• Tidak ada hasil yang ditemukan

Mekanisme Resistensi M. tuberculosis Terhadap OAT

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.6 Mekanisme Resistensi M. tuberculosis Terhadap OAT

Mycobacterium tuberculosis merupakan kuman obligat aerob dan pertumbuhannya memerlukan oksigen konsentrasi tinggi. Pada lesi kavitas parenkim paru yang mempunyai oksigen konsentrasi tinggi, M. tuberculosis bereplikasi dengan cepat (Chiang, 2013). Resistensi terhadap OAT bukanlah fenomena yang baru terjadi. Sejak pertama kali antimikroba digunakan untuk pengobatan TB, munculnya resistensi obat telah meningkat, sehingga antimikroba yang baru menjadi banyak digunakan di masyarakat (Enarson dan Harries, 2013). Strain M. tuberculosis resisten terhadap strepromisin segera muncul setelah diperkenalkannya obat untuk mengobati TB pada tahun 1944 (Zhang dan Yew, 2009).

Resisten terhadap antimikroba merupakan karakteristik innate (bawaan) M. tuberculosis. Hal ini berhubungan dengan mutasi genetik yang terjadi secara alamiah pada sebagian besar populasi M. tuberculosis wild type dimana antimikroba belum pernah digunakan dan tidak menimbulkan gejala klinis. Timbulnya gejala klinis yang signifikan disebabkan karena pemakaian antimikroba yang salah dan ini merupakan fenomena buatan manusia. Jika pasien

hanya diobati dengan 1 antimikroba saja (hanya 1 M. tuberculosis yang sensitif), M. tuberculosis yang sensitif akan mati, sedangkan M. tuberculosis yang resisten bertahan untuk memperbanyak diri sehingga seluruh populasi M. tuberculosis menjadi resisten obat. Resisten terhadap lebih dari 1 jenis antimikroba biasanya terjadi ketika antimikroba terus menerus digunakan dengan salah, sehingga M. tuberculosis yang resisten obat jumlahnya semakin banyak (Enarson dan Harries, 2013).

Gambar 2.1 Konsep Perkembangan Resistensi OAT (Sumber : Zhang & Yew, 2009)

Secara mikrobiologi resistensi disebabkan oleh mutasi genetik dan hal ini membuat obat tidak efektif melawan basil mutan. Mutasi terjadi secara spontan dan berdiri sendiri menghasilkan resistensi OAT. Pada kasus baru resisten OAT terdapat galur M. tuberculosis pada pasien baru yang didiagnosis TB dan sebelumnya tidak pernah diobati dengan OAT atau durasi kurang dari 1 bulan. Pasien ini terinfeksi galur M. tuberculosis yang resisten OAT disebut dengan resistensi primer. Kasus resisten OAT yang telah diobati sebelumnya yaitu terdapatnya galur M. tuberculosis resisten pada pasien selama mendapatkan terapi TB paling sedikit 1 bulan. Pada awalnya TB resisten OAT terjadi karena terinfeksi

galur M. tuberculosis yang masih sensitif obat tetapi selama perjalanan terapi timbul resistensi obat atau disebut dengan resistensi obat yang didapat atau resistensi sekunder. Populasi galur M. tuberculosis resisten mutan dalam jumlah kecil dapat dengan mudah diobati. Terapi yang tidak adekuat menyebabkan proliferasi dan meningkatkan populasi galur resisten obat (Hanafi dan Prasenohadi, 2010).

Mekanisme terjadinya resistensi obat yaitu:

a. Intrinsik Drug Resistance atau Natural Resistance (Resistensi Obat Intrinsik atau Resistensi Alami)

Resistensi obat intrinsik M. tuberculosis terjadi karena adanya struktur asam mikolat yang terkandung dalam dinding sel yang menyebabkan bakteri mempunyai permeabilitas yang rendah terhadap berbagai jenis bahan seperti antibiotik dan obat kemoterapi lainnya (Da Silva dan Palomino, 2011; Chiang, 2013).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada M. tuberculosis, aktivitas β -laktamase dikode oleh blaC dan blaS. Penelitian terbaru menunjukkan bahwa

dalam M. tuberculosis, Rv1698 mempunyai peranan fungsi yang sama dengan

MspA dalam resistensi intrinsik terhadap bahan hidrofilik. Tidak hanya permeabilias barier atau β-laktamase yang bertanggung jawab terhadap resistensi intrinsik tetapi juga adaptasi fisiologi yang terjadi diantara host (Da Silva dan Palomino, 2011).

