• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bab IV TINJAUAN YURIDIS MENGENAI TINDAK PIDANA PERS MENURUT

C. Mekanisme Kontrol Kebebasan Pers Indonesia

.

Mungkin waktu memang diperlukan. Manakala perlakuan terhadapnya sebagai lex specialis memerlukan revisi, tidak jelek untuk melakukannya segera. Pemerintah dan DPR perlu turun tangan. Semangatnya adalah membuat UU No 40 tahun 1999 tentang Pers menjadi lex specialis yang benar-benar eksis, bukan sekadar bagian dari diskusi publik saja. Satu kelemahan yang lain di negeri kita adalah pekerjaan ikutannya, yaitu sosialisasi UU. Penyebutan semua orang dianggap tahu bila naskah undang-undang sudah dimuat di lembaran negara tidaklah cukup. Lembaran negara dicetak terbatas. Tidak banyak orang yang segera mengetahuinya. Polisi, jaksa, pengacara, dan hakim pertama- tama harus terus menerus memahami UU yang baru. Sering polisi yang sedang memeriksa kasus tidak tahu UU Pers sudah berumur lima tahun. Jika hamba hukum saja belum tahu, apalagi masyarakat.

Mekanisme kontrol etika diperlukan untuk dapat melindungi pihak lain dari penyalahgunaan penderitaan. Kontrol tersebut dapat dilakukan melalui cara :

a. Melalui Organisasi Profesi.

44

Dadang Sukandar, KUHP dan Perundang-undangan Lex Specialis, diakses dari situs :

Zulfikar : Tinjauan Yuridis Mengenai Tindak Pidana Pers Dalam Persfektif Hukum Pidana Dan RUU KUHP Indonesia, 2007.

USU Repository © 2009

Mekanisme kontrol melalui organisasi profesi dapat dilakukan sepanjang ada satu organisasi jurnalis yang kuat, berpengaruh, dan berwibawa. Selain itu seluruh jurnalis tergabung dalam satu organisasi jurnalis atau setidaknya mempunyai kewajiban untuk bergabung dengan salah satu organisasi jurnalis. Mekanisme ini sangat ideal karena sebagai contoh tentang pelaksanaan prinsip self regulating society yang bebas dari pengaruh pihak manapun termasuk negara. Namun praktek inipun membutuhkan berbagai parameter sehingga organisasi jurnalis memperoleh kepercayaan dari masyarakat. Tanpa kepercayaan yang tinggi dari masyarakat, maka akan sulit kontrol tersebut dilaksanakan melalui organisasi profesi.

b. Melalui Lembaga Pengadilan

Mekanisme kontrol melalui pengadilan merupakan salah satu mekanisme resmi yang diakui dalam sebuah negara yang berdasarkan hukum. Namun penggunaan mekanisme ini berbahaya, karena melegitimasi campur tangan negara dalam suatu masyarakat sipil yang terorganisir. Selain itu, penggunaan mekanisme itu tidak memberikan pembelajaran bagi peningkatan profesionalitas.

c. Melalui Lembaga Quasi Negara

Mekanisme ini digunakan ketika tidak ada satupun organisasi profesi jurnalis yang kuat, berpengaruh, dan berwibawa. Mekanisme ini merupakan pilihan yang baik jika tidak ada kewajiban bagi jurnalis untuk bergabung di salah satu organisasi profesi. Namun, lembaga ini haruslah diberikan kewenangan yang cukup untuk dapat melakukan penindakan dan memberikan sanksi terhadap setiap pelanggaran etika. d. Pentingnya Pembentukan RUU P4 (Penyelesaian Perselisihan Pemberitaan Pers).

Zulfikar : Tinjauan Yuridis Mengenai Tindak Pidana Pers Dalam Persfektif Hukum Pidana Dan RUU KUHP Indonesia, 2007.

