuhan tajuk dan menghasilkan aliran batang, curahan tajuk, aliran permukaan dan erosi.

35

5.5 Curahan Tajuk

Curahan tajuk dipengaruhi oleh tebalnya lapisan tajuk (strata), jenis-jenis pohon yang membentuk tegakan, suhu dan kecepatan angin (Zinke 1967). Curahan tajuk meliputi air hujan yang telah diintersepsi oleh tajuk maupun tanpa diintersepsi terlebih dahulu. Menurut Manokaran (1979), curahan tajuk dipengaruhi oleh suhu, kecepatan angin, selisih waktu kejadian hujan, dan waktu terjadinya hujan (siang atau malam).

Kecilnya nilai curahan tajuk pada pinus disebabkan angin yang membawa air curahan tajuk. Selain itu P. merkusii memiliki daun berbentuk jarum sehingga lebih banyak mengintersepsi curah hujan, sehingga jumlah air yang mencapai permukaan tanah berkurang. Sedangkan lebih besarnya curahan tajuk pada A. excelsa yang ada di hutan alam disebabkan rapatnya tegakan pohon sehingga tiupan anginpun akan kecil. Menurut Manokaran (1979), curahan tajuk dipengaruhi oleh suhu, kecepatan angin, selisih waktu kejadian hujan, dan waktu terjadinya hujan (siang atau malam).

5.6 Aliran Batang

Aliran batang dipengaruhi oleh arsitektur pohon, kulit batang, struktur tegakan, dan posisi daun (Kittredge 1948). Menurut Manokaran (1979), unsur-unsur iklim yang berpengaruh terhadap aliran batang adalah curah hujan total, intensitas hujan, selisih waktu antara urutan kejadian hujan, kondisi atmosfir sebelum turun hujan, dan kondisi angin selama hujan.

Model Rauh DJ pada pinus, pola percabangannya yang orthotropik akan meningkatkan aliran batang, karena cabang-cabang yang tumbuh secara vertikal berfungsi sebagai wadah penampungan air hujan yang selanjutnya dialirkan ke batang. Daun pinus yang berbentuk jarum mempunyai daya tampung yang sangat kecil, sehingga air hujan yang jatuh ke tajuk sebagian besar akan langsung jatuh ke batang dan permukaan tanah. Diameter tajuk dan percabangan pohon pinus lebih pendek sehingga kapasitas penampungan air hujan juga kecil. Kulit pohon pinus yang kasar dan beralur dalam menjadikan air yang mengalir di batang tidak mudah hilang tertiup angin dan kapasitas penyimpanan air hujan lebih besar.

Pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa bila intensitas dan frekuensi hujannya tinggi, aliran batang pada model Rauh DJ akan meningkat dengan tajam.

Hal ini karena kulit P.merkusii membutuhkan waktu yang lama untuk menjadi kering, bahkan ketika hujan sudah berhenti aliran batang masih ada yang menetes (mengalir). Jika dalam kondisi demikian turun lagi hujan dengan intensitas tinggi, maka laju aliran batang akan cepat meningkat karena permukaan kulit sudah lebih dulu jenuh air dan bentuk alur yang dalam bagaikan saluran yang efektif mengalirkan air hujan. Aliran batang pada model Rauh DL lebih kecil karena percabangannya jarang dan diameter tajuknya lebih panjang sehingga kapasitas penampungan air hujan besar.

5.7 Aliran Permukaan dan Erosi

Aliran permukaan dan erosi diukur sebanyak 34 hari kejadian hujan. Aliran permukaan yang besar berfungsi sebagai transportasi bagi agregat tanah yang telah dipecah oleh butir-butir hujan. Semakin besar aliran permukaan maka tanah yang terangkutpun akan semakin besar pula. Besarnya aliran permukaan di lahan PHBM disebabkan bentuk daun jarum pada pinus hampir tidak dapat menahan air hujan yang jatuh ke tajuk sehingga air hujan langsung jatuh ke tanah. Namun banyaknya serasah yang jatuh dapat melindungi permukaan tanah dari pukulan air hujan, juga mengurangi aliran permukaan dan penguapan. Tinggi rendahnya peranan serasah ini ditentukan oleh kualitas bahan organik tersebut. Semakin rendah kualitas bahan, semakin lama bahan tersebut lapuk, sehingga terjadi akumulasi serasah yang cukup tebal pada permukaan tanah hutan (Hairiah et al.

