Pergerakan Mahasiswa di Indonesia tidaklah terlepas dari sejarah panjang perjuangan merebut kembali kedaulatan bangsa. Berawal dari tahun 1908 berdirilah sebuah organisasi kepemudaan, organisasi yang dinamakan Budi Oetomo merupakan organisasi yang menghimpun segenap kekuatan serta potensi seorang pemuda untuk kemudian diarahkan kepada semangat nasionalisme untuk mengembalikan kedaulatan bangsa. Organisasi yang didirikan oleh sekelompok mahasiswa yang belajar di lembaga pendidikan ST OVIA ini, merupakan wadah yang membentuk sikap kritis mahasiswa terhadap kolonialisme Belanda yang sudah sepatutnya dilawan dan sudah selayaknya pula rakyat dibebaskan dari segala bentuk pembodohan sertapenguasaan sumber daya alam yang telah dilakukan oleh penjajah Belanda terhadap bangsa Indonesia.
Pada tahun 1928 peringatan sumpah pemuda Indonesia, yang menjadi sebuah integritas perjuangan pemuda Indonesia, dengan semangat nasionalisme yang teramat tinggi melahirkan sumpah sekaligus janji yang menjadi bukti kecintaan pemuda terhadap bangsa Indonesia. Di tahun 1945 pun pemuda kembali membuktikan keberaniannya melalui peristiwa penculikan sekaligus pendesakkan kepada presiden Soekarno di Rengasdengklok, sebuah gebrakan pemuda untuk sebuah kemerdekaan Repulik Indonesia yang telah lama dicita-citakan masyarakat Indonesia.
T idak hanya berhenti sampai kemerdekaan Indonesia semata, pergerakan mahasiswa Indonesia tetap berlanjut pada tahun 1965 sampai tahun 1966. Pasca kemerdekaan, muncullah berbagai organisasi perherakan mahasiswa yang berawal dari organisasi mahasiswa di Sekolah T inggi Islam di Yogyakarta yang bernama Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Selain organisasi tersebut dibentuklah Perserikatan Perhimpunan Mahasiswa Indonesia (PPMI) yang didirikan melalui kongres mahasiswa di Malang. T idak hanya itu, pada waktu yang bersamaan terbentuk pula organisasi mahasiswa antara lain Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) yang berhaluan pada ideologi Marhaenisme Soekarno, Gerakan Mahasiswa Sosialis Indonesia (GAMSOS) yang lebih cenderung ke ideologi Sosialisme Marxist, dan Concentrasi Gerakan
Mahasiswa Indonesia (CGMI) yang lebih berpandangan komunisme sehingga cenderung lebih dekat dengan PKI (Partai Komunis Indonesia). Berawal dari kemenangan PKI pada pemilu 1955, organisasi CGMI cenderung lebih terlihat dominan dibandingkan denga organisasi lainnya, namun justru menjadi cikal bakal perpecahan pergerakan mahasiswa pada saat itu. Hal ini terjdi karena kecenderungan CGMI terhadap PKI yang justru dipenuhi oleh berbagai kepentingan politik PKI. Organisasi CGMI yang menjadi boneka politik PKI pada akhirnya semakin menjadi- jadi, serangan yang dilakukan secara terus menerus terhadap organisasi mahasiswa lainnya yang secara ideology bertentangan dengan ideology mereka. Pada akhirnya organisasi mahasiswa yang terdiri dari HMI, GMKI (Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia), PMKRI, PMII, Sekretariat Bersama Organisasi-organisasi Lokal (SOMAL), Mahasiswa Pancasila (Mapancas), dan Ikatan Pers Mahasiswa (IPMI) sepakat untuk membentuk KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia). Dimana tujuan pendiriannya, terutama agar para aktivis mahasiswa dalam melancarkan perlawanan terhadap PKI menjadi lebih terkoordinasi dan memiliki kepemimpinan.
