• Tidak ada hasil yang ditemukan

Membentuk Badan Serikat Tolong Menolong (BSTM) Guru-guru dan Pegawai Departemen Sekolah.23

Dalam dokumen T1 712005032 BAB III (Halaman 25-51)

Masalah-Masalah Dalam Pelayanan Pendidikan yang dihadapi pada tahun 1970 -1980-an

 Bidang Keuangan : mencari donatur atau mitra penyantun.

 Dalam bidang BSTM, ada beberapa orang yang tidak setia memenuhi peraturan.

 Menyangkut personalia di Departemen Sekolah HKBP: Tenaga guru yang berkurang di beberapa tempat, karena ada guru yang minta permisi untuk melanjutkan studi; ada guru yang beralih menjadi pegawai negeri.24

Situasi Pendidikan Tahun 1990-2011

Pada tahun 1990-an, terdapat 144 unit sekolah HKBP yang terdiri dari

 TK : 8 Unit

 SD : 55 Unit

 SLTP : 47 Unit

23 Wawancara dengan Pdt.T.M. Hasugian (Praeses HKBP JABARTENGDIY) pada tanggal 20 Desember 2011, jam 14.00 WIB

24J.R. Hutauruk, Pdt. Dr, Lahir, Berakar dan Bertumbuh di dalam Kristus, (Tarutung:Kantor Pusat HKBP, 2011), 203

 SMTA : 7 Unit

 SPG dan Sekolah Kejuruan Atas : 13 Unit

 Pendidikan keterampilan : 2 Unit.

Tetapi masalah-masalah yang dihadapi relatif tidak mengalami perubahan yang signifikan dari periode sebelumnya. Dalam upaya untuk mengatasi permasalah tersebut, pada maret 2000 dibentuk sebuah tim yang bertugas merancang bangunan sistem pendidikan HKBP. Tim ini terdiri dari tiga orang pakar pendidikan, yaitu Prof. Dr. D.P. Tampubolon, Prof. Dr. J. Naibaho dan Prof. Dr. Belfrik Manullang. Hasil rumusan tim yang disebut “Kebijakan Dasar Pendidikan HKBP (KDP-HKBP)” telah disahkan di sinode godang HKBP 2000.

Pengimentlasian KDP-HKBP antara lain dilakukan dengan membentuk Badan Penyelenggara Pendidikan HKBP (BPP-HKBP) pada 27 September 2007. BPP-HKBP mencatat data sekolah HKBP (TK, SD, SMP, SMU/ SMK) pada tahun 2007 berjumlah 120 unit. Dari seluruh sekolah tersebut, sebanyak 31 unit dikelola sepenuhnya oleh BPP-HKBP.

3.4.2.2. Pendidikan Teologi

Dalam sejarahnya, penyelenggaraan pendidikan Teologi selalu berorientasi pada kebutuhan Gereja. Artinya, pendidikan teologi dimaksudkan sebagai sarana untuk mempersiapkan generasi penerus yang kelak bekerja menjadi pelayan khusus dalam gereja. Semangat inilah yang mewarnai pembukaan lembaga-lembaga pendidikan teologi di HKBP.

Hingga kini, HKBP memiliki empat lembaga pendidikan teologi. Sejak tahun 1868 berdiri sekolah Guru Jemaat, yang terkenal dulu dengan nama Sekolah Tinggi yang menghasilkan guru-guru sending. Mulai tahun 1883 diselenggarakan Sekolah Pendeta. Pada tahun 1934 dibuka sekolah Bibelvrouw dan tahun 1971 berdiri pendidikan Diakones.

Sekolah Guru Huria (SGH)25

Dalam kurun waktu tujuh tahun setelah konfrensi para penginjil RMG di Tanah Batak (1861-1868), semakin dirasakan betapa luasnya pekerjaan pekabaran Injil sedangkan jumlah para penginjil RMG masih sedikit. Keadaan ini terjadi karena masyarakat Batak di berbagai tempat telah semakin terbuka menerima Injil sehingga membutuhkan banyak tenaga-tenaga untuk melayani. Guna menambah jumlah tenaga pelayanan, atas dukungan RMG Jerman, para penginjil RMG di Tanah Batak sepakat untuk mendidik orang Batak menjadi guru yang berjiwa penginjil. Tenaga guru dimaksud akan mengemban tugas untuk mengajar anak-anak dalam bidang pengetahuan umum, kerohanian dan sekaligus memimpin satu jemaat.

