F. Hubungan antara Building-System dan Suasana Lingkungan
II.5 Membangun Pada Konteks Pasca Bencana
Sebuah studi dilakukan oleh the Humanitarian Practice Network, Overseas
Development Institut, yang membandingkan 5 pendekatan rekonstruksi hunian di
Gujarat, India. Kelima pendekatan tersebut adalah:
a. The Owner-Driven Approach (ODA), Atau Pendekatan Swakelola.
Pendekatan ini memungkinkan komunitas untuk mengatur dan melaksanakan pekerjaan pembangunan rumahnya sendiri, dengan bantuan pembiayaan dari luar, material, serta bantuan konsultasi teknis. Metode pendekatan ini tidak berarti pemilik membangun sendiri rumahnya, namun mereka yang mengatur dan memiliki kontrol penuh terhadap proses rekonstruksi rumahnya, dengan arahan yang telah diberikan (building codes). Di Gujarat metode pendekatan ini diterapkan oleh pemerintah Gujarat dibawah wewenang GEERP (Gujarat
Emergency Earthquake Reconstruction Project). Dalam pelaksanaannya,
sekitar 200.000 rumah (87% dari keseluruhan rumah yang hancur) dapat dibangun swakelola oleh pemiliknya, dengan bantuan pembiayaan dan konsultasi teknis dari pemerintah.
Dari hasil observasi, kualitas konstruksi bangunan dinilai baik, dan aman secara seismik. Kualitas yang baik diperoleh dari ketaatan dalam mematuhi peraturan (building codes) dari pemerintah. Karena masyarakat telah terbiasa dengan material utama, serta penggunaan desain vernakular (sudah umum di masyarakat), maka proyek dengan bantuan pembiayaan dari pemerintah ini lebih sesuai dengan karakter serta tradisi setempat. Namun resiko dari proyek ini timbul apabila pemilik tidak memiliki kemampuan untuk mengatur pembangunan rumahnya, sehingga kualitas pekerjaan menjadi rendah, dan dana yang diberikan tidak dapat dimanfaatkan dengan baik.
b. The Subsidiary Housing Approach (SHA), Atau Pendekatan
Tersubsidi.
Dengan pendekatan ini, agensi (LSM atau pemberi bantuan non-pemerintah) tidak terkait langsung dengan proses rekonstruksi perumahan. Agensi disini
berperan sebagai fasilitator, memberikan tambahan bantuan material dan bantuan teknis, namun tetap sesuai dengan kerangka kerja pemerintah. Di Gujarat, proses rekonstruksi dengan pendekatan ini dilakukan di 7 desa, di Rapar Taluka, distrik Kachch.
Kualitas konstruksi biasanya sebanding dengan rumah yang dihasilkan dari pembangunan swakelola. Dengan bimbingan dari agensi, maka resiko pada pembangunan swakelola dapat dihindari. Hasil observasi menunjukkan bahwa 100% rumah-rumah tersebut ditempati oleh pemiliknya.
c. The Participatory Housing Approach (PHA), Atau Pendekatan Partisipatif.
Pada pendekatan ini, agensi (LSM atau pemberi bantuan non-pemerintah) memegang peranan utama dalam proses rekonstruksi, dengan melibatkan pemilik rumah dalam perencanaan, desain, dan pelaksanaan rekonstruksi rumahnya. Di Gujarat, rekonstruksi dengan pendekatan partisipatif ini dilaksanakan di 30 desa, dengan jumlah sekitar 3000 rumah.
Pada rekonstruksi dengan pendekatan ini, masyarakat diberikan pelatihan terlebih dahulu dalam pembangunan rumahnya, dengan pengawasan dari agensi. Pelatihan ini kemudian menjadi sangat berguna bagi masyarakat di kemudian hari, bahkan setelah proses rekonstruksi selesai.
d. The Contractor-Driven Approach In Situ (CODIS), Atau Pendekatan
Dengan Kontraktor Pada Lahan Yang Sama.
Pekerjaan rekonstruksi dengan pendekatan ini dilakukan sepenuhnya oleh perusahaan kontraktor profesional, baik dalam pekerjaan desain maupun konstruksinya. In situ di sini berarti rumah-rumah tersebut dibangun di lahan yang sama eperti sebelum bencana terjadi. Kebanyakan, desain, material serta tenaga ahli didatangkan dari luar komunitas. Di Gujarat, rekonstruksi dengan pendekatan ini dilaksanakan di 11 desa, dengan jumlah sekitar 3000 rumah.