Berawal dari semangat kolektifitas mahasiswa secara nasional inilah perjuangan mahasiswa yang dikenal sebagai gerakan angkatan ‘66 inilah yang kemudian mulai melakukan penentangan terhadap PKI dan ideologi komunisnya yang mereka anggap sebagai bahaya laten negara dan harus segera dibasmi dari bumi nusantara. Namun, di tengah semangat idealisme mahasiswa pada saat itu timbullah kepada mereka beberapa godaan yang pada akhirnya melunturkan idealisme perjuangan mereka, dimana setelah masa orde lama berakhir, mereka yang dulunya berjuang untuk menruntuhkan PKI mendapatkan hadiah oleh pemerintah yang sedang berkuasa dengan disediakan kursi MPR dan D PR serta diangkat menjadi pejabat pemerintahan oleh penguasa orde baru.
Ditengah gelombang peruntuhan idealime mahasiswa tersebut, ternyata ada sesosok mahasiswa yang sangat dikenal idealismenya hingga saat ini dan sampai sekarang tetap menjadi panutan para aktivis mahasiswa di Indonesia, yaitu Soe Hok Gie. Seuntai kalimat inspiratif yang dituturkan oleh Soe Hok Gie yang sampai sekarang menjadi inspirasi perjuangan mahasiswa di Indonesia, secara lantang ia mengatakan kepada kawan - kawan seperjuangannya yang telah berbelok idealimenya dengan kalimat “lebih baik terasingkan daripada hidup dalam kemunafikan”.
Pada periode 1974, mahasiswa berkonfrontasi dengan pihak militer yang mereka anggap telah menjadi alat penindas bagi rakyat. Perlawanan di tahun 1974 bermula karena dinaikkannya harga Bahan Bakar Minyak (BBM), serta isu pemberantasan korupsi yang digalakkan mahasiswa kepada pemerintahan agar secara tegas menindak koruptor yang terdiri dari pejabat pemerintahan. Bersamaan deng isu ini maka muncullah gerakan yang sering disebut “Mahasiswa Menggugat”. Protes akan kedua isu ini semakin berkembang ketika harga kebutuhan semakin melambung tinggi sekaligus korupsi dikalangan pejabat semakin banyak. Protes ini dikenal dengan peristiwa Malari tahun 1974. Melalui peristiwa inilah kemudian lahir tuntutan baru yaitu Bubarkan Asisten Pribadi dan T urnkan Harga.
Pada masa tahun 1978, kemudian gerakan mahasiswa mulai dimatikan oleh pemerintahan, yaitu semenjak terpilihnya Soeharto untuk ketiga kalinya. Guna meredam sikap kritis mahasiswa dikeluarkanlah Kebijakan Normalisasi Kehidupan Kampus (NKK) melalui SK No.0156/U/1978. Konsep ini mencoba mengarahkan mahasiswa hanya menuju pada jalur kegiatan akademik, dan menjauhkan dari aktivitas politik karena dinilai secara nyata dapat membahayakan posisi rezim pada saat itu. Bukan hanya itu, bahkan pemerintah Orde Baru, Soeharto kembali mengeluarkan kebijakan terkait organisasi dewam mahasiswa dengan digantikan struktur organisasi yang disebut Badan Koordinasi Kampus (BKK) berdasarkan Surat
Keputusan menteri P& K No.037/U/1979 kebijakan ini membahas tentang Bentuk Susunan Lembaga Organisasi Kemahasiswaan di Lingkungan Perguruan T inggi, dan dimantapkan dengan penjelasan teknis melalui Instruksi Dirjen Pendidikan T inggi tahun 1978 tentang pokok-pokok pelaksanaan penataan kembali lembaga kemahasiswaan di Perguruan T inggi. Melalui kebijakan inilah secara praktis, kondisi kehidupan mahasiswa dalam melakukan pergerakan politik menjadi lumpuh, yang kemudian pada akhirnya menyebabkan mahasiswa hanya berfokus kepada urusan akademik semata dan cenderung bersikap apatis. Sehingga pada saat itu kondisi rezim semakin kuat dan tegak berdiri tanpa ada yang mengawal serta mengkritisi segala kebijakan pemerintahan orde baru pada saat itu. Gerakan mahasiswa tahun 1977/1978 kembali dilakukan oleh mahasiswa namun gerakannya hanya terfokus kepada skala kecil dalam kampus karena gerakan mahasiswa sangatlah dibatasi oleh pemerintahan orde baru. Pada tanggal 28 Oktober 1977, delapan ribu anak muda di depan kampus IT B. Mereka berikrar satu suara, “T urunkan Suharto!”. Namun keesokan harinya semua yang berteriak pada aksi itu, raib dijebloskan ke terali besi. Kampus segera berstatus darurat perang. Namun, sekejap kembali tentram.