b. Acquired Drug Resistance (Resistensi Obat Didapat)

Penelitian yang dilakukan Kochi et al dalam Da Silva dan Palomino (2011) menunjukkan bahwa resistensi M. tuberculosis berbeda dengan bakteri lainnya. Pada bakteri lain resistensi obat didapat umumnya terjadi melalui perpindahan horizontal dengan elemen genetik seperti plasmid, transposon atau integron. Resistensi obat didapat pada M. tuberculosis kebanyakan disebabkan oleh mutasi spontan pada gen kromosomal, menghasilkan seleksi strain M. tuberculosis resisten selama pemakaian obat yang kurang optimal (Da Silva dan Palomino, 2011; Chiang, 2013).

Menurut penelitian yang dilakukan David dalam Chiang (2013), rata-rata mutasi tiap bakteri/generasi adalah 2,56 X 10-8 untuk isoniazid, 2,95X10-8 untuk streptomosin, 2,2X10-7 untuk etambutol dan 2,25X10-10 untuk rifampisin. Penelitian lain menunjukkan bahwa rata-rata mutasi terjadi pada seleksi obat alami, tetapi pada kebanyakan OAT hal ini terjadi pada rata-rata 10-9 mutasi perbagian sel. Hal ini merupakan alasan utama mengapa OAT diberikan banyak kombinasi, karena suatu mutan beresiko mengalami 2 mutasi resisten 10-18 (Da Silva dan Palomino, 2011).

Menurut Espinal dalam Patel et al (2012) ketika diobati dengan 1 jenis obat, populasi basil TB awalnya berkurang karena membunuh populasi TB yang sensitif dan pada sputum smear (apusan dahak) sering memberikan hasil yang negatif (menunjukkan bahwa organisme hanya sedikit). Organisme yang bertahan pada fase awal adalah mutan yang resisten obat, kemudian berproliferasi dan akhirnya menyebabkan seluruh populasi basil menjadi resisten obat dan terus menerus melakukan proliferasi sampai jumlah basil yang resisten obat cukup untuk menyebabkan gejala dan pada sputum smear memberikan hasil positif, inilah yang disebut dengan “fall and rise phenomenon”.

Menurut Canetti dan Crofton dalam Pinto dan Menzies (2011) jika hanya diobati dengan 1 jenis obat saja, bacillary load organisme melebihi 106 dan munculnya strain yang resisten obat pasti terjadi. Jika bacillary load melebihi 108, resistensi berkembang jika hanya 2 obat saja yang digunakan. Bacillary load yang melebihi 106 terjadi pada penderita dengan infiltrat tuberkulosis (ketika hasil apusan dahak negatif meskipun hasil kulturnya positif) dan melebihi 108 ketika kavitas ada pada penderita TB dan biasanya sputum direct smear (apusan langsung) hasilnya positif.

2.6.1 Resistensi Terhadap Isoniazid

Isoniazid merupakan salah satu obat utama dalam pengobatan TB (Zhang & Yew, 2009; Da Silva dan Palomino, 2011). Isoniazid hanya aktif melawan pertumbuhan kuman M. tuberculosis dan tidak aktif melawan yang bukan M. tuberculosis atau di dalam suasana asam (Zhang dan Yew, 2009). Isoniazid memiliki struktur yang sederhana yang berisi cincin piridin dan grup hidrazid

yang merupakan komponen penting untuk aktivitas melawan M. tuberculosis. Meskipun strukturnya sederhana, tetapi kerja isoniazid lebih rumit dan strain resisten isoniazid telah diisolasi segera setelah aktivitas anti TB diketahui. Resistensi terhadap isoniazid merupakan proses yang rumit. Mutasi pada beberapa gen termasuk katG, ahpC, inhA, kasA dan ndh telah dihubungkan dengan resistensi isoniazid (Da Silva dan Palomino, 2011).

Isoniazid merupakan pro-drug yang membutuhkan aktivasi enzim katalase/peroksidase yang dikode oleh katG (Zhang dan Yew, 2009; Da Silva dan Palomino, 2011). Aktivasi isoniazid dipengaruhi oleh sintesis asam mikolat dengan menginhibisi NADH-dependent enoyl-ACP reduktase, yang dikode oleh inhA (Da Silva dan Palomino, 2011). Mekanisme dua molekuler tersebut telah menunjukkan bahwa penyebab utama resistensi isoniazid yaitu mutasi pada katG dan mutasi pada inhA atau lebih, dalam region promoter (Zhang dan Yew, 2009; Da Silva dan Palomino, 2011).