USU Repository © 2009

Pembentukan RUU P4 ini sangat penting untuk mengatasi berbagai kelemahan dari UU Pers. UU Pers sedari awal memiliki kelemahan yang juga diakui oleh Mahkamah Agung yang menyatakan bahwa diperlukan adanya improvisasi dalam menciptakan yurisprudensi agar perlindungan hukum terhadap insan pers dan sekaligus juga menempatkan UU Pers sebagai lex specialist karena diakui sendiri oleh Mahkamah Agung bahwa UU Pers belum mampu memberikan perlindungan terhadap kemerdekaan pers terutama dalam hal adanya delik pers karena tidak adanya ketentuan pidana dalam UU Pers dan diberlakukan ketentuan KUHP (Lihat putusan MA No 1608 K/PID/2005 dalam kasus Bambang Harymurti). Meski untuk kasus gugatan perdata Mahkamah Agung telah menegaskan bahwa penyelesaian yang disediakan melalui UU Pers harus ditempuh terlebih dahulu (Putusan MA No. 903 K/PDT/2005 dalam kasus Tomy Winata Vs. PT Tempo Inti Media, Zulkifli Lubis, Bambang Harymurti, Fikri Jufri, Toriq Hadad, Achmad Taufik, Bernarda Burit, dan Cahyo Junaedi). Namun sejatinya UU Pers juga tidak memberikan kewenangan yang cukup kuat kepada Dewan Pers dalam hal menangani sengketa pemberitaan. Sehingga memungkinkan para pihak yang tidak puas dengan pemberitaan pers untuk menempuh upaya hukum melalui pengadilan. Selain itu, dalam sengketa pemberitaan juga tidak diatur hukum acara dalam penyelesaian sengketa di Dewan Pers.

Kewenangan Dewan Pers yang diberikan oleh UU Pers UU Pers dalam hal penanganan sengketa pemberitaan hanyalah sebagai lembaga konsiliasi, oleh karena itu bentuk ”putusan” dari Dewan Pers adalah Pernyataan Penilaian dan Rekomendasi (PPR). Dalam konteks hukum putusan ini tidak mempunyai kekuatan eksekutorial bagi para pihak yang bersengketa. Mungkin hal inilah yang menjadi salah satu penyebab kenapa

Zulfikar : Tinjauan Yuridis Mengenai Tindak Pidana Pers Dalam Persfektif Hukum Pidana Dan RUU KUHP Indonesia, 2007.

USU Repository © 2009

ada pihak yang tidak menginginkan penyelesaian melalui Dewan Pers, disamping itu masih kuatnya keinginan dari beberapa pihak yang tidak menginginkan adanya kemerdekaan pers tumbuh dan berkembang di Indonesia.

Meski Mahkamah Agung dalam tiga putusannya telah menyatakan semua mekanisme dalam UU Pers terlebih harus dahulu dijalani, namun putusan tersebut tidak dapat memberikan jaminan yang sempurna dikarenakan pengadilan di Indonesia tidak menganut asas preseden secara permanen. Oleh sebab itu pembentukan RUU P4 menjadi sangat penting untuk mengukuhkan kemerdekaan pers tanpa harus mengundang campur tangan pemerintah ke dalam kehidupan pers. Sehingga tujuan penguatan kemerdekaan pers yang dilakukan melalui penguatan fungsi dan peran Dewan Pers sebagai lembaga penyelesaian sengketa pemberitaan pers satu-satunya (pengadilan pers) dapat tercapai melalui pembentukan RUU P4. Pengaturan RUU P4 harus memiliki setidaknya bersandar pada tiga prinsip utama yaitu:

1. Untuk mempertahankan dan memperkokoh kemerdekaan pers

2. Menjadi Pengadilan Pers bagi penyelesaian perselisihan pemberitaan pers.

3. Merupakan pengaturan khusus tentang bagaimana pertanggung jawaban hukum, baik pidana dan/atau perdata, bagi media dan jurnalis.

RUU P4 setidaknya harus mengatur tentang bagaimana proses pemeriksaan secara perdata dan juga apabila adanya dugaan terjadinya tindak pidana. Dalam proses perdata maka kewenangan Dewan Pers harus ditingkatkan menjadi lembaga arbitrase yang putusannya bersifat terakhir dan mengikat (final and binding) serta mempunyai kekuatan eksekutorial. Dalam dugaan terjadinya tindak pidana, penyelesaian melalui Dewan Pers harus dilalui terlebih dahulu untuk menilai terjadinya pelanggaran kode etik

Zulfikar : Tinjauan Yuridis Mengenai Tindak Pidana Pers Dalam Persfektif Hukum Pidana Dan RUU KUHP Indonesia, 2007.