Sekitar 36 % pemilik rumah tidak puas dengan kualitas material yang digunakan. Hal ini menjadi signifikan, melihat bahwa dengan pendekatan swakelola, pemilik lebih merasa puas (100%). Namun hal ini seringkali disebabkan karena jarak dan lokasi desa yang sulit diakses, sehinggakinerja dari kontraktor menurun.
e. The Contractor-Driven Approach Ex Nihilo (CODEN), Atau Pendekatan Dengan Kontraktor Pada Lahan Yang Baru.
Seperti pendekatan sebelumnya, pendekatan ini pun merupakan pendekatan yang melibatkan perusahaan kontraktor profesional. Namun dalam pendekatan ini, seluruh desa dibangun kembali di tempat yang baru. Di Gujarat, rekonstruksi dengan pendekatan ini dilaksanakan dengan bantuan dana internasional dan bekerja sama dengan NGO internasional, berhasil membangun kembali 11 desa, dengan jumlah sekitar 2250 rumah beserta infrastrukturnya.
Hasil penelitian yang diterbitkan pada jurnal Housing Reconstruction in
Post-Earthquake Gujarat: A Comparative Analysis (Maret 2006)10 menyebutkan bahwa prosentase kepuasan masyarakat paling besar ditujukan terhadap rumah hasil proses rekonstruksi dengan metode the subsidiary housing approach (SHA). Pada metode the subsidiary housing approach ini, agensi tidak terikat secara langsung dalam rekonstruksi. Agensi berperan sebagai fasilitator, memberikan bantuan pengetahuan material serta teknologi tambahan, namun tetap dalam kerangka kerja pemerintah. Kepuasan berikutnya ditunjukkan terhadap proses rekonstruksi dengan metode the owner-driven approach (ODA). Pada metoda ini, masyarakat membangun sendiri rumahnya dengan bantuan keuangan dan konsultasi teknis dari pemerintah. Dengan metoda the owner-driven approach ini dapat dibangun sekitar 200.000 rumah atau 87% dari rumah yang hancur.
10
Barenstein, J., D.,Housing Reconstruction in Post-Earthquake Gujarat: A Comparative Analysis, Network Paper no .54, Humanitarian Practice Network at Overseas Development Institute, London, Maret 2006
Masyarakat paling merasa tidak puas dengan rekonstruksi yang menggunakan metode the contractor-driven approach ex nihilo (CODEN), atau rekonstruksi yang dilaksanakan oleh kontraktor profesional, di mana seluruh desa dibangun kembali pada tapak yang berbeda.
Ironisnya, proyek yang memakan biaya paling besar justru mendapat apresiasi rendah dari masyarakat. Studi ini memberikan bukti empiris bahwa perkembangan tren bantuan pembiayaan untuk rekonstruksi rumah swakelola sangatlah mungkin untuk diterapkan baik dari segi sosial, pembiayaan, maupun segi teknis.
Hal ini menunjukkan bahwa dalam konteks pemberdayaan masyarakat dan potensi lokal, dengan pemberian bantuan pembiayaan dan teknis saja, masyarakat memiliki kapasitas dalam membangun rumah yang dapat merespon kebutuhan mereka. Respon yang terjadi jauh lebih baik jika dibandingkan dengan rumah yang diberikan langsung oleh agensi (LSM atau pemberi bantuan non-pemerintah).
Gambar II.16 Perbandingan prosentase kepuasan dari 5 pendekatan rekonstruksi di Gujarat
Sumber: Housing Reconstruction in Post-Earthquake Gujarat: A Comparative Analysis, Network Paper no .54, Humanitarian Practice Network at Overseas Development Institute, London, Maret 2006
Studi ini juga membuktikan lebih jelas adanya resiko dari rekonstruksi yang sepenuhnya dilakukan oleh kontraktor, yaitu: tidak fleksibel, tidak sensitif terhadap budaya, kesalahan dalam mengadaptasi kondisi lokal, tendensi untuk
memperkenalkan material baru yang tidak sesuai dengan iklim setempat, dan sulit untuk perawatan maupun pengembangan.