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa dari analisa 240 alele menjelaskan hubungan resistensi isoniazid dan menemukan mutasi pada katG, inhA dan ahpC lebih kuat hubungannya dengan resistensi isoniazid, sementara mutasi pada kasA tidak ada hubungannya dengan resistensi (Da Silva dan Palomino, 2011). Frekuensi terjadinya mutasi katG dalam strain resisten isoniazid antara 50% sampai 90% dan frekuensi terjadinya mutasi inhA antara 4% sampai 83%. Oleh karena itu metode molekuler untuk mendeteksi mutasi katG atau mutasi inhA kemungkinan tidak sensitif untuk mendeteksi adanya resistensi isoniazid (Chiang, 2013).

2.6.2 Resistensi Terhadap Rifampisin

Rifampisin merupakan lipophylic ansamycin yang diperkenalkan pada tahun 1972. Oleh karena kerja antimikroba yang efisien, rifampisin dianjurkan bersama dengan isoniazid menjadi dasar pada pengobatan TB (Da Silva dan Palomino, 2011). Rifampisin merupakan obat yang paling efektif untuk melawan M. tuberculosis dan mungkin merupakan satu-satunya obat yang mampu membunuh mikroorganisme dalam semua kondisi pertumbuhan metabolik (Caminero, 2013).

Target rifampisin pada M. tuberculosis adalah sub unit βRNA (ribonucleid acid) polymerase, yang mengikat dan menginhibisi perpanjangan RNA messenger atau mRNA (Da Silva & Palomino, 2011). Karakteristik utama rifampisin adalah melawan secara aktif kuman yang sedang tumbuh dan yang lambat metabolismenya atau tidak tumbuh (Zhang dan Yew, 2009; Da Silva dan Palomino, 2011).

Resistensi rifampisin pertama kali diketahui pada tahun 1970-an, tetapi tidak mendapat perhatian sampai pada tahun 1990-an (Caminero, 2013). Mycobacterium tuberculosis yang resisten rifampisin menunjukkan adanya mutasi pada gen rpoB yang dikode β-subunit RNA polymerase. Hasil ini menyebabkan afinitas obat yang rendah dan berkembangnya resistensi. Mutasi pada hot spot region pada 81 base phare (bp) dari rpoB telah ditemukan pada sekitar 96% M. tuberculosis yang resisten rifampisin. Region ini, pada kodon 507-533, juga dikenal sebagai rifampicin resistance-determining region (RRDR). Mutasi pada kodon 531 dan 526 (Da Silva dan Palomino, 2011), 516 lebih sering dilaporkan

pada kebanyakan penelitian (Zhang dan Yew, 2009; Da Silva dan Palomino,

2011).

Beberapa studi juga melaporkan adanya mutasi di luar hot spot region rpoB dari M. tuberculosis resisten rifampisin yang diisolasi. Penelitian di Vietnam menunjukkan bahwa prevalensi mutasi resisten rifampisin pada rpoB region core (76%) sama dengan prevalensi resistensi isoniazid dengan mutasi di katG kodon 315 sebesar 76,83% (Minh et al, 2012). Hal utama yang berhubungan dengan rifampisin adalah hampir semua strain yang resisten rifampisin juga menunjukkan resisten terhadap obat lain, khususnya isoniazid (Yao et al, 2010; Da Silva dan Palomino, 2011). Untuk alasan inilah deteksi resistensi rifampisin telah diajukan sebagai surrogate molecular marker (penanda molekular pengganti) untuk MDR (Da Silva dan Palomino, 2011). Metode molekuler untuk mendeteksi mutasi rpoB pada resisten terhadap rifampisin umumnya lebih sensitif daripada metode yang digunakan untuk mendeteksi katG atau mutasi inhA untuk identifikasi mutasi isoniazid (Chiang, 2013).

