• Tidak ada hasil yang ditemukan

Mekanisme Kegiatan Kemitraan Usaha Wisata WWKP Ciwidey

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

5.2 Mekanisme Kegiatan Kemitraan Usaha Wisata WWKP Ciwidey

Jika dilihat dari bentuk kemitraan yang sedang dilaksanakan, maka kemitraan yang sedang dilaksanakan di WWKP adalah kemitraan berbentuk pola kemitraan subkontrak. Pola ini merupakan pola kemitraan antara perusahaan mitra usaha dengan kelompok mitra yang memproduksi komponen yang diperlukan perusahaan mitra sebagai bagian dari produksinya (Darmono et al. 2004). Perusahaan mitra usaha dalam hal ini adalah KBM-JLPL sedangkan kelompok mitra adalah LMDH Wisata yang terdiri dari kelompok-kelompok usaha di dalamnya. Komponen yang diproduksi oleh LMDH Wisata tersebut antara lain jasa angkutan wisata ontang-anting, produk stroberi dan aksesoris, produk makanan dan minuman, jasa pengelolaan perpakiran dan MCK, dan jasa foto keliling.

5.2.2 Proses dan Aturan Kemitraan

Kemitraan usaha wisata di Wana Wisata Kawah Putih Ciwidey sudah berlangsung sejak tahun 1990an. Sebelum terbentuknya LMDH Wisata yang mengkoordinir kegiatan usaha wisata oleh masyarakat setempat, masyarakat yang melakukan usaha tergabung dalam kelompok-kelompok kecil tanpa ada kesepakatan dan aturan yang berlaku. Sehingga pihak pengelola melakukan penertiban terhadap ketidakteraturan masyarakat yang terkesan semaunya dalam melakukan usaha. Setelah penertiban tersebut terlaksana dan terbentuk LMDH Wisata maka dilakukan kesepakatan antara Kesatuan Bisnis Mandiri Agroforestry, Ekowisata dan Jasa Lingkungan (KBM AEJ) Perum Perhutani Unit III Jawa Barat dan Banten (sekarang diberi nama Kesatuan Bisnis Mandiri Jasa Lingkungan dan Produk Lain atau KBM JLPL) sebagai pengelola Wana Wisata Kawah Putih (WWKP) Ciwidey dengan Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) Wisata di WWKP Ciwidey. Kesepakatan antara kedua pihak tersebut melahirkan Perjanjian Kerjasama Kemitraan. Kesepakatan yang berisi aturan, hak dan kewajiban serta semua hal yang berkaitan dengan usaha wisata di WWKP Ciwidey ini resmi terbentuk pada 29 Oktober 2010.

Secara umum Perjanjian Kerjasama Kemitraan tersebut berisi aturan antara KBM AEJ Perum Perhutani Unit III Jawa Barat dan Banten sebagai pihak kesatu

dan LMDH Wisata di WWKP Ciwidey sebagai pihak kedua. Kedua pihak tersebut menegaskan tentang peran masing-masing pihak dalam kegiatan kemitraan usaha wisata sebagai berikut :

1. Bahwa pihak kesatu adalah unit bisnis dari Kesatuan Bisnis Mandiri Agroforestry, Ekowisata dan Jasa Lingkungan (KBM AEJ) Perum Perhutani Unit III Jawa Barat dan Banten yang merupakan Badan Usaha Milik Negara yang diberi tugas dan wewenang untuk mengelola hutan produksi dan lindung di Propinsi Jawa Barat dan Banten yang salah satu kegiatan usahanya adalah kegiatan usaha Wana Wisata;

2. Bahwa pihak kesatu, dalam rangka menyelenggarakan dan mengembangkan potensi Wana Wisata Kawah Putih perlu menjalin hubungan dan kerjasama dengan pihak lainnya untuk memberikan pelayanan terbaik bagi pengunjung; 3. Bahwa pihak kedua adalah Lembaga Masyarakat Desa Hutan yang

dikhususkan dalam membantu penanganan kemitraan usaha wisata pihak kesatu, yang terbentuk sesuia dengan Berita Acara Pembentukan yang dibuat oleh masyarakat yang beraktivitas usaha antara lain di obyek wisata kawah putih dengan disaksikan oleh Forum Komunikasi Kecamatan Rancabali; 4. Bahwa pihak kedua akan berperan aktif sebagai pihak yang mewakili dan

mengkordinir semua kelompok usaha yang beraktivitas di Wana Wisata Kawah Putih, termasuk jalinan kerjasamanya;