Hasil penelitian worldbank11 juga menunjukkan kondisi yang sama. Dalam manajemen rekonstruksi hunian pasca bencana, hunian yang dibangun sendiri oleh masyarakat hasilnya seringkali lebih baik dibanding hunian yang dibangun oleh kontraktor maupun pemerintah. Dengan biaya yang relatif lebih rendah, rata-rata kepuasannya sangat tinggi, pendekatan ini seringkali menjadi kunci kesuksesan proses rekonstruksi. Pembangunan oleh masyarakat pun menjadi salah satu strategi terbaik untuk meningkatkan tingkat perekonomian masyarakat. Dengan adanya bencana yang diantisipasi dengan proses rekonstruksi, program hunian lokal harus didukung oleh beberapa perencanaan publik yang baik pula. Yang pertama, pada kebanyakan area perkotaan, dibutuhkan standar dasar kualitas konstruksi dan sanitasi. Hal ini harus dimulai secepatnya. Yang kedua, pembangunan hunian yang serentak dalam jumlah besar akan mengakibatkan keterbatasan material dan ahli bangunan / tukang. Oleh karena itu, perencanaan pengadaan (procurement) akan sangat dibutuhkan. Yang ketiga, keluarga yang memiliki keterbatasan sumber daya (orang jompo, anak-anak, tidak memiliki keahlian) tidak akan bisa membangun kembali rumahnya tanpa bantuan tambahan
Dari proses pembangunan dan rekonstruksi yang terjadi di negara lain, kita dapat mengambil pelajaran diantaranya:
Koordinasi adalah kunci utama
Mengembangkan standar dasar perndekatan rekonstruksi untuk dilakukan di desa-desa
Memperkuat kapasitas lokal Pemberian bantuan secepatnya
Masyarakat setempat harus memperoleh keuntungan (dari segi ekonomi)
11
http://siteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/Resources/Publication/280016-1106130305439/reconstruction_notes.pdf
Memberlakukan struktur pemerintahan yang berkelanjutan secepatnya, serta meningkatkan kapasitasnya.
Melakukan kolaborasi dengan NGO / LSM Perancangan standardisasi teknis.
II.5.1 Studi Komparatif Pelaksanaan Rekonstruksi di Aceh, D.I. Yogyakarta, dan Pangandaran
Berikut ini akan dipaparkan mengenai hasil pengamatan lapangan di daerah yang sedang menjalani proses rekonstruksi pasca bencana beserta studi terhadap pelaksanaan rekonstruksi di negara lain. Tujuannya adalah untuk mengelaborasi faktor-faktor utama yang mempengaruhi kecepatan membangun rekonstruksi rumah pasca bencana
Survey lapangan dilakukan di 3 tempat yang terkena bencana di Indonesia, yaitu Aceh, Pangandaran (Jawa Barat bagian selatan), dan D.I. Yogyakarta, dilakukan dalam kurun waktu bulan November 2006 hingga mei 2007. Ketiga daerah ini sedang menjalani proses rekonstruksi, setelah mengalami bencana gempa bumi dan tsunami. Tujuan survey lapangan ini adalah untuk mengeksplorasi hal-hal yang terkait dengan proses rekonstruksi di setiap daerah, meliputi kondisi eksisting serta faktor yang mempengaruhi keberhasilan maupun kegagalan proses tersebut.
Gambar II.17 Pelaksanaan Rekonstruksi di Nangroe Aceh Darussalam (2007); rumah
bantuan di daerah pinggir pantai, mengadaptasi rumah tradisional aceh dalam mengantisipasi pasang air laut (kiri); fenomena rumah kosong (tengah); barak pengungsi yang masih banyak penghuninya di Aceh (kanan).
Gambar II.18 Pelaksanaan Rekonstruksi di D.I. Yogyakarta (2007); pembangunan oleh
masyarakat memungkinkan rumah dapat dihuni walaupun belum selesai sepenuhnya (kiri); bantuan langsung dari NGO (kanan).
(a)
(b)
(c)
Gambar II.19 Pelaksanaan Rekonstruksi di Pangandaran, (a) Rumah Nelayan Ramah
Bencana, bantuan Dinas Perikanan & Kelautan, Kecamatan Sidamulih Pangandaran (Desember 2006), (b)Rumah sementara bantuan langsung, Kecamatan Pangandaran (November 2006), (c)Rekonstruksi dengan partisipasi masyarakat kecamatan Parigi,
Tabel II.1 Perbandingan Rekonstruksi Pasca Bencana Antara 3 Daerah Yang Terkena Bencana Di Indonesia
(Aceh, Pangandaran, Yogyakarta)
NO URAIAN PERBANDINGAN ACEH PANGANDARAN YOGYAKARTA
1 Jenis Bencana
Gempa bumi + Tsunami
Gempa bumi+
Tsunami Gempa bumi
2 Jumlah Korban Jiwa12
Lebih dari
167.000 Sekitar 429 Sekitar 6.234
3 Kemajuan rekonstruksi Paling lambat Cepat Paling cepat 4 % terlaksana per 1 tahun Di bawah 25 % Sekitar 50% Sekitar 60% 5