2.6.3 Resistensi Terhadap Pirazinamid

Pirazinamid adalah suatu struktur analog nikotinamid dan pro-drug yang memerlukan konversi dari asam pirazinoik oleh enzim pirazinamidase (PZase) yang dikode dalam M. tuberculosis oleh gen pncA. Pirazinamid ditemukan pada tahun 1952 dan selanjutnya digunakan dalam pengobatan TB yang sebelumnya selama 9 bulan menjadi 6 bulan (Zhang dan Yew, 2009; Da Silva dan Palomino, 2011). Salah satu karakteristik pirazinamid adalah kemampuannya menginhibisi basil semi dorman yang ada dalam suasana asam ((Da Silva dan Palomino, 2011; Chiang, 2013) dan membunuh basil yang tidak dapat dibunuh oleh obat lain jika dalam suasana asam (Zhang dan Yew, 2009). Aktivitas pirazinamid meningkat dalam oksigen yang sedikit atau dalam kondisi anaerobik (Chiang, 2013).

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa pirazinamid memasuki M. tuberculosis melalui difusi pasif, dikonversi ke dalam asam pirazinoik oleh PZase dan diekskresikan oleh efflux pump yang lemah. Dalam suasana asam, proton asam pirazinoik diabsorbsi dan diakumulasi di dalam sel oleh karena efflux pump yang tidak efisien, menghasilkan kerusakan selular. Teori lain juga menyatakan bahwa asam pirazinoik dan n-propil ester menghambat sintesa asam lemak tipe 1 dalam replikasi kuman. Mutasi pada pncA merupakan mekanisme utama resistensi pirazinamid dalam M. tuberculosis. Perubahan terbanyak terjadi pada region 561 bp atau pada region 82 bp putative promoter (Da Silva dan Palomino, 2011).

2.6.4 Resistensi Terhadap Streptomisin

Streptomisin merupakan suatu antibiotika aminocyclitol glicoside yang merupaka antibiotika pertama yang digunakan dalam pengobatan TB. Streptomisin pertama kali diisolasi dari mikroorganisme tanah, Streptomyces griseus (Da Silva dan Palomino, 2011). Streptomisin menghambat sintesa protein dengan mengikat 30S subunit ribosom bakteri, menyebabkan kesalahan membaca pesan mRNA selama translasi. Resistensi streptomisin disebabkan oleh mutasi pada S12 protein yang dikode oleh gen rpsL dan 16S rRNA yang dikode gen rrs (Zhang dan Yew, 2009).

Mutasi pada rpsL (50%) dan rrs (20%) merupakan mekanisme utama pada resistensi streptomisin (Zhang dan Yew, 2009; Da Silva dan Palomino, 2011). Mutasi utama pada rpsL adalah subsitusi pada kodon 43 dari lisin ke arginin yang menyebabkan resisten yang tinggi terhadap streptomisin. Mutasi juga terjadi pada kodon 88. Mutasi gen rrs terjadi pada loop 16S rRNA yang terdiri dari 2 region ‘ nukleotida 530 dan 915 (Zhang dan Yew, 2009).

2.6.5 Resistensi Terhadap Etambutol

Etambutol, 2,2’-(1,2-ethanediyldiimino) bis-1-butanol, pertama kali digunakan pada tahun 1966 melawan TB dan bersama isoniazid, rifampisin dan pirazinamid, sebagai obat lini pertama yang digunakan untuk pengobatan TB. Etambutol aktif melawan kuman dengan mengganggu biosintesa arabinogalaktan dinding sel (Zhang dan Yew, 2009; Da Silva dan Palomino, 2011). Etambutol menghambat polymerase dinding sel arabinan dari arabinogalaktan dan lipoarabinomannan dan menyebabkan akumulasi D-arabinofuranosyl-P-decaprenol, perantara dalam biosintesa arabinan (Zhang dan Yew, 2009).

Beberapa tahun yang lalu, resistensi etambutol menunjukkan bahwa dalam M. tuberculosis gen embCAB diatur sebagi 10 kbp operon yang dikode untuk mycobacterial arabinosyl transferase. Pada penelitian isolat M. tuberculosis yang resisten etambutol, menunjukkan bahwa hampir 50% mengalami mutasi pada kodon 306 embB. Penelitian lebih lanjut yang dilakukan Sreevatsan et al menunjukkan adanya hubungan embB dengan resistensi terhadap etambutol (Da Silva dan Palomino, 2011).

2.7 Diagnosis dan Pemeriksaan Laboratorium

Diagnosis TB resisten obat dipastikan berdasarkan uji kepekaan M. tuberculosis baik secara metode konvensional maupun rapid test atau metode cepat (Ditjen PP dan PL, 2013) dan semua metode mempunyai keunggulan dan kelemahan (Ditjen Bina Upaya Kesehatan, 2012).

