BAB III LAPORAN KERJA PRAKTIK DI BADAN NARKOTIKA NASIONAL (BNN)
1. Membantu Membuat Berita Acara Pemeriksaan
BAP dibuat oleh penyidik BNN untuk memberikan suatu penerangan terhadap suatu tindak pidana yang dilakukan oleh para tersangka, isi dari BAP ini memuat diantaranya tentang, barang bukti yang ditemukan, kronologis peristiwa, analisa kasus. Dengan masih kurangnya jumlah personil penyidik BNN maka kami mahasiswa yang melakukan kuliah praktek di BNN di perkenankan untuk membantu penyidik dalam membuat serta mengkoreksi BAP.
2. Membuat Surat Izin Penggeledahan Badan dan Rumah
Dalam hal mencari dan menemukan barang bukti penyidik BNN melakukan penggeledahan Badan dan penggeledahan rumah terhadap orang yang di curigai melakukan tindak pidana narkotika, tindakan penggeledahan ini harus didasarkan pada perizinan terlebih dahulu dari pengadilan negeri setempat, setelah mendapatkan izin barulah penyidik melakukan penngeledahan.
3. Membantu Membuat Surat Perpanjangan Penahanan
Apabila surat penahan akan habis dan masih diperlukan penyidikan oleh pihak BNN, maka pihak BNN akan memperpanjang surat penahanan guna melengkapi berita acara pemeriksaaan (BAP)
B. Laporan KegiatanKerja Lapangan 1. Melakukan Tes Urin di Pusdik Armed
Kegiatan tes urin ini merupakan permintaan dari intansi terkait yaitu Pusdik armed, untuk mengetahui apakah ada salah satu anggotanya yang menggunakan narkotika, pelaksanaan tugas tersebut Berdasarkan Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika Pasal 4 huruf b adalah :
“Mencegah, melindungi, dan menyelamatkan bangsa Indonesia dari penyalahgunaan Narkotika”.
2. Penjemputan tersangka guna menyaksikan pemusnahan barang bukti yang di
bawa oleh tersangka tersebut.
Saat akan melakukan pemusnahan barang bukti narkotika tersangka di bawa dari tahanan Polrestabes bandung ke BNN pusat di jakarta guna menyaksikan pemusnahan barang bukti narkotika
Pemusnahan barang bukti narkotika di BNN pusat Jakarta, menggunakan mesin penghancur kegiatan ini berdasar pada Undang-Undang narkotika Pasal 75 huruf yang menyebutkan bahwa:
“Penyidik BNN berwenang memusnahkan narkotika dan prekursor narkotika”.
Pasal 91 ayat (2), (3), (4), (5) undang-undang 35 tahun 2009 menyebutkan : a. Barang sitaan narkotika dan prekursor narkotika yang berada dalam
penyimpanan dan pengamanan penyidik yang telah ditetapkan untuk dimusnahkan, wajib dimusnahkan dalam waktu paling lama 7 hari terhitung sejak menerima penetapan pemusnahan dari kejaksaan negeri setempat. b. Penyidik wajib membuat berita acara pemusnahan dalam waktu paling
lama 1x24 jam sejak pemusnahan tersebut dilakukan dan menyerahkan berita acara tersebut kepada penyidik BNN setempat dgn tembusan berita acaranya disampaikan kepada kajari setempat, menteri kesehatan, dan Badan Pengawan Obat dan Makanan POM.
c. Dalam keadaan tertentu batas waktu pemusnahan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dpt diperpanjang 1 kali untuk jangka waktu yg sama.
d. Pemusnahan barang sitaan sebagiamana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan berdasarkan pasal 75 huruf K
4.
Seminar yang dilaksanakan oleh Badan Narkotika Nasional yang berjudul“Tingkat Pemahaman Petugas Terhadap Peraturan Terhadap Perundang -Undangan Terkait Pelaksanaan Rehabilitasi Bagi Pecandu dan Korban Penyalahgunaan Narkotika”.
Pelaksanaan seminar tersebut dilaksanakan oleh Badan Narkotika Nasional Pusat dalam rangka sosialisasi pemahaman petugas terhadap undang-undang pelaksanaan rehabilitasi. Instansi Badan Narkotika Nasional mengakui bahwa sumber daya manusianya masih memiliki kekurangan mengenai pemahaman rehabilitasi mengenai penyalahgunaan narkotika.
