• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISA DATA

A. Mekanisme Pelaksanaan Kerjasama Bagi Hasil Pemilik dan Pekerja di Kampung Bima Sakti

Masyarakat Kampung Bima Sakti melakukan terobosan dalam pemenuhan kebutuhan hidup mereka sehari-hari yakni melalui kerjasama bagi hasil dibidang perkebunan. Kerjasama bagi hasil perkebunan merupakan suatu kerjasama yang dilakukan oleh para petani, baik itu petani pekerja maupun pemilik lahan. Sebelum terjadinya kerjasama bagi hasil tersebut, mereka melakukan suatu akad atau perjanjian tentang bagaimana sistem kerjasama serta bagaimana sistem bagi hasilnya.

Tujuan dari adanya kerjasama bagi hasil ini adalah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan untuk membantu masyarakat yang tidak memiliki pekerjaan atau tanah garapan serta untuk meringankan pekerjaan para pemilik kebun. Kerjasama bagi hasil dapat menjadi solusi bagi pemilik kebun dan petani pekerja yang sama-sama membutuhkan dimana pemilik kebun membutuhkan petani pekerja untuk mengelola kebun miliknya sedangkan petani pekerja membutuhkan kebun untuk dapat dikerjakan.

Bercocok tanam baik dalam bidang pertanian maupun perkebunan merupakan kegiatan yangt membutuhkan keahlian khusus bagi orang yang hendak melakukannya, oleh karenanya tidak semua orang dapat melakukannya. Pihak yang memiliki kebun dan tidak mempunyai kemampuan dalam mengelolanya

dengan suka rela memberikan kepercayaan kepada petani pekerja yang mempunyai keahlian dalam bidang pertanian dan tidak mempunyai kebun untuk di kelolanya. Adapun faktor-faktor yang dapat mempengaruhi sistem bagi hasil perkebunan pada masyarakat diantaranya:

1. Merupakan pekerjaan yang dapat membantu menambah penghasilan 2. Merupakan pekerjaan turun temurun dari orang-orang terdahulu

3. Kurangnya keterampilan lain yang dimiliki masyarakat untuk bercocok tanam atau bertani lainnya.

4. Kurangnya ekonomi masyarakat Kampung Bima Sakti untuk memiliki lahan perkebunan sendiri.

Sebagaimana yang telah dijelaskan pada BAB III dapat dipahami bahwa pelaksanaan kerjasama bagi hasil perkebunan karet di Kampung Bima Sakti terdiri dari 2 cara yaitu pihak pemilik kebun menyerahkan lahan yang sudah menjadi kebun karet kepada petani pekerja dan pihak pemilik kebun menyerahkan tanah kosong kepada petani pekerja untuk dijadikan lahan karet.

1. Pihak pemilik kebun menyerahkan lahan yang sudah menjadi kebun karet kepada petani pekerja

Praktek kerjasama bagi hasil di Kampung Bima Sakti Kecamatan Negeri Besar Kabupaten Way Kanan pada umumnya dilakukan berdasarkan kebiasaan adat setempat yang berlaku, yakni perjanjian kerjasama bagi hasil tersebut dilakukan secara lisan atau tidak tertulis. Perjanjian kerjasama bagi hasil tersebut di Kampung Bima Sakti selama ini dilakukan atas dasar kepercayaan dan

kesepakatan antara petani pemilik kebun dan petani pekerja. Sehingga untuk sah atau tidaknya tersebut hanya berdasarkan kesepakatan antara kedua belah pihak.

Kerjasama bagi hasil perkebunan karet pada dasarnya sudah menjadi kebiasaan masyarakat dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari bersama keluarganya. Pada prinsipnya kerjasama bagi hasil di kampung bima sakti yaitu hasil perkebunan dibagi menjadi 2 bagian yakni, sebagian pembagian kerjasama 60% untuk pemilik kebun dan 40% untuk petani pekerja dan semua biaya perawatan, biaya pupuk, biaya obat-obatan ditanggung oleh pemilik kebun, 50% pemilik kebun dan 50% persen petani pekerja jika biaya pupuk, biaya perawatan, biaya obat-obatan di lakukan bersama-sama.Namun pada umumnya masyarakat kampung bima sakti melakukan kerjasama 60%-40%.