Pada peringatan Hari Pahlawan 10 November 1977 gerakan mahasiswa kembali aksi turun kejalan. Di Surabaya dipenuhi tiga ribu mahasiswa berkumpul kemudian berjalan kaki menuju T ugu Pahlawan. Hari pahlawan dianggap sebagai moment yang tepat untuk membangkitkan nurani yang hilang. Sementara di kota-kota lain, peringatan hari Pahlawan juga semarak. Di Jakarta, 6000 mahasiswa berjalan kaki lima kilometer dari Rawamangun (kampus IKIP/UNJ) menuju Salemba (kampus UI), membentangkan spanduk,”Padamu Pahlawan Kami Mengadu”.
Gejolak yang terjadi pada tahun 1980 kembali disuarakan mahasiwa berawal mula dengan konsolidasi gerakan mahasiwa dengan isu penurunan Soeharto. T ahun 1990 pun tuntutan Soeharto mundur dari kursi pemerintahan kembali digencarkan. Pada akhirnya ditahun 1997-1998 didorong oleh keadaan politik serta krisis ekonomi yang sedang mengalami keterpurukan akibat krisis moneter yang dialami Indonesia membuat perekonomian terguncang hebat. Hal ini tentu saja sangat mengejutkan masyarakat Indonesia, khususnya mahasiswa yang akhirnya animo pergerakannya mulai bangkit setelah sebelumnya mengalami mati suri yang cukup panjang. Sehingga pada akhirnya timbullah berbagai aksi demonstrasi besar-besaran. Demonstrasi besar-besaran yang dilakukan oleh mahasiswa pun akhirnya semakin merebak dan meluas. Di Jakarta sendiri, ribuan mahasiswa telah berhasil menduduki gedung MPR/DPR RI pada tanggal 19 Mei 1998. Atas berbagai tekanan yang terjadi itulah akhirnya pada tanggal 21 Mei 1998 pukul 09.00, presiden RI pada saat itu, yaitu Soeharto resmi mengundurkan diri dan era Reformasi pun dimulai dengan diawali oleh runtuhnya rezim Orde Baru. T idak hanya berhenti sampai dengan tahun 1998 saja, pergerkkan mahasiswa terus hidup seperti halnya tahun 2001 jatuhnya presiden Abdurahman Wahid, serta tahun 2003 berupa perlawanan atas rezim Mega yang tidak berpihak pada rakyat.