64
BAB IV
REHABILITASI SEBAGAI PERWUJUDAN DARI PERANAN BADAN NARKOTIKA
NASIONAL DALAM MENANGANGGULANGI PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA
A. Penjatuhan Pidana Rehabilitasi Sebagai Sanksi Pengganti Dari Sanksi Pidana Penjara Terhadap Tindak Pidana Penyalahguna Narkotika
Kebijakan pidana (penal policy), sebagaimana kebijakan publik pada umumnya, pada dasarnya harus merupakan kebijakan yang rasional. Salah satu ukuran rasionalitas kebijakan pidana antara lain dapat dihubungkan dengan masalah keberhasilan pidana itu dalam mencapai tujuannya, yaitu tujuan pemidanaan.85
Menentukan dasar pembenaran penetapan rehabilitasi dalam upaya penanggulangan penyalahgunaan narkoba merupakan suatu pendekatan pragmatis yang memang sepatutnya dipertimbangkan dalam setiap langkah kebijakan.
Hakim dalam penanganan kasus pecandu narkotika dapat memutus atau menetapkan terdakwa menjalani pengobatan atau rehabilitasi berdasar pada Pasal 103 huruf a dan huruf b Undang Undang Narkotika yang menyebutkan bahwa:
“
Hakim yang memutus perkara pecandu narkotika dapat”
a. Memutus untuk memerintahkan yang bersangkutan menjalani pengobatan dan atau perawatan melalui rehabilitasi jika pecandu narkotika tersebut terbukti bersalah melakukan tindak pidana narkotika; atau
b. Menetapkan untuk memerintahkan yang bersangkutan menjalani pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi jika pecandu narkotika tersebut terbutki bersalah melakukan tindak pidana narkotika.
“Masa menjalani pengobatan dan/atau perawatan bagi pecandu narkotika sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) huruf a di
perhitungkan sebagai masa tahanan”.
Perintah dalam pasal tersebut dijatuhkan terhadap terdakwa yang benar-benar mengalami sindroma ketergantungan akibat penyalahguna narkoba dan keadaan tersebut
terungkap di persidangan dan Hakim mengetahui betul kondisi terdakwa yang harus dirawat atau diobati agar kembali pulih.
Rahabilitasi bagi penyalahguna narkoba dilakukan dengan maksud untuk memulihkan dan mengembangkan kemampuan fisik, mental dan sosial penderita yang bersangkutan, rehabilitasi dibagi menjadi dua yaitu:86
1. Rehabilitiasi Medis adalah suatu proses kegiatan pengobatan secara terpadu untuk membebaskan pecandu dari ketergantungan narkotika.
2. Rehabilitasi sosial adalah suatu proses kegiatan pemulihan secara terpadu fisik, mental maupun sosial agar bekas pecandu narkotika dapat kembali melaksanakan fungsi sosial dalam kehidupan masyarakat.
Penyalahguna yang telah menjalani perawatan medis sehingga sembuh dari ketergantungan terhadap narkotika secara fisik dan psikis, dapat dilakukan rehabilitasi melalui pendekatan keagamaan dan tradisional. Rehabilitasi sosial terhadap bekas pecandu narkotika dilakukan pada lembaga rehabilitasi sosial yang diselenggarakan baik oleh pemerintah maupun oleh masyarakat yang ditunjuk oleh Menteri Sosial.87
Hakim menjatuhkan pemidanaan berupa perintah untuk dilakukan tindakan hukum berupa rehabilitasi atas diri terdakwa, Majelis Hakim harus menunjuk secara tegas dan jelas tempat rehabilitasi yang terdekat dalam amat putusannya. Tempat-tempat rehabilitasi (Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 04 tahun 2010) Kemudian untuk menjatuhkan lamanya proses rehabilitasi, Hakim juga harus dengan sungguh-sungguh mempertimbangkan kondisi atau taraf kecanduan Terdakwa, sehingga diperlukan adanya keterangan ahli sebagai standar dalam proses terapi dan rehabilitasi.