Berdasarkan hasil penelitian terdapat beberapa responden yang melaksanakan kerja sama bagi hasil dengan cara menggarap yang sudah menjadi kebun atau dalam istilah masyarakat ngurus kebun. Dari 20 petani pekerja semuanya melaksanakan kerjasama tersebut. Dalam hal pelaksanaannya seperti yang dilakukan oleh bapak Ikhsan kerjasama ini pada umumnya yaitu pemilik kebun mencari orang yang dipercaya untuk mengelola dan mengerjakan kebun karet miliknya tau sebaliknya. Akan tetapi hal yang terpenting dari kerjasama tersebut yaitu kesepakatan antara keduannya, dimana sang pemilik tanah menyerahkan kebun karetnya kepada petani pekerja untuk dikelola dan dirawat, kemudian hasil yang diperoleh dari kebun tersebut dibagi sesuai dengan kesepakatan sebelumnya.

2. Pihak pemilik kebun menyerahkan tanah kosong kepda petani penggarap untuk dijadikan kebiun karet

Pada pembahasan sebelumnya di Bab III telah dijelaskan bahwa kerjasama dalam bidang perkebunan yang dilakukan oleh kedua belah pihak, baik secara lisan maupun tertulis dengan bagi hasil yang disepakati. Adat atau kebiasaan yang telah dilakukan oleh petani di kampung bima sakti bibit, biaya penanaman, biaya penggarapan, obat-obatan, serta peralatan semua berasal dari petani pekerja. Untuk pembagian hasil dalam kerjasama ini yaitu dengan cara 5 kali panen hasil sepenuhnya menjadi milik petani pekerja atau dalam istilah masyarakat setempat yaitu 5 kali panen perai.

Setelah selesai 5 kali panen maka akan dibuat perjajian baru atau akad baru dengan sistem pembagian hasil sama dengan sistem kerjasama pada lahan yang sudah menjadi kebun yaitu 2 bagian 60% untuk petani pekerja 40% untuk pemilik kebun. Selain dengan menggunakan sistem tersebut, pembagian hasil juga bisa menggunakan sistem sataran. Namun di Kampung Bima Sakti masyarakat tidak tertarik menggunakan sistem ini, kebanyakan menggunakan sistem yang awal. Setelah itu akan diadakan musyawarah untuk membuat akad baru atau menghentikan kerjasama.

Berdasarkan pendapat para ulama syafi‟iyah merujuk pada rukun-rukun dan syarat-syarat bagi hasil sebagai berikut:

1. Shighat

Shighat yang dilakukan kadang-kadang dengan jelas (sharih) dan dengan samaran (kinayah). Disyaratkan shighat dengan lafazh dan tidak cukup dengan perbuatan saja.

Dalam prakteknya dilapangan, pada umumnya dilakukan berdasarkan hukum adat setempat yang berlaku yakni perjanjian dilakukan secara lisan atau tidak tertulis atas dasar suka sama suka dan lebih mengutamakan unsur kepercayaan. Dengan cara pihak penggarap datang menemui pemilik kebun dengan pernyataan ingin mengurus kebunya dengan perjanjian sistem bagi hasilnya menggunakan akad lisan tanpa menggunakan akaad atau perjanjian tertulis. Sedangkan dalam Islam Allah SWT menyebutkan dalam al-Qur‟an suarty Al-Baqarah ayat 282:

Dengan demikian jelaslah bahwa Islam menganjurkan akad kerjasama harus dilakukan secara tertulis dan tidak dilakukan secara lisan agar terhindar dari hal-hal yang bisa merugikan dalam suatu kerjasama.

2. Dua orang atau pihak yang berakad(al-„aqidani).

Disyariatkan bagi orang-orang yang berakad dengan ahli (mampu) untuk mengelola akad, seperti baligh, berakal, dan tidak berada dibawah pengampuan.

Dari penelitian lapangan, pihak yang berakaddi Kampung Bima Sakti yaitu petani pemilik lahan dan petani pekerja. Artinya rukun dan syarat dari pihak yang berakad adalah adanya aqad antara pemilik kebun dan petani pekerja yang melakukan praktek kerjasama.

3. Kebun dan semua pohon yang berbuah

Semua pohon yang berbuah boleh diparokan (bagi hasil), baik yang berbuahnya satu kali kemudian mati, seperti padi jagung, padi dan yang lainnya. Pada dasarnya musaqoh adalah dikhususkan pada tanaman perkebunan yang pohonya berakar kuat dan berusia minimal satu tahun. Dengan demikian, jenis tanaman yang akan menjadi objek penelitian haruslah jelas wujudnya. Kebun yang diparokan atau yang menjadi objek kerjasama musaqoh dalam penelitian ini adalah perkebunan karet. Hal ini menunjukkan bahwa tanaman karet merupakan pohon yang bisa diambil manfaatnya meskipun karet bukan tanaman yang diambil buahnya tetapi karet dapat diambil getahnya dan tanaman karet berusia lebih dari satu tahun. Sehingga kebun yang diparokan tersebut sesuai dengan rukun dan syarat musaqoh.

