• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISA PERAN OHCHR DALAM KASUS HAM YANG TERJADI PADA ROHINGYA DI MYANMAR TAHUN 2012

3. Sebagai Mediator

Peran yang terakhir dilakukan adalah menciptakan suatu penyelesaian

yang efektif atas kasus pelanggaran kemanusiaan yang terjadi pada etnis

Rohingya. OHCHR menjalankan peran sebagai pihak ketiga yang berusaha dan

berupayasecara aktif menjembatani dialog antara etnis Rohingya dengan

pemerintah Myanmar. OHCHR melakukan kunjungan dan pertemuan secara

intensif dan terpisah (shuttle diplomacy), agar etnis Rohingya dan pemerintah

92

Diakses dari http://www.ohchr.org/EN/Issues/Development/Pages/OIC-NAMroundtable.aspx, tanggal 6 Juli 2014, pukul 23.00 wib

Myanmar melangsungkan perundingan secara aman untuk penyelesaian secara

tepat atas kasus-kasus yang terjadi.93

Untuk membantu mendapatkan penyelesaian pada kasus pelanggaran

kemanusiaan terhadap etnis Rohingya, Pelapor Khusus secara proaktif bertemu

dengan pemerintah Myanmar untuk menjaga dialog dan kerja sama dengan

negara-negara tetangga, baik itu secara bilateral atau multilateral, untuk

mengidentifikasi solusi jangka panjang terhadap permasalahan etnis Rohingya,

namun tetap mendasarkan pada prinsip hak asasi manusia. Dalam pandangan

dimensi regional terhadap masalah ini, ASEAN juga dituntut memainkan peran

yang lebih proaktif dalam membantu untuk mendapatkan solusi perdamaian

dalam masalah ini.94

Dalam mendapatkan penyelesaian yang efektif terhadap kasus etnis

Rohingya, Pelapor Khusus Tomas Ojea Quintana selama kunjungannya pada

tahun 2012, juga telah mengupayakan kepada pemerintah Myanmar untuk dapat

mengidentifikasi secara objektif penyebab sesungguhnya terjadinya pelanggaran

kemanusiaan berupa pembakaran rumah-rumah masyarakat etnis Rohingya serta

kekerasan fisik yang dilakukan kelompok masyarakat Budha Rakhine terhadap

etnis Rohingya di wilayah Arakan. Selain itu, pelapor khusus juga meminta

kepada pemerintah Myanmar untuk mendirikan sebuah komisi investigasi yang

independen untuk menangani permasalahan pelanggaran tersebut. Dimana tim

terdiri dari berbagai lapisan pejabat publik, perwakilan dari etnis dan tokoh

93 Asrieyani, Dewi (2013) “Peran Office Of The High Commissioner For Human Right Dalam Penyelesaian Kasus Genosida Etnis Rohingya Di Myanmar (1978-2012)”, eJournal Ilmu Hubungan Internasional, 1 (2):42-50

94

agama, serta kelompok masyarakat sipil lainnya, untuk dapat membawa kasus ini

serta pihak yang bertanggung jawab ke pengadilan.95

Hasil dari masa kunjungan selama di Myanmar, ternyata Pelapor Khusus

mendapatkan respon positif dan dukungan dari pemerintah itu sendiri, ada berapa

hal yang telah didapatkan, yaitu berupa dukungan Pemerintah Myanmar yang

bersedia mendirikan sebuah komisi investigasi independen untuk menangani

permasalahan yang terjadi, dan agar masalah tersebut tidak semakin meluas ke

hal-hal lainnya.

