Dalam menghadapi masalah dan setiap stressor yang ada, seseorang mempunyai mekanisme Koping tersendiri. Untuk mengurangi dampak stres bagi lansia pasca stroke maka diperlukan mekanisme koping yang tepat supaya tidak memperburuk kondisi kesehatan penderita penyakit stroke. Hawari (2008) menyatakan bahwa seseorang yang mengalami cidera ataupun penyakit kronis seperti stroke dapat membuat seseorang stres bahkan bila tidak segera diatasi dapat mengakibatkan depresi. Menurut Lazarus (1991) mekanisme koping merupakan cara yang dilakukan individu dalam menyelesaikan masalah, menyesuaikan diri terhadap perubahan dan respons terhadap situasi yang mengancam.
Ketiga lansia pasca stroke mempunyai mekanisme koping yang berbeda, hal ini sesuai dengan hasil penelitian ditemukan bahwa ketika pertama kali mengetahui stroke, lansia menyangkal dirinya mengalami stroke, ketiga partisipan kaget dan tidap percaya, ketiga partisipan juga
merasa kecewa dan marah. Hasil penelitian yang ditemukan sesuai dengan pernyataan Gillen (2006) bahwa mekanisme koping digunakan denial karena individu menyangkal bahwa dirinya mengalami penyakit stroke dengan kelumpuhan, sehingga individu merasa tidak percaya dengan stroke yang dialaminya.
Ketiga partisipan menyangkal bahwa mereka terkena stroke dengan sedih, kecewa, pasrah dan merasa dirinya tidak berarti lagi, bahkan berkeinginan bahwa lebih baik untuk mengakhiri hidupnya saja. Gillen (2006) juga menyatakan bahwa seseorang yang mengalami stroke akan merasa sedih dimana seseorang yang mengalami kelumpuhan akan merasa dirinya tidak ada artinya lagi.
Pada penelitian ini ditemukan satu partisipan masih ada perasaan marah saat mengetahui dirinya terkena stroke dan hingga tinggal dipanti masih memiliki perasaan marah, perasaan marah diatas dapat berdampak buruk pada kondisi kesehatannya. Mekanisme yang digunakan adalah confrontative coping karena seseorang mengalihkan perasaannya atau mengubah perasaanya dengan rasa marah yang cukup tinggi kepada orang lain atau barang yang ada disekitarnya (Gillen, 2006).
Upaya yang dilakukan untuk mengatasi rasa marahnya partisipan mengalihkannya dengan berdoa. Lebih lanjut, penelitian yang dilakukan Gillen (2006) mekanisme koping yang digunakan adalah positive reintrepretation karena dalam mengalihkan emosinya individu mencari makna positifnya dengan melibatkan diri ke hal-hal yang religious. Menurut Carver., dkk (dalam Hapsari, 2002) perilaku partisipan tersebut termasuk dalam Emotion Focused Coping dalam bentuk mengingkari (denial), yaitu mengingkari masalah yang dihadapi, ketidaketujuan dan ketidakpercayaan atau pengingkaran terhadap suatu masalah.
Menurut peneliti, mekanisme koping pada lansia pasca stroke yang paling menonjol dan sering diungkapkan lansia dalam penelitian ini adalah mendekatkan diri kepada Tuhan (berdoa dan beribadah) dan berusaha menerima kondisinya. Hal tersebut sesuai dengan hasil penelitian Gillen (2006) tentang mekanisme koping yaitu possitive reinterpretation dimana individu mengartikan situasi stres dengan pandangan positif dan berusaha mencari makna positif dari permasalahan dengan melibatkan diri pada hal-hal yang bersifat religius. Lansia pasca stroke dalam penelitian ini merasa harus
menerima keadaan dirinya dan lebih mendekatkan diri pada Tuhan. Dari ungkapan partisipan ini memiliki keterkaitan dengan peneliian Carlsson., dkk (2009) menyatakan bahwa dalam mekanisme coping penderita stroke possitive reinterpretation merupakan me jenis koping adaptif yang bersifat konstruktif dan dapat memberikan pengaruh positif pada kesehatan psikologis lansia serta merupakan emotion focused coping dalam bentuk possitive reinterpretation.
Dalam mengahadapi stres pasca stroke ketiga lansia di panti juga melakukan beberapa hal yang menurut peneliti merupakan upaya koping seperti berobat ke dokter, mencari informasi tentang jenis makanan yang boleh dikonsumsi pasca stroke, serta mengikuti terapi. Menurut Gillen (2006) hal tersebut merupakan proses Acceptance atau usaha untuk menyadari tanggung jawab diri sendiri dalam permasalahan yang dihadapi dan mencoba menerimanya untuk membuat semuanya menjadi lebih baik. Peneliti menyimpulkan gaya mekanisme koping acceptance telah dilakukan ketiga riset dalam penelitian ini. Berdasarkan hasil penelitian RP I cenderung melakukan usaha-usaha sebagai bentuk penerimaan dan tanggung jawab terhadap kondisinya
seperti melakukan latihan fisik dengan berlatih untuk berjalan dan berusaha melakukan kegiatan sehari-hari secara mandiri dengan harapan dapat sembuh.