Pada tahun 1868 didirikan lah sekolah guru Injil di tanah batak bagian selatan, bertempat di Parausorat, yang kemudian terkenal dengan Seminari Parausorat. Murid yang pertam ada lima orang, yaitu Thomas, Paulus, Markus, Yohannes dan Ephraim. Setelah tamat, mereka kemudian lazim disebut sebagai guru sending. Sejak tahun 1962, sekolah Guru di seminari Sipoholon dipersiapkan khusus hanya untuk menjadi guru jemaat yang melayani di jemaat-jemaat, bukan lagi menjadi guru jemaat yang melayani di sekolah-sekolah umum. Mulai tahun 1998, persyaratan masuk SGH adalah lulusan SMU sederajat dan mengikuti pendidikan selama tiga tahun. Penerimaan mahasiswa baru dilakukan sekali dalam tiga tahun. Para mahasiswa melakukan kegiatan ekstra-kurikuler, yaitu: pertanian, perikanan, peternakan dan pembibitan tanaman-tanaman produktif.

25 J.R. Hutauruk, Pdt. Dr, Lahir, Berakar dan Bertumbuh di dalam Kristus, (Tarutung:Kantor Pusat HKBP, 2011), 205

Sekolah Tinggi Theologia (STT) 26

Pelayanan pekabaran injil di tanah batak semakin meluas. Para penginjil RMG yang dibantu oleh para guru sending membawa dampak yang positif dalam usaha pengkristenan di tanah Batak. Sending RMG di bawah pimpinan I.L. Nommensen merasakan akan perlunya pendeta Batak, sebagai orang pribumi yang dapat lebih cocok untuk melayani sebagai pendeta bagi orang Kristen Batak sendiri. Untuk itu,para guru yang telah bekerja dengan baik dan setelah sepuluh tahun menjalankan tugasnya sebagai guru sekolah sending dan guru jemaat, dipanggiluntuk melanjutkan ke sekolah pendeta. Untuk memenuhi keinginan itu maka RMG mendirikan sekolah Pendeta di seminari Pansurnapitu pada tahun1883 dan pada tahun 1901 dipindahkan ke Seminari Sipoholon.

Di samping untuk memenuhi harapan di atas, berdirinya sekolah Pendeta di Pansurnapitu, juga bertujuan untuk menambah para pendeta yang bekerja melayani gereja Batak yang semakin bertambah dengan pesat, dan untuk mempersiapkan kemandirian gerja Batak di kemudian hari. Murid yang pertama dalam sekolah Pendeta, ada empat orang, yaitu: Johannes Siregar, Markus Siregar, Petrus Nasution dan Johannes Sitompul. Mereka menerima pendidikan selama dua tahun, kemudian ditahbiskan menjadi pendeta. Penahbisan pertama berlangsung pada 19 Juli 1885di Pearaja Tarutung.

Sejak tahun 1883 sampai tahun1941, sekolah pendeta yang demikian dibuka secara berkesinambungan di tengah-tengah jemaat. Mereka pada umumnya bertugas membantu para penginjil Jerman (RMG).

HKBP semakin terpanggil untuk melayani jemaat dan untuk membangun pendidikan di tengah-tengah bangsa Indonesia yang semakin maju. Sehingga dalam sinode godang HKBP

tahun 1952 diputuskan bahwa HKBP akan mendirikan universitas. Pada tahun 1954 berdirilah Universitas HKBP Nommensen (UHN) dengan salah satu fakultasnya ialah Fakultas Theologia, yang bertujuan untuk mendidik calon pendeta HKBPdan gerja pendukungnya di Sumatera Utara.

Sejak tahun 1954, SThM (Sekolah Theologia Menengah) di Sipoholon dipindahkan ke Pematangsiantar dan sebagian siswa-siswanya menjadi mahasiswa Fakultas Teologia. Maka sejak tahun 1954, Fakultas Teologia UHN berperan sebagai lembaga pendidikan pendeta bagi gereja HKBP dan beberapa Gereja Protestan lainnya di Sumatera utara.