Material Sisa yg dapat
dimanfaatkan Tidak ada Sedikit banyak Bantuan Pemerintah (uang) dan LSM (marerial) Bantuan pemerintah dengan partisipasi penuh dari masyarakat Tidak ada partisipasi sama sekali dari masyarakat (dilaksanakan oleh kontraktor) Dilaksanakan oleh kontraktor Dilaksanakan oleh kontrakor
CODIS ODA ODA
CODEN SHA SHA
CODIS PHA 6 Pendekatan Rekonstruksi CODIS Rumah Rumah Material bangunan uang
7 Jenis Bantuan Rumah Uang
Bimbingan teknik pembangunan dan bantuan sosial 8 Sumber dana (yang paling
dominan) NGO
LSM maupun
pemerintah Pemerintah 9 Bantuan teknik pembangunan Tidak ada Tidak ada ada
10 Tipe desain rumah RSS RSS Rumah inti
11
Tipe metode konstruksi (manajemen maupun tenaga kerja) Dibangun oleh kontraktor Dibangun sebagian oleh kontraktor, sebagian oleh pemilik rumah Dibangun secara bertahap oleh pemilik rumah 12
Rasa kepemilikan ( sense of
belonging) Rendah Rata-rata tinggi
13 Fenomena Rumah Kosong banyak Beberapa Tidak ada
14 Penggunaan material lokal Tidak ada Beberapa Sebagian besar 15
Efisiensi (dalam penggunaan
material) Paling efisien Cukup efisien Tidak efisien Keterangan:
ODA: The Owner-Driven Approach, SHA: The Subsidiary Housing Approach, PHA: The Participatory Housing Approach, CODIS: The Contractor-Driven Approach In-Situ , CODEN: The Contractor-Driven Approach Ex-Nihilo
Sumber: Pengamatan lapangan
12
Terdapat beberapa kecenderungan yang terjadi pada pelaksanaan rekonstruksi pasca bencana. Yang pertama adalah pendekatan rekonstruksi dengan cara memberikan bantuan rumah langsung (dengan metode konstruksi massal yang dilaksanakan oleh kontraktor) lebih efisien apabila dilihat dari penggunaan material. Namun di sisi lain, kurangnya partisipasi masyarakat menyebabkan rendahnya rasa kepemilikan. Pelaksanaan rekonstruksi pun menjadi lebih lama, tergantung pada konsolidasi tanah dan proses pengadaan (procurement). Kontrol terhadap kualitas pun menjadi sangat rendah, karena kurangnya sumber daya dan pengawasan.
Yang kedua, strategi parstisipatif yang melibatkan pemilik rumah (The
participatory & Owner-driven approach) dinilai dapat mempercepat
masa rekonstruksi. Salah satu keuntungannya, pembangunan rumah yang dilakukan secara bertahap memungkinkan pemilik dapat secepatnya menghuni rumah mereka walaupun belum selesai seluruhnya. Setiap pemilik rumah terlibat dalam proses pembangunan rumahnya, sehingga meningkatkan rasa kepemilikan. Selain itu, mereka pun dapat mengawasi kualitas konstruksi dari rumahnya masing-masing.
Kekurangan dari strategi partisipasi adalah strategi ini masih dilakukan dengan menggunakan metode sistem konstruksi konvensional untuk rumah tunggal. Metode ini kurang efisien apabila dibandingkan dengan metode konstruksi masal. Selain itu, panduan teknis sebagai pegangan masyarakat untuk membangun rumahnya sendiri sering kali kurang fleksibel dalam mengakomodasi perubahan desain. Bimbingan teknis maupun sosial bagi masyarakat yang telah dilakukan masih kurang memadai (dalam hal sumber daya), sehingga hasilnya masih jauh dari yang diharapkan.
Dari studi awal yang telah dilakukan dengan membandingkan proses rekonstruksi yang terjadi di Aceh, D.I Yogyakarta, dan Pangandaran
serta kajian teori di atas, disimpulkan bahwa beberapa faktor yang mempengaruhi kecepatan rekonstruksi hunian pasca bencana adalah13: 1. Evaluasi yang tepat terhadap jenis bencana dan kondisi yang menjadi
konsekuensinya
2. Pemanfaatan potensi lokal (terutama material)
3. Pendekatan partisipatif, dimana pemilik rumah ikut terlibat secara aktif dalam pembangunan rumahnya, dengan mengikuti petunjuk, aturan, dan bantuan yang berasal dari pemerintah (Participatory &
Owner-driven approach )
4. Selain bantuan material (uang), pemerintah juga harus memberikan bantuan teknis. Bantuan teknis harus intensif dan berkualitas, dilengkapi dengan petunjuk teknis yang fleksibel
5. Konstruksi rumah masal dengan proses manajemen yang terintegrasi (dengan meningkatkan efisiensi melalui rasionalisasi dalam semua aspek)
II.6 Studi Kasus Sistem Pre-fabrikasi pada Pembangunan Rumah