Fungsi Mahasiswa
Peradaban bangsa mengalami perubahan tak lain karena ada peran pemuda mahasiswa di dalamnya. Catatan sejarah tersebut setidaknya telah menjadi bukti bahwa mahasiswa selalu menempatkan diri dalam setiap perubahan historik dan patriotik di negeri ini. Dalam setiap masa mahasiswa memiliki fungsi-fungsi dominan dalam perannya sebagai garda depan perubahan bangsa, diantara funsi tersebut adalah: [1] Agent O f Change (Fungsi Pembaharuan). Sebagai fungsi pembaharu yang menjadi agen setiap perubahan peradaban kehidupan bangsa khususnya di Indonesia. Setidaknya catatan sejarah panjang perjuangan bangsa telah membuktikan
bahwasannya mahasiswa selalu menjadi garda depan peradaban bangsa. [2] Iron Stock (Fungsi Investasi Masa Depan). Investasi Kepemimpinan masa depan & Investasi intelektual profesional pada disiplin ilmunya. [3] Direct of Change (Fungsi Perubahan). [4] Moral Force (Fungsi Moral) Kekuatan moral mahasiswa dalam berjuang pada intinya apa yang ia buat adalah semata- mata berlandaskan pada gerakan moral yang menjadi idealismenya dalam berjuang, yang kedua adalah kekuatan intelektualitasnya, melalui ilmu pengetahuan yang ia raih di bangku pendidikan, senantiasa ingin mengaplikasiakan segenap keilmuannya untuk gerakan moral dan pengabdian kepada masyarakat, karena bagi seorang mahasiswa ilmu merupakan suatu amanah dan tanggung jawab yang harus diamalkan, yang ketiga adalah mahasiswa sebagai seorang pemuda memiliki semangat dan jiwa muda yang merupakan karakter alami yang pasti dimiliki oleh setiap pemuda secara biologis, dimana melingkupi kekuatan otak dan fisik yang bisa dikatakan maksimal, lalu kratifitas, responsifitas, serta keaktifannya dalam membuat inovasi yang sesuai dengan bidang keilmuannya. [5] Sosial Control (Fungsi Kontrol Sosial). Dalam menjalankan fungsinya sebagai sosial kontrol mahasiswa dalam hal ini memiliki peranan yang sangat vital keberadaannya sebagai pengawal serta pengawas terhadap segala kebijakan yang diberlakukan oleh pemerintah.
Mahasiswa merupakan sosok insan akademis yang sedang menjalankan aktifitas pendidikan yang terbilang tinggi sehingga ilmu yang mereka didapatkan merupakan sebuah senjata pamungkas untuk mengabdikan diri kepada masyarakat. Secara biologis pemuda memiliki kondisi yang fresh untuk berpikir dan bertindak secara fisik. Mahasiswa sebagai pemuda juga memiliki keingintahuan dan sikap kritis yang tinggi terhadap kondisi di sekitarnya, dan dengan modal intelektualitas yang dimilikinya, mahasiswa senantiasa mampu untuk memperjuangkan kondisi sosial yang dilihatnya agar menjadi lebih ideal dan dinamis.
Repositioning PMII: Ditengah Arus Demokrasi & Globalisasi
Dilihat dari aspek historis Indonesia adalah warisan kolonial belanda yang sampai sekarang watak masyarakat Indonesia masih tercerabut dari akar tradisi. Untuk menata kembali butuh sistem negara yang jelas, dan yang paling vital adalah bagaimana merumuskan sistem pemerintahan yang demokrastis. Belum lagi terkait dengan kebijakan pemerintah saat ini, kebijakan belum berpihak kepada masyarakat yang belum mampu. Hegemoni negara tentu sangat bersinggungan dengan kebijakan yang bersentuhan dengan masyarakat sipil, sehingga kekuasaan Negara dan harus dipisahkan dari mata rantai kepentingan politik sesaat. Kemajuan peradaban yang ditandai dengan pesatnya perkembangan teknologi berimplikasi pada moralitas manusia. Efek globalisasi misalnya telah merambah berbagai sektor kehidupan manusia, mulai dari alat komunikasi, transportasi, dunia maya, dan kecanggihan teknologi lainnya. Globalisasi telah berdampak pada mainstream bahwa manusia harus bisa mengendalikan teknologi.