Pada Sinode Godang HKBP 1978, fakultas theologia UHN diubah menjadi STT-HKBP dengan alasan agar pendidikan para calon pendeta lebih dekat kepada Gereja HKBP ketimbang kepada Yayasan UHN. Segala fasilitas fakultas theologia UHN dialihkan menjadi fasilita STT-HKBP. Demikianlah STT-HKBP hingga kini menjadi suatu lembaga pendidikan teologi HKBP, yang bertujuan untuk mempersiapkan para calon pendeta bagi Gereja-gereja Protestan lain di Indonesia.

STT-HKBP berupaya membenahi diri sesuai denga perkembagan perguruan tingi di Indonesia. Pada tahun 1986, departemen agama RI telah menunjuk STT-HKBPuntuk menyelenggarakan program Pendidikan Agama Kristen (PAK). Penunjukkan ini telah diperbaharui pada tahun 1991, 2001 dan 2005. Mulai tahun 1998, STT-HKBp telah membuka program pasca sarjana S-2 (MTh) dan S-3 (DTh) bekerja sama dengan Persekutuan STT di Indonesia (Persetia) dan South East Asia Graduate School of Theolgy (SEAGST). Sejak tahun 2007, program ini telah mendapat izin operasional dari Dirjen Kementerian Agama RI.

Sekolah Bibelvrouw27

Sekolah beibelvrouw berdiri pada tanggal 1 Agustus 1934 oleh Zuster Elfriede Harder di Narumonda. Kemudian dipindahkan ke Laguboti sejak 21 Nopember 1937. Mulai tahun 1928, Elfriede Harder telah melakukan kursus kepada ibu-ibu di Laguboti agar mereka mengenal kasih Kristus di dalam hidup pribadi dan keluarga mereka. Peserta kursus banyak yang datang dari Balige, Uluan, Pearaja dan Sibolga. Kemudian diadakan pula kursus di Toba, Pematang Siantar, Samosir dan lain sebagainya. Para peserta kursus merasa terhibur dan bersukacita. Mereka merasa telah memperoleh kekuatan baru yang menjadi bekal dalam menata kehidupan rumah tangganya. Mereka selalu rindu untuk mengikuti kursus-kursus yang diadakan oleh Zuster Efriede Harder.

Sinode Godang HKBP 1981 menetapkan masa studi Sekolah Bibelvrouw menjadi empat tahun dan bibelvrouw dapat memimpin kebaktian minggu. Bagi bibelvrouw yang sanggup dan berijazah SLTA diberi kesempatan melanjut ke sekolah Pendeta / STT-HKBP.

Kemudian mulai tahun 1988, siswi Sekolah Bibelvrouw telah dilatih di bidang keluarga berencana dan perawatan balita agar mampu memahami masalah yang dihadapi kaum ibu. Pada tahun 2001, kurikulum Sekolah Bibelvrouw ditambah dua mata kuliah, bahasa inggris teologia dan budi pekerti. Pada saat bersamaan , sekolah Bibelvrouw terus melengkapi fasilitas asrama dan sarana perkuliahan, termasuk perpustakaan, komputer dan organ.

Pendidikan Diakones 28

Pada 17 Mei 1971 didirikan “Kursus Diakones HKBP” yang kemudian sejak tahun 1976 menjadi Pendidikan Diakones HKBP yang berkedudukan di Balige. Perumahan dan

perlengkapan dibangun dengan bantuan dari Luar Negeri (VEM dan EZE Pemerintahan Jerman Barat) pada tahun 1974. Komplek tersebut terletak di jalan Onanraja Balige (tiga gedung permanen) yang diresmikan pada tanggal 27 Januari 1976. Sinode Godang HKBP 1981 telah menetapkan status “Lembaga Pendidikan Diakones HKBP”. Mengenai penggolongan kepegawaian serta penggajian dari lulusan Pendidikan Diakones, diatur oleh pimpinan/ majelis pusat HKBP. Bidang studi yang dipelajari: agama Kristen, diakonia/ pekerjaan sosial, perawatan/kesehatan, keterampilan, seni musik. Kegiatan di luar kelas: praktek tiap tingkat satu kali tiap semester, sebagai kesempatan mempraktekkan pelajaran-pelajaran dalam pelayanan, misalnya: di rumah sakit HKBP Balige, di rumah sakit GKPS Betesda Saribudolok Simalungun, penyuluhan, penyelenggaraan pengasramaan, konsumsi, pelaksana bagian konsumsi pada rapat pendeta dan sinode godang HKBP, latihan dan praktek di panti-panti asuhan dan lembaga-lembaga perawatan-perwatan di jemaat-jemaat.