4. Masa Kerja

Adapun kaitannya dengan jangka waktu kerjasama ini yaitu dijelaskan juga dalam Q.S al-Qashash (28): 28 sebagai berikut:

َلاَك

اٍَذيَل ٰۖ َمَِۡيَبَو ِنِۡيَة َمِوََّٰذ

ِ ۡينَيَجَ ۡلۡٱ

َو ٰۖ ذَ َلَىٰ َنََّٰوۡدُغ َلَٗف ُجۡي َضَك

ُ ذلِلّٱ

ََّٰ َلَىٰ

ٞويِمَو ُلُٔلَن اٌَ

٢٨

Artinya : Dia (Musa) berkata: "Itulah (perjanjian) antara aku dan kamu. mana saja dari kedua waktu yang ditentukan itu aku sempurnakan, Maka tidak ada tuntutan tambahan atas diriku (lagi). dan Allah adalah saksi atas apa yang kita ucapkan".

Masa kerja dalam hal ini berkaitan dengan jangka waktunya.Adapun kaitannya dengan jangka waktu kerjasama perkebunan kopi sebagaimana yang diperoleh dilapangan bahwa dalam kerjasama yang dilakukan oleh masyarakat Kampung Bima Sakti terdapat 95,5% yang tidak ditentukan jangka waktunya. Kerjasama dalam perkebunan karet bisa berlangsung lama dan juga bisa berlangsung sangat cepat tergantung kemampuan pekerja.

5. Buah

Sebagaiamana dijelaskan pada bab bab sebelumnya bahwa pelaksanaan kerjasama perkebunan karet atau musaqoh dalam hal pembagian hasil panen yaitu sepakat di awal akad dengan pembagian persentase yaitu 60 persen untuk pemilik kebun dan 40 persen untuk petani pekerja. Selain itu ada juga responden yang melakukan kesepakatan 50 persen untuk pemilik kebun dan 50 persen untuk petani pekerja dengan syarat pembelian pupuk, perawatan dan biaya obat-obatan ditanggung bersama.

Dari penelitian yang dilakukan penulis menunjukkan bahwa pelaksanaan kerjasama bagi hasil yang dilakukan oleh masyarakat Kampung Bima Sakti baik untuk kerjasama pada lahan yang sudah menjadi kebun ataupun lahan kosong merupakan kerjasama yang dibolehkan dalam Islam. Akan tetapi untuk bentuk

sighat, masa kerja dan buah atau pembagian hasil pada kerjasma tersebut masih

belum sepenuhnya sesuai dengan konsep musaqoh dalam Islam. Meskipun demikian, pelaksanaan tersebut merupakan adat atau kebiasaan masyarakat setempat yang dilakukan secara turun temurun sehingga dari adat atau kebiasaan

tersebut akan terus berkembang dan dapat menjadi sebuah ketentuan hukum yang sifatnya tidak tertulis.

Untuk memenuhi kebutuhan hukum yang terdapat di dalam Al-Qur‟an dan Sunnah Rasul, demikian pula untuk memperoleh ketentuan-ketentuan hukum mu‟amalah yang baru timbul sesuai dengan perkembangan masyarakat, diperlukan sebuah pemikiran-pemikiran baru yang berupa ijtihad yang termasuk didalamnya adat kebiasaan yang mempunyai peranan penting dalam kehidupan masyarakat.

Adat atau kebiasaan dapat dijadikan hukum apabila memenuhi syarat-syarat yaitu: perbuatan yang dilakukan logis dan relevan dengan akal sehat yang menunjukkan bahwa „adah tidak mungkin berkenaan dengan maksiat; perbuatan maupun perkataan yang dilakukan berulang ulang; tidak bertentangan dengan ketentuan nash al-Quran dan Hadits; dan tidak mendatangkan kemudharatan. Apabila adat istiadat dapat memenuhi semua kriteria tersebut, maka termasuk „urf yang dapat dijadikan sumber hukum ijtihad.