Peran yang dilakukan OHCHR juga telah mendapatkan dukungan atau

hasil positif dari Pemerintah Myanmar, yaitu adanya rencana pemerintah untuk

melakukan review ulang dan mengamandemen Undang-undang Kewarganegaraan

1982 yang telah menetapkan masyarakat etnis Rohingya sebagai warga asing di

Myanmar. Selain itu, pemerintah juga telah mengupayakan untuk memberikan

pendidikan yang layak kepada masyarakat etnis Rohingya sebagai hal yang

dianggap penting untuk menenuhi kebutuhan dasar dan hak asasi etnis

Rohingya.96

Pada awalnya, pemerintah Myanmar menyatakan bahwa permintaan dari

organisasi-organisasi internasional atau organisasi non-pemerintah untuk

dilakukannya investigasi independen tidak diperlukan. Pemerintah selalu

membantah adanya masalah serius yang terjadi di negaranya dan mengklaim

95 Asrieyani, Dewi (2013) “Peran Office Of The High Commissioner For Human Right Dalam Penyelesaian Kasus Genosida Etnis Rohingya Di Myanmar (1978-2012)”, eJournal Ilmu Hubungan Internasional, 1 (2):42-50

96

Diakses dari http://www.tempo.co/read/news/2012/08/16/118423896/Myanmar-Segera-Revisi-UU-Kewarganegaraan-1982, tanggal 8 Juli 2014, pukul 01.00 wib

bahwa mereka dapat mengatasi masalah yang terjadi. Tetapi pada akhirnya,

Presiden Thein Sein menyetujui dibentuknya Rakhine Investigation Commission

(RIC) pada 17 Agustus 2012.97

RIC dibentuk oleh Presiden Thein Sein beserta wakil-wakil dari berbagai

partai keagamaan dan politik dan kelompok-kelompok demokrasi kecuali

perwakilan dari Rohingya. Bahkan dua tokoh pemimpin Muslim terkemuka tidak

diikut sertakan dari komisi. Komisi investigasi ini dinilai kehilangan

kredibilitasnya karena salah satu anggota dari komisi ini diduga sebagai dalang

dari konflik yang terjadi. RIC juga menulis laporan yang bias dengan mendukung

etnis Rakhine dan bahkan mendukung rencana pemerintah untuk memisahkan

etnis Rohingya dari Myanmar. RIC juga menolak jika dikatakan bahwa terjadi

pembunuhan besar-besaran (genoside) terhadap etnis Rohingya. Hanya saja untuk

kasus genoside agak sulit dipastikan kebenarannya mengingat terbatasnya akses

untuk jurnalis dan organisasi lainnya.98

Di negara bagian Rakhine, OHCHR telah dapat memediasi dalam

terbentuknya investigasi yang melibatkan komunitas internasional terkait dengan

penembakan penduduk desa oleh pihak kepolisian Myanmar. Kasus ini adalah

penembakan secara brutal kepada kaum laki-laki, perempuan dan anak-anak.

Termasuk investigasi kekerasan seksual kepada kaum perempuan dan pembakaran

97

Diakses dari http://www.rohingya.org/portal/index.php/arno/arno-press-release/611-joint-statement-on-the-official-report-of-the-rakhine-arakan-investigation-commission-.html, tanggal 6 Juli 2014, pukul 08.00 wib

98

Diakses dari http://www.dvb.no/dvb-video/rakhine-investigation-commission-denies-rohingya-massacre-myanmar-burma/36485, tanggal 6 Juli 2014, pukul 02.00 wib

asset etnis Rohingya. Pembentukan tim investigasi ini sebagai respon atas

kegagalan tim investigasi lokal yang dibentuk pemerintah.

B. Hambatan-hambatan OHCHR Dalam Menjalankan Tugas di Myanmar

Dalam hal ini, kegiatan atau peran OHCHR dalam menangani masalah

Hak Asasi Manusia yang terjadi di Myanmar terutama pada etnis Rohingya,

tentunya tidak berjalan seperti yang diharapkan, OHCHR dihadapkan berbagai

hambatan, terutama dalam menghadapi sistem pemerintahan Myanmar yang

masih dalam masa trasisi dari sistem otoriter. Berbagai hambatan yang dialami

oleh Pelapor Khusus selama menjalankan misinya antara lain:99

1. Dalam pelaksanaan tugas yang dijalankan OHCHR, sejak tahun 2000

pemerintah Myanmar selalu mengulur waktu jika tim Pelapor Khusus

ingin melakukan pelaporan, identifikasi mengenai situasi HAM dan

pelanggaran kemanusiaan yang terjadi pada etnis Rohingya serta dalam

melakukan kunjungan untuk masuk ke wilayah Myanmar, terutama ke

wilayah konflik di Arakan.