Pada masa konflik HKBP, pendidikan Diakones di Balige terpaksa ditutup dan lalu dipindahkan ke Tarutung. Namun sejak 6 Agustus 2001, lembaga pendidikan Diakones HKBP telah kembali diselenggarakn di Balige. Tujuan dari Lembaga Pendidikan Diakones HKBP adalah mendidik gadis-gadis Kristen selama tiga tahun ajaran untuk pekerjaan Diakones, yaitu pelayan perempuan di bidang sosial atau petugas sosial gerejawi. Pekerjaan Diakones ialah melayani sesama manusia (Kristen dan bukan Kristen), membimbing dan membantu untuk hidup sesuai dengan martabatnya sebagai ciptaan Tuhan.

3.4.3. Bidang Kesehatan

Berbagai penyakit telah mengancam kehidupan penduduk di Tanah Batak, terutama penyakit yang tiba-tiba mewabah seperti kolera. Penyakit ini dijuluki orang Batak sebagi “begu

antuk”, karena setiap orang yang diserang kolera merasakan seolah-olah ada kekuatan gaib yang memukulnya (mangantuk). Orang Batak belum mengetahui faktor penyebab dan bagaimana mencegahnya agar jangan menular. Pemahaman tentang lingkungan yang bersih atau higienis yang kemudian diperkenalkan para pelayan medis Kongsi Barmen kerap berbenturan dengan cara pandang Batak. Penyakit kolera sering mewabah dan memakan banyak korban jiwa. Tahun 1875 penyakit kolera mewabah di seluruh daerah Silindung. Situasi ini disaksikan penginjil I.L. Nommensen yang merasakan betapa besar rasa takut penduduk Silindung. Bahkan ketika itu, para raja yang bertikai segera menghentikan perang, orang-orang yang sering bermain judi tiba-tiba juga tertular penyakit kolera sehingga mereka terpaksa berhenti. Sawah pun jadi terlantar karena belum sempat dikerjakan, lagi pula sebagian penduduk tidak mau bekerja di sawah karena takut ditangkap pihak musuh dan dijadikan sebagai tawanan atau “hatoban” (budak) selama rajanya belum menebus dengan uang.

Rumah Sakit Pertama di Tanah Batak tahun 1900

Rumah sakit pertama di tanah Batak berdiri di di Pearaja Tarutung pada 2 Juni 1900 dengan seorang tenaga dokter, yaitu Dr. Med. Julius Schreiber. Inilah wujud nyata kesungguhan para pemberita Injil untuk menangani bidang kesehatan. Tenaga dokter yang kedua adalah Dr. Med. Johannes Winkler. Kedua dokter tersebut merintis dan meningkatkan pelayanan medis dengan menggunakan metode pengobatan yang baru di Tanah Batak berdasarkan diagnosa penyakit. Mereka juga berupaya mencerahkan pemahaman masyarakat dengan melakukan penyuluhan langsung kepada penduduk desa.

Para penduduk dari berbagai daerah tidak mudah menjangkau rumah sakit Pearaja. Seiring dengan kebutuhan ini, di beberapa pargodungan didirikan rumah sakit pembantu, yang

khusus menangani penyakit disentri (baro buni). Penyakit ini sering mewabah di daerah dataran tinggi Humbang, sehingga didirikanlah rumah sakit pembantu di Butar dan Pangaribuan di bawah pimpinan penginjil setempat. Beberapa tenaga perawat pribumi yang andal turut menangani pelayanan kesehatan, seperti mantri kesehatan Valentin Sitompul di Pangaribuan dan Julius Lumbantobing di Butar.

