• Tidak ada hasil yang ditemukan

DESKRIPSI UPACARA KEMATIAN PADA MASYARAKAT BATAK TOBA 3.1 Tinjauan Umum Kematian Pada Masyarakat Batak Toba

3.2 Jenis-jenis Kematian Masyarakat Desa Sigumpar

3.2.3 Mauli Bulung

Mauli bulung adalah seseorang yang meninggal dunia dalam posisi titir maranak, titir marboru, marpahompu sian anak, marpahompu sian boru sahat tu namarnini sahat tunamarnono dan kemungkinan ke “marondok-ondok” yang selama hayatnya tak seorang pun dari antara keturunannya yang meninggal dunia (manjoloi) seseorang yang beranak pinak, bercucu, bercicit mungkin hingga ke buyut. Dapat diprediksi umur yang mauli bulung sudah sangat panjang, barangkali 90 tahun keatas di tinjau dari segi generasi. Mereka yang memperoleh predikat mauli bulung sekarang ini sangat langka.

Dalam tradisi adat batak, mayat orang yang sudah mauli bulung di peti mayat dibaringkan lurus dengan kedua tangan sejajar dengan badan (tidak dilipat). Kematian seseorang dengan status mauli bulung, menurut adat batak adalah kebahagiaan tersendiri bagi keturunannya. Tidak ada lagi isak tangis, mereka bleh bersyukur dan bersuka cita , berpesta tetapi bukan hura-hura, memukul godang ogung sabangunan, musik tiup, menari, sebagai ungkapan rasa syukur dan terima kasih kepada Tuhan yang Maha Kasih lagi penyayang. Pada masyarakat toba ada juga jenis kematian yang ada yaitu kematian sempurna. Kematian sempurna yang dimaksud disini adalah masyarakat batak toba begitu percaya bahwa kematian merupakan sebuah peristiwa yang tak kalah istimewa dengan peristiwa kelahiran. Mereka percaya bahwa orang yang mati hannya raga, sedangkan jiwanya berjalan terus menempuh perjalanan ke alam lain alam yang sangat gaib dan tak terjangkau oleh mereka yang masih hidup. Orang yang masih hidup mengangap perjalanan jiwa orang mati menuju alam lain itu memerlukan perlakuan khusus agar rohnya merasa tenteram dan dihargai oleh keturunannya.

Dalam tradisi batak toba didesa sigumpar, orang yang mati disebut saur matua dan akan disembah dalam upacara saur matua setidaknya oleh semua anaknya. Penyembahan yang diterima roh orangtua alias si mati melalui upacara saur matua dan upacara mangogkal holi dari para keturunannya akan menambah kekuatan sahala (kekuatan) roh bersangkutan di alam lain, sementara keturunannya mendapatkan berkat sahala dari roh bersangkutan. Konsep kepercayaan awal hannya mengantarkan simati ke alam barunya, berkembang menjadi keinginan untuk tetap dapat berinteraksi dengan simati ke alam barunya, berkembang menjadi keinginan untuk tetap dapat berinteraksi dengan simati ke alam barunya, berkembang menjadi keinginan untuk tetap dapat berinteraksi dengan simati melalui ritual pemanggilan, penghormatan, hingga pada akhirnya pemujaan terhadap roh simati. Saking istimewanya, perlakuan terhadap jasad simati tentunya sangat spesial begitu pulak setelah upacara penguburan usai maka keluarga yang ditinggalkan masih merasa perlu mengekspresikan kesedihan mereka yang ditinggal oleh simati. Kini, masyarakat batak toba di desa sigumpar masih mengekspresikan pemujaan simati dalam sebuah upacara penguburan sekunder yang disebut mangongkal holi. Disebut sekunder karena sebelumnya telah dilakukan upacara penguburan (primer) simati. Upacara penguburan sekunder dilakukan melalui penggalian tulang belulang simati dari kubur awal (primer) untuk dikuburkan kembali kedalam kubur sekunder.

