• Tidak ada hasil yang ditemukan

2.5. Dinamika Perkembangan Media Massa di Indonesia

2.5.1. Media Massa dalam Pra Kemerdekaan

Media cetak masuk di Indonesia untuk pertama kali pada abad ke-17 oleh Vereenidge Oost-Indische Compagnie (VOC). Namun, peristiwa penting ini bagi penduduk Indonesia pada waktu itu tidak ada artinya karena percetakan hanya dipakai untuk keperluan administrasi Kompeni. Di samping itu, VOC mengeluarkan peraturan sensor yang sangat ketat, seperti tercantum pada Resolutie tanggal 17 Juli 1668 yang mengangkat pegawai keuangan bernama Pieter Pau sebagai Sensor. “….. untuk mencegah agar mesin percetakan yang baru didirikan itu tidak mencetak hal-hal yang bertentangan dengan moral, sopan santun, kesusilaan dan agama….”

Selama VOC berkuasa, politik utama yang dijalankan ialah memperjuangkan dan mempertahankan hak-hak monopoli perdagangan. Dalam suasana ini, monopoli dalam hal penerbitan barang cetakan juga dipegang secara ketat. Pada abad ke-18, mulai ada perubahan sedikit, karena Jan Erdmans Jordens diizinkan untuk menerbitkan Bataviasche Nouvells, tetapi surat kabar pertama ini hanya berlangsung dua tahun, dari 1744-1746. Kemudian ada Vendue-Niews yang memuat berita-berita tentang penawaran barang-barang untuk dijual oleh pegawai

Kompeni yang pulang ke Nederland atau yang dipindahkan dari Batavia ke tempat lain. Penerbitan ini mulai tahun 1776 dan dapat bertahan 1809 (Lapian & Adil, 2002: 105-106).

Sedangkan media massa nasional dalam pengertian dimiliki dan menjadi alat perjuangan bangsa Indonesia baru dimulai setelah tahun 1901 pada saat pemerintah Belanda menerapkan politik etis untuk menarik simpati negara jajahannya. Di antara dampak positif politik etis tersebut adalah rakyat pribumi diberi kesempatan untuk mendapatkan pendidikan, meskipun masih sangat terbatas yaitu kalangan priyayi. Sementara itu, tonggak penting dalam sejarah pers Indonesia dan munculnya kesadaran ke-Indonesiaan adalah pada saat RM. Tirtoadisuryo menggalang para priyayi membentuk Sarekat Priyayi yang bertujuan untuk memajukan pendidikan bagi anak-anak pribumi di Jawa. Salah satu usahanya adalah menerbitkan surat kabar sebagai organ organisasi yang bernama Medan Prijaji yang terbit 1 Januari 1907. Setelah itu, mulailah babak baru dalam sejarah pers Indonesia yaitu perubahan orientasi kepada upaya penyadaran ke-Indonesiaan (Adam, 2003: 203).

Berbagai persoalan kebebasan pers inilah yang akhirnya menjadi kendala sekaligus jalan yang pasti dilalui media massa pribumi, terlebih setelah tahun 1908 tonggak nasionalisme ditegakkan melalui penyadaran ke-Indonesiaan oleh organisasi-organisasi perjuangan. Media massa pribumi pun menjadi alat perjuangan untuk menyuarakan kepentingan rakyat sekaligus menyadarkan rakyat Indonesia terhadap eksistensinya sebagai bangsa yang juga memiliki hak untuk bebas merdeka berhadapan dengan pemerintah Hindia Belanda yang menginginkan statusnya aman sebagai pemerintahan kolonial. Belanda menjadikan politik sebagai alat pengekangan pers, namun justru tekanan politik ini menjadi daya dorong pertumbuhan pers perjuangan. Perasaan nasionalisme Indonesia; dorongan untuk merdeka dari Belanda, yang memberi dorongan kepada pers Indonesia (Hamad, 2004: 61). Dalam perjuangannya menyebarkan cita-cita kebangsaan inilah aktivis pers pribumi dengan media massanya menjadi pendorong perjuangan kemerdekaan. Antara media massa perjuangan tersebut dengan rakyat yang memiliki kesadaran ke-Indonesiaan bertemu dalam wadah

cita-cita kemerdekaan. Dalam masyarakat yang terjajah, media massa menjadi parlemen masyarakat untuk menyuarakan aspirasi yang terkemukakan secara langsung kepada pemerintah kolonial.