5. Bahwa berkenaan dengan nomor 1 s/d 4 di atas, maka para pihak memandang perlu untuk menjalin kerjasama dalam rangka optimalisasi dan pemanfaatan potensi wisata bagi kesejahteraan masyarakat.

Berdasarkan proses dan keterlibatan para pihak serta kesepakatan yang disusun tersebut, maka kegiatan kemitraan usaha wisata alam di Wana Wisata Kawah Putih Ciwidey sesuai dengan prinsip-prinsip kemitraan yang dikemukan oleh LATIN (1999). Namun kegiatan kemitraan ini terhenti pada tahap ketigabelas yaitu memantau kegiatan berdasarkan indikator yang disetujui bersama karena kesepakatan yang telah disusun belum diperbarui pada tahun 2011 sehingga belum berlanjut pada tahap selanjutnya yaitu memperbaiki dan memperluas kerjasama. Seharusnya kerjasama ini sudah diperbarui, mengingat kesepakatan yang telah disetujui berlangsung dalam jangka waktu satu tahun dan

kesepakatan ini telah terhitung sejak 29 Oktober 2010 lalu. Namun berdasarkan PKS Pasal 10 tentang Jangka Waktu Kerjasama, apabila Perjanjian Kerjasama akan diperpanjang maka harus didahului surat permohonan perpanjangan oleh pihak kedua kepada pihak kesatu selambat-lambatnya tiga bulan sebelum masa berlaku Perjanjian Kerjasama berakhir (Lampiran 6). Pihak kedua hingga bulan Oktober 2011 lalu belum mengajukan surat permohonan perpanjangan kerjasama kepada pihak pertama sehingga kerjasama ini belum dapat diperbaiki dan memperluas kerjasama di antara kedua pihak.

5.2.3 Hak dan kewajiban para pihak dalam kegiatan kemitraan wisata Berdasarkan kesepakatan yang tertuang dalam Perjanjian Kerjasama Kemitraan antara Kesatuan Bisnis Mandiri Agroforestry, Ekowisata dan Jasa Lingkungan (KBM AEJ) Perum Perhutani Unit III Jawa Barat dan Banten dengan Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) Wisata di Wana Wisata Kawah Putih (WWKP) Ciwidey, masing-masing pihak memiliki hak dan kewajiban dalam kegiatan kemitraan usaha wisata di WWKP Ciwidey. Hak dan kewajiban pihak kesatu tercantum dalam Pasal 7 pada Perjanjian Kerjasama Kemitraan sedangkan hak dan kewajiban pihak kedua tercantum dalam Pasal 8.

Adapun hak dan kewajiban pihak kesatu antara lain :

1. Pihak kesatu berkewajiban menyediakan lahan dan fasilitas pendukung lainnya demi kelancaran kerjasama ini;

2. Pihak kesatu berhak menerima uang sharing dari pihak kedua berdasarkan besaran, tata cara dan jadwal sebagaimana dimaksud pada Pasal 6 Perjanjian Kerjasama Kemitraan (Lampiran 5);

3. Pihak kesatu berhak mengalihkan hak kelola pihak kedua kepada pihak lainnya, bilamana pihak kesatu menganggap bahwa pihak kedua tidak melaksanakan pasal-pasal dalam perjanjian ini, serta dengan sengaja atau tidak sengaja melakukan perbuatan yang merugikan pihak kesatu;

4. Pihak kesatu berkewajiban memberikan bimbingan, pembinaan dan pengawasan serta teguran kepada pihak kedua;

5. Pihak kesatu berkewajiban untuk mentaati dan mematuhi peratutan Pemerintah Pusat/Daerah yang berlaku saat ini maupun yang akan diberlakukan kemudian.