USU Repository © 2009

yang serius dan tidak dapat ditolerir, Dewan Pers juga harus diberikan kewenangan untuk menilai dan menemukan adanya indikasi unsur ”niat jahat” dan ”balas dendam” dalam pemberitaan. Setelah Dewan Pers memberikan putusan tentang adanya pelanggaran kode etik yang serius dan tidak dapat ditoleransi serta ditemukan adanya indikasi unsur ”niat jahat” dan ”balas dendam” dalam pemberitaan, maka polisi dapat meneruskan penyidikan terjadinya tindak pidana. RUU P4 juga sebaiknya menghapuskan ketentuan pidana penjara dan/atau kurungan dan lebih mengedepankan pidana denda yang tentunya harus dibatasi besaran dendanya. RUU P4 juga harus mengatur tentang proses dan tata cara pengangkatan arbitrer dalam Dewan Pers, mekanisme acara (hukum acara), pembuktian, waktu persidangan, dan bagaimana serta bilamana eksekusi dapat dilakukan.

RUU P4 harus mengatur tentang kemungkinan adanya kasasi ke Mahkamah Agung dalam hal-hal sebagai berikut :

1. Kasasi dapat dimungkinkan dengan batas waktu 30 hari sejak putusan Dewan Pers dijatuhkan

2. Surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan, setelah putusan dijatuhkan, diakui atau dinyatakan palsu atau;

3. Setelah putusan diambil ditemukan dokumen yang bersifat menentukan, telah disembunyikan oleh pihak lawan atau;

4. Putusan diambil dari tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam pemeriksaan perselisihan atau;

5. Putusan melampaui kewenangan dari Dewan Pers; atau 6. Putusan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan

Zulfikar : Tinjauan Yuridis Mengenai Tindak Pidana Pers Dalam Persfektif Hukum Pidana Dan RUU KUHP Indonesia, 2007.

USU Repository © 2009

7. Mahkamah Agung harus memberikan putusan dalam jangka waktu 30 hari sejak putusan Dewan Pers tersebut dimohonkan kasasi.

8. Gugatan perdata ke pengadilan negeri hanya dimungkinkan apabila salah satu pihak tidak melaksanakan putusan dari Dewan Pers.

Dengan dibentuknya RUU P4, maka diharapkan kontroversi tentang lex specialis tidaknya UU Pers menjadi hilang dan juga dapat sebagai senjata bagi masyarakat pers untuk membendung keinginan pemerintah melakukan revisi terhadap UU Pers. Karena UU Pers tetap berlaku namun pada saat yang sama kedudukan Dewan Pers semakin diperkuat sebagai tempat pengadilan pers di Indonesia. Untuk itu kekuatiran akan adanya kriminalisasi menggunakan KUHP atau RUU KUHP menjadi hilang, karena Dewan akan akan menjadi lembaga yang akan mengawasi kegiatan pers di Indonesia.

Selain mekanisme kontrol yang telah disebutkan di atas, pada akhirnya memang sangat dibutuhkan sebuah organisasi media watch yang nyata untuk hal tersebut. Organisasi media watch memang baru lahir di Indonesia tahun 1999. Sebelumnya organisasi semacam ini tidak perlu. Pers sudah diawasi dan dikendalikan oleh pemerintah. Ada juga yang namanya Dewan Pers. Namun, karena ketuanya adalah Menteri Penerangan, fungsi Dewan Pers itu menjadi dipandang sebelah mata oleh kalangan pers dan masyarakat. Kasus Tempo vs Menteri Penerangan menjadi dagelan ketika (mantan) Menpen Harmoko mengatakan Dewan Pers telah menyetujui dibredelnya Tempo. Yang dimaksud Dewan Pers itu tentu dia dan anggota di bawahnya yang tak kuasa bersuara lain. Dewan Kehormatan PWI, yang mestinya mengawasi kualitas pemberitaan dan profesionalisme kerja wartawan, juga tidak berbuat apa-apa ketika terjadi banyak pelanggaran etika pers oleh anggota PWI yang merugikan masyarakat.