Memang tidak semua media massa saat itu pro-kemerdekaan, mengingat media massa saat itu juga banyak yang merupakan media pemerintah kolonial. Tentu saja media kolonial ini memiliki peluang untuk berkembang paling baik karena didukung oleh kekuasaan pemerintah penjajah. Selain itu, juga terdapat media massa yang memang murni pengusaha terutama pengusaha Cina yang berada di antara media massa perjuangan dan media massa kolonial. Oleh karena berada dalam situasi penjajahan, maka masalah yang dihadapi oleh media massa perjuangan saat itu tentu saja adalah sikap represif pemerintah Belanda melalui ancaman Persbreidel Ordonnantie (7 September 1931). Disebut demikian, karena dalam ketentuan itu ditegaskan bahwa Gubernur Jenderal diberi hak untuk melarang terbit penerbitan tertentu yang dinilainya bisa “mengganggu ketertiban umum” (Swantoro & Atmakusumah, 2002: 172).

Selain Persbreidel Ordonnantie, pada zaman pemerintahan Hindia Belanda dikenal pula tindakan terhadap pers berdasarkan Haatzaai Artikelen, yakni pasal- pasal 154, 155, 156, dan 157 Wetboek van Strafrecht. Dikenal dengan sebutan Haatzai Artikelen, karena pasal-pasal itu mengancam hukuman terhadap siapa pun yang menyebarkan perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan terhadap pemerintah Nederland atau Hindia Belanda (pasal 154 dan 155) dan terhadap sesuatu atau sejumlah kelompok penduduk di Hindia Belanda (pasal 156 dan 157). Dimaksudkan dengan kelompok-kelompok penduduk adalah “perbedaan” penduduk berdasarkan ras, agama, kebangsaan, keturunan, dan suku (Swantoro & Atmakusumah, 2002: 173).

Kebijakan pemerintah Hindia Belanda terhadap pers yang tertuang dalam Persbreidel Ordonnantie, secara formal belum diganti pada awal pemerintahan Republik Indonesia. Baru pada tahun 1954, tanggal 2 Agustus, berlakulah pencabutan Persbreidel Ordonnantie itu. (UU No. 23 tahun 1954, Lembaran Negara 54-77). Dasar pertimbangannya: Ordonansi itu bertentangan dengan pasal 19 jo 33 Undang-undang Dasar Sementara Republik Indonesia. Bunyi pasal 19

UUDS: “Setiap orang berhak atas kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat. Penghapusan Persbreidel Ordonnantie” itu antara lain diperjuangkan oleh Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) yang didirikan di Sala, 9 Februari 1946. Dalam kongresnya ke-7 di Denpasar bulan Agustus 1953 misalnya, PWI mengeluarkan keputusan: Menuntut kepada Pemerintah supaya segera mengeluarkan Undang-undang Pers yang bersumber pada hak kemerdekaan berpikir dan kebebasan mempunyai serta mengeluarkan pendapat, sesuai dengan pasal 18 dan 19 Undang-undang Dasar Sementara. Dalam kaitan ini kongres memutuskan pula untuk membentuk panitia, yang sama-sama dengan Pengurus Pusat PWI memperjuangkan segera dikeluarkannya UU Pers yang mencakup hak ingkar, larangan terhadap pers asing dan penghapusan Persbreidel Ordonnantie (Swantoro & Atmakusumah, 2002: 177). Sebelum UU Pokok pers akhirnya disahkan pada tanggal 12 Desember 1966, pers Indonesia masih menghadapi peraturan–peraturan yang dirasa menekan oleh para wartawan. Perkembangan politik besar peranannya dalam melahirkan peraturan-peraturan itu.

Demikian juga pada saat bangsa Indonesia dijajah oleh Jepang, media massa memiliki peran besar dalam menyampaikan informasi perjuangan dan kesadaran politik rakyat. Meskipun pada awalnya, karena janji-janji Jepang di awal-awal pendudukan dengan semboyan Asia Timur Raya, semua orang dipaksa untuk mendukung pemerintahan Jepang, tak terkecuali kelompok media massa. Bahkan pada masa ini berdiri surat kabar berbahasa Indonesia, yaitu di Jakarta (surat kabar Asia Raya, 1942-1945; Pembangoenan, lanjutan surat kabar Pemandangan, Kung Yung Pao, harian umum), Bandung (surat kabar Tjahaja, 1942-11945), dan Yogyakarta (surat kabar Sinar Matahari), Semarang (Sinar Baroe, 1942-1945), Surabaya (Pewarta Perniagaan, lanjutan surat kabar Belanda Soerabajaasch Hendelsblad dan Soeara Asia, 1942-1945, dan semula adalah surat kabar Tiongkok) (Surjomihardjo, 2002: 101).

Namun setelah paham maksud licik Jepang, di bawah tekanan yang keras dan kejam pemerintah Jepang, para wartawan berusaha menggunakan kesempatan yang ada untuk tetap mengobarkan semangat nasionalisme, sehingga timbul “perlawanan yang tak nyata” terhadap tentara Jepang. Dan perjuangan media

massa Indonesia dalam bentuk perlawanan yang tak nyata ini berlangsung sampai akhirnya bangsa Indonesia menyatakan kemerdekaannya.

Dokumen terkait