Hak dan kewajiban pihak kedua antara lain :

1. Pihak kedua berhak memberikan saran masukan demi untuk kelancaran dan kemajuan kerjasama, baik kepada pihak kesatu maupun masing-masing kelompok usaha;

2. Pihak kedua berkewajiban untuk mewakili dan mengakomodir masing-masing kelompok usaha sebagaimana Pasal 4 Perjanjian Kerjasama Kemitraan terhadap kepentingan pihak kesatu serta membantu, mengawasi dan mengawal perjanjian kerjasama ini sampai dengan masa berlaku berakhir; 3. Pihak kedua berhak untuk menentukan kebijakan terhadap masing-masing

kelompok usaha yang diwakilinya, dengan sepengetahuan pihak kesatu; 4. Pihak kedua berhak menentukan besaran dan menerima uang sharing hasil

kegiatan kelompok usaha yang diwakilinya dengan besaran, tata cara dan jadwal yang telah disepakati pihak kedua dengan masing-masing kelompok usaha yang diwakilinya, diluar nilai sharing yang sudah dikeluarkan kepada pihak kesatu;

5. Pihak kedua berkewajiban untuk mentaati dan mematuhi peraturan Pemerintah Pusat/Daerah yang berlaku saat ini maupun yang akan diberlakukan kemudian;

6. Pihak kedua berkewajiban turut meningkatkan pengembangan obyek Wana Wisata melalui pelayanan untuk memberikan kepuasan kepada pengunjung; 7. Pihak kedua berkewajiban untuk membayarkan uang sharing kepada pihak

kesatu dengan besaran, tata cara dan jadwal sebagaimana dimaksud pada Pasal 6 perjanjian kerjasama (Lampiran 5).

Hak dan kewajiban merupakan suatu pedoman dalam sebuah kesepakatan sehingga dengan adanya pedoman tersebut pihak-pihak yang terlibat dapat bersikap adil, demokratis, dan terbuka dengan adanya kejelasan hak dan kewajiban. Menurut PT Perhutani (2001), kejelasan hak dan kewajiban merupakan salah satu prinsip dasar dalam pengelolaan sumberdaya hutan bersama masyarakat. Selain itu, hak dan kewajiban merukan perwujudan dari pandangan para mitra terhadap visi kemitraan yang dijalankan, komitmen dan kooperatif dalam mencapai tujuan bersama dalam kegiatan kemitraan usaha wisata. Menurut Anonim (1996) diacu dalam Lolulapan (2003), ketiga hal tersebut merupakan

sebagian syarat yang harus dipenuhi untuk mengarah pada integrasi vertikal agar kemitraan usaha wisata dapat mencapai sasaran, yaitu terciptanya suasana saling membutuhkan, saling memperkuat dan menguntungkan di antara kedua belah pihak. Namun pada kenyataannya hak dan kewajiban tersebut belum direalisasikan sepenuhnya oleh pihak yang bermitra sehingga keadaan ini dapat dikategorikan sebagai permasalahan dalam kemitraan usaha.

