• Tidak ada hasil yang ditemukan

Melindungi Kebebasan Beragama

Rizal Panggabean

Dapatkah polisi dan masyarakat sipil bekerjasama melindungi kebebasan beragama di Indonesia?

Seperti diketahui, konflik dan kekerasan kolektif yang melibatkan agama telah menjadi masalah yang sering timbul dalam beberapa tahun terakhir ini. Konflik dan kekerasan tersebut dapat berupa konflik antarumat berbeda agama (interreligious). Contohnya adalah konflik pembangunan rumah ibadat yang terjadi di berbagai daerah di Indonesia. Contoh yang lain adalah konflik di Ambon dan Poso beberapa tahun lalu.

Selain antaragama, konflik antar-sekte atau aliran di dalam tubuh satu agama juga semakin sering terdengar. Konflik jenis ini dapat disebut sebagai konflik sektarian. Konflik dan kekerasan terhadap Ahmadiyah adalah contoh konflik sektarian yang paling mencolok akhir-akhir ini. Di masa lalu, konflik sektarian juga pernah dialami umat Kristiani, seperti konflik Gereja Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) yang terjadi di tahun 1990-an.

Jenis lain konflik agama adalah kekerasan yang dilakukan laskar atau milisi yang berafiliasi kepada suatu agama. Bentuknya adalah penyerangan dan sweeping terhadap tempat hiburan di kota-kota. Akhirnya, sejak peristiwa bom natal tahun 2000, aksi teror yang melibatkan simbol dan idiom keagamaan juga terjadi di Indonesia.

Tiga Masalah Pokok

Konflik dan kekerasan kolektif yang melibatkan agama, dalam berbagai jenis yang disebutkan di atas, adalah salah satu tantangan

6 1 Sumber: Madina No. 6, Tahun 1, Juni 2008.

yang dihadapi bangsa Indonesia saat ini. Jika diamati dengan cermat, ada beberapa masalah utama yang perlu mendapat perhatian serius dan segera. Pertama, pengetahuan dan keterampilan polisi di bidang manajemen dan penanganan konflik yang melibatkan agama masih terbatas. Sebagai penanggungjawab utama sektor keamanan di Indonesia, polisi seringkali tampak tidak memiliki pedoman atau prosedur yang tepat dalam melaksanakan tugas mereka. Atau, prosedur yang digunakan sudah tidak memadai lagi dalam menangani masalah yang ada. Polisi sering kikuk, tidak percaya diri, dan “takut melanggar HAM” sehingga tidak mengambil tindakan tegas walaupun kerusakan terhadap harta benda dan manusia sudah terjadi.

Polri memerlukan pengetahuan dan keterampilan di bidang manajemen konflik yang melibatkan agama karena pemilahan sosial berdasarkan agama dan sekte sangat penting di masyarakat kita. Kadang-kadang, pemilahan berdasarkan garis agama ini tumpang tindih dengan garis pemilahan lain seperti kesukuan, kelas ekonomi, dan afiliasi politik. Ini menyebabkan, antara lain, konflik sektarian dan antaragama terkait dengan, atau merupa-kan cerminan dari, konflik etnis dan kelas. Sudah saatnya polisi membekali diri dengan pendekatan-pendekatan baru dalam mengelola konflik sosial yang melibatkan agama.

Kedua, hubungan dan kerjasama timbal-balik antara masya-rakat sipil dan polisi seringkali lemah atau tidak ada di tempat-tempat terjadinya konflik agama. Konflik dan kekerasan kolektif yang melibatkan agama terjadi di masyarakat dan menyangkut persoalan yang peka, seperti keamanan dan kebebasan beragama. Akan tetapi, tokoh masyarakat, termasuk tokoh agama, sering-kali tidak menjalin kerjasama dengan polisi dalam rangka pena-nganan konflik. Di lain pihak, polisi seringkali tidak menggalang kemitraan dengan masyarakat dan cenderung berperan hanya sebagai penegak hukum atau aparat keamanan yang berusaha menanggulangi keadaan yang terlanjur parah.

Sebagai salah satu bentuk dukungan terhadap polisi dalam melaksa-nakan tugasnya, masyarakat sipil, khususnya organisasi keagamaan dan forum antariman, perlu membantu polisi supaya pemahaman polisi di bidang hubungan antaragama dan penanganan konflik yang

melibatkan agama semakin meningkat dan memadai. Apabila selama ini polisi merasa tidak mendapat dukungan dan kepercayaan dari masyarakat, maka kerjasama polisi dan masyarakat sipil akan dapat membangun dukungan dan kepercayaan tersebut.