1. Metode Konvensional

Uji kepekaan obat pada kultur spesimen merupakan metode konvensional yang digunakan untuk mendeteksi resistensi obat lini pertama dan lini kedua

(WHO, 2013a) dengan menggunakan media cair/Mycobacterial Growth Indicator Tube (MGIT) atau media padat/Lowenstein Jensen (Ditjen PP dan PL, 2013). Pasien yang dilakukan uji kepekaan obat pada tahun 2012 hanya terjadi peningkatan sedikit dibandingkan pada tahun 2011 yaitu hanya 5,1% dari kasus baru dan 8,7% dari kasus yang pernah mendapat pengobatan (WHO, 2013a). Biakan M. tuberculosis dilakukan untuk konfirmasi diagnosa, pemantauan terapi, dan penentuan kesembuhan.

Cara proporsi media LJ merupakan salah satu cara yang terstandarisasi (Ditjen Bina Upaya Kesehatan, 2012). Media LJ merupakan modifikasi dari media Lowenstein yang dikembangkan oleh Jensen, yang menggunakan telur segar (Accumedia, 2010; Essaway et al, 2014). Jensen memodifikasi medium dengan mengganti sitrat dan fosfat, mengeliminasi congo red, dan meningkatkan konsentrasi malachite green. Pemakaian media dari telur untuk isolasi primer mycobacteria mempunyai dua keuntungan yaitu media telur dapat digunakan untuk berbagai macam tipe mycobacteria dan pertumbuhan mycobacteria pada media telur dapat digunakan untuk uji niasin (Accumedia, 2010). Medium LJ mengandung gliserol untuk pertumbuhan M. tuberculosis, sedangkan medium LJ tanpa gliserol tetapi mengandung piruvat untuk pertumbuhan Mycobacterium bovis (Ministry of Health and Family Welfare, 2009).

Prinsip prosedur media LJ yaitu: L-Asparagin dan potato meal merupakan sumber nitrogen dan vitamin dalam media LJ. Monopotasium fosfat dan magnesium fosfat meningkatkan pertumbuhan organisme dan bertindak sebagai buffer. Gliserol dan suspensi telur menghasilkan asam lemak dan protein yang dibutuhkan untuk metabolisme mycobacteria. Koagulasi dan albumin telur selama sterilisasi menghasilkan media padat untuk fungsi inokulasi. Sodium sitrat dan malachite green merupakan agen selektif untuk mencegah adanya kontaminasi dan membiarkan pertumbuhan dini mycobacteria (Accumedia, 2010).

Dalam Sjahrurachman (2010) disebutkan bahwa jumlah koloni pada permukaan media yang mengandung obat menandakan jumlah kuman yang resisten. Jumlah koloni pada permukaan media yang mengandung obat dibagi dengan jumlah koloni pada permukaan media yang tanpa obat akan menghasilkan proporsi kuman yang resisten untuk galur tersebut. Dalam Petunjuk Teknis

Pemeriksaan Biakan, Identifikasi dan Uji Kepekaan Mycobacterium tuberculosis pada Media Padat, Ditjen Bina Upaya Kesehatan (2012), disebutkan bahwa jika proporsi kuman terhadap obat tertentu dibawah 1 persen, maka kuman dinyatakan sensitif terhadap obat tersebut. Jika proporsinya ≥ 1 % maka kuman dinyatakan resisten terhadap obat tersebut. Untuk menilai proporsi kuman yang resisten, tetapkan angka tertinggi pada media tanpa obat, baik yang didapat pada hari ke 28 atau hari ke 42. Untuk media yang mengandung obat, pilih pengenceran yang menghasilkan jumlah koloni antara 20-100 sebagai prioritas utama, jika tak ada, pilih pengenceran dengan jumlah koloni 5-19.

