• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.2 Mekanisme Nyeri

Nyeri merupakan suatu bentuk peringatan akan adanya bahaya kerusakan jaringan. Nyeri pada umumnya dapat dibagi menjadi 2 bagian besar, yaitu: nyeri adaptif dan nyeri maladaptif. Nyeri adaptif berperan serta dalam proses bertahan hidup dengan melindungi organisme dari cedera berkepanjangan dan membantu proses pemulihan. Sebaliknya, nyeri maladaptif merupakan bentuk patologis dari sistem saraf26. Pengalaman sensoris pada nyeri akut disebabkan oleh stimulus noksious yang diperantarai oleh sistem sensorik nosiseptif. Sistem ini berjalan mulai dari perifer melalui medulla spinalis, batang otak, talamus, dan korteks serebri. Apabila telah terjadi kerusakan jaringan, maka sistim nosiseptif akan

bergeser fungsinya, dari fungsi protektif menjadi fungsi yang membantu perbaikan jaringan yang rusak 19,26.

Nyeri inflamasi merupakan salah satu bentuk untuk mempercepat perbaikan kerusakan jaringan. Sensitivitas akan meningkat, sehingga stimulus non noksious atau noksious ringan yang mengenai bagian yang meradang akan menyebabkan nyeri. Nyeri inflamasi akan menurunkan derajat kerusakan dan menghilangkan respon inflamasi 26.

Nyeri inflamasi merupakan bentuk nyeri yang adaptif namun demikian pada kasus-kasus cedera elektif (misalnya: pembedahan), cedera karena trauma, atau rheumatoid arthritis, penatalaksanaan yang aktif harus dilakukan. Tujuan terapi adalah menormalkan sensitivitas nyeri. Nyeri maladaptif tidak berhubungan dengan adanya stimulus noksious atau penyembuhan jaringan. Nyeri maladaptif dapat terjadi sebagai respon kerusakan sistem saraf (nyeri neuropatik) atau sebagai akibat fungsi abnormal sistim saraf (nyeri fungsional) 26.

Berbagai mekanisme yang mendasari munculnya nyeri telah ditemukan, mekanisme tersebut adalah: nosisepsi, sensitisasi perifer, perubahan fenotip, sensitisasi sentral, eksitabilitas ektopik, reorganisasi struktural, dan penurunan inhibisi. Pada kasus nyeri nosiseptif terdapat proses transduksi, transmisi, dan persepsi. Transduksi merupakan konversi stimulus noksious termal, mekanik, atau kimia menjadi aktivitas listrik pada akhiran serabut sensorik nosiseptif. Proses ini diperantarai oleh reseptor ion channel yang spesifik. Konduksi merupakan perjalanan aksi potensial dari akhiran saraf perifer ke sepanjang akson menuju akhiran nosiseptor di sistem saraf pusat. Transmisi merupakan bentuk transfer sinaptik dari satu neuron ke neuron lainnya. Kerusakan jaringan akan memacu pelepasan zat-zat kimiawi (mediator inflamasi) yang menimbulkan reaksi inflamasi yang diteruskan sebagai sinyal ke otak. Sinyal nyeri dalam bentuk impuls listrik akan dihantarkan oleh serabut saraf nosiseptor tidak bermielin (serabut C dan δ) yang bersinaps dengan neuron di kornu dorsalis

medulla spinalis. Sinyal kemudian diteruskan melalui traktus spinotalamikus ke korteks serebri, dimana nyeri dipersepsi, dilokalisir, dan diintepretasikan 26.

2.2.1 Sensitisasi perifer

Cidera dan inflamasi jaringan akan menyebabkan munculnya perubahan lingkungan kimiawi pada akhiran nosiseptor. Sel yang rusak akan melepaskan komponen intraselulernya seperti adenosin trifosfat dan ion K+, pH menurun, sel inflamasi akan menghasilkan sitokin, chemokine, dan growth factor. Beberapa komponen tersebut di atas akan langsung merangsang nosiseptor (nociceptor activators), dan komponen lainnya akan menyebabkan nosiseptor menjadi lebih hipersensitif terhadap rangsang berikutnya (nociceptor sensitizers). Sebagai contoh: adenosin trifosfat dilepaskan oleh sel yang cidera dan merangsang reseptor purin P2x3, danmengaktifkan nosiseptor. Secara berututan prostaglandin E2 (sebuah bentuk prostanoid) dan nerve growth factor berikatan pada reseptor prostaglandin E dan tirosin kinase A, menyebabkan sensitisasi pada terminal nosiseptor tanpa langsung menimbulkan aktivitas nosiseptor. Bradikinin akan mengaktifkan dan mensensitisasi nosiseptor dengan berikatan pada reseptor B2

yang hanya terjadi setelah cidera ataupun inflamasi 26.

Pembentukan prostanoid pada tempat cidera merupakan komponen utama reaksi inflamasi. Prostanoid terbentuk dari asam arakidonat dari membran fosfolipid oleh fosfolipase A2. Cyclooxygenase-2 (COX-2) berperan mengkonversi asam arakidonat menjadi prostaglandin H, yang kemudian dikonversi menjadi spesies prostanoid yang spesifik, misalnya prostaglandin E2.