Penjatuhan sanksi rehabilitasi sebagai sanksi alternatif dapat ditinjau dari 2 (dua) aspek pokok tujuan pemidanaan, yaitu dari aspek perlindungan masyarakat dan aspek perbaikan pelaku. yang dimaksud dengan aspek perlindungan masyarakat meliputi tujuan mencegah, mengurangi atau mengendalikan tindak pidana dan memulihkan
86 Gatot Suparmo, Loc.Cit, hlm 192. 87Ibid, hlm 192.
keseimbangan masyarakat antara lain menyelesaikan konflik mendatangkan rasa aman, memperbaiki kerugian/kerusakan, menghilangkan noda-noda, memperkuat kembali nilai-nilai yang hidup didalam masyarakat), sedangkan yang dimaksud dengan aspek perbaikan pelaku meliputi berbagai tujuan, antara lain melakukan rehabilitasi dan memasyarakatkan kembali pelaku dan melindunginya dari perlakuan sewenang-wenang diluar hukum, dalam hal ini bagi penyalahguna Narkoba dilakukan rehabilitasi medis dan sosial.
Tujuan utama dari pemidanaan penderitaan yang setimpal terhadap penjahat dan pencegahan kejahatan untuk masyarakat. Bahwa pidana merupakan suatu kebutuhan, tetapi merupakan bentuk kontrol sosial yang disesalkan, karena pidana mengenakan penderitaan atas namatujuan-tujuan yang pencapaiannya merupakan suatu kemungkinan. Juga untuk memperbaiki kerusakan individual dan sosial (individual and social damages) yang diakibatkan oleh perbuatan pidana. Terdiri dari pencegahan (umum dan khusus), perlindungan masyarakat, memelihara solidaritas masyarakat dan pengimbalan/pengimbangan. Bahwa pidana juga dapat meniadakan kejahatan yang lebih besar bilamana melalui bekerjanya isolasi, reformasi dan pencegahan, kerugian dan ketidakmampuan yang diciptakan oleh bahaya peredaran gelap narkoba dapat dikurangi.
Dilihat dari aspek perlindungan atau kepentingan masyarakat, maka suatu upaya penanggulangan pidana dikatakan berhasil apabila upaya tersebut sejauh mungkin dapat mencegah atau menanggulangi kejahatan. Dengan kata lain, dalam upaya penanggulangan penyalahgunaan narkoba, kriterianya terletak pada seberapa jauh efek pencegahan umum (general prevention)88 dari penetapan sanksi, dalam mencegah warga masyarakat pada umumnya tidak melakukan penyalahgunaan narkoba.
Penetapan sanksi tindakan (maatregel) tujuannya lebih bersifat mendidik. Jika ditinjau dari sudut teori-teori pemidanaan, maka sanksi tindakan merupakan sanksi yang tidak membalas. Semata-mata ditujukan pada prevensi khusus, yakni melindungi masyarakat dari ancaman yang dapat merugikan kepentingan masyarakat. Singkatnya, sanksi tindakan berorientasi pada ide perlindungan masyarakat.
Bertolak dari asumsi bahwa keadaan hidup dan perilaku manusia, baik sebagai perorangan maupun sebagai kelompok masyarakat, ditentukan oleh faktor-faktor fisik geografis, biologis, psikologis, sosiologis, ekonomis dan keagamaan yang ada. Dengan demikian, perilaku menyimpang seseorang ataupun masyarakat ditentukan oleh berbagai faktor itu dan karenanya setiap pemidanaan hanya dapat dibenarkan dengan maksud merehabilitasi pelaku.
Penetapan sanksi rehabilitasi menurut teori relatif dari tujuan pemidanaan adalah benar, jadi dasar pembenaran adanya pidana menurut teori relatifadalah terletak pada tujuannya. Pidana di jatuhkan bukan karena quia peccatum est (karena orang membuat kejahatan), tapi karena ne peccatur (supaya orang jangan melakukan kejahatan).89
Penyalahguna narkotika jika di tinjau dari tipologi korban masuk dalam klasifikasi
self victimizing victims, karena pecandu narkotika korban atas kejahatan yang dilakukannya sendiri yaitu menggunakan narkotika.90 Menurut Arif Gosita hak-hak korban itu mencakup:91
a. Mendapat ganti kerugian atas penderitaanya.
b. Menolak restitusi untuk kepentingan pelaku (tidak mau restitusi karena tidak memerlukannya).
c. Mendapatkan restitusi/kompensasi untuk ahli warisnya bila pihak korban meninggal duniakarena tindakan tersebut.
d. Mendapat pembinaan dan rehabilitasi. e. Mendapat hak miliknya kembali.
f. Mendapatkan perlindungan dari ancaman pihak pelaku bila melapor dan menjadi saksi. g. Mendapatkan bantuan penasihat hukum.