Rumah sakit pembantu di pangaribuan dan Butar dibuka tahun 1910. Rumah sakit di pangaribuan dipimpin penginjil Meisel dan di Butar dipimpin penginjil Wagner. Tahun 1911 sebanyak 10.000 orang pasien telah dirawat di rumah sakit pembantu Pangaribuan. Pada 1911 dibuka pula rumah sakit pembantu di Bonandolok oleh penginjil W. Mueller, untuk melayani masyarakat yang berdomisili di bagian Barat dataran tinggi Humbang. Kemudian rumah sakit pembantu keempat di daerah Humbnag dibuka di Doloksanggul. Di daerah Toba dibuka di Sitorang dan Balige. Di Samosir didirikan rumah sakit pembantu di Nainggolan, Pangururan dan Ambarita. Juga di belahan Barat Tanah Batak yaitu Tukka dan Barus, serta di daerah Angkola dibuka di Sipirok. Semua rumah sakit pembantu tersebut adalah cabang dari rumah sakit induk di Pearaja.29

3.4.4. Bidang Oikumene

Sejak HKBP berdiri, dalam dirinya telah hadir bibit-bibit oikumenis. HKBP sendiri merupakan buah gerakan oikumene karena para penginjil ke Tanah Batak diutus oleh beberapa badan sending yang berbeda. Ada yang berasal dari Eropa dan juga dari Amerika, walaupun pada akhirnya yang lebih berbuah adalah penginjilan yang dilakukan RMG dari Jerman. Dalam misinya, RMG sejak semula telah menjalin hubungan dengan pekabar injil yang sudah ada. 29 J.R. Hutauruk, Pdt. Dr, Lahir, Berakar dan Bertumbuh di dalam Kristus, (Tarutung:Kantor Pusat HKBP, 2011), 276-277

Misalnya, pada tahun 1902 RMG bekerja sama dengan badan pekabar Injil Belanda (NZG) yang mengutus penginjil H. Guillame ke daerah Karo. RMG juga bekerja sama dengan sending Methodis yang bekerja di Sumatera Utara sejak 1905, di mana sending Methodis melayani anggota HKBP yang pindah ke daerah Asahan Labuhan Batu.

HKBP Menjalin Hubungan dengan LWF: 1952

Terjalinnya hubungan HKBP dengan Lutheran World Federation (LWF) bermula dari kunjungan Uskup Sandegren ke HKBP pada 1947. Kunjungan ini kurang maksimal karena beliau tidak dapat bertemu dengan Ephorus HKBP di Tarutung berhubung gejolak politik dan militer yang terjadi di Sumatera Utara. Pada tahun 1948, Dr. Williams dari gereja Tamil Lutheran berhasil mengunjungi kantor pusat HKBP di Pearaja Tarutung. Beliau bekerja sebagai pelayan medis oikumenis di rumah sakit HKBP Balige dan Saribudolok. Beliaulah tenaga pelayan pertama dari luar negeri yang bekerja di HKBP sesudah perang dunia kedua berakhir.30

HKBP Menjadi Anggota DGD/WCC: 1962

Keberadaan HKBP sebagai anggota LWF tidak mengahambat dirinya untuk menjalin hubungan dengan lembaga gerejawi lainnya. Tahun 1962, pada sidang raya Dewan Gereja-gereja se-Dunia (DGD/WCC-World Council of Churches) di New Delhi, HKBP resmi menjadi anggota DGD/WCC. Utusan HKBP; Ds. T.S. Sihombig terpilih menjadi anggota badan pekerja lengkap DGD. Sebelumnya, HKBP juga selalu mengirim utusannya sebagai peninjau untuk menghadiri sidang raya DGD, seperti pada 30 J.R. Hutauruk, Pdt. Dr, Lahir, Berakar dan Bertumbuh di dalam Kristus, (Tarutung:Kantor Pusat HKBP, 2011), 295-296

pembentukan DGD pada tahun 1948 di Amsterdam, HKBP mengutus DS. K. Sitompul dan Mr. Amir Syarifuddin (Harahap). Pada sidang raya DGD 1954 di Evanston, HKBP mengutus Ds. K. Sitompul sebagai peninjau. 31