Pada masyarakat batak toba didesa sigumpar, kematian (mate) diusia yang sudah sangat tua terutama telah menikahkan semua anaknya dan memiliki cucu merupakan kematian yang paling diinginkan. Dalam tradisi budaya masyarakat batak (khususnya batak toba) kematian seperti ini disebut sebagai mate saur matua. Upacara adat kematian ini diklasifikasikan berdasarkan usia dan status simati. Untuk yang mati ketika dalam masih kandungan (mate dibortian) maka ia belum mendapatkan perlakuan adat (langsung dikubur tanpa peti mati), bila mati ketika masih bayi (mate poso-poso), mati saat anak-anak (mate

dakdanak), mate saat remaja (mate bulung) dan mati saat sudah dewasa namun belum menikah (mate ponggol). Keseluruhan kematian tersebut mendapat perlakuan adat mayatnya ditutupi selembar ulos (kain tenunan khas batak) sebelum dikuburkan. Ulos penutup mayat untuk mate poso-poso berasal dari orang tuanya, sedangkan ulos untuk mate dakdanak dan mate bulung berasal dari tulang (saudara laki-laki ibu) si orang mati. Mate saur matualah yang menjadi tingkat tertinggi dari klasifikasi upacara, karena mati saat semua anaknya telah berumah tangga. Sebenarnya masih ada tingkat kematian yang lebih diatasnya yaitu mate saur matua bulung yakni mati ketika semua anak-anaknya telah berumah tangga dan bahkan telah bercicit dari anaknya laki-laki dan dari anaknya perempuan. Mate saur matua maupun mate saur matua bulung keduanya dianggap sama sebagai konsep kematian ideal karena meninggal saat tidak memiliki tanggungan anak lagi. Biasanya orang yang meninggal saur matua sepulang dari pekuburan biasanya dilakukan ritual adat ungkap hombung. Adat ungkap hombung adalah ritus memberikan sebagian harta yang ditinggalkan simendiang (berbagi harta warisan) untuk diberikan kepada pihak hula-hula. Namun mengenai adat ungkap hombung ini telah memiliki variasi pengertian pada masa kini. Idealnya tanpa diingatkan oleh pihak hula-hula, ungkap hombung dapat dibicarakan atau beberapa hari sesudahnya. Apapun yang akan diberikan untuk ungkap hombung keluarga kematian orangtua yang tergolong saur matua hendaklah membawa rasa senang pada pihak hula-hula. Sebagian masyarakat batak dewasa ini lebih memahami upacara saur matua bukan untuk menyembah siorang tua agar kekuatan sahala diberikan kepada anak cucunya tetapi sebagai ungkapan syukur kepada Tuhan atas anugrah umur panjang kepada orang yang mati saur matua. Namun konsep saur matua sebagai “kematian sempurna” tetap dipertahankan karena orientasi sosial budaya masa kini juga mengangap simati di usia yang sangat tua adalah kematian yang paling baik.

Acara adat dilakukan akan semakin besar serta memakan waktu lama dimulai dari jenis mate mangkar hingga kepada mate mauli bulung. Penghormatan terhadap seorang

leluhur yang berada dialam baka dapat kita lihat melalui bentuk kuburan yang ada. Bagi orang batak toba kuburan terdiri dari tiga jenis yaitu:

1. Kuburan umum tempat pemakaman satu kampung atau disebut huta.

2. Tambak yaitu berupa tanah yang ditinggikan diatas kuburan seorang yang mati dalam peringkat sarimatua/saurmatua. Tanah yang ditinggikan tersebut terdapat rumput manis diletakkan secara terbalik, bertingkat tiga,lima dan tujuh. Diatas tanah yang ditinggikan itu ditanam pohon hariara atau beringin dan bintatar sebagai pertanda. Dengan berbagai variasi yang berkembang kemudian tambak digunakan sebagai pusara bagi keluarga atau marga dan biasanya dibangun dikampung asal (bona pasogit)

3. Tugu sebagai monumen pembangunannya berkembang secara besar-besaran. Tugu ini biasanya dibangun untuk persatuan marga dibona pasogit atau kampung asal dan didalamnya terdapat tulang belulang leluhur dengan ritual magongkal holi atau menggali dan memindahkan tulang belulang.

3.3Tahap Pelaksanaan Pesta Adat Saur matua Desa Sigumpar

Dokumen terkait