Zulfikar : Tinjauan Yuridis Mengenai Tindak Pidana Pers Dalam Persfektif Hukum Pidana Dan RUU KUHP Indonesia, 2007.

USU Repository © 2009

Namun, begitu kerana kebebasan pers dibuka, masyarakat merasakan perlunya pengawasan terhadap pers. Pers yang baru memperoleh kebebasannya ini banyak menyajikan berita bombastis, sensasional, tidak mendidik dan mencerdaskan, provokatif, kabar bohong, trial by the press (memojokkan), dan lain-lain. Ada penerbitan (tabloid) yang mencantumkan motto di bawah nama/judul tabloidnya, Trial By The Press, Ada yang berjudul Skandal, Bual, dan sejenisnya. Inilah cermin pelanggaran yang dibanggakan. Pendeknyya, rambu-rambu etika profesi jurnalistik sudah bertumbangan dilanggar laju pers bebas. Bahkan hukum pun dilanggar. Seorang relawan yang meninggal dibunuh di rumahnya, oleh pers diberitakan sisi kehidupan seks bebasnya ketika hidup. Padahal ini jelas melanggar KUHP Pasal 320 tentang pencemaran atau penghinaan nama orang mati.

Tumbuhnya media watch di Indonesia diawali berdirinya Yayasan Lembaga Konsumen Pers (LKP) di Surabaya, awal Maret 1999. Hasil Rapat Kerja Dewan Pers yang menyimpulkan perlunya peranan masyarakat dalam pengawasan media dalam bentuk media watch, serta dimasukkannya unsur pengawasan media oleh masyarakat dalam UU Pers No. 40 tahun 1999 , muncul beberapa bulan sesudahnya. Nama yang tak ada hubungannya dengan YLKI ini dipilih khusus karena LKP berkonsentrasi pada pemberdayaan konsumen pers. Kesetaraan merupakan kunci hubungan yang harmonis/ideal antara pers dan masyarakat. Setelah LKP atau bersamaan dengan itu, di Jakarta, ISAI juga mendirikan lembaga pengawasan media. Bahkan karena dukungan dana yang cukup besar, ISAI mengembangkan jaringan di 20 kota besar di Indonesia. Kemudian di Medan, Ujung Pandang, Bandung, Yogyakarta, dan di Surabaya, bertumbuhanlah lembaga-lembaga pengawas media. Namun mungkin karena kurangnya

Zulfikar : Tinjauan Yuridis Mengenai Tindak Pidana Pers Dalam Persfektif Hukum Pidana Dan RUU KUHP Indonesia, 2007.

USU Repository © 2009

pemahaman atas apa itu media watch, sebagian lembaga yang menggunakan nama media watch itu justru bermaksud mengawasi pemerintah dan memberikan perlindungan kepada jurnalis dalam menjalankan profesinya (ISAI), atau memberikan pelatihan keterampilan jurnalistik pada para jurnalis (Indonesia Media Watch/ IMW). Keduanya berarti strengthenning the media, bukan watching atau criticizing the media. Bahkan IMW yang berbasis di Surabaya melakukan kampanye anti kekerasan terhadap perempuan, kegiatan yang tidak memiliki hubungan langsung dengan produk media massa yang harus diawasi45