89Ibid, hlm 16.
90 Rena Yulia, Loc.Cit, hlm 54. 91Ibid, hlm 55-56.
h. Mempergunakan upya hukum (rechtmidden).
Berdasarkan pendapat Arif Gosita, jika dikaitkan dengan pelaku penyalahguna narkotika dapat dikatakan sebagai korban atas kejahatannya sendiri dan memiliki hak-haknya sebagai korban kejahatan, yang berhak mendapatkan rehabilitasi sebagai sanksi pengganti dari sanksi pidana penjara, berdasar pada Pasal 54 Undang-Undang Narkotika menyebutkan bahwa:
“Pecandu narkotika dan korban penyalahguna narkotika wajib menjalai
rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial”.
penyalahguna narkotika seharusnya dikenakan sanksi tindakan (maatregel) yang merupakan aspek perlindungan masyarakat, karena disamping pelaku, penyalahguna tersebut adalah korban atas kejahatannya sendiri dan mempunyai hak-haknya sebagai perlindungan korban termasuk mendapatkan rehabilitasi, di dalam Undang-Undang Narkotika memuat tentang kewajiban mengikuti rehabilitasi bagi pecandu dan korban penyalahguna narkotika, dari Undang-Undang Narkotika pun bila di tinjau telah memuat aspek-aspek sanksi tindakan (maatregel) yang berupa rehabilitasi, rehabilitasi seharusnya dapat jadi sanksi pengganti dari sanksi pidana penjara terhadap penyalahguna narkotika.
B. Peranan Badan Narkotika Nasional dalam melakukan upaya penanganan
penyalahgunaan narkotika.
BNN dalam rangka tindakan penanggulangan tindak pidana penyalahgunaan narkotika melakukan upaya preventif yaitu berupa pencegahan, pencegahan disini adalah kegiatan penyuluhan dan bimbingan untuk memberi pengetahuan dan kesadaran, tentang akibat buruk/bahaya penyalahgunaan napza, untuk meningkatkan ketahanan daya tangkal perseorangan, keluarga atau masyarakat terhadap masalah penyalahgunaan napza. Upaya pencegahan ini dilaksanakan melalui kegiatan diskusi, berdasarkan pada Undang-Undang Narkotika Pasal 4 butir b, yang menyebutkan bahwa:
“Tujuan Undang-Undang Narkotika adalah:
“Mencegah, melindungi, dan menyelamatkan bangsa Indonesia dari
penyalahgunaan Narkotika”.
Berdasar pada pasal tersebut maka BNN selaku intansi yang diamanatkan oleh undang-undang narkotika berkewajiban melakukan prpgram pencegahan baik itu berupa diskusi, penyuluhan, dan sosialisasi mengenai bahaya narkotika.
Peningkatan kemampuan teknis, penyuluhan sosial, lebih lanjut dikemukakan bahwa tujuan dari upaya pencegahan ini, yaitu:92
a. Terhindar dan terbebasnya generasi muda dari penyalahgunaan napza, menumbuhkan, memulihkan, dan mengembangkan keberfungsiaan sosial eks korban penyalahgunaan napza sehingga dapat hidup secara wajar sesuai dengan norma yang berlaku di masyarakat; dan
b. Meningkatnya peran aktif masyarakat dalam upaya penanggulangan penyalahgunaan napza sehingga masyarakat memiliki ketahanan sosial dan daya tangkal terhadap permasalahan penyalahgunaan napza
Disamping upaya preventif atau pencegahan terhadap penyalahgunaan narkoba atau napza, juga pecandu narkotika dan korban penyalahgunaan, wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial sebagaimana dikemukakan pada Pasal 54 Undang-Undang RI Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika. Lebih lanjut pada Pasal 55 ayat (1) dalam Undang-Undang tersebut dikemukakan: orang tua atau wali dari pecandu Narkotika yang belum cukup umur wajib melaporkan kepada pusat kesehatan masyarakat, rumah sakit, dan atau lembaga rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial yang ditunjuk oleh pemerintah untuk mendapatkan pengobatan dan atau perawatan melalui rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial. Rehabilitasi medis pecandu narkotika dilakukan di rumah sakit yang ditunjuk oleh Menteri. Pada Pasal 57 disebutkan, selain melalui pengobatan dan/atau rehabilitasi medis, penyembuhan pecandu narkotika dapat diselenggarakan oleh instansi
92Departemen sosial RI, Pola Oprasional Pelayanan Dan Rehabilitasi Sosial Korban Narkotika, psikotropika dan zat adiktif lainnya (napza), Jakarta , departemen sosial RI, 2003, hlm 119.
pemerintah atau masyarakat melalui pendekatan keagamaan dan tradisional. Sedangkan rehabilitasi sosial mantan pecandu narkotika diselenggarakan baik oleh instansi pemerintah maupun oleh masyarakat.