2005).

Tajuk-tajuk pohon yang rapat di hutan lindung dapat mengurangi tenaga terpaan (energi kinetik) air hujan sehingga butiran hujan yang sampai ke permukaan tanah tidak banyak memecah agregat tanah dan akar pohon yang dapat meningkatkan infiltrasi air sehingga aliran permukaan berkurang.

Adanya perlakuan teras bangku pada lahan PHBM pinus yang ditanami kopi, selain mengurangi panjang lereng juga berfungsi menahan air sehingga mengurangi kecepatan dan jumlah aliran permukaan serta memungkinkan penyerapan air oleh tanah. Dengan demikian erosi berkurang (Arsyad 2006).

Besarnya aliran permukaan pada lahan tanpa tegakan karena tidak adanya tegakan yang tumbuh dan tumbuhan bawahyang sangat sedikit. Juga tekstur tanah yang gembur karena sering diolah sebagai lahan sayuran, kondisi ini

37

menyebabkan agregat tanah lebih mudah pecah oleh butiran hujan dan diangkut oleh aliran permukaan.

Pada tanah yang relatif terbuka (tanpa tanaman dan tanpa mulsa) butir hujan akan langsung menerpa permukaan tanah sehingga banyak agregat tanah yang hancur menjadi butir tunggal (partikel) tanah. Partikel ini selanjutnya menutup pori tanah yang dapat menurunkan kapasitas infiltrasi tanah, sehingga tanah lebih peka terhadap erosi karena lebih banyak air hujan yang mengalir sebagai aliran permukaan.

Rendahnya jumlah sedimen pada lahan PHBM dan hutan lindung dibandingkan dengan lahan tanpa tegakan disebabkan penutupan vegetasi yang rapat dan banyaknya serasah dari tumbuhan mampu memperlambat aliran di atas permukaan sehingga hanya sedikit tanah yang terbawa. Sistem perakaran pohon dan semak juga mempunyai peran penting untuk mengurangi aliran permukaan dengan cara membentuk karakteristik tanah seperti porositas tanah yang dapat meningkatkan infiltrasi. Persentase kandungan pasir suatu lahan sangat menentukan kemampuan tanah dalam mengikat partikel-partikel tanah, sehingga pada saat terjadi hujan ikatan tersebut mudah lepas. Kondisi ini tentu saja tidak menguntungkan pada saat terjadi aliran permukaan, karena dengan lemahnya ikatan antar partikel tanah, air akan melepaskannya sehingga sedimen yang terbawa aliran permukaan lebih banyak dan tingkat erosi akan lebih besar. Sehingga perlu adanya tindakan konservasi tanah.

BAB VI

SIMPULAN DAN SARAN

6.1 Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian dapat ditarik kesimpulan :

1. Model Rauh berdaun lebar (DL) dan berbatang licin dari Rasamala (Altingia

sp.) merupakan arsitektur pohon yang sangat baik untuk konservasi tanah dan air dibandingkan dengan model Rauh berdaun jarum (DJ) dan batang yang beralur pada Pinus (Pinus sp.).

2. Kopi dengan model arsitektur pohon Roux yang ditanam diantara pohon Pinus juga berperan dalam menahan erosi karena daunnya yang lebar mampu mengurangi besarnya curahan tajuk yang jatuh dari dari pohon Pinus sebelum jatuh ke tanah.

3. Curahan tajuk DJ dari pohon Pinus (Pinus sp.), sebesar 27.16 mm dan tajuk DL dari pohon Rasamala (Altingia sp.), sebesar 28.73 mm.

4. Aliran batang pohon Pinus, sebesar 50.57 mm dan batang pohon Rasamala, sebesar 0.04 mm.

5. Aliran permukaan dari lahan PHBM, sebesar 6.94 L dan hutan lindung, sebesar 4.08 L lebih kecil dibandingkan lahan tanpa tegakan,sebesar 106.22 L.

6. Erosi dari lahan PHBM, sebesar 6.94 ton/ha/thn dan hutan lindung, sebesar 4.08 ton/ha/thn mempunyai laju erosi yang lebih kecil dibandingkan lahan tanpa tegakan yang diolah untuk pertanian, yang memiliki laju erosi sangat tinggi (55.99 ton/ha/thn).