Pada awalnya memang orang-orang pers "kemaruk" untuk membentengi dan memperkuat diri, sementara orang-orang perguruan tinggi asyik meneliti perubahan sosial yang diakibatkan kebebasan pers. Namun, dalam perkembangannya, perlahan- lahan beberapa media watch yang tumbuh kemudian, mulai melakukan fungsinya sesuai nama yang disandangnya sebagai pengawas media. Media Watch Society misalnya, telah melakukan kegiatan aktif menyoroti dan mengkritisi pemberitaan media. LKP melakukan pencatatan pelanggaran pers dan mengirimkannya kembali kepada pers (dalam bentuk newsletter) sebagai input dan feedback, sambil mendidik masyarakat (melalui workshop, seminar, siaran radio) untuk sadar informasi dan sadar akan hak-hak dan tanggung jawabnya. Marka atau Media Ramah Keluarga yang sering dimuat di Republika, sangat jeli menyoroti produk-produk media yang dikonsumsi keluarga Indonesia. Sentilan- sentilan ini, diharapkan menjadi perhatian dan pertimbangan para pemilik dan pengelola media, agar mereka lebih bijaksana, lebih profesional, dan lebih bertanggung jawab dalam melayani kebutuhan publik akan informasi dan hiburan melalui media.

.

45 Ibid

Zulfikar : Tinjauan Yuridis Mengenai Tindak Pidana Pers Dalam Persfektif Hukum Pidana Dan RUU KUHP Indonesia, 2007.

USU Repository © 2009

Masyarakat Indonesia memang telah mendapatkan kebebasannya dalam berpolitik atau memperoleh informasi. Namun tanpa latar belakang pendidikan dan pengetahuan yang memadai, dua jenis kebebasan ini dapat menjadi bumerang bagi hidup mereka sendiri dan tatanan sosial di mana mereka berinteraksi. Dengan demikian, keberadaan lembaga media watch yang memiliki misi ke dua arah, sangat penting. Di satu sisi, media watch mengawasi dan mengingatkan media untuk tidak kebablasan dan agar tetap memiliki hati nurani. Di sisi lain, media watch perlu mengajari masyarakat untuk bersikap selektif namun tetap demokratis.

Saat ini belum banyak, bahkan mungkin belum ada, lembaga media watch yang memberikan perlindungan hukum pada korban pers. Mungkin ini disebabkan keengganan media watch untuk berhadapan langsung dengan pers. Boleh jadi juga karena lemahnya SDM. Untuk bergerak di bidang perlindungan hukum, tentu diperlukan ahli-ahli hukum yang memahami hukum pers. Di beberapa kasus, pihak pers berkelit dengan hak jawab dan hak koreksi sebagai solusi. Ahli hukum konsumen pers harus dapat mematahkan argumen ini bahwa hak jawab dan hak koreksi itu, sebagai hak, boleh dipakai boleh tidak. Setelah dipakaipun, bila yang dirugikan tidak puas, masih dapat melakukan upaya hukum. Di Jawa Timur, pembela (kuasa hukum) jurnalis yang dituduh mencemarkan nama baik seorang pejabat setempat, juga berargumentasi demikian di pengadilan.

Bagaimanapun, tumbuhnya media watch, dipercayai, bukan dimaksudkan sebagai "lawan" pers, apalagi kemudian menjadi "tirani" baru bagi pers. Oleh sebab itu, komposisi ideal keanggotaan media watch adalah multi profesi. Media watch yang hanya berisi orang-orang pers akan cenderung melakukan pembelaan dan penguatan kepada pers dengan mengabaikan hak masyarakat. Sebaliknya, media watch yang hanya berisi

Zulfikar : Tinjauan Yuridis Mengenai Tindak Pidana Pers Dalam Persfektif Hukum Pidana Dan RUU KUHP Indonesia, 2007.

USU Repository © 2009

pakar dan pengamat dari perguruan tinggi, akan mudah menghakimi pers. Media watch yang efektif seyogianya beranggotakan sebanyak mungkin golongan dan lapisan di masyarakat, seperti tokoh pendidikan, budayawan, politikus, pengusaha, bahkan pemerintah (yang sering menjadi nara sumber). Namun keberadaan insan pers juga merupakan pelengkap yang manis dan perlu dalam media watch. Ketika semua orang bermaksud mengecam pers bebas tanpa mengerti sesungguhnya hakekat pers bebas, maka hancurlah harapan terhadap tumbuhnya masyarakat demokratis. Masyarakat media watch akan mudah tergelincir menjadi tirani baru. Unsur pers dalam media watch akan memberikan pemahaman/wawasan tentang pers dan menciptakan keseimbangan46

Dokumen terkait