HKBP Menjalin Hubungan dengan EACC/ CCA: 1949

Sejak EACC (East Asia Christian Confrence/ Konfrensi gereja-gereja Asia Timur) didirikan, HKBP telah menjadi anggota dan teratur mengikuti pertemuan EACC. Gereja-gereja anggota EACC meliputi Gereja-Gereja-gereja di kawasan Asia Timur, termasuk Australia dan New Zealand. Para pimpinan Gereja-gereja Asia Timur dalam konsultasi Bangkok, Desember 1949, mengajukan usul agar WCC dan anggota International Missionary Council (IMC) di Asia Timur dalam sebuah konfrensi. Tujuannya untuk memikirkan secara bersama tugas yang mendesak dan tersedia didepan mereka sebagai Gereja-gereja yang berakar dan tumbuh di Asia Timur yang baru memasuki zaman dekolonisasi. Konsultasi EACC 1949 memberi mandat kepada HKBP untuk mempersiapkan segala sesuatu yang dibutuhkan dalam menyelenggarakan konfrensi Gereja-gereja anggota WCC dan IMC di Asia Timur, baik pengadaan saran maupun kegiatan pra konfrensi dan kebaktian raya. 32

Kerja Sama HKBP dengan Gereja dan Badan-badan Sosial

HKBP menjalin kerja sama dengan berbagai lembaga Gereja dan badan-badan sosial di luar negeri, seperti Evangelische Zentralstelle Fur Entwicklungsdients (EZE) di Bonn.

31 Ibid 297 32 Ibid 297-298

EZE telah banyak memberikan dana pembangunan kepada HKBP. Begitu pula dengan Theological Education Fund di London dan Fund for Theological Education di singapura. Kedua badan ini menopang program pendidikan teologi di HKBP; Missions Akademic di Hamburg, mulai 1961; Gereja Anglikan di Australia, 1971, yang pernah mengutus seorang tenaga pengajar untuk Fakultas Teologia (STT-HKBP) di Pematangsiantar.

HKBP juga memiliki kerja sama dengan Evangelical Lutheran Church in America (ELCA). Sejak 1 Januari 1988, The American Lutheran Church dan The Association of Evangelical Lutheran Churches dan The Lutheran Church in America dengan keyakinan bersam dan misi secara resmi membentuk ELCA. Saat ini, ELCA mencerminkan warisan yang kaya dan beragam dri orang-orang yang dilayaninya.

Pada Mei 2001, Ephorus HKBP dan representasi pengurus pusat ELCA menandatangani suatu kesepakatan bersama yang tertuang dalam bentuk Convention of interchargr between HKBP-ELCA. Naskah kesepakatan ditandatangani di kantor pusat ELCA di Chicago. Isinya meluaskan afiliasi HKBP dengan ELCA, khususnya di Amerika Serikat. Dalam surat kesepakatan tersebut dicantumkan tentang posisi Gereja HKBP di Amerika (HKBP California, HKBP Colorado, HKBP Seattle dan HKBP New York), termasuk bantuan yang akan diterima. Afiliasi HKBP –ELCA telah diterima secara bulat pada Sinode Godang HKBP Oktober 2002.33

Hubungan HKBP dengan DGI/PGI: 1950

HKBP termasuk pelopor berdirinya Dewan Gereja-gereja di Indonesia (DGI) pada 25 Mei 1950. Lembaga ini bertujuan sebagai wadah pembentukan Gereja Kristen yang Esa

di Indonesia. Beberapa tokoh dari HKBP yang turut mempelopori pembentukan DGI, yaitu: Prof. Dr. Mr. Sutan Gunung Mulia, Ds. K. Sitompul dan Dr. A.M. Tambunan. Mereka ini sangat banyak memberikan sumbangan untuk pembanguna kesatuan dan persekutuan Gereja-gereja di Indonesia.

Partisipasi HKBP dalam usaha pengembangan DGI juga nyata dalam kesediaannya memberikan tenaga yang penuh di DGI, yakni Ds. K. Sitompul yang sejak 1957 diangkat menjadi sekretaris departemen keesaan DGI. Kemudian Pdt. M.P. Sitompul, MTh sebagai komisi pendidikan agama Kristen, 1964-1971, lalu Pdt. Dr. S.A.E. Nababan sejak 1967 menjadi ketua umum DGI yang berubah nama menjadi PGI (Persekutuan Gerej-gereja di Indonesia). Selain mereka, pendeta HKBP yang pernah menjadi tenaga penuh waktu di DGI adalah Pdt. P.M. Sihombing, MTh, mulai 1971 menjadi sekretaris pendidikan dan komunikasi; Prof. Dr. W.B. Sijabat sebagai pemimpin departemen studi dan penelitian serta pemimpin proyek leader PSM.34