Berdasarkan uraian diatas penulis menyimpulkan bahwa dasar hukum yang digunakan dalam perjanjian kerjasama penggarapan kebun karet (paroan) di kampung bima skati adalah „urf atau „adah. „urf adalah apa yang biasa dijalankan orang, baik dalam kata-kata maupun perbuatan yang identik dengan adat kebiasaan. „urf secara bahasa yakni sesuatu yang dipandang baik dan diterima oleh akal sehat. Sedangkan secara istilah „urf adalah sesuatu yang telah dikenal oleh orang banyak dan telah menjadi tradisi mereka.

Para ulama yang mengamalkan „urf dalam memahami dan mengistimbatkan hukum, menetapkan beberapa persyaratan untuk diterimanya „urf yaitu:

1. Adat atau „urf itu bernilai maslahat dan dapat diterima akal sehat

2. Adat atau „urf itu berlaku umum dan merata dikalangan orang-orang yang berada dalam lingkungan adat itu, atau dikalangan sebagian besar warganya.

3. „urf yang dijadikan sandaran dalam penetapan hukum itu telah ada (berlaku) pada saat itu, bukan „urf yang muncul kemudian.

4. Adat tidak bertentangan dan melalaikan dalil syara‟ yang ada atau bertentangan dengan prinsip yang pasti.

5. „urf itu harus „urf yang shahih dalam arti tidak bertentangan dengan ajaran al-Qur‟an dan Sunnah Rasulullah.

Berdasarkan pandangan diatas, maka penulis analisa bahwa tradisi atau kebiasaan kerjasama bagi hasil perkebunan karet dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat Kampung Bima Sakti Kecamatan Negeri Besar dalam pandangan Islam adalah „urf shahih yaitu sesuatu yang saling dikenal oleh manusia, dan tidak bertentangan dengan dalil syara‟, tidak menghalalkan sesuatu yang diharamkan dan tidak pula membatalkan sesuatu yang wajib. Tradisi kerjasama bagi hasil perkebunan karet di Kampung Bima Sakti ini sudah dikenal dan sebgaian besar masyarakat Kampung Bima Sakti melaksanakan tradisi ini serta tradisi ini tidak bertentangan dengan dalil-dalil syara‟ ataupun tidak menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang wajib.

Dalam hal sistem pembagian hasil dengan sataran yang dipaktekkan di Kampung Bima Sakti diterapkan sesuai dnegan penghasilan yang didapatkan. Dalam konsep musaqoh, mensyaratkan jumlah tertentu dari hasil panen bagi salah satu pihak, misalnya seperdua dan sebagainya, atau bagian petani pekerja, misalnya, dalam bentuk uang, sehingga makna al-musaqah sebagai serikat dalam hasil penen tidak ada lagi. Namun, pelaksanaan pembagian hasil denganh sataran ini dilakukan atas dasar suka sama suka atau rela (antaradimminkum) antara kedua belah pihak sehingga makna musaqah masih tetap ada.

Selain itu dalam penelitian lapangan juga ditemukan penerapan sistem untuk lahan kosong yaitu dengan 5 kali panen sama dengan masyarakat seluruh hasil panen menjadi milik salah satu pihak yang berakad, sehingga makna serikat tidak ada dalam akad itu, akan tetapi, masyarakat Kampung Bima Sakti melakukannya atas dasar suka sama suka, dan menurut kebiasaan setempat, sehingga kerjasama tersebut dapat tergolong kerjasama yang sah. Namun, masih perlu diperlukan bimbingan dan sosialisasi tentang kerjasama yang sedang dijalankan.

Apabila terjadi perselisihan pada saat kerjasama berlangsung adalah dengan cara adanya sikap toleransi antara kedua belah pihak. Begitu juga apabila di Kampung Bima Sakti antara pemilik lahan penggarap terjadi perselisihan atau sengketa, biasanya hal tersebut terjadi akibat kesalahpahaman diantara kedua belah pihak maka solusi yang biasa dilakukan adalah dengan cara musyawarah bersama antara kedua belah pihak. Namun, apabila dnegan cara musyawarah tidak terselesaikan maka jalan tengahnya adalah meminta tolong kepada tokoh setempat untuk menengahi atau mendamaikannya. Sedangkan apabila terjadi gagal panen

ataupun hasil yang didapatkan hanya sedikit maka pihak petani pekerja dan pemilik kebun bisa melakukan musyawarah untuk pembagian hasilnya bahkan penggarap dapat melakukan penangguhan pembagian hasil.

B. Analisis Penerapan Pola Bagi Hasil Pemilik Dan Pekerja Dalam