Globalisasi ditandai dengan ketersinggungan antara negara, pasar atau sistem ekonomi global dan masyarakat sipil. Kalau diurai maka persoalan gerakan PMII tidak hanya masalah penataan sistem kaderisasi, sistem organisasi, out-put kaderisasi, relasi politik, jaringan prodemokrasi, paradigma gerakan PMII, dan persoalan internal penyelenggaraan organisasi lainnya. T api lebih dari itu ada faktor eksternal yang juga sangat berpengaruh pada PMII sebagai instrument gerakan sosial yaitu persoalan rakyat miskin sehingga tidak mampu sekolah, disorientasi kebijakan pemerintah, relasi kekuasaan negara, dan pusaran arus globalisasi. Rumusan paradigma PMII tentu jangan sampai lemah karena terseret arus globalisasi. Sehingga tidak mengorbankan nilai-nilai yang terkandung dalam Nilai Dasar Pergerakan dengan memaksa out- put untuk diterjunkan ke sistem Negara dalam masa transisi demokrasi. Karena globalisasi tidak bisa dibendung maka sikap kita adalah harus berdapasi secara arif tanpa harus menolaknya.
Diskursus PMII dan Kekuasaan N egara
Akar tradisi kehidupan bangsa Indonesia adalah negara maritim dan negara agraris. Karena Indonesia memiliki sumber daya alam yang sangat kaya sehingga banyak negara yang sudah maju berusaha untuk mengekspoitasi kekayaan. Kolonialiasme dan imperealisme dengan dalih akumulasi kapital telah membawa dampak keterbelakangan masyarakat Indonesia. Setelah mengalami trauma yang berkepanjangan Indonesia berusaha bangkit merekonstruksi seluruh sistem tata negara dalam berbagai sektor. Yang menjadi persoalan kemudian adalah apakah masyarakat sipil dilibatkan menjadi penentu kebijakan. Sehingga formulasi kebijakan negara yang diimplementasikan dalam kehidupan publik merepresentasikan kepentingan komunitas sipil. Hal ini menjadi persoalan serius untuk diapresiasi karena seringkali watak hegemonik dan represif negara masih menjadi karakter. Disinilah peran PMII dibutuhkan.
Jelasnya bahwa masyarakat sipil yang selalu dijadikan objek pemerintah, masyakakat Indonesia tidak ditempatkan dalam diskursus liberal kebebasan—berkumpul, berpendapat, berorganisasi, berekspresi terutama pada rezim Orde Baru. Proses depolitisasi sebagai praktek hegemonik rezim yang berwatak otoritarian-birokratik telah efektif melemahkan kritisisme dan progressifitas masyarakat sipil. Govermentaly tidak memahami negara dan masyarakat sipil dalam pengertian oposisi biner, yang selalu bertentangan satu sama lain dan berusaha saling melemahkan pengaruh pihak lain. Kekuasaan bukanlah persoalan menerangkan belenggu pada warga negara dengan tujuan ‘membuat’ mereka mampu mengemban bentuk kebebasan yang terkontrol. Otonomi personal bukanlah antitesis dari kekuasaan politik, melainkan merupakan istilah kunci dari praktik kekuasaan politik, karena sebagian besar individu hanya menjadi subyek kekuasaan tetapi juga berperan menjalankan operasi kekuasaan itu.
Ketika praktik kekuasaan berimplikasi pada gerakan PMII, maka PMII akan terjebak sebagai alat untuk melanggengkan status penguasa. Hal ini pernah terjadi ketika pemerintahan Abudurahman Wahid berkuasa. Disinilah independensi PMII dipertanyakan. Selain telikungan kekuasaan negara gerakan PMII di Indonesia juga dihadapkan pada krisis multidimensi. Multi krisis yang ditandai dengan timbulnya konflik, ketegangan, dan aksi kekerasan antar kelompok sosial, etnis, suku dan agama dan antar partai politik seperti yang terjadi berbagai belahan nusantara telah membawa kerugian yang terhingga terhadap masyarakat sipil.
BAGIAN 3: PARADIGMA KRIT IS T RAN SFORMAT IF