Berdasarkan kriteria diatas, proporsi (penetapan resistensi) dapat dihitung sbb:

% resistansi = Jumlah koloni pada media dengan obat

Jumlah koloni pada media tanpa obat X 100%

Uji kepekaan obat konvensional merupakan gold standar atau baku emas, dengan sensitivitas tinggi yang dapat mengidentifikasi M. tuberculosis dan membedakan antara obat yang sensitif dengan obat yang resisten. Tetapi kultur M. tuberculosis mempunyai banyak keterbatasan, memerlukan waktu lama, menghambat dokter untuk membuat keputusan pengobatan dan kultur juga membutuhkan biosafety infrastruktur yang tidak dapat dilaksanakan dengan mudah pada keadaan dengan sumber daya yang terbatas. Kultur media cair (BACTEC TM MGIT 960 dan MGIT DST [BD Diagnostic Systems, NJ, USA]) telah berkembang dan telah disetujui WHO untuk digunakan pada negara miskin dan negara berkembang. Walaupun lebih cepat, tetapi metode kultur media cair memerlukan keahlian khusus, mahal dan cenderung terkontaminasi (Van Rie et al, 2010).

Penelitian yang dilakukan Yadav et al (2013) di India menunjukkan bahwa kelemahan metode kultur konvensional dengan media LJ adalah adanya kontaminasi sebesar 57% atau hasil kultur yang negatif sebesar 38%. Pada uji kepekaan obat dengan media LJ memerlukan waktu yang lebih lama yaitu 70 hari (28 hari untuk kultur pertumbuhan kuman dan 42 hari untuk uji kepekaan obat).

2. Tes Cepat (Rapid Test)

Dalam Petunjuk Ditjen PP dan PL (2013), disebutkan bahwa tes cepat saat ini dibatasi menggunakan metode yang sudah mendapat persetujuan dari WHO (WRD: WHO Approved Rapid Diagnostic Methods) yaitu metode Line Probe Assay (LPA) dan GeneXpert MTB/RIF test.

1. Line Probe Assay (LPA)

Line Probe Assay merupakan pemeriksaan molekuler berdasarkan Polymerase Chain Reaction (PCR) dan dikenal sebagai Hain test/GenoType MTB DRplus (Ditjen PP dan PL, 2013). Teknologi molekuler LPA sebagai rapid test untuk mendeteksi TB MDR didukung WHO pada tahun 2008 (WHO, 2013d). Teknologi LPA terdiri dari 4 langkah yaitu: ekstraksi DNA dari isolasi M. tuberculosis (uji tidak langsung) atau secara langsung dari spesimen klinik (uji langsung), amplifikasi PCR untuk menentukan region gen dengan menggunakan primer, hibridisasi produk PCR dengan oligonicleotide probe spesifik (WHO, 2013c; Yadav et al, 2013) dan capture hibridisasi yang dideteksi dengan kolorimetri yang memungkinkan deteksi keberadaan M. tuberculosis complex sama baiknya dengan mendeteksi keberadaan wild type dan mutasi probe untuk resistensi (WHO, 2013c).

Line Probe Assay atau MTB DRplus dapat mendeteksi dua resistensi yaitu resistensi rifampisin dan isoniazid (Calligaro et al, 2014; Raizada et al, 2014). Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar dari M. tuberculosis yang resisten terhadap rifampisin ternyata juga resisten terhadap isoniazid sehingga tergolong TB MDR (Ditjen PP dan PL, 2013). Penelitian di India yang membandingkan metode LPA dengan metode uji kepekaan obat konvensional menggunakan media padat LJ menunjukkan bahwa secara keseluruhan hasil tes LPA serupa dengan hasil uji kepekaan obat dengan media LJ dan waktu yang dibutuhkan LPA lebih cepat yaitu 48 jam (Yadav et al, 2013). Beberapa penelitian menunjukkan bahwa LPA mempunyai sensitivitas ≥97% dan spesifisitas ≥99% untuk mendeteksi resistensi

rifampisin (Albert et al, 2010; Raizada et al, 2014) dan untuk mendeteksi resistensi isoniazid juga mempunyai sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi

yaitu ≥90% dan ≥99% dibandingkan dengan kultur dan hasil uji kepekaan obat konvensional (Albert et al, 2013).

Kebanyakan hasil LPA yang tidak valid ditemukan pada spesimen sputum dengan bacillary load yang rendah (1+) atau sampel kultur negatif, sesuai dengan petunjuk bahwa LPA tidak cocok digunakan pada spesimen dengan apusan dahak negatif (Yadav et al 2013). Kelemahan metode GenoType MTBDRplus adalah biaya yang mahal, memerlukan infrastruktur tepat, pelatihan yang memenuhi syarat dan keahlian petugas laboratorium (Albert et al, 2010; Yadav et al, 2013). Tes LPA juga tidak berguna pada spesimen sputum dengan bacillary load rendah dan spesimen paucibacillary TB ekstra paru. Genexpert MTB/RIF tidak dapat mendeteksi resistensi isoniazid dan hal ini dapat menyebabkan luputnya kasus monoresisten isoniazid. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa diantara metode molekuler, LPA memberikan profil uji kepekaan obat yang lebih baik dibandingkan dengan Genexpert MTB/RIF. Metode LPA juga berguna pada surveilan pada negara dengan monoresisten isoniazid yang tinggi (Yadav et al, 2013).