Cyclooxygenase-2 (COX-2) dipicu oleh interleukin 1-β dan tumor necrosis factor-α, yang keduanya terbentuk beberapa jam setelah permulaan inflamasi, sehinggaobat anti inflamasi yang selektif menghambat COX-2 tidak efektif pada nyeri nosiseptif atau inflamasi yang berlangsungcepat 26.

Komponen sensitisasi, misalnya prostaglandin E2 akanmereduksi ambang aktivasi nosiseptor dan meningkatkankepekaan ujung saraf dengan cara berikatan pada reseptor spesifik di nosiseptor. Aktivasi adenil siklase olehprostaglandin E

akan meningkatkan kadar adenosine monofosfatsiklik, dan mengaktifkan protein kinase A. Proteinkinase A dan protein kinase C akan menfosforilasi asam amino serine dan threonin. Fosforilasi akan menyebabkan perubahan aktivitas reseptor dan ion channel yang dramatik 26.

Berbagai komponen yang menyebabkan sensitasi akan muncul secara bersamaan (prostaglandin E2, nerve growth factor, dan bradikinin), penghambatan hanya pada salah satu substansi kimia tersebut tidak akan menghilangkan sensitisasi perifer. Sensitisasi perifer akan menurunkan ambang rangsang, dan berperan besar dalam meningkatkan sensitivitas nyeri di tempat cidera atau inflamasi 26.

Gambar 1. Sensitisasi yang menyebabkan hiperalgesia dan allodinia

Keterangan: stimulus noksious dapat menyebabkan sensitisasi respon sistem saraf terhadap stimulus berikutnya. Respon nyeri yang normal ditunjukkan oleh kurva sebelah kanan. Pada cedera jaringan, kurva tersebut akan bergeser ke kiri, sehingga stimulus noksious dirasakan lebih nyeri (hiperalgesia), dan stimulus non noksious juga dirasakan sebagai nyeri (allodinia).

2.2.2 Sensitisasi sentral

Sama halnya dengan sistem nosiseptor perifer, maka transmisinosiseptor di sentral juga dapat mengalami sensitisasi. Sensitisasi sentral dan perifer bertanggung jawab terhadap munculnya hipersensitivitas nyeri setelah cedera.

Sensitisasisentral memfasilitasi dan memperkuat transfer sinaptik darinosiseptor ke neuron kornu dorsalis. Pada awalnya proses inidipacu oleh input nosiseptor ke medula spinalis (activity dependent), kemudian terjadi perubahan molekuler neuron(transcription dependent) 26.

Secara umum proses sensitisasi sentral serupa dengan sensitisasi perifer. Diawali dengan aktivasi kinase intraseluler, memacu fosforilasi saluran ion dan reseptor, dan terjadi perubahan fenotip neuron. Sensitisasi sentral dan perifer merupakan contoh plastisitas sistem saraf, dimana terjadi perubahan fungsi sebagai respon perubahan input (kerusakan jaringan). Dalam beberapa detik setelahkerusakan jaringan yang hebat akan terjadi aliran sensoris yang massif ke dalam medulla spinalis, ini akan menjadikan jaringan saraf di dalam medulla spinalis menjadi hiperresponsif. Reaksi inimenyebabkan munculnya nyeri akibat stimulus non noksious(misalnya: nyeri akibat sentuhan ringan), dan daerah yang jauh dari jaringan cedera juga menjadi sensitif rangsangan nyeri (hiperalgesia sekunder) 26.

Sensitisasi sentral membutuhkan aktivitas nosiseptor yang singkat dengan intensitas yang tinggi, misalnya: irisan kulit dengan skalpel. Sensitisasi sentral dapat juga terjadi akibat sensitisasi nosiseptor akibat inflamasi, dan aktivitas ektopikspontan akibat cidera saraf. Sensitisasi sentral merupakanurutan kejadian di kornu dorsalis yang diawali dengan pelepasan transmiter dari nosiseptor, perubahan densitas reseptor sinaptik, perubahan ambang, yang kesemuanya meningkatkan transmisi nyeri. Salah satu reseptor yang berperan utama dalam perubahan ini adalah reseptor N-Methyl D-Aspartat (NMDA). Selama proses sensitisasi sentral, reseptor ini akan mengalami fosforilasi, dan meningkatkan kepekaannya terhadap glutamat. Respon berlebih pada glutamat ditandai oleh hilangnya blokade ion Mg2+ dan terjadi pembukaan ion channel yang lebih lama. Eksitabilitas membran dapat diaktifkan baik oleh input yang di bawah

(subtreshold), dan respon berlebih pada input di atas ambang (supratreshold).

ambang (allodinia), dan respon nyeri berlebih akibat rangsang nyeri (hiperalgesia), serta perluasan sensitivitas area yang tidak cedera (hiperalgesia sekunder) 26.

Dokumen terkait