7. Kehadiran tumbuhan bawah dan kerapatan penutupan tajuk vegetasi sangat baik untuk memperkecil aliran permukaan sehingga mampu mengurangi laju erosi tanah.

6.2 Saran

1. Pohon pinus dapat digunakan sebagai jenis yang ditanam untuk konservasi tanah dan air asalkan mempertahankan tumbuhan bawah dan teras bangku untuk memperkecil laju erosi.

39

DAFTAR PUSTAKA

Agus F, Ginting AN, van Noordwijk M. 2002. Pilihan Teknologi Agroforestry/Konservasi Tanah untuk Areal Pertanian Berbasis Kopi di Sumberjaya. Lampung Barat. Bogor : World Agroforestry Centre ICRAF. Alegre JC, Rao MR. 1996. Soil and water conservation by contour hedging in the

humid tropics of Peru. Agric Eco and Env. 57:17-25.

Arsyad S. 2006. Konservasi Tanah dan Air. Ed ke-2. Bogor : IPB Press.

Budidarsono S, Wijaya K. 2004. Praktek konservasi dalam budidaya kopi robusta dan keuntungan petani. Agrivita. 26(1): 126-138.

Chirino E, Bonet A, Bellot J, Sanchez JR. 2006. Effects of 30 years old Allepo pine plantations on runoff. soil erosion. and plant diversity in a semi-arid landscape in South Eastern spine. Catena. 65:19-29.

Christensen LA. 2002. Soil. nutrient. and water management systems used in U.S. corn production. Agric Info Bull No.774 April.

Dariah A, Agus F, Maswar. 2008. Soil quality of the land under coffee-based farming system (case study at Sumberjaya. West Lampung). Indones J of Agric. 1(1): 51-57

Gyssels G, Poesen J, Bochet E. Li Y. 2005. Impact of plant roots on the resistance of soils to erosion by water : a review. Progress in Physical Geography. 22: 189-217.

Hairiah K, Utami SRBL, van Noordwijk M. 2005. Neraca Hara dan Karbon dalam Sistem Agroforestri

Lee R. 1998. Hidrologi Hutan. Yogyakarta : UGM Press.

. Neth J Agric Sci. 48(2000): 3-17.

Halle F, Oldeman RAA. 1975. An Essay on the Architechture and Dynamics of Growth of Tropical Trees. Kuala Lumpur : Penerbit University Malaya. Halle F, Oldeman RAA, Tomlison PB. 1978. Tropical Trees and Forest an

Architecture Analysis. New York : Springer-Verlag. Berlin. Heidelberg. New York.

Hardjowigeno S. 2010. Ilmu Tanah. Cet ke-7. Jakarta : Akademika Pressindo Kaimuddin. 1994. Kajian Model Pendugaan Intersepsi Hujan pada Tegakan Pinus

merkusii Junghuhn & de Vriese, Agathis lorenthifolia, dan Schima walichii

di Hutan Pendidikan Gunung Walat Sukabumi [tesis]. Bogor : Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor.

Kittredge J. 1948. Interception and Stemflow. Dalam Forest Influences. New York : Mc Graw-hill Book and Co.Inc.

Manokaran N. 1979. Stemflow, Throughfall and Rainfall Interception in a Lowland and Tropical Rainforest in Peninsular Malaysia. The Malaysian Forester. 42(3) : 174-201.

Mohammad AG, Adam MA. 2010. The impact of vegetative cover type on runoff and soil erosion under different land uses. Catena. 30 : 1-7.

Mueller D, Ellenberg. 1974. Aim and Methods of Vegetation Ecology. New York : John Wiley and Son. Inc.

Muntasib H. 1999. Hutan dan Lingkungan. Kerjasama Pusat Penyuluhan Kehutanan dan Perkebunan dengan Fakultas Kehutanan IPB. BPPK. Departemen Kehutanan.

Oztas T, Koc A, Comakli B. 2003. Change in vegetation and soil properties longe a slope on overgrazed and eroded rangelands. J of Arid Env. 55: 93-100.

[Perum Perhutani]. 2007. Keputusan Direksi Perum Perhutani No.

Dokumen terkait