2. Tidak pahamnya pemerintah Myanmar baik di pusat maupun di daerah

tentang standar dan prosedur hukum yang dijalani oleh PBB, sehingga

menghambat masuknya OHCHR dan bantuan internasional lainnya seperti

UNHCR dan OKI yang bertujuan untuk memberikan bantuan

99 Asrieyani, Dewi (2013) “Peran Office Of The High Commissioner For Human Right Dalam Penyelesaian Kasus Genosida Etnis Rohingya Di Myanmar (1978-2012)”, eJournal Ilmu Hubungan Internasional, 1 (2):42-50

kemanusiaan kepada masyarakat Rohingya yang telah menjadi korban atas

pelanggaran kemanusiaan yang terjadi. Sejauh ini baru PMI saja yang

berhasil masuk untuk memberikan bantuan kepada etnis Rohignya.100

3. Adanya pembatasan akses bagi media internasional di wilayah Arakan

oleh pemerintah Myanmar, yang dapat membantu pengumpulan informasi

dan fakta terkini mengenai situasi HAM di wilayah tersebut.101

4. Dan salah satu hambatan yang dirasa paling mendasar dalam membantu

masalah etnis Rohingya adalah status warga negara etnis Rohingya itu

sendiri yang tidak diakui oleh pemerintah Myanmar. Selain menutup ruang

gerak etnis Rohingya, akses untuk mendatangi masyarakat Rohingya dan

untuk mendekat ke wilayah Arakan pun seakan ditutup dan dihalangi.

Walaupun dihadapkan dengan beberapa hambatan-hambatan yang

dihadapi oleh Pelapor Khusus dalam menjalankan tugasnya dilapangan, disisi lain

perkembangan teknologi dan media sosial sangat membantu dalam

menyebarluaskan berita tentang kasus HAM etnis Rohingya ke seluruh dunia.102

Melalui media sosial seperti Facebook, Twitter dan Youtube, menunjukkan bahwa

komitmen OHCHR dalam memperjuangkan hak asasi manusia di Myanmar

terutama kepada etnis Rohingya sangat serius, tidak hanya sekedar menjalankan

mandat. Seperti yang telah kita ketahui, konflik di Myanmar ini sudah terjadi

sejak tahun 1942 dan bukti nyata dari peran media sosial itu dapat dilihat

100Siti Ruyatul Munawwarah, “Peran Palang Merah Indonesia (PMI) Pada Konflik Rohingya di Myanmar Tahun 2012”, FISIP UIN 2013

101

Diakses dari http://www.dw.de/mandat-wakil-pbb-di-myanmar-dihentikan-junta-militer/a-2933087, tanggal 17 Juli 2014, pukul 14.00 wib

102Ido Prijana Hadi, “Perkembangan Teknologi Komunikasi Dalam Era Jurnalistik Modern”, Jurnal Ilmiah SCRIPTURA, Vol. 3, No. 1, Januari 2009: 69 - 84

bagaimana di tahun 2012 perhatian seluruh dunia terhadap etnis Rohingya di

Myanmar sangat tinggi dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya.103

Bagaimana gambaran situasi di Myanmar berupa foto atau video secara mudah

dapat diakses melalui jaringan internet. Melalui akun resminya, OHCHR terus

memperbaharui berita-berita mengenai situasi dan kondisi di Myanmar.