2. GeneXpert MTB/RIF

GeneXpert MTB/RIF adalah suatu alat uji yang menggunakan catridge berdasarkan Nucleic Acid Amplification Test (NAAT) secara automatis untuk mendeteksi kasus TB dan resistensi rifampisin, cocok untuk negara endemis, (WHO, 2013a) dan dapat dilakukan walaupun sampel sputum hanya 1 ml (Hakeem et al, 2013). Uji konvensional untuk mendiagnosa TB resisten OAT yang mengandalkan kultur bakteri dan uji kepekaan obat yang telah lama digunakan merupakan proses yang lama dan tidak praktis. Pada saat ada kemungkinan pasien menerima pengobatan yang tidak tepat, strain M. tuberculosis yang resisten obat dapat menyebar dan resistensi dapat menjadi lebih luas (WHO, 2013d).

Meskipun metode molekuler yang telah ada sebelumnya untuk mendiagnosa TB resisten OAT, tetapi alat uji yang ada seperti PCR konvensional atau LPA, memakai metode yang terlalu rumit untuk selalu dilakukan di negara berkembang. Sampel yang selalu diproses dan DNA

yang diekstraksi menambah kesulitan untuk dilakukan karena sumber daya manusia kurang. GeneXpert, suatu perangkat platform, yang diluncurkan oleh Cepheid pada tahun 2004 dan menyederhanakan uji molekuler yang terintegrasi dan automatis dengan 3 proses (persiapan sampel, amplifikasi, dan deteksi) berdasarkan real time PCR (WHO, 2013a). Uji Xpert MTB/RIF dikembangkan oleh Foundation for Inovative New Diagnostic (FIND), Chepeid, University of Medicine and Dentistry of New Jersey yang dipimpin oleh David Alland (Boulware et al, 2013; WHO, 2013d) dengan pembiayaan dari National Institutes of Health (NIH) Amerika Serikat dan the Bill and Melinda Gates Foundation. GeneXpert sebagai alat uji diagnostik TB dan resistensi rifampisin terus mengalami perkembangan diantaranya yaitu:

a. Mei 2006: FIND berkerjasama dengan Chepeid untuk mengembangkan suatu alat uji diagnostik cepat serta praktis dilakukan yang dapat mendeteksi M. tuberculosis dan resistensi rifampisin dari sampel sputum. b. April 2009: uji cepat baru, Xpert MTB/RIF, diterima Conformite

Europeene In Vitro Diagnostic (CE IVD) marking.

c. Mei 2009: berlangsungnya penelitian yang dilakukan oleh FIND.

d. September 2010: New England Journal of Medicine mempublikasi data; Expert Group merekomendasikan kepada WHO berdasarkan bukti ilmiah; WHO’s Strategic and Technical Advisory Group untuk TB melakukan penelaahan bukti lebih lanjut dan membuat rekomendasi kebijakan politik. e. Desember 2010: WHO merekomendasikan Xpert MTB/RIF.

f. Desember 2012: Sejak awal WHO merekomendasikan Xpert MTB/RIF, 77 negara telah tersedia 966 alat GeneXpert dan 1.891.970 catridge Xpert MTB/RIF pada sektor publik dengan harga yang lebih murah (WHO, 2013c).

Teknologi yang didukung oleh WHO ini, pada 30 Juni 2013 total 3,2 juta catridge dan 1402 mesin GeneXpert (yang terdiri dari 7533 modul mesin) telah digunakan pada 88 negara dari 145 negara yang memenuhi syarat untuk memperoleh mesin dan catridge dengan harga yang lebih murah (Boulware, 2013; WHO, 2013a). World Health Organization merekomendasikan pemakaian GeneXpert (Cepheid) untuk mengevaluasi pasien tersangka TB

MDR dan pasien dengan BTA negatif (Boehme et al, 2010; WHO 2013a).

Dokumen terkait