Hubungan HKBP dengan Gereja Roma Katolik (RK)

Hubungan HKBP dengan Gereja RK memiliki fakta sejarah tersendiri. Intensitas pengenalan HKBP terhadap Gereja RK baru mulai tahun 1930-an, itupun pengenalan dari segi persaingan yang tidak sehat dalam usaha menggarap orang Kristen Batak (warga HKBP) menjadi anggota Gereja RK. Sehingga pada awalnya, HKBP sangat ketat menjaga anggotanya supaya jangan sampai terpengaruh oleh bujukan RK. Bahkan HKBP pernah menerapkan ketentuan, siapa yang meyekolahkan anaknya ke sekolah RK akan

dikucilkan dari keanggotaan HKBP dan siapa yang menyetujui perkawinan anaknya dengan warga RK akan dikenakan Disiplin Gereja.

Namun akhir-akhir ini, hubungan HKBP dengan RK telah mengalami beberapa kemajuan karena bertitik tolak dari segi positif hubungan Gereja universal itu. Kemajuan tersebut terjadi setelah adanya perubahan di tubuh Gereja RK, yakni setelah Konsili Vatikan II. Sejak itu, Gereja RK telah menjadi anggota Komisi Faith and Order dari WCC/DGD sehingga percakapan antara pihak RK dengan HKBP semakin terbuka dan bahkan sampai kepada maslah dogam. HKBP telah mengakui baptisan Gereja RK, demikian juga sebaliknya. Para anggota HKBP telah banyak yang mengikuti pendidikan di sekolah RK.35

3.5 Konflik di HKBP

3.5.1. HKBP dan Politik Kekuasaan

Pada zaman pemerintahan kolonial Belanda terjadi konflik antara penguasa Belanda dengan masyrakat Batak, terutama kelompok yang melakukan reaksi demi mempertahankan eksistensinya. Antara lain, raja-raja di kalangan etnis Batak, secara khusus Sisingamangaraja XII, golongan parhudamdam, parbaringin, silimin di Pakpak, organisasi kemasyrakatan HKB (Hatopan Kristen Batak) dan lain-lain.

Pada zaman kemerdekaan Indonesia hingga kini, HKBP sebagai bagian dari etnis Batak di NKRI mencatat dua peristiwa yang menampakkan wajah kekerasaan kekuasaan dari pemerintah yang sedang berkuasa. Pertama, peristiwa konfrontasi antara “tentara pusat” dengan “tentara daerah” di propinsi Sumatera Utara. Kedua, tragedi peristiwa Partai Komunis Indonesia (PKI) di

Tapanuli dan Sumatera Utara. Kedua peristiwa ini terjadi dalam kurun waktu 1950-an dan 1960-an. Bagi HKBP, situasi pada 1958-1961 tidak lepas dari konflik antara kekuatan tentara pusat dan tentara daerah propinsi Sumatera Utara.36

3.5.2. Konflik pada Zaman Pendirian Pargodungon: 1860-1900-an

Para penginjil RMG tidak luput dari kasus-kasus pertikaian antara para raja maupun pemuka masyarakat Batak. Termasuk saat para penginjil mengajukan permintaan untuk memperoleh sebidang tanah pertapakan sebagai tempat membangun pargodungon atau setasi sending di tengah gugusan desa-desa Batak. Kesediaan atau penolakan para pemuka masyarakat Batak terhadap permintaan tersebut dapat menimbulkan konflik atau sikap pro-kontra.

Konflik sedemikian itu, pertama sekali dialami oleh penginjil Klammer di Sipirok. Pada tahun 1865, beliau ingin menentukan tempat pemukimannya dan sekaligus membangun Gereja di Sipirok. Tetapi sebagian masyrakat Batak yang beragama Islam keberatan dan menolak. Lalu Klamer menjelaskan bahwa di sana juga akan dibangun gedungsekolah sebagai tempat belajar bagi seluruh anak-anak masyarakat di Sipirok tanpa membedakan apakh Kristen, Islam dan

Dalam dokumen T1 712005032 BAB III (Halaman 25-51)

Dokumen terkait