103

Aris Pramono, “Peran UNHCR Dalam Menangani Pengungsi Myanmar Etnis Rohingya di Bangladesh (periode 1978-2002)”, FISIP UI, 2010

Contoh posting via Facebook104

Contoh posting kampanye via Twitter105

Dengan adanya penyebar luasan foto-foto dan video kekerasan dari

OHCHR melalui media sosial, hasilnya terlihat dengan adanya respon positif dari

104

Diakses dari https://www.facebook.com/unitednationshumanrights?rf=111418598910686, tanggal 22 Juni 2014, pukul 20.00 WIB

105

masyarakat dunia dalam menyikapi apa yang terjadi pada etnis Rohingya.

Aksi demontrasi atau penggalangan dana diberbagai negara, terutama

negara dengan warga mayoritas muslim dilakukan untuk membantu masyarakat

etnis Rohingya.106 Efek bola salju dari media sosial terus berguling dan dinilai

sangat efektif dalam menyebarluaskan berita mengenai etnis Rohingya, sehingga

membuat masyarakat dunia tahu apa yang sebenarnya terjadi. Secara tidak

langsung, itu juga membuat tekanan dari berbagai pihak kepada pemerintah

Myanmar terus berlangsung, termasuk dari para anggota OHCHR dalam

menunjukan kepeduliannya terhadap etnis Rohingya.

Pada dasarnya, peran OHCHR dalam membantu menangani masalah

HAM pada etnis Rohingya dan tindakan yang telah diupayakan selama ini sudah

sesuai dengan mandat yang diberikan. Namun jika diukur tingkat keberhasilannya

106

Diakses dari http://islamtimes.org/vdccoiqs02bq4e8.5fa2.html, tanggal 22 Agustus 2014, pukul 13.00 WIB

memang belum dapat tercapai sepenuhnya. Tetapi dengan respon positif dari

pemerintah Myanmar dengan membentuk RIC untuk melakukan investigasi

terhadap kasus yang melanda etnis Rohingya, merupakan suatu hasil yang cukup

signifikan dari OHCHR dalam upayanya menyelesaikan masalah yang terjadi.

Karena sampai saat ini masalah etnis Rohingya masih berlanjut, OHCHR sendiri

terus berupaya untuk dapat menekan pemerintah Myanmar untuk menghargai,

memperhatikan, menghormati dan melindungi hak asasi etnis-etnis minoritas.

Terutama etnis Rohingya yang sering menjadi korban dari diskriminasi

pemerintahannya, terlepas statusnya tidak diakui oleh pemerintah Myanmar.

Ataupun harus dengan menjatuhkan sanksi kepada pihak-pihak yang dianggap

bertanggung jawab atas tindakan-tindakan pelanggar HAM.

Hasil nyata yang dicapai dari keberadaan OHCHR di Myanmar melalui

resolusi 67/233 adalah akses dalam memudahkan pemenuhan hak-hak sosial

berupa menfasilitasi bantuan kemanusiaan kepada etnis Rohingya dan meminta

untuk melakukan perbaikan terhadap situasi HAM terhadap etnis Rohingya.

Sementara, penjaminan hak-hak politik berupa status kewarganegaraan dan

sekaligus hak-hak sosial ekonomi budaya berupa hak atas lahan, rumah dan

pekerjaan terus diupayakan agar dapat terwujud. Hal ini tidak terlepas dari tidak

adanya sanksi terhadap pihak-pihak yang dianggap bertanggung jawab oleh PBB

maupun dari negara lainnya atas pelanggaran HAM terhadap etnis Rohingya di

BAB V

KESIMPULAN

Lahirnya etnis Rohingya sebagai pengungsi adalah karena adanya sikap

diskriminatif dari pemerintah Myanmar bersama etnis mayoritas Buddha terhadap

etnis Rohingya yang mengakibatkan terjadinya ancaman tindakan kekerasan

maupun pelanggaran di berbagai aspek kehidupan lainnya, seperti dalam hal

sosial, beragama, ekonomi, maupun pendidikan. Indikasi pelanggaran HAM yang

terjadi pada etnis Rohingya berawal dari sikap Pemerintah Myanmar menerapkan

kebijakan dalam Undang-undang Kewarganegaraan Myanmartahun 1982, yang

mengasimilasi secara paksa dengan tidak mengakui hak kewarganegaraan etnis

Rohingya dan menganggap etnis Rohingya sebagai orang asing di Myanmar.