Pada lansia yang menjadi riset partisipan upaya-upaya yang dilakukan sebagai bentuk penerimaan dan tanggung jawab terhadap kondisinya adalah memeriksakan diri dan berobat ke dokter serta mengikuti terapi medis. Sedangkan usaha yang dilakukan riset partisipan tiga adalah mengkonsumsi obat-obat tertentu demi mendukung proses penyembuhan. hasil penelitian tersebut sejalan dengan Gillen (2006) gaya koping lain yang digunakan adalah active coping atau mencakup memulai tindakan secara langsung dalam meningkatkan usaha untuk mengatasi sumber stresnya. Pernyataan tersebut didukung penelitian yang dilakukan Wahyuni, Ridwan, & Oktaria, A. (2009) bahwa seseorang dengan stroke berupaya mengatasi stresnya dengan melakukan pengobatan dan melakukan tindakan secara langsung terhadap sumber stresnya termasuk dalam metode koping problem emotion focused dalam bentuk active coping.
Selain itu, dengan pengetahuan mengenai penyebab stroke yang mereka alami yaitu mengenai makanan yang
dapat memicu stroke berulang, mereka mulai mengatur pola makan dengan baik, dengan tidak mengkonsumsi makanan yang dulu mereka konsumsi saat belum terserang stroke. Hal ini senada dengan penelitian Rayanti, Ferry F. Karwur dan Juliana D. Karwur (2015) bahwa ada perubahan pasien pasca stroke terutama dalam kebiasaan makannya untuk mencegah stroke berulang. Upaya yang dilakukan oleh partisipan adalah active coping atau mencakup memulai tindakan secara langsung dalam meningkatkan usaha untuk mengatasi sumber stresnya (Gillen, 2006).
Berdasarkan hasil wawancara dan observasi, lansia cenderung melakukan tindakan secara langsung dalam meningkatkan usaha untuk mencegah stres yang timbul akibat penyakit yang dialami seperti: memeriksakan diri ke dokter dan mengikuti terapi khusus, menonton TV, serta menelpon keluarga disaat merasa kesepian. Selain itu upaya lain yang dilakukan oleh adalah mencari dukungan emosional dengan berbicara dengan orang lain, teman, dan orang sekitarnya dalam upaya mendapatkan motivasi dan semangat. Lansia mengaku merasa senang apabila mendapatkan kunjungan dari orang lain dan mendapatkan teman untuk berbagi cerita. Dari hasil penelitian di atas
didukung oleh pernyataan Setiti (2007) dalam penelitianya yang menyebutkan bahwa Lansia membutuhkan kebutuhan psikis diantaranya yaitu dukungan emosional dimana Lansia butuh lingkungan yang mengerti dan memahami mereka. Lansia membutuhkan teman untuk bicara, sering dikunjungi, dan sering disapa. Lansia juga butuh rekreasi dan silaturahmi dari kerabat.
Sementara itu, pernyataan Gillen (2006) bahwa mencari dukungan emosional (seeking emotional support) yaitu mencari dukungan moral, simpati, pengertian dengan mengungkapkan perasaannya kepada orang lain dengan mencari lawan bicara untuk mengatasi masalah, baik masalah kesepian, stres dan untuk mengatasi kesedihan.
Menurut peneliti gaya koping yang digunakan lansia pasca stroke berdasarkan hasil penelitian di area penelitian termasuk jenis koping adaptif dan bersifat konstruktif artinya dapat memberikan pengaruh positif bagi kesehatan psikologis lansia-lansia tersebut. Meskipun pada awal terkena serangan stroke muncul gaya koping maladaptif seperti marah, putus asa, merasa tidak berdaya, sulit untuk menerima perubahan pada diri
sendiri. Hal tersebut sesuai dengan Stuart (2013) dikatakan seseorang mengalami adaptasi adaptif bila orang tersebut mampu menyelesaikan masalah yang dihadapi dengan mampu berinteraksi dengan orang lain.
Dalam hal ini, seiring proses adaptasi para lansia pasca stroke lebih menggunakan gaya koping adaptif. Menurut peneliti perubahan gaya koping maladaptif ke adaptif dapat dipengaruhi lingkungan serta dukungan sosial yang diterima. Ibadah yang diadakan di area penelitian setiap 2 kali dalam seminggu serta kunjungan-kunjungan yang diterima dapat berpengaruh dalam perubahan gaya koping tersebut. Hasil sesuai dengan teori Lazarus, 1984 dalam Jaya (2015) yang menyatakan bahwa gaya koping individu dapat dipengaruhi oleh dukungan sosial yang diterima, dukungan ini meliputi dukungan pemenuhan kebutuhan emosional dan informasi pada diri individu yang diberikan keluarga, saudara, teman dan lingkungan sekitar tempat tinggal. Selain itu juga dukungan sosial merupakan faktor yang berperan dalam meningkatkan penerimaan diri pada penderita pasca stroke.
Hasil penelitian juga menunjukan bahwa peran orang tinggal dengan lansia di panti peran yang lebih banyak dalam proses penerimaan diri pada lansia pasca stroke karena dalam kesehariannya lansia di panti setiap harinya bersama penghuni panti. Proses penerimaan diri didukung juga dari kunjungan-kunjungan luar panti seperti pastor dan pendeta dalam pemenuhan kebutuhan spiritual mereka. Berdasarkan dari hasil pernyataan diatas bahwa dukungan orang yang ada disekitar mereka mempunyai peran yang lebih tinggi dalam proses penerimaan lansia pasca stroke.
Didukung oleh penelitian yang dilakukan Masyitnah (2012) yang menyatakan bahwa ada hubungan antara dukungan sosial dan penerimaan diri pada penderita pasca stroke. Artinya ada hubungan positif antara dukungan sosial dengan penerimaan diri, semakin tinggi dukungan sosial yang diberikan pada penderita pasca stroke, maka semakin tinggi pula penerimaan diri yang dimunculkan oleh penderita dan sebaliknya, semakin rendah dukungan sosial yang diberiksn maka semakin rendah pula penerimaan diri yang dimunculkan penderita pasca stroke.