Ketiga, ada kelemahan dalam sistem tata-kelola atau governance di bidang kebebasan beragama dan hubungan antarumat beragama di Indonesia. Salah satu di antaranya adalah Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 Tahun 2006 dan Nomor 8 Tahun 2006. Peraturan ini memuat pedoman pelaksanaan tugas pemerintah dalam memelihara kerukunan umat beragama, pemben-tukan forum kerukunan umat beragama, dan ketentuan mengenai pembangunan tempat ibadah. Akan tetapi, polemik menyertai proses pembuatan dan implementasi peraturan ini. Ada yang mempertanyakan relevansinya, mengritik kandungannya, dan lain sebagainya. Banyak yang tidak puas dengan Peraturan Bersama tersebut.

Tentu saja, selain regulasi, tata-kelola di bidang agama juga harus dikaitkan dengan UUD dan ketaatan Indonesia terhadap prinsip dan norma internasional di bidang hak asasi manusia yang telah diratifikasi. Legislasi dan regulasi, dan keselarasan peraturan pada umumnya, adalah bagian dari tata-kelola di bidang agama yang perlu ditinjau dalam rangka melindungi kebebasan beragama di Indonesia.

Tanggapan Programatis

Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan yang diterakan di atas, Magister Perdamaian dan Resolusi Konflik (MPRK) Universitas Gadjah Mada, Yayasan Paramadina dan The Asia Foundation bekerja sama menyelenggarakan serangkaian kegiatan. Tema kegiatan ini adalah “Melindungi Kebebasan Beragama: Polisi, Masyarakat Sipil, dan Konflik Agama di Indonesia.” Kegiatan ini mencakup pertemuan dan konsultasi multipihak, lokakarya dan pelatihan, publikasi, dan peninjauan terhadap tatanan legal dan regulasi di bidang kebebasan beragama di Indonesia.

Rangkaian kegiatan ini adalah salah satu pendekatan dalam reformasi sistem keamanan di Indonesia sebagai bagian penting dalam proses konsolidasi demokrasi. Akan tetapi, pendekatan yang diguna-kan dalam program ini tidak hanya difokusdiguna-kan pada Polri sebagai

bagian dari aparat negara. Dengan kata lain, program ini tidak state-centric seperti lazimnya usaha-usaha mereformasi sistem keamanan. Selain melibatkan Polri, program ini juga melibatkan pihak-pihak non-negara, yaitu masyarakat sipil—khususnya lembaga dan organisasi keagamaan. Masyarakat sipil dan organisasi keagamaan adalah stakeholder yang harus diikutsertakan dalam mengembang-kan rencana dan kegiatan Polri di bidang penanganan konflik yang melibatkan agama. Pendekatan dua jalur, yaitu Polri dan masyarakat sipil, sangat diperlukan dalam rangka menghadapi tantangan di bidang penanganan konflik sosial-keagamaan.

Lebih lanjut, karena efektivitas dan kinerja Polri dalam menghadapi dan menangani konflik dan kekerasan kolektif yang melibatkan agama amat tergantung pada kondisi governance pada umumnya, program ini akan meninjau tata-kelola di bidang agama dan hubungan antarumat beragama di Indonesia. Perhatian pada aspek-aspek governance ini merupakan unsur penting dalam setiap usaha memikirkan pelembagaan jangka panjang di bidang manajemen konflik agama, dan dengan demikian melengkapi pendekatan jangka pendek melalui workshop dan kegiatan membina suasana saling percaya antara masyarakat sipil dan Polri.

Secara lebih khusus lagi, melalui serangkaian kegiatan di atas, diharapkan tantangan dan kendala yang dihadapi polisi dalam menangani konflik antaragama dan konflik sektarian dapat diiden-tifikasi. Selain itu, bentuk kerjasama dan kemitraan antara masyarakat dan polisi dalam menangani kekerasan dan konflik sosial dapat dirumuskan. Hal ini akan dapat meningkatkan suasana saling percaya antara polisi dan kelompok-kelompok agama dan masyarakat luas.

Tujuan lainnya adalah mengidentifikasi kebutuhan strategis di bidang perlindungan kebebasan beragama dan penangan konflik yang melibatkan agama di Indonesia. Sebab, pengalaman banyak negara menunjukkan bahwa basis legal dan konstitusional yang kukuh dan sinkron adalah modal utama penanganan konflik keagamaan di masyarakat yang majemuk.

Dan dalam rangka ini, secara berkesinambungan, majalah Madina akan meliput usaha-usaha Polri dan masyarakat sipil dalam melin-dungi kebebasan beragama di Indonesia.•