Dalam Undang-Undang RI Nomor 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial, pada Pasal 7 ayat (1) menyebutkan:
“Rehabilitasi sosial dimaksudkan untuk memulihkan dan mengembangkan kemampuan seseorang yang mengalami disfungsi sosial agar dapat melaksanakan fungsi sosial secara wajar
”.
Rehabilitasi sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilaksanakan secara persuasif, motivatif, koersif, baik dalam keluarga, masyarakat maupun panti sosial.
Upaya pencegahan, penanggulangan penyalahgunaan dan pemberantasan peredaran gelap Narkoba diperlukan peranserta masyarakat. Masyarakat perlu mengembangkan program dilingkungannya masing-masing secara bertanggung jawab dan profesional. Agar program di lingkungan masyarakat dapat berjalan baik diperlukan pemberdayaan masyarakat. Pemberdayaan masyarakat adalah suatu asas penting dalam pengembangan program tersebut yaitu:93
1. Bekerja bersama masyarakat, sehingga menggeser tanggung jawab perencanaan dan pengambilan keputusan dari lembaga pemerintah dan profesional kepada masyarakat; dan
2. Melibatkan semua komponen masyarakat
Pendapat diatas didalam Undang-Undang Narkotika terdapat pada Bab XIII tentang peran serta masyarakat, pada Pasal 104 Undang-Undang Narkotika menyebutkan bahwa:
93Anonim. Narkoba BagiGenerasi Bangsa: Mengenal, Mencegah Mengenal,Mencegah danMenanggulangi PenyalahgunaanNarkotika, Psikotropika dan BahanAdiktif Lainnya,Jakarta, 2007 , Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, hlm 105.
“Masyarakat mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya untuk berperan serta membantu pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan prekursor narkotika”.
Masyarakat di dalam pasal ini mempunyai kesempatan untuk ikut serta dalam upaya pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika, tetang peran serta masyarakat ini diperjelas kembali didalam Pasal 106 Undang-Undang Narkotika yang menyebutkan bahwa:
“Hak masyarakat dalam upaya pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika diwujudkan dalam bentuk:
a. Mencari, memperoleh, dan memberikan informasi adanya dugaan telah terjadi tindak pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika;
b. Memperoleh pelayanan dalam mencari, memperoleh, dan memberikan informasi tentang adanya dugaan telah terjadi tindak pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika kepada penegak hukum atau BNN yang menangani perkara tindak pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika;
c. Menyampaikan saran dan pendapat secara bertanggung jawab kepada penegak hukum atau BNN yang menangani perkara tindak pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika;
d. Memperoleh jawaban atas pertanyaan tentang laporannya yang diberikan kepada penegak hukum atau BNN:
e.
Memperoleh perlindungan hukum pada saat yang bersangkutan melaksanakan haknya atau diminta hadir dalam proses peradilan.Jelas dalam pasal tersebut diatas bahwa masyarakat mempunyai peran serta yang cukup aktif dalam melakukan pemberantasan tindak pidana narkotika.