Akibat dari tidak diakuinya etnis Rohingya sebagai warga negara

Myanmar, kemudian mereka memutuskan untuk bermigrasi ke negara lain untuk

mencari kehidupan yang lebih baik. Dengan tidak diakuinya etnis Rohingya,

secara tidak langsung mereka juga kehilangan fasilitas dalam hal hak pendidikan

dan hak kesehatan dari negaranya.

Sistem pemerintahan Myanmar yang sedang berada pada masa transisi

menuju sistem demokrasi adalah salah satu faktor, dimana perlunya pemahaman

tentang hak-hak asasi manusia yang sudah seharusnya mendapat perhatian lebih

dari pemerintah. Disinilah peran OHCHR dapat dilihat, secara keseluruhan tidak

tetapi juga bagaimana OHCHR memberikan bimbingan, pelatihan dan pengarahan

akan pentingnya hak asasi manusia warga negaranya.

Melihat kondisi yang terjadi pada etnis Rohingya, OHCHR sebagai

organisasi PBB yang menangani HAM, mengambil tindakan untuk dapat berperan

dalam mengupayakan penyelesaian dari konflik yang terjadi terhadap etnis

Rohingya. Pihak OHCHR memberi mandat kepada Pelapor Khusus Tomás Ojea

Quintana yang ditunjuk sejak 2008 lalu, untuk memantau keadaan dan

memberitahukan situasi perkembangan hak asasi manusia yang terjadi di

Myanmar.

Peran yang dilakukannya antara lain melakukan penyelidikan khusus dan

independen terhadap permasalahan yang terjadi dan melakukan negosiasi kepada

pemerintah Myanmar agar dapat mengambil tindakan untuk menghentikan

berbagai bentuk pelangaran HAM yang terjadi dan kemudian OHCHR juga

menjalankan perannya sebagai inisiator, fasilitator, dan mediator.

Hambatan dan dukungan juga menyertai perjalanan OHCHR selama

bertugas dalam penyelesaian kasus HAM terhadap etnis Rohingya. Terbatasnya

akses untuk menjangkau wilayah konflik dan tarik ulur proses perizinan dari

pemerintah Myanmar adalah hambatan yang didapat. Tetapi setelah semua proses

terjadi dan tekanan dari berbagai pihak, akhirnya OHCHR mendapat respon

positif dari pemerintah Myanmar.

Pada Agustus 2012, presiden Myanmar Thein Sein telah bersedia untuk

Commission(RIC) untuk menangani permasalahan yang terjadi, dan agar masalah

tersebut tidak semakin meluas ke hal-hal lainnya, serta telah berencana untuk

melakukan review ulang dan amandemen terhadap Undang-undang

Kewarganegaraan 1982 yang telah menetapkan masyarakat etnis Rohingya

sebagai warga asing di Myanmar.

Pada 24 Desember 2012, Majelis Umum PBB mengeluarkan resolusi

67/233 yang berisi tanggapan dari semua pihak (negara anggota) bahwa PBB

menyatakan untuk menyetujui sebuah resolusi terkait dengan nasib etnis

Rohingya di Myanmar. PBB juga menyambut perubahan positif yang terjadi

setelah demokrasi berjalan di Myanmar. PBB juga mendesak pemerintah

Myanmar dalam memperbaiki situasi etnis minoritas, terutama etnis Rohingya dan

melindungi semua hak asasi manusia termasuk pemberian status kewarganegaraan

Dokumen terkait