5.2.4 Permasalahan kemitraan usaha wisata

Penerapan hak dan kewajiban yang telah disepakati tidak sepenuhnya terwujud dalam pelaksanaan pengelolaan Wana Wisata Kawah Putih Ciwidey. Terdapat beberapa hak dan kewajiban yang belum dipenuhi oleh kedua pihak. Hal ini yang menyebabkan timbulnya ketidaksesuaian atau permasalahan dalam pengelolaan kemitraan usaha di WWKP Ciwidey. Permasalahan yang timbul menurut pengelola termasuk dalam kategori tidak krusial, namun sumber permasalahan berasal dari pihak mitra sendiri yaitu anggota LMDH Wisata. Pihak mitra cenderung tidak menjalankan kewajibannya, seperti macetnya pembayaran sharing yang telah disepakati kepada pihak pengelola. Berdasarkan Pasal 6 Perjanjian Kerjasama Kemitraan (Lampiran 5) seharusnya setiap mitra menjalankan kewajiban pembayaran sharing setiap bulannya kepada koordinator masing-masing kelompok usaha atau ketua LMDH Wisata dan dibayarkan secara kumulatif paling lambat pada tanggal 28 setiap bulannya selama masa kerjasama. Selain itu permasalahan yang sering timbul yaitu konflik horizontal, kecemburuan sosial antar sesama mitra dalam kegiatan kemitraan usaha wisata ini. Hal ini terkait dengan sistem pembagian fasilitas pendukung kegiatan usaha mitra pasca penertiban seperti bangunan tempat berjualan. Mitra yang tidak nyaman dengan tempat melakukan usahanya merasa sistem ini tidak adil, keadaan seperti inilah yang menimbulkan kecemburuan sosial antar sesama mitra. Sebaiknya pengelola dapat menerapkan prinsip dasar pengelolaan sumberdayahutan bersama masyarakat masyarakat, yaitu prinsip keadilan dan demokratis (PT Perhutani 2001) sebelum pembagian fasilitas tersebut agar mitra merasa puas dengan hasil pembagian apabila dilakukan secara demokratis.

Selain itu, pihak pengelola juga belum sepenuhnya memenuhi hak dan kewajiban yang telah disepakati. Salah satu di antaranya yaitu belum

terealisasikan secara tegas kewajiban untuk memberikan bimbingan, pembinaan dan pengawasan serta teguran kepada pihak mitra sehingga para mitra belum terbina dengan baik sesuai dengan perberdayaan masyarakat. Menurut Awang (1991) diacu dalam Anantanyu (1998), hal ini dirasa perlu agar terwujud pembangunan kehutanan dengan memperhatikan aspek sumberdaya manusia yang dapat berpartisipasi aktif. Pembinaan yang dilakukan tidak hanya bersifat untuk menambah wawasan dan meningkatkan kecintaannya terhadap kawasan tetapi juga berkaitan dengan program dalam pengelolaan wisata di WWKP Ciwidey. Salah satu pembinaan yang dapat dilakukan yaitu melakukan standardisasi terhadap kualitas produk wisata yang ditawarkan oleh mitra di WWKP Ciwidey. Standardisasi tersebut dapat dirumuskan secara bersama-sama oleh pihak pengelola dan mitra. Standardisasi ini dirasa perlu dilakukan agar pengunjung dapat memperoleh kepuasan yang sama dari setiap produk wisata yang dibelinya baik dari jasa angkutan, produk yang dijual maupun pelayanan yang dilakukan oleh mitra.

Selain masalah di atas terdapat juga permasalahan lainnya, di di antaranya responden mitra usaha menyampaikan keluhan mereka tentang penurunan pendapatan setelah dilakukan penertiban terhadap mitra usaha yang berjualan secara tidak teratur di parkiran atas menuju lokasi Kawah Putih. Menurut mereka jumlah pengunjung berkurang akibat kenaikan harga tiket yang terlalu tinggi. Selain itu banyaknya pengunjung yang menggunakan mobil pribadi sampai lokasi kawah menyebabkan angkutan ontang-anting merasa dirugikan. Begitu pula dengan mitra usaha warungan, menurut mereka pengunjung cenderung tidak mau berbelanja di sekitar pelataran parkir bawah. Karena mereka telah membayar mahal untuk harga tiket maka mereka membawa bekal masing-masing.

Pengunjung merasa fasilitas yang ada di WWKP kurang memadai sehingga sebagian besar dari responden mengharapkan perbaikan terhadap fasilitas tersebut. Pengunjung menyarankan untuk dilakukan perbaikan/pelebaran jalan menuju lokasi kawah untuk lebih menjamin keselamatan pengunjung. Selain itu keberadaan toilet umum hendaknya diperbanyak dan dapat digunakan secara gratis. Penambahan shelter juga sangat diharapkan agar pengunjung dapat memanfaatkannya untuk berteduh pada saat hujan tiba karena jumlah yang ada

untuk saat ini terbatas. Pengunjung merasa bahwa dengan harga tiket yang telah ditetapkan, mereka juga mendapatkan masker yang disediakan oleh pengelola tanpa harus membeli lagi.

Dokumen terkait