Prinsip ini merupakan paradigma dalam pencegahan dan penanggulangan (terapi dan rehabilitasi) penyalahgunaan narkoba/napza dan pemberian pelayanan kepada sasaran masyarakat tertentu oleh pemerintah dan profesional tertentu, menjadi pemberdayaan masyarakat, sehingga mampu mengembangkan dan melaksanakan rencana kegiatan mereka sesuai dengan kebutuhan. Sebagai konsekuensinya, metode pencegahan dan penaggulangan harus diubah dari cara-cara konvensional atau klasikal yang dibantu oleh pemerintah dan para profesional kepada cara-cara yang melibatkan partisipasi aktif masyarakat. Masyarakat harus didorong agar mampu menyelesaikan masalah mereka sendiri. Tugas pemerintah sebagai fasilitator mendorong proses membangun kesadaran masyarakat, membangun sistem, menyusun pedoman, dan
melatih tenaga-tenaga masyarakat agar handal. Dengan demikian pemberdayaan dapat diartikan sebagai sebuah proses dengan mana orang menjadi cukup kuat untuk berpartisipasi dalam, berbagi pengontrolan atas, dan pengaruhnya terhadap kejadian-kejadian serta lembaga-lembaga yang mempengaruhi kehidupannya. Pemberdayaan menekankan bahwa orang memperoleh keterampilan, pengetahuan, dan kekuasaan yang cukup untuk mempengaruhi kehidupannya dan kehidupan orang lain yang menjadi perhatiannya.94
Edi Suharto mengemukakan bahwa masyarakat diartikan dalam dua konsep, yaitu:95
a. Masyarakat sebagai sebuah tempat bersama, yakni sebuah wilayah geografis yang sama. Sebagai contoh, sebuah rukun tetangga, perumahan di daerah perkotaan atau sebuah kampung di daerah pedesaan; dan
b. Masyarakat sebagai kepentingan bersama, yakni kesamaan kepentingan berdasarkan kebudayaan dan identitas. Sebagai contoh, kepentingan bersama pada masyarakat etnis minoritas atau kepentingan bersama berdasarkan identifikasi kebutuhan tertentu seperti halnya pada kasus para orang tua memiliki anak dengan kebutuhan khusus (anak cacat fisik) atau bekas para pengguna pelayanan kesehatan mental.
Secara sederhana Peranan Badan Narkotika Nasional dalam menanggulangi penyalahgunaan narkotika memiliki tiga (3) upaya yaitu:
1. Upaya pencegahan (preventif) melalui penyuluhan kepada masyarakat, sosialisasi tentang bahaya narkotika.
2. Sebagai fasilitator rehabilitasi bagi korban penyalahguna yang sudah mengalami sindroma ketergantungan terhadap narkotika.
94
Suharto, Membangun Masyarakat Memberdayakan Rakyat: Kajian Strategis Pembangunan KesejahteraanSosial & Pekerjaan Sosial, Bandung, 2005Rafika Aditama, hlm 58-59.
3. Sebagai fasilitator/wadah untuk masyarakat mengajak masyarakat bersama-sama berpartisipasi atau berperan aktif dalam melakukan penanggulangan penyalahgunaan narkotika.
BAB VI
PENUTUP
A. Simpulan
Berdasarkan penelitian mengenaitinjauan hukum terhadap rehabilitasi sebagai upaya penanggulangan penyalahgunaan narkotika dihubungkan dengan Undang-Undang Narkotika.
Bahwa pejatuhan sanksi rehabilitasi dapat menggantikan sanksi penjara bagi penyalahguna narkotika hal tersebut didukung dengan teori tujuan pemidanaan yaitu teori relatif yang mengatakan bahwa pemidanaan bukan untuk pembalasan tapi untuk merubah pelaku, ditinjau dari sanksi tindakan (maatregel) penyalahguna seharusnya dilakukan tindakan rehabilitasi guna mengamankan masyarakat lain dari pengaruh pemakain narkotika, dan memperbaiki pembuat agar lepas dari ketergantungan, dapat di jatuhi sanksi rehabilitasi, ditinjau dari tipologi korban penyalahguna adalah self victimizing victims yaitu korban atas kesalahannya sendiri/atau kejahatan tanpa korban, ditinjau dari Undang-Undang Narkotika memuat tentang kewajiban rehabilitasi bagi korban peyalahguna dan pecandu narkotika, dan memuat ketentuan tentang hakim yang berhak memutus dan menetapkan penjatuhan sanksi rehabilitasi terhadap penyalahguna narkotika bagi diri sendiri/pemakai.
Dalam hal penanggulangan penyalahgunaan narkotika Badan Narkotika Nasional bertindak sebagai fasilitator rehabilitasi, peran serta masyarakat, dan upaya pencegahan dengan melakukan penyuluhan kepada masyarakat.
B. S a r a n
1. Meningkatkan upaya preventif dari pihak terkait, dalam hal ini adalah Badan Narkotika Nasional harus lebih intens dalam melakukan tindakan pencegahan yang berupa penyuluhan kepada msyarakat disamping upaya pemberantasan narkotika.
2. Kerjasama dengan masyarakat sebagai upaya pencegahan harus lebih ditingkatkan karena dalam tindak pidana narkotika sasaran utamanya adalah masyarakat generasi muda.
3. Kepada pemerintah terkait yang mempunyai kewenangan dalam membuat peraturan perundang-undangan harus lebih memperjelas lagi di dalam Undang-Undang Narkotika tentang posisi korban dan pelaku di dalam tindak pidana narkotika, khususnya untuk penyalahguna narkotika.
Nama : Ramdhan Maulana Tempat Tanggal Lahir : Bandung 23 Maret 1992
Kelamin : Laki-laki
Alamat : Rancaekek Komplek Permata Hijau Blok E no 60
Pendidikan : - SDN 1 Permata Hijau
: - SMPN 1 Cicalengka : - SMAN 1 Cileunyi
Lembar pengesahan ……….. i
Abstrak ……….. ii
Kata Pengantar ……… iii
BAB I PENDAHULUAN hlm
A. Latar Belakang ……….… 1
B. Identifikasi Masalah ……….… 8
C. Maksud dan Tujuan ……… 9
D. Manfaat Kegiatan ……… 9
E. Jadwal Penelitian ………..………….. 10
BAB II TINDAK PIDANA NARKOTIKA DAN PENYALAHGUNA NARKOTIKA
A. Tinjauan Teoritis Terhadap Rehabilitasi Sebagai Sanksi Alternatif Dalam
Kasus Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkotika
1. Pidana dan Pemidanaan ……… 11
2. Tindak Pidana Narkotika ……… 44 3. Rehabilitasi Sebagai Sanksi Alternatif ………. 55 B. Tinjauan Terhadap Badan Narkotika Nasional Provinsi Jawa Barat
A. Sejarah ……….. 60
B. Visi dan Misi Badan Narkotika Nasional ……….. 64
C. Tujuan Badan Narkotika Nasional ……….. 65 D. Sasaran Badan Narkotika Nasional ………... 66 E. Tujuan Pokok dan Fungsi ……….... 67
BAB III LAPORAN KERJA PRAKTIK DI BADAN NARKOTIKA NASIONAL (BNN)
A. Laporan Kegiatan Harian …………..………...……….……… 69 1. Membantu Membuat Berita Acara Pemeriksaan ……..……….. 69
3. Membantu Membuat Surat Perpanjangan Penahanan …………. 70
B. Laporan Kegiatan Kerja Lapangan ……….. 70
4. Tes Urin di Pusat Pendidikan Artileri Medan (Pusdik Armed)
……….. 70 5. Penjemputan Tersangka guna Menyaksikan Pemusnahan Barang
Bukti yang Dibawa oleh Tersangka ……… 71
6. Pemusnahan Barang Bukti Narkotika ……… 71 7. Pelaksanaan Seminar Oleh Badan Narkotika Nasional Yang Berjudul
“Tingkat Pemahaman Petugas Terhadap Peraturan Perundang-Undangan Terkait Pelaksanaan Rehabilitasi Bagi Pecandu dan
Korban Penyalahgunaan Narkotika ……… 73
BAB IV REHABILITASI SEBAGAI PERWUJUDAN DARI PERANAN BADAN NARKOTIKA NASIONAL DALAM MENGANGULANGI PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA.
A. Penjatuhan Pidana Rehabilitasi Sebagai Sanksi Pengganti dari Sanksi Pidana Penjara terhadap Tindak Pidana Penyalahguna Narkotika .. 74 B. Peranan Badan Narkotika Nasional dalam Melakukan Upaya Penanganan
Penyalahgunaan Narkotika……… 80
BAB V I PENUTUP
A. Kesimpulan ………. 87
B. Saran ……… 88
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur peneliti panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya serta karena ridho-Nya peneliti dapat menyelesaikan laporan kerja praktik, serta solawat dan salam atas junjunan Nabi Muhammad SAW (allahumma sholii ala saydina Muhammad wa’ala ali
saydina Muhammad) .
Peneliti mengucapkan terimakasih yang setinggi-tingginya kepada yang terhormat dan terpelajar Dwi Iman Muthaqin, SH., MH selaku Pembimbing I dan Komisaris Polisi Agus Dadang Sukanda S.